Ruang Senyap di Kota yang Bising
“Kadang kamu dibenci, tapi diam-diam dicontoh.
Tanpa bicara, kau bisa membuat gaduh nurani orang lain.
Hiduplah tertata—bukan agar terlihat baik, melainkan agar tak mudah dibelokkan.”
.
Hujan turun di Surabaya seperti kabel-kabel listrik yang bergetar di angin sore—berbunyi pelan namun menegangkan. Di Tunjungan, papan nama tua berpendar di kaca basah; orang-orang berteduh di bawah kanopi toko jam. Samirah berdiri di tepi trotoar itu, menunggu lampu penyeberangan yang selalu terlalu lama. Pupilnya menangkap pantulan lampu mobil, membelah dirinya menjadi dua: yang tampak tegar di luar, dan yang merapuh pelan di dalam.
Di ponselnya, pesan dari grup kantor meletup-letup seperti petasan sisa Imlek: Tender Kalimas besok jam 9. Siapkan revisi terakhir. Sabrang handle lobby. Lalu ada satu pesan yang lain, dari Zulaikha: Sam, aku nggak kuat. Bisa ketemu malam ini?
Samirah menyimpan ponsel ke mantel hujannya. Ia telah lama belajar, tak semua panggilan harus dijawab segera; sebagian harus dibiarkan melewati malam, agar kata-kata tidak lahir dari amarah. Tetapi Zulaikha bukan “sebagian”. Zulaikha adalah rumah bertahun-tahun, sahabat di bangku SMA, perempuan yang selalu menemukan pintu masuk ke sikap Samirah yang tampak dingin itu.
Kota menumpahkan air. Di atas trotoar, Samirah melangkah. Di kepalanya ia mengulang rumus yang selalu menyelamatkannya: satu hal dalam satu waktu; satu kaki di depan kaki lain.
.
Keesokan pagi, kantor konsultan arsitektur tempat Samirah bekerja beraroma kopi dan tinta printer. Di dinding, poster-poster proyek lama menatap seperti album keluarga yang tak henti menilai. Sabrang berbaju batik motif kawung, rambutnya kelimis, senyumnya tajam seperti penghapus pensil yang siap menghilangkan namamu dari catatan.
“Sam,” katanya, meletakkan laptop di meja rapat, “konsep Ruang Senyap kamu… bagus. Tapi kamu harus paham, klien suka yang spektakuler. Banyak kaca, banyak lampu. Kota… harus berkilau.”
Samirah menatapnya sejenak. “Kota juga butuh tempat berhenti. Kalau semua berkilau, siapa yang menampung lelah?”
Sabrang terkekeh, memutar cincin di jarinya. “Kamu ini… puitis. Tapi tender itu angka. Lobby itu seni bertulang uang. Tenang, aku yang urus. Kamu fokus gambar saja.”
Di sudut ruangan, Arya mengetuk-ngetuk meja pelan, tanda ia gelisah. Arya—teman lama yang kini bermitra dengan perusahaan mereka—menjadi jembatan ke para pengembang. Namanya di kartu nama tampak berat, seberat beban yang tak mau ia ceritakan. “Sudah, kalian berdua. Jangan bikin suasana makin tegang,” katanya.
Samirah tahu apa yang tak diucapkan itu: tanpa bicara, orang sudah tak nyaman. Kehadirannya kerap jadi cermin. Banyak yang tak tahan bercermin lama-lama.
.
Proyek Koridor Kalimas adalah mimpi baru kota: menghidupkan kembali sungai yang dulu jadi urat nadi perdagangan, memulangkan orang ke air yang mereka lupakan. Di atas kertas, Ruang Senyap Samirah sederhana: deret bale-bale kayu, naungan dari anyaman logam bermotif ukir madura, taman hujan yang menampung air dari atap lalu menetes pelan—suara yang meredakan kepala. Ada jalur sepeda, ada kios buku bekas, ada ruang untuk busker yang bersih. Ia menyisipkan mushala kecil tanpa menara, hanya ruang lapang dengan angin yang jujur.
