Rembulan di Atas Lobi Hotel

“Kadang, yang membuatmu bertahan bukan lagi mimpi,
tapi kenangan yang kau jaga dengan penuh hormat pada nilai-nilai lama.”

.

Jakarta, sehabis hujan. Aroma tanah basah dari taman kecil di tepi drop-off bercampur kopi yang diseduh barista shift malam. Azmi berdiri di balik kaca lobi Hotel Griya Nusantara, memerhatikan serpihan cahaya yang memantul di genangan. Lalu-lalang sedan mewah dan ojol berbagi jalur, klakson berdesis seperti napas kota yang tak sudi tidur. Monitor sistem check-in otomatis menyalakan wajah-wajah baru—tamu-tamu kelas menengah naik ke atas, kartu kredit berstatus premium, itinerary ringkas. Mesin mencetak tanda terima: cepat, presisi, dingin. Ada yang terasa berkurang dalam semua kerapian itu, sesuatu yang dulu diikat pelan oleh sapaan dan tatap mata.

Namanya Azmi Waroka. Lelaki dari Pamekasan yang tiba di ibukota hanya dengan satu ransel, satu mimpi, satu prinsip: hidup harus berguna, bukan hanya bergaji. Ayahnya, bekas lurah yang mengajarkan tepo seliro dengan suara pelan; ibunya, penenun sarung yang tangannya akrab dengan ritme lama. Di beranda rumahnya dulu, malam-malam terang oleh kisah Menak Madura—Adirasa yang teguh, Arya Menak yang cermat, para lelaki yang menundukkan ego ketika kehormatan diminta melayani orang banyak. “Kalau zaman berubah,” pesan ayahnya, “kau ikut bergerak. Tapi jangan putus dari akar.”

Malam itu, akar itu bergetar.

Hotel sedang rebranding. “Tradition meets Future,” bunyi spanduk di fasad dengan huruf sans serif dan garis emas tipis. Namun di ruang rapat lantai mezanin, tradisi sering dianggap hambatan. Kusuma—manajer baru yang datang dengan setelan sempurna dan slide deck berkilau—membacakan KPI seperti mantera. “Kita ubah tiga hal: lebih banyak mesin, lebih sedikit interaksi; lebih singkat proses, lebih puas tamu; lebih efisiensi, lebih profit.” Ruang rapat hening. Ada tepuk tangan kecil-kecil—antara setuju dan takut terlambat setuju.

Di kantornya yang sempit, ruang kaca serupa akuarium di belakang front desk, Azmi memandangi proposal pelatihan yang disusunnya bersama Arimbi: “Soul of Service—Pelatihan Keramahan Berbasis Nilai.” Di pojok kiri atas, coretan digital: “Too sentimental.” Ia menghela napas. Kata itu menggema seperti pintu lift yang tak sepenuhnya menutup.

Arimbi mengetuk kaca. “Mas,” katanya, masuk dengan map biru. “Kusuma minta kita bikin FAQ mesin check-in. Lebih detail.” Matanya sembab, bukan karena menangis, melainkan karena lelah mengulang hal-hal yang dulu tak perlu dijelaskan. “Padahal kita cuma pengin ngajari anak-anak baru buat nggak lupa sapa tamu pakai hati.”

Pukulan hujan mereda. “Nanti,” ucap Azmi, “kalau semua sudah diurus algoritma, kita mesti jaga yang tak bisa diproses: rasa diterima.”

.

Arimbi, perempuan yang tahan luka, menyimpan cara bicara yang menenteramkan bahkan ketika kenyataan berisik. Rambutnya dicepol rapi. Ia tahu nama-nama pelanggan lama dan pola batuk satpam tua. Di TransJakarta yang sesak, mereka sering berdiri berdampingan—baju seragam beradu dengan jas dan blouse pekerja kantoran lain. Di atas bus yang menderu melewati lampu-lampu neon, mereka membahas bagaimana membuat SOP lebih manusiawi tanpa kehilangan ketepatan.

