Ruang Hening Panji
“Tidak semua orang yang banyak bicara sedang berbagi pengetahuan;
sebagian hanya sedang menambal ketakutannya sendiri.”
.
Sejak kecil, Panji diajari ayahnya satu kalimat yang selalu melekat di kepalanya:
“Wong pinter ora kudu keminter.
Wong ngerti ora kudu nerangke kabeh.”
Ayahnya mengucapkannya di teras rumah lama di Malang, di antara bunyi sendok menabrak gelas teh dan radio butut yang memutar berita jam tujuh malam. Waktu itu Panji tidak terlalu paham. Baginya, pintar berarti berani bicara di depan kelas, mengoreksi guru kalau salah menulis di papan, mengutip buku-buku yang belum dibaca teman-temannya.
Baru bertahun-tahun kemudian, di sebuah ruang rapat kaca di lantai 27 gedung perkantoran di Jakarta Selatan, kalimat itu terasa menamparnya.
.
Ruang rapat itu modern, dingin, dan terlalu terang. Di luar, lalu lintas Jakarta macet seperti biasa; lampu-lampu mobil membentuk garis-garis merah yang tak putus. Di dalam, layar besar menampilkan slide bertuliskan:
“REBRANDING STRATEGIS: SUDUT KOTA, NAFAS BARU”
Panji menarik napas pelan. Ini adalah presentasi terpenting dalam separuh kariernya. Ia baru setahun pindah dari Surabaya, meninggalkan kenyamanan sebagai manajer di sebuah hotel bintang empat, demi melompat ke dunia konsultansi brand dan komunikasi. Fee lebih besar, jam kerja tak tentu, dan yang paling melelahkan: ego orang-orang yang harus dihadapi.
Di ujung meja, duduk seorang pria dengan kemeja slim fit dan jam tangan yang harganya setara DP apartemen studio. Namanya Kelana. Usianya sekitar awal empat puluhan, dengan rambut ditata ke belakang dan wangi parfum yang kuat. Di lingkungan kantor, orang menyebutnya “Wikipedia berjalan”—bukan karena akurat, tapi karena selalu punya sesuatu untuk dikatakan.
Di samping Panji, duduk Sekar, associate muda yang ia rekrut dari kampus ternama. Pintar, rajin, dan punya kepekaan alami membaca orang. Di layar laptop Sekar, catatan-catatan kecil terlihat rapih, warna-warni.
“Baik, kita mulai saja,” ujar Ragil, sang direktur kreatif, mencoba menjaga suasana ringan. “Panji, Sekar, kalian sudah lihat brief terbaru dari klien. Tapi sebelum itu, mungkin Kelana mau share insight awal?”
Panji bisa menebak apa yang akan terjadi bahkan sebelum Kelana membuka mulut.
“Sebenernya,” Kelana mengangkat dagu sedikit, suaranya mantap, “kalau kita ngomongin rebranding hotel keluarga seperti ini, yang benar itu begini. Kita nggak bisa cuma ngomong pengalaman tamu. Kita harus bicara soal psychographic segmentation audiens. Kalau kamu tahu framework-nya Kotler generasi anyar, sebenarnya…”
Panji berhenti mendengar kata-katanya sejak “sebenarnya” yang pertama. Matanya justru bergerak ke ekspresi orang-orang di ruangan. Ragil pura-pura mencatat di iPad, padahal ujung stylus hanya menggambar-gambar lingkaran. Sekar berusaha menjaga wajah netral, tapi Panji melihat jemari gadis itu berhenti mengetik.
Kelana terus bicara. Panjang. Lebar. Dengan istilah teknis yang sebagian bahkan tidak relevan.
Panji tersenyum tipis.
Ini dia, batin Panji.
Orang yang takut terlihat tidak tahu, lalu menutup ketakutan itu dengan kalimat-kalimat panjang.
.
Tiga tahun lalu, di Surabaya, Panji akan memotong orang seperti Kelana dengan data, grafik, dan logika besi. Debat jadi sengit, ruangan memanas, dan meskipun idenya menang, ia pulang dengan dada sesak dan teman yang berkurang. Salah satu konflik itu bahkan membuatnya meninggalkan kantor lamanya; sebuah luka karier yang hingga kini masih terasa.