“Energi orang kota mahal,” katanya saat presentasi internal, “maka jangan dihabiskan untuk mencari tempat diam. Sediakan saja. Seperti bangku di rumah.”
Sabrang memutar slide berikutnya: gambar render penuh lampu LED, kubah kaca, dan air mancur yang menari. “Ini versi saya. Instagrammable. Sponsor pasti masuk.”
“Orang iri tanpa alasan,” pikir Samirah, “kadang hanya karena kau berani memilih yang tenang.”
.
Malam itu Zulaikha datang ke apartemen kecil Samirah di Rungkut. Hujan berhenti, tapi mata Zulaikha masih deras.
“Aku nggak tahan, Sam. Ia selalu membanding-bandingkan. Katanya aku tidak cukup cantik untuk kumpulan teman-temannya. Katanya aku terlalu serius. Kamu seperti Samirah, katanya. Dan itu selalu diucapkan seperti caci.”
Samirah mendiamkan air di panci mendidih, menyiapkan mi instan favorit mereka sejak SMA: telur setengah matang, potongan cabai rawit, bawang goreng. Tidak ada makanan terapi selain ini. “Aku minta maaf sudah membuatmu jadi standar yang tak enak,” kata Samirah.
Zulaikha tertawa kecut. “Bukan salah kamu. Orang kalau tak nyaman dengan dirimu, seringnya karena dia menemukan kekurangan dirinya di situ.” Ia menatap Samirah lama. “Kamu kuat sekali.”
“Aku kuat karena tak ada pilihan lain,” jawab Samirah. “Kamu juga.”
Mereka makan mi di lantai, menghadap jendela, memandangi garis lampu tol Waru yang memanjang seperti kalimat yang tak kunjung selesai.
“Bolehkah aku bilang sesuatu?” tanya Zulaikha.
“Bilang.”
“Aku iri padamu.”
Samirah menoleh. “Kenapa?”
“Karena hidupmu tertata. Kamu tahu apa yang kamu mau. Kamu tak perlu terlihat baik, tapi kamu jadi orang baik. Aku… sering ingin menyenangkan semua orang, akhirnya lupa menyenangkan diri sendiri.”
“Kupikir kamu tahu jawabannya,” kata Samirah, “tapi kamu takut menagihnya pada dirimu.”
.
Dua minggu jelang tender, kabar buruk datang seperti pesan gelap pukul dua dini hari. Ayah Samirah, yang tinggal sendirian di Sumenep, jatuh di kebun sawo. Kabar itu datang dari tetangga, lalu dari kepala desa. Ayah dilarikan ke RSUD. “Tidak gawat,” kata dokter via telepon, “tapi perlu kontrol rutin. Hati-hati gula darahnya.”
Samirah menatap layar ponsel yang padam, lalu menyalakan jam weker: pukul empat dini hari ia akan berangkat. Ia menuliskan pesan di grup: Saya ambil cuti harian. Site visit Bangkalan sekalian menjenguk ayah. Ia menambahkan tiga emoji payung, agar semua tahu ia tidak sedang bercanda.
Sabrang membalas: Jangan lama-lama. Revisi masih banyak.
Arya menulis pribadi: Kalau perlu kendaraan, kabari. Aku antar sampai Suramadu.
Samirah menolak halus. Ia naik travel dari terminal Bungurasih, duduk di kursi belakang, memeluk ransel seperti pelindung dada. Di mata kirinya, jembatan Suramadu perlahan tumbuh dari kabut pagi: lengkung baja yang menyambungkan cerita daratan dengan pulau, masa kecil dengan masa kini. Di seberang, perajin ukir kayu yang ia butuhkan menunggu di sebuah bengkel sederhana—motif ukir yang ingin ia adaptasi ke peneduh Ruang Senyap.