“Aku takut, Mas,” kata Arimbi suatu malam. “Kalau semua diganti mesin, kita kerja pakai hati buat apa?”

Azmi mengangkat bahu. “Untuk yang tak diminta tapi dibutuhkan. Untuk yang tak terlihat tapi membuat orang tinggal lebih lama.”

Malam berangsur jadi dini hari, kota memeluk lelah, dan lobi kembali sunyi. Di ketinggian, rembulan—sudutnya tipis—terlihat seperti koin perak yang tergelincir di bibir awan.

.

Suatu tengah malam, tamu kamar 718 menekan tombol bantuan. Mei Lin, perempuan paruh baya dengan gelang giok pucat, mengatakan AC kamar mendengus panas. Teknisi masih di perjalanan, kata operator. Azmi mengambil bantal tambahan, termos air hangat, dan kipas kecil dari ruang penyimpanan, lalu naik.

“Maaf mengganggu, Bu.” Ia mengetuk. “Boleh saya bantu sementara?”

Mei Lin mempersilakan. Azmi membuka jendela sedikit agar angin malam masuk, menata ulang posisi tempat tidur menjauhi unit AC, menaruh termos di meja, lalu duduk di kursi dekat balkon, membiarkan suara kipas jadi pengantar diam.

“Anak saya,” kata Mei Lin setelah tenang, “kalau saya susah tidur, dia bacakan saya pesan-pesan lucu. Tidak mengatasi apa-apa, tapi membuat saya merasa ditemani.”

Azmi tersenyum. “Kadang, ditemani lebih penting daripada dibenarkan.”

Ia tidak menunggu pujian. Ketika teknisi datang, ia pamit. Namun besok paginya, sebuah catatan tangan ditinggalkan di front desk: “Terima kasih sudah menyelamatkan malam saya.” Tanda tangan kecil: “Mei Lin.”

.

Seminggu kemudian, listrik di laundry level B2 sempat dipadamkan karena hanya dipakai setengah hari. Di sisa waktunya, ruangan itu seperti perut kota—hangat, lembap, kosong. Azmi meminta izin menggunakan ruang itu setiap Sabtu sore. Arimbi membawa spidol dan kertas brown paper. Mereka menempelkan sebuah kalimat di dinding: “Hospitality bukan sekadar SOP, tapi seni menyambut orang lain seperti keluarga.”

Mereka menamai pertemuan itu “n-Jawa-ni Club” sebagai pengingat: menyapa dengan adab, mengerti sebelum meminta dimengerti. Sepuluh anak baru datang karena penasaran. Mereka sepakat duduk melingkar, menaruh ponsel di kotak sepatu bekas. Di bawah lampu neon yang berkedip, mereka berlatih menyebut nama tamu dengan intonasi hangat, menirukan skenario sulit, mendengarkan cerita konyol dari housekeeping: “Tamu minta sikat gigi jam tiga pagi, tapi yang membuatnya tertawa adalah kita mengantar segelas air hangat.”

Lima anak bertahan sampai pertemuan ketiga; tiga menulis email ke GM, “Kami belajar lebih banyak tentang manusia di ruang kecil ini daripada dari presentasi vendor.” Email itu awalnya diabaikan. Namun di industri, kata-kata seperti biji: ia menunggu musimnya.

.

Kusuma tak cuma cepat; ia gesit. Dalam dua bulan, mesin check-in mencapai 78% penggunaan. Ada bonus departemen yang membuat beberapa rekan kerja bersorak. Di town hall, lampu-lampu gedung dipadamkan untuk menyorot layar raksasa yang menampilkan grafik menanjak. “Kita on track,” kata Kusuma. “Sasaran berikutnya: konversi upselling ke kamar premium via notifikasi aplikasi.”

“Bagaimana dengan keluhan tamu yang merasa layanan terlalu ‘jarak jauh’?” tanya Azmi, memilih keberanian alih-alih nyaman.