Sejak saat itu, ia memutuskan belajar hal lain: bukan hanya bagaimana berbicara, tapi bagaimana mendengar. Bukan hanya bagaimana menang argumen, tapi bagaimana menang dalam keutuhan hidupnya.
Ada satu artikel yang pernah ia baca dari sebuah kampus Ivy League—entah benar Harvard atau hanya dikutip berantai—yang intinya menggelitik: orang yang terlalu banyak menjelaskan, justru lebih sering salah memahami konteks. Panji tak terlalu peduli keabsahan penelitiannya, tapi ia sangat percaya pada fenomenanya. Ia melihatnya setiap hari.
Di ruang rapat, di kolom komentar media sosial, di sesi brainstorming yang berubah jadi monolog.
“Orang sok pintar bukanlah ancaman terbesar,” tulisnya suatu malam di catatan ponsel, “mereka hanya cermin dari ketakutan kita sendiri untuk terlihat bodoh.”
Malam itu, ia menulis enam poin kecil sebagai pengingat pribadi. Hari ini, di ruang rapat kaca, enam poin itu terlintas satu per satu.
.
1. Dengarkan tujuan, bukan kalimat.
Panji memiringkan kepala sedikit, seolah tengah benar-benar menyerap setiap kata Kelana. Padahal Ia sedang mencari sesuatu yang lain: tujuan dari semua penjelasan itu.
Bukan kebenaran.
Bukan solusi.
Tapi validasi.
Kalimat-kalimat Kelana memutar, mengulang, seperti seseorang yang berdiri di depan cermin, mengagumi bayangannya sendiri.
“…ini kan soal positioning. Kalau kamu liat brand global, sebenernya mereka itu—”
“Menarik pandanganmu,” Panji menyelipkan satu kalimat pendek ketika Kelana berhenti sebentar untuk menarik napas.
Hanya begitu. Tidak disanggah, tidak ditantang, tidak pula dipuji berlebihan.
“Menarik, ya?” Kelana tersenyum, merasa diakui. “Iya dong. Soalnya kalau kita cuma mikir lokal, ya sampai kapan pun nggak akan naik kelas.”
Panji membiarkannya. Energi di ruangan terasa turun satu tingkat. Ragil menghela napas lega; jari-jarinya berhenti menggambar lingkaran.
Sekar melirik Panji sekilas. Ada ucapan terima kasih yang menggantung di sudut matanya.
.
2. Perhatikan bahasa tubuhnya.
Kelana kembali meneruskan monolognya, kali ini tentang “customer journey 4.0” dan sesuatu mengenai “hyper-personalization”. Tangannya bergerak-gerak, menunjuk ke slide yang belum ia lihat, menandai udara seperti sutradara film.
Dagu terangkat.
Bahu tegak.
Bahkan cara duduknya menunjukkan bahwa yang ingin ia bangun bukan ide, melainkan citra.
Panji meluruskan punggungnya, lalu sengaja bersandar santai. Ia menggeser kursinya sedikit, memberi ruang kosong di antara tubuhnya dan meja. Alih-alih melawan energi agresif itu, ia melepaskannya begitu saja.
Sekali waktu, ia menatap langsung ke mata Kelana ketika pria itu berhenti sesaat.
Anggukan Panji pelan. Tenang. Tidak setuju, tidak juga menolak. Hanya memberi cermin halus: “Aku mendengar, tapi aku tidak sedang memberi panggung penuh.”
Seperti yang ia duga, perlahan gerakan tangan Kelana melemah. Kalimat-kalimatnya mulai kehilangan ketajaman.
.
3. Amati kata pembuka dan penutup.
“Yang bener itu begini,” kata Kelana, lagi-lagi memulai kalimat baru.
Panji hampir tersenyum. Ia mulai bisa memprediksi ritmenya.
“Kalau kamu tahu data occupancy hotel-hotel kota ini, sebenernya…”
“Itu perspektif yang menarik,” Panji menyisip, lembut namun cukup jelas untuk terdengar semua orang, “tapi bagaimana kalau kita lihat dari sisi tamu lokal yang selama ini dianggap ‘biasa’ oleh hotel-hotel lama?”
Ruangan hening sejenak.
Kelana terhenti di tengah kalimat. Ada kilatan tak rela di matanya, tapi Panji tidak menyerang. Ia tidak mematahkan, hanya menggeser.
Ragil mengangkat alis, lalu segera menangkap peluang.