Di RSUD, ayahnya—Hamzah—menyambut dengan senyum yang dipaksakan. “Kau datang, Mirah,” katanya, memanggil nama kecil yang hanya ia pakai. “Tak usahlah semua ditanggung sendiri. Hidup ini bukan proyek tender.”
Samirah menahan tawa dan haru sekaligus. Ayahnya selalu punya cara menyulap nasihat menjadi humor. “Aku akan mengatur jadwal kontrol, Yah. Jangan bandel makan.”
Hamzah memandang ke luar jendela. “Kau tahu,” katanya pelan, “di kota orang sering punya banyak suara. Tapi yang menyehatkan bukan yang paling keras. Yang menyehatkan adalah yang membuatmu bisa mendengar dirimu sendiri.”
Samirah mengangguk. Ia mengabadikan kalimat itu di catatan ponsel, menamainya: Nasihat Suramadu #1.
Sebelum kembali ke Surabaya, ia mampir ke bengkel ukir di Bangkalan. Anak muda bernama Wirapati menyambut, tangannya hitam oleh serbuk kayu. “Motif yang Mbak mau itu motif labang mesem,” katanya, “asli sini. Filosofinya, pintu yang tersenyum.”
“Cocok,” kata Samirah. “Ruang kami butuh pintu yang menyambut, bukan portal yang memamerkan diri.”
Wirapati tertawa. “Kalau mau, kita bisa pakai plat baja tipis, disablon lalu dilaser. Motifnya tetap madura, tapi bahannya urban.”
“Urban yang ingat kampung,” balas Samirah. Mereka berjabat tangan, menyepakati harga yang wajar. Di kepalanya, Ruang Senyap tiba-tiba punya wajah.
.
Kembali di kantor, Sabrang memanggilnya ke ruang rapat. Di meja, render Samirah yang dirahasiakan di server kini terpampang lengkap… dengan watermark nama Sabrang di pojok bawah.
“Aku cuma perbaiki detail,” kata Sabrang, sadar Samirah menatap seperti pisau. “Tender besok. Kita harus satu suara. Nama di pojok bukan soal.”
“Nama di pojok bisa jadi soal panjang,” kata Samirah tenang. “Tapi sekarang bukan waktunya berantem. Presentasi jam berapa?”
“Jam sembilan pas. Kamu ngomong bagian teknis. Aku bagian storytelling.”
Samirah mengetuk meja sekali. Ia tahu permainan itu: banyak yang meremehkanmu, lalu kaget melihat hasilnya. Tapi sekarang yang harus ia jaga bukan kejutannya, melainkan hasilnya. Ia menyalakan laptop, memeriksa ulang semua file, memastikan setiap angka load dan rainwater harvesting tak bisa disangkal.
Malamnya, ia kembali menerima pesan Zulaikha: Aku sudah memutuskan. Aku akan pergi. Samirah hanya membalas: Aku di sini. Besok tender. Setelah itu aku menyusulmu ke kos. Kita bereskan satu-satu. Zulaikha hanya mengirim satu ikon hati yang murung.
.
Pagi tender, hujan menahan diri agar kota punya kesempatan bernapas. Ruang presentasi di kantor pemerintah kota luas dan dingin, dindingnya dihiasi foto-foto wali kota terdahulu. Juri duduk rapi; sekretaris bolak-balik membawa handout.
Sabrang membuka presentasi dengan senyum yang ia pinjam dari seminar motivation talk. “Bapak-Ibu,” katanya, “kami percaya kota ini butuh ikon baru yang instagrammable. Kami membawa konsep Kalimas Sparkle….”
Samirah menatap layar, menahan diri untuk tidak membuka mulut. Kalimas Sparkle adalah judul yang tidak pernah ia dengar. Gambar-gambar lampu LED dan kubah kaca berkelebat. Lalu, di detik yang ia khawatirkan, Sabrang beralih ke slide Ruang Senyap—milik Samirah—dan menyebutnya “zona transisi”. Disebutnya itu sebagai “bumbu humanis untuk melengkapi kemegahan.”