Kusuma berhenti sejenak. “Persepsi akan mengikuti pengalaman konsisten. Kita latih tamu untuk senang pada standar baru.”

Kalimat itu rapi, seperti kaligrafi di dinding kantor pusat. Namun ketika rapat bubar, Arimbi menahannya di tangga darurat. “Kamu kenapa sih nanya begitu?”

“Kalau bukan kita, siapa?” jawab Azmi. “Ada hal yang mesin tak bisa tutupin—titik-titik hening yang justru membangun rasa tinggal.”

Arimbi memandangnya lama. “Kamu mau terus lawan angin, Az?”

“Tidak,” kata Azmi. “Aku cuma mau ingat bahwa angin ada. Biar kita bisa menari, bukan tumbang.”

.

Musim promosi datang seperti kemacetan di sore Jumat—tak bisa dihindari, hanya bisa ditertibkan. Hotel menjadi lokasi pesta keluarga, proposal lamaran, peluncuran produk. Malam itu sebuah brand transportasi menengah-atas menggelar gala di ballroom. Lobi berkilau, rangkaian anggrek putih menunduk di setiap sudut. Para tamu bergaun hitam dan tuxedo menyatu dengan kilau foto di dinding: kenangan hotel dari tahun ke tahun, wajah-wajah VVIP yang pernah menginap, beberapa di antaranya tersenyum seperti masih menepuk bahu.

Di tengah keramaian, datang Mei Lin. Kali ini didampingi dua lelaki dengan lencana perusahaan properti. “Mas Azmi,” sapa Mei Lin, “ingat saya?”

“Tidak mungkin lupa,” jawab Azmi.

Mei Lin tertawa pendek. “Saya diminta memeriksa beberapa hotel di Jakarta untuk partner kami dari Malaysia. Saya minta difasilitasi Mas Azmi, kalau boleh.”

Kusuma muncul dari arah bar, senyumnya formal. “Selamat datang, Bu. Silakan, kami punya tur standar untuk tamu korporat.”

“Tur standar bisa nanti,” kata Mei Lin, masih sopan. “Saya ingin melihat lobi ketika semua orang lelah.”

Kusuma mengerjap. “Maksud Ibu?”

“Lelah,” ulang Mei Lin, “adalah waktu layanan asli muncul.”

Azmi mengantar mereka menyeberangi lobi, memperkenalkan barista yang menghafal pilihan gula rendah salah satu pelanggan rutin, menyapa satpam tua, Babeh Jalal, yang kakinya mulai sulit. Di lift, Mei Lin menatap pantulan wajahnya. “Bangunan ini cantik,” ujarnya. “Tapi yang membuat saya ingin kembali adalah cara saya merasa: ada yang menunggu, meski tidak diminta.”

Kusuma tersenyum—kali ini lebih tipis. “Kami sedang mengembangkan standar itu.”

Azmi tahu, beberapa standar tak bisa dikembangkan tanpa hati yang mengalaminya dulu.

.

Esoknya, kabar bergerak seperti angin gosip yang berakselerasi di lorong belakang: dua tamu komplain karena check-in mesin tak mengakui kartu identitas digital; satu tamu lain memuji Azmi karena inisiatifnya menenangkan anak balita yang tantrum dengan memberi kue kukus kecil dari kitchen. Mana yang dianggap penting? Di rapat singkat, Kusuma menandai metrik error kartu digital dan meminta tim IT memperbaiki. Soal kue kukus, ia mengangguk singkat: “Bagus, tapi jangan biasakan memberi gratis.”

Azmi menahan diri untuk tak berdebat. Dalam diam ia menulis catatan kecil untuk dirinya sendiri: Sebagian dari pekerjaan kita adalah menjaga yang tak bisa dimasukkan ke spreadsheet.

.

“Mas, n-Jawa-ni Club besok gimana?” tanya Arimbi, mengintip kalender.