“Ya, itu menarik,” sambung Ragil. “Kita memang minta Panji dan Sekar eksplor sisi itu. Tamunya kelas menengah mapan, tinggal di apartemen, kerja di coworking, anaknya sekolah internasional, tapi masih punya ibu yang suka masak sayur asem sendiri di rumah. Bener, Ji?”
Panji mengangguk pelan.
“Inilah bagian yang ingin kami presentasikan,” katanya. “Kalau teman-teman setuju, mungkin kita bisa lihat konsepnya dulu, setelah tadi insight dari Kelana.”
Kalimat penutup Kelana—yang mungkin akan berisi penegasan bahwa “jadi yang bener gini”—tertelan begitu saja. Bukan karena dibantah, tapi karena narasi berpindah dengan elegan.
.
4. Gunakan pertanyaan balik yang menelanjangi maksud.
Presentasi berjalan. Sekar memaparkan insight riset lapangan: wawancara dengan keluarga muda di Bintaro, pasangan dual career di Surabaya yang sering ke Jakarta, single professional yang memilih staycation di hotel sebagai “minggat sejenak” dari tekanan kerja.
Slide demi slide menampilkan foto-foto: lobi hotel lama yang pengap, kamar yang terlalu gelap, sarapan yang penuh kertas label tapi hambar. Di sampingnya, potongan percakapan:
“Hotel ini enak, tapi rasanya kayak rumah orang tua yang tidak pernah diubah,” tulis salah satu responden.
“Fasilitas lengkap, tapi aku tidak merasa dilihat,” tulis yang lain.
Di tengah paparan Sekar, suara Kelana kembali menyela.
“Menurutku kalian terlalu sentimentil,” katanya, menggeleng kecil. “Yang dicari tamu itu value for money dan fasilitas. Mereka nggak mikir sejauh itu. Kamu salah memahami konsep customer value kalau terlalu fokus ke perasaan kayak gitu.”
Sekar terdiam. Jemarinya berhenti di atas keyboard.
Panji bisa merasakan dada gadis itu mengencang, dari cara ia menarik napas pendek. Ia pernah muda, pernah dipatahkan kalimat seperti itu.
“Lalu, bagaimana kamu memahaminya?” tanya Panji pelan.
Pertanyaan itu jatuh di tengah meja, jernih seperti tetesan air di ruangan yang terlalu kering.
Kelana berkedip. “Maksudmu?”
“Kamu tadi bilang Sekar salah memahami pelanggan,” Panji menatapnya tanpa marah. “Aku ingin belajar dari perspektifmu. Menurutmu, apa definisi customer value di konteks hotel keluarga yang mau upgrade kelas tanpa kehilangan jiwa lamanya?”
Dalam sekejap, posisi bergeser. Dari tudingan menjadi undangan.
Kelana mengerutkan kening, mencari-cari jawaban di udara.
“Ya… customer value itu… ya itu. Harga, fasilitas, dan… dan…”
Sekar, yang semula menunduk, kini menatap lurus ke meja, menahan senyum tipis.
Kadang-kadang, pertanyaan yang tenang lebih telanjang daripada seribu bantahan.
.
5. Pisahkan isi dari ego.
Rapat memasuki fase diskusi terbuka. Beberapa staf lain mengutarakan pendapatnya: Dewi dari digital marketing, Sewandana dari tim finance, dan Candra dari operation hotel.
Ide-ide bercampur: paket bundling staycation dengan kelas memasak resep ibu, weekend escape untuk pekerja kantoran yang ingin menghilang dari notifikasi, ruang bermain anak yang tidak hanya penuh warna, tapi juga cerita.
Sesekali, Kelana masih mencoba mengarahkan pembicaraan ke teori-teori besar. Tapi Panji sudah tahu pola dasarnya: di balik setiap kalimat ada ego yang ingin diperhatikan.
“Jadi, konsep kalian ini agak berbahaya,” kata Kelana suatu saat. “Kalau terlalu fokus ke cerita, nanti cost-nya tinggi. Menurutku, kalian terlalu idealis.”
“Terima kasih, ini valid,” jawab Panji. “Aku suka poin logikanya soal cost. Tapi mungkin konteksnya memang berbeda, karena di sini kita bicara long-term brand equity juga, bukan cuma occupancy bulan depan.”
Ia mengakui bagian yang berguna: soal biaya, soal risiko. Ia membiarkan ego Kelana tetap utuh, tanpa menghinanya, sambil tetap memegang substansi.