Seorang juri, perempuan berusia empat puluhan dengan kacamata bingkai tipis, mengangkat tangan. “Maaf, saya tertarik dengan zona transisi itu. Bisa dijelaskan lebih mendalam?”
Sabrang tertegun. Ia melirik Samirah. “Silakan,” katanya.
Samirah maju. Ia tidak membawa catatan—seluruh ide itu sudah lama tinggal di belakang matanya. Ia bicara pelan, menggunakan jeda, tidak ingin seperti pedagang yang menawarkan barang di pasar yang gaduh.
“Kota ini,” katanya, “lelah. Orang-orangnya berangkat pagi, kembali malam, dan menghabiskan waktu di lampu merah. Kami ingin memberi ruang yang tidak berteriak, tempat seseorang bisa menunduk, menata napas, menata doa. Ruang Senyap kami bukan kuburan bagi keramaian, melainkan selasar untuk memulangkan manusia ke dirinya.”
Ia menjelaskan detail teknis: aliran air hujan, material kanopi laser bermotif labang mesem, drainage pori-pori yang menyerap kembali ke tanah, integrasi jalur pesepeda, kios buku bekas yang dikelola komunitas, ruang shalat yang bersahaja. Setiap detail disandingkan dengan perkiraan biaya dan maintenance.
Tiba-tiba, ruang itu seperti mencondongkan badan. Beberapa juri saling pandang. Seorang juri lain, berkumis tebal, bertanya, “Kalau malam hari, bagaimana menjaga keamanan tanpa membuatnya berubah jadi ajang pamer lampu?”
“Lampu kami cukup untuk melihat wajah,” jawab Samirah, “bukan untuk memaksa orang lain melihat kita.”
Hening sesaat. Lalu tepuk tangan. Tidak riuh, tapi cukup untuk membuat Sabrang memutar cincin di jarinya lebih cepat.
Usai presentasi, Arya menghampiri. Suaranya lirih. “Kamu tadi… tajam. Kamu tahu kan, akan ada yang tak nyaman.”
“Sudah biasa,” kata Samirah. Tanpa bicara, orang sudah tak nyaman. Ia menunduk, seolah berteduh dari pujian.
.
Dua hari kemudian, kabar tender datang melalui surel resmi: pemenang adalah konsep Ruang Senyap—Koridor Kalimas. Nama perusahaan tercantum, tanpa nama perancang. Kabar itu berputar di grup WhatsApp kantor seperti kue ulang tahun yang diperebutkan. Ada yang mengirim stiker jempol, ada yang hanya menulis: Mantap. Sabrang diam lama, lalu menulis: Tim kita hebat.
Samirah mematikan ponsel. Ia berdiri di balkon apartemennya, melihat ke kejauhan. Di bawah, tukang bakso dorong menyalakan arang; asapnya naik seperti doa yang lupa alamat. Di kepalanya, ada suara ayah: Yang menyehatkan adalah yang membuatmu bisa mendengar dirimu sendiri.
Malamnya, Zulaikha mengirim foto sebuah koper di taksi daring. Aku pindah ke kos baru. Boleh kamu datang? Samirah menulis balasan cepat: Sebentar lagi. Ia memakai sandal, membawa payung, dan turun.
Di kos kecil itu, Zulaikha duduk di lantai di antara kardus. Wajahnya kosong seperti kertas HVS yang baru keluar dari mesin fotokopi. “Aku takut,” katanya.
“Takut itu wajar,” jawab Samirah. “Yang tidak wajar adalah terus tinggal di tempat yang menghabiskan nyawamu perlahan-lahan.”
Zulaikha menangis, tetapi tangisan yang kini seperti jam dinding yang disetel pada waktu baru. “Kamu tahu,” katanya, “banyak orang meremehkanmu. Tapi begitu lihat hasilnya, mereka kaget. Aku juga ingin begitu. Kurang diremehkan apa aku selama ini.”
“Kamu bukan untuk dibuktikan ke siapa-siapa,” kata Samirah. “Kamu untuk dirimu.” Ia memeluk Zulaikha lama, dan di pelukan itu ada suara hujan seperti white noise yang menenangkan.
.
Kemenangan tender ternyata memanggil kecurigaan. Ada thread anonim di media sosial, menuduh desain Ruang Senyap diambil dari proyek luar negeri. Ada pesan “peringatan” di inbox kantor: untuk mempercepat perizinan, ada “dukungan logistik” yang mesti dikirim ke pejabat tertentu. Komisi yang tumbuh seperti lumut di dinding kamar mandi usang.
Arya menemuinya di warung rawon dekat kantor, jam sembilan malam. “Aku ingin jujur,” katanya, “mereka menawar jalur cepat. Tapi aku tahu kamu membenci jalur begitu. Bahkan membenci aku kalau aku menyebutnya.”
Samirah memandangi potongan daging yang berenang di kuah hitam. “Aku tidak membenci kamu,” katanya. “Aku cuma akan pergi kalau ruang ini dipaksa kotor.” Ia meletakkan sendok. “Apa kamu siap jika prosesnya jadi lebih lama? Siap dengan gosip bahwa kita ‘tak punya jalur’?”
Arya menghela napas panjang. “Siap,” jawabnya, meski suaranya mengandung tanda tanya. “Aku belajar sesuatu darimu: kalau semua orang menyerah pada kebiasaan buruk, lalu siapa yang menandai arah?”
Mereka pulang larut. Di jalan, spanduk kampanye tua berkibar-kibar seperti baju kering yang tak kunjung diambil.
.
Pagi berikutnya, ayah Samirah pingsan lagi. Kali ini di beranda rumah, saat menyiram bonsai kelapa. Tetangga mengabari; Samirah menaiki kereta ke Sumenep lewat lamunan panjang yang mengantarnya pada dirinya yang kecil, yang dulu sering duduk di pangkuan ayah mendengar kisah Menak Madura: Amir yang melintasi padang keraguan; Raden yang berkelahi melawan dirinya sendiri; Zulaikha yang sabarnya bisa menampung hujan. Nama-nama itu kembali sebagai kawan-kawan lama: Arya, Sabrang, Wirapati. Ia tersenyum sendiri. Hidup memang suka mengulang kisah melalui wajah-wajah baru.
Di RSUD, Hamzah membuka mata perlahan. “Mirah,” katanya, “kalau kau lelah, berhenti. Tapi jangan menepi karena kebencian orang. Itu jalan buntu.”
“Aku tahu, Yah.”
“Dan—” ia berhenti, mengambil napas panjang, “kalau kau rindu, pulang. Rindu itu bukan kelemahan. Itu tanda kita masih punya tempat.”
Samirah menggenggam tangan ayahnya yang tipis. “Aku akan sering pulang,” katanya. Nasihat Suramadu #2 lahir.
Sebelum kembali ke Surabaya, ia singgah lagi ke bengkel Wirapati. Mereka menempel motif labang mesem pada plat baja. Wirapati bekerja dengan mata yang berbicara: ini bukan sekadar pesanan; ini potongan rumah kami yang kami titipkan ke kota.
Saat mobil pick-up mengantar prototipe ke Surabaya, Samirah menatap langit yang telah lelah berwarna kelabu. Angin laut membawa bau garam, dan di tengah jembatan ia menangkap siluet kapal nelayan. Semuanya terasa seperti halaman buku yang tersusun rapi: setiap peristiwa menemukan letaknya.
.
Pengerjaan Ruang Senyap dimulai. Di tepi Kalimas, di antara deret gudang tua dan kios suku cadang, bangku-bangku dari kayu ulin dipasang, peneduh bermotif labang mesem berdiri, mengirimkan bayangan seperti ukiran di tanah. Komunitas pesepeda datang; anak-anak membaca buku bekas yang murah; ibu-ibu menyiapkan lapak kecil menjual pisang goreng. Jalur air hujan diuji: menetes pelan, menulis puisi tipis di udara.