Bagi Panji, ini seperti melangkah di lantai kaca: harus hati-hati, tapi bukan berarti ketakutan.
Di dalam dirinya, ia ingat kembali suara ayahnya:
“Aja gelut karo ego wong, Ji. Kowe ora bakal menang. Menangmu mung yen batinmu tetep waras.”
Jangan berkelahi dengan ego orang. Kau tidak akan menang. Kemenanganmu hanya ketika batinmu tetap waras.
.
6. Gunakan keheningan sebagai senjata.
Rapat mendekati akhir. Semua poin sudah cukup jelas; timeline, pembagian tugas, dan rencana presentasi ke pemilik hotel minggu depan.
Tapi seperti biasa, sebelum pertemuan berakhir, Kelana ingin menutup dengan kalimat “pamungkas”.
“Jadi, intinya gini,” katanya, menghela napas seolah baru saja mengangkat beban ruangan. “Kalau kalian mau rebranding, ya ikutin saja standar global. Jangan terlalu sentimental, jangan terlalu banyak cerita. Yang penting strong call to action, clear benefits, dan competitive pricing. Oke?”
Biasanya, orang-orang akan mengangguk saja demi mengakhiri rapat. Tapi kali ini, Panji memilih diam.
Ia menatap agenda rapat di depannya, menelusuri poin-poin yang sudah disepakati: segmentasi baru, pengalaman tamu, pelatihan staf untuk cara menyapa, interior yang memadukan nuansa lama dan modern.
Hening beberapa detik. Tidak ada yang menimpali.
Kelanan melirik kanan-kiri, sedikit resah.
Panji baru mengangkat kepala ketika keheningan cukup lama untuk terasa berat.
“Aku rasa,” katanya perlahan, “poinmu sudah jelas, Kelana. Terima kasih sudah mengingatkan untuk tetap jaga sisi pricing dan call to action. Nanti kami integrasikan yang relevan ke dalam konsep final.”
Ia sengaja tidak membuka ruang debat. Kalimatnya menutup, bukan menggantung.
Rapat pun benar-benar selesai. Bukan dengan ledakan, tapi dengan tenang.
.
Di lift, hanya ada Panji dan Sekar. Lantai-lantai turun perlahan, memantulkan bayangan mereka di dinding metal.
Sekar memeluk laptopnya.
“Mas…” suaranya ragu, “aku tadi sempat… kesel. Rasanya pengin balas panjang lebar.”
Panji tertawa kecil.
“Wajar. Aku dulu juga begitu.” Ia menatap angka digital di atas pintu: 27, 26, 25… “Tapi aku belajar satu hal. Menang debat itu beda dengan menang dalam hidup.”
Sekar mengerutkan kening.
“Maksudnya?”
“Orang sok pintar itu bukan ancaman terbesar dalam percakapan,” Panji mengulang catatan lamanya, kali ini dengan suara keras. “Mereka itu refleksi dari orang-orang yang takut terlihat nggak tahu. Termasuk kita, kalau nggak hati-hati. Mereka bicara panjang lebar, bukan untuk berbagi, tapi untuk menegaskan superioritas semu.”
Sekar terdiam. Lift berhenti sebentar di lantai 19, tapi tidak ada yang masuk. Pintu tertutup lagi.
“Tapi kalau kita diam saja, apa itu nggak sama seperti setuju?” Sekar bertanya pelan.
“Diam yang takut beda dengan diam yang sadar,” jawab Panji. “Tadi kamu diam karena belajar, bukan karena kalah. Dan ketika kamu nanti bicara, kamu tahu kenapa.”
Lift berbunyi lembut ketika tiba di lobi. Suara ding yang biasanya Panji abaikan, kini terdengar seperti titik koma—bukan akhir, tapi jeda.
.
Malamnya, di apartemen kecilnya di Kuningan, Panji duduk di depan jendela, melihat kota yang tak pernah betul-betul gelap. Lampu-lampu gedung perkantoran, iklan digital yang terus berputar, dan lampu kendaraan yang menyusuri jalan layang.
Di meja kerja, ada laptop terbuka. Di layar, halaman kosong dengan kursor berkedip.