Suatu sore, Sabrang datang, berdiri di bawah naungan peneduh, memandang ke sungai yang berkilat like minyak goreng. “Kamu menang,” katanya, suaranya tanpa duri.
“Kita,” sahut Samirah.
“Tidak,” Sabrang menatap kosong, “kamu. Aku sadar, aku membencimu bukan karena kamu menyulitkan jalan, tapi karena kamu menunjukkan jalan yang selama ini aku hindari.”
“Jalan itu selalu ada,” kata Samirah, “tapi tak semua orang siap menghitung harganya.”
Sabrang mengangguk. “Energi kamu mahal, Sam. Aku sering menertawakan itu. Sekarang aku tahu kenapa mahal: karena kamu membelinya dengan kesepian.”
Kalimat itu mendarat tepat di tempat yang paling sepi di dada Samirah. Ia tidak menjawab. Di atas mereka, peneduh mengirim bayangan motif tersenyum ke wajah Sabrang—seolah ukiran itu mengerti perkelahian manusia dengan dirinya sendiri.
.
Peresmian Ruang Senyap diadakan pada malam yang jernih. Wali kota datang tanpa pidato panjang. Lampu-lampu yang tenang menyirami wajah orang-orang; anak kecil berlari mengelilingi mushala yang tak tinggi; pedagang buku bekas menyusun Pramoedya berdampingan dengan komik superhero. Di panggung kecil yang tidak disebut panggung, seorang pemusik jalanan menyanyikan lagu yang diciptakannya tadi siang di bawah pohon trembesi: “Di kota yang berisik, biarkan aku menua pelan-pelan.”
Zulaikha hadir dalam balutan kerudung gelap, matanya jernih dengan luka yang sedang sembuh. “Aku sudah menandatangani berkas,” katanya, “Aku takut, tapi lega.” Ia menggenggam tangan Samirah. “Terima kasih jadi rumah yang tak banyak bicara.”
“Rumah tidak perlu banyak bicara,” kata Samirah. “Ia cukup berdiri dan mengundang pulang.”
Malam semakin penuh. Orang-orang duduk, tidak ingin cepat-cepat pulang gara-gara tempat ini mengubah cara memaknai pulang. Tim kantor datang bergantian, ada yang manggut-manggut, ada yang mengambil foto dan menulis caption bijak di media sosial. Tanpa sadar, kamu jadi tempat curhat banyak orang—kalimat itu terlintas di kepala Samirah, bukan sebagai keluhan, melainkan sebagai fakta yang diterima.
Di sudut, Arya memanggilnya. “Ada kabar yang mungkin kamu suka,” katanya. “Komunitas arsitek muda ingin mengadopsi konsep Ruang Senyap untuk beberapa koridor kota lain. Mereka bilang ini ‘model kota yang memanusiakan.’”
“Kabar bagus,” kata Samirah.
“Ada satu lagi. Investor asing mundur karena tak ada jalur fast track. Tapi UMKM sekitar siap urunan untuk perawatan. Mereka membentuk koperasi. Kau benar: rumah harus dirawat orang yang tinggal di sekitarnya.”
Samirah mengangguk. Di dalam dadanya, satu pintu terbuka dan angin masuk, menyejukkan. Ia membayangkan ayahnya duduk di bangku Ruang Senyap, menatap air yang tenang, menggumamkan doa yang sederhana: urip iku urup, hidup adalah menyala. Ia mengirim kabar ke ayah, yang membalas: Bangga. Tapi jangan lupa makan.
.
Beberapa bulan berlalu. Ruang Senyap menjadi kebiasaan baru. Ada pekerja yang setiap pagi duduk lima menit sebelum masuk kantor; ada ibu-ibu yang menjual pisang goreng sambil membaca novel; ada remaja yang berhenti memaki lalu menulis rap tentang kota yang ia cintai. Tak ada lampu yang memaksa, tak ada kubah yang berteriak. Ada wajah-wajah yang sanggup dipandang, dan itu cukup.
Suatu senja, Sabrang mendekat lagi. “Aku akan pindah,” katanya, “ke kota lain. Aku ingin mencicil jalan yang kau tunjukkan.”
“Semoga kau yang baru lebih damai,” kata Samirah.
Sabrang mengangguk, lalu menambahkan, “Kau tahu, kamu dibenci tapi dicontoh. Bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu membuktikan kita bisa bertahan tanpa harus jadi pameran. Itu menyulitkan orang yang masih ingin pamer.”
Samirah tersenyum samar. “Kalau aku tak lagi jadi cermin buat mereka, mungkin artinya aku sudah tak relevan. Jadi biar saja.”
“Bukan begitu. Kamu sudah berubah dari cermin jadi jendela,” jawab Sabrang, “orang kini melihat keluar dari situ.”
Kata-kata itu menetap lama di telinga Samirah, lebih lama daripada tepuk tangan dalam peresmian, lebih lama dari notulen rapat. Ia pulang melewati Tunjungan yang kini sering dihidupkan musik jalanan; ia membeli dua buku bekas: satu untuk Zulaikha, satu untuk ayah. Di rumah, ia mengirimkan paket kecil ke Sumenep, bersama catatan: Nasihat Suramadu #3: yang paling kuat bukan yang paling keras, melainkan yang paling tulus bertahan.
.
Suatu malam, kota sengaja memadamkan sebagian lampu untuk simulasi hemat energi. Ruang Senyap menjadi lebih senyap. Orang-orang duduk, mendengar air menetes, mendengar napas sendiri. Di bangku yang paling ujung, seorang laki-laki muda memegang gitar tetapi tak memetiknya—seolah-olah ia sedang mendengar musik yang datang dari arteri kota.
Samirah duduk dua bangku darinya. Ia tidak ingin mengklaim tempat ini sebagai miliknya; ia hanya ingin hadir seperti orang lain yang membutuhkan jeda. Di layar ponsel, pesan baru muncul dari nomor tak dikenal: Terima kasih atas ruang yang membuat saya batal memaki seseorang malam ini. Ia membaca ulang, tersenyum, lalu mematikan ponsel. Tidak semua terima kasih harus dibalas dengan kata-kata; beberapa cukup diantar pulang oleh senyap.
Di langit, kabut ringan bergeser, membuka bintang yang jarang terlihat di kota. Samirah mengangkat wajah. Di kejauhan, ia membayangkan jembatan Suramadu memanjang seperti kalimat, menghubungkan yang diremehkan dengan hasil yang mengejutkan. Menghubungkan rumah yang sederhana dengan kota yang ingin belajar pelan-pelan.
Ia menutup mata. Di balik kelopak, ia mendengar suara ayah, suara Zulaikha, suara Sabrang, suara Arya, dan suara Wirapati—suara yang tak saling berlomba, hanya saling memberi tempat. Ia tersenyum kecil. Barangkali itulah hadiah terbesar dari semua ini: bukan kemenangan tender, bukan pujian publik, melainkan kemampuan untuk duduk bersama suara-suara di dalam diri—tanpa kebisingan, tanpa topeng.
“Berjuanglah dengan tenang. Biar keberhasilanmu yang mengagetkan dunia.”
Dan malam itu, di tepi Kalimas yang kembali menjadi nadi, Ruang Senyap melanjutkan tugasnya: menampung langkah yang gugup, menenangkan hati yang serak, dan menjadi saksi bahwa dalam kota yang berisik, ada orang-orang yang memilih menata hidupnya diam-diam—untuk kemudian berjalan lebih jauh daripada yang pernah mereka duga.
.
.
.
Jember, 4 September 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #CeritaUrban #Surabaya #RuangSenyap #MenakMadura #KisahPerempuan #InspirasiHidup #Kalimas #Suramadu