Ia menulis judul:
“Cara Elegan Menghadapi Orang Sok Pintar di Ruang Rapat dan Ruang Hidup”
Bukan untuk dipublikasikan besok, mungkin. Tapi untuk jadi bahan workshop kecil di kasus pelatihan internal yang sering ia bawakan untuk klien—para supervisor hotel, manajer marketing, dan mahasiswa magang yang baru belajar menakar suara.
Ia menuliskan enam poin itu lagi, kali ini dengan contoh-contoh nyata dari hari ini. Di akhir, ia menambahkan satu paragraf pendek:
“Menang melawan orang sok pintar bukan dengan kata yang lebih tajam,
tapi dengan ketenangan yang lebih cerdas.
Semakin kamu memahami motif di balik kalimat mereka,
semakin mudah kamu mengendalikan arah percakapan,
tanpa harus melukai siapa pun—termasuk dirimu sendiri.”
Ponselnya bergetar. Pesan dari Ragil.
Ragil:
Mas, makasih ya buat tadi. Cara kamu handle Kelana, elegan banget.
Owner suka konsepnya. Minggu depan pitch, you lead ya.
Sekar juga aku minta present bagian insight. She deserves the stage.
Panji membaca pelan-pelan. Ada sesuatu yang hangat mengalir di dadanya. Bukan euforia, tapi rasa lega yang tenang.
Ia membalas singkat.
Panji:
Siap, Rag. Makasih kembali.
Kita belajar pelan-pelan aja.
Yang penting, ruang rapat tetap jadi ruang tumbuh, bukan ring tinju.
Ia meletakkan ponsel, menyandarkan tubuh di kursi.
Di luar sana, kota tidak akan pernah kekurangan orang yang sok pintar. Di kantor, di kafe, di lingkungan perumahan elite yang penuh mobil listrik, bahkan di grup WhatsApp keluarga yang ribut soal investasi dan kesehatan.
Tapi malam ini, Panji merasa sedikit lebih siap.
Bukan karena ia merasa paling benar.
Justru sebaliknya.
Karena ia akhirnya berani mengakui bahwa ia pun pernah menjadi orang yang sama—dan ia tidak ingin kembali ke sana.
.
Beberapa hari kemudian, setelah sesi presentasi ke pemilik hotel yang berjalan lancar, Sekar mengirim pesan pada Panji.
Sekar:
Mas, hari ini aku ketemu orang sok pintar versi mini di grup diskusi kampus.
Aku coba pakai teknik ‘menarik pandanganmu’ dan hening yang Mas ajarin.
Rasanya… enak. Aku nggak capek.
Panji tersenyum membaca pesan itu sambil menunggu pesanan kopi di sebuah kafe.
Panji:
Bagus.
Di kota yang suaranya terlalu banyak,
kadang-kadang yang benar-benar berharga bukan suara paling kencang,
tapi keberanian untuk tetap tenang.
Ia menutup percakapan dengan satu pertanyaan singkat:
“Kalau minggu ini kamu ketemu orang seperti itu lagi,
langkah paling elegan apa yang mau kamu ambil?”
Panji menatap pertanyaannya sendiri.
Diam-diam, ia tahu, itu bukan hanya untuk Sekar.
Pertanyaan itu juga untuk dirinya sendiri.
Dan mungkin, untuk siapa pun yang pernah lelah berdebat di dunia yang terlalu ramai ini.
.
.
.
Malang, 21 November 2025
.
.
#OrangSokPintar #KomunikasiElegan #EmotionalIntelligence #RuangRapat #CerpenKota #KelasMenengahKeAtas #SoftSkillProfessional #BelajarMendengar #TidakHarusMenangDebat #NamakuBrandkuStyle
.
Quotes dari Cerpen
-
“Tidak semua orang yang banyak bicara sedang berbagi pengetahuan; sebagian hanya sedang menambal ketakutannya sendiri.”
-
“Orang sok pintar bukan ancaman terbesar dalam percakapan; mereka hanya cermin dari ketakutan kita sendiri untuk terlihat bodoh.”
-
“Diam yang takut berbeda dengan diam yang sadar. Yang satu menyerah, yang satu memilih waras.”
-
“Menang debat itu beda dengan menang dalam hidup.”
-
“Menang melawan orang sok pintar bukan dengan kata yang lebih tajam, tapi dengan ketenangan yang lebih cerdas.”
-
“Di kota yang suaranya terlalu banyak, keberanian terbesar adalah tetap tenang tanpa merasa perlu selalu terdengar paling kencang.”