“Kita bikin modul baru,” jawab Azmi. “Tentang cara menghadapi marah tanpa merasa kalah.”

“Judulnya?”

Menak bukan yang meninggikan suara, tapi yang merendahkan hati tanpa merendahkan diri.

Arimbi tertawa. “Kebanyakan menenun kata, kamu.”

“Dari ibuku,” sahut Azmi. “Benang kata itu bisa menahan robek.”

Mereka merancang simulasi: tamu yang menuntut kompensasi, kenangan yang memicu sensitif, rekan kerja yang menyela kredit. Mereka bermain peran sampai tertawa, sampai kelelahan larut. Di ujung sesi, seorang anak cleaning service yang selalu menunduk mengangkat tangan. “Mas,” katanya pelan, “kalau saya takut, boleh nggak saya jujur bilang ke tamu, ‘Maaf, saya deg-degan?’”

“Boleh,” jawab Azmi. “Kejujuran yang elegan adalah jembatan. Setelah itu, tarik napas dan lanjutkan.”

.

Dua minggu berlalu. Di grup email internal, beredar pengumuman: Kusuma dipindahkan memimpin properti baru di luar negeri—promosi yang terdengar sebagai penarikan jamak. Posisi GM akan diisi sementara oleh tim pusat sambil menilai ulang arah layanan. Sebagian orang menafsirkan ini sebagai angin baik; sebagian lain takut perubahan akan menghapus lagi hal-hal kecil yang baru disemai.

Sore itu, Mei Lin meminta bertemu di lounge lantai dua yang menghadap ke atrium. “Saya bukan malaikat,” katanya membuka percakapan, “tapi rekan-rekan saya menyukai apa yang Anda pertahankan, Mas Azmi. Boleh saya titip satu permintaan? Buatkan kurikulum resmi dari ruang laundry itu. Yang bisa diukur, tapi tak kehilangan nyala.”

Azmi menatapnya. “Kalau nanti kurikulumnya diambil alih, nyalanya padam.”

“Kalau begitu,” sahut Mei Lin tenang, “pastikan nyala itu bukan milik kurikulum. Milik orang. Saya akan bantu membawa ini ke direksi, tapi Anda dan tim harus jadi penjaganya.”

Arimbi, yang ikut duduk sambil menyesap teh krisan, menahan senyum. “Berarti kita harus cari nama selain n-Jawa-ni, supaya tidak terasa awalnya kecil.”

“Beri nama yang tak memalukan bila diletakkan di brosur konferensi,” canda Mei Lin.

Mereka tertawa pelan. Azmi menulis di halaman pertama buku catatannya: Soul of Service.

.

Pelatihan dimulai dengan kelas uji coba untuk 20 orang lintas divisi. Mereka diminta datang tanpa seragam, membawa barang kecil yang mewakili rumah. Ada yang membawa foto kucing, selembar tiket kereta, sisir. “Karena hotel,” kata Azmi membuka sesi, “adalah rumah sementara. Dan tugas kita menjaga sementara itu sehangat mungkin.”

Modul dibagi tiga: Menyapa dengan Nama, Mendengar Tanpa Menyela, Menutup dengan Harap. Ada juga sesi Mengakui Kesalahan, bagian paling sulit bagi kebanyakan. Azmi memutar rekaman CCTV (dengan izin) tentang kejadian sederhana—tamu menunggu terlalu lama karena sistem hang, karyawan menghindari tatap mata. Mereka membedah bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk mengerti. Di akhir sesi, setiap peserta menulis surat untuk dirinya sendiri: satu hal yang akan ia jaga dari padam.

Anak cleaning service yang dulu bertanya soal deg-degan menulis, “Saya akan bilang ‘sebentar ya Pak/Bu’ dengan mata yang benar-benar memandang, lalu benar-benar kembali.” Kelak, ia menjadi yang paling diingat di lantai tiga.

Kabar menyebar: “Soul of Service” bukan pelatihan yang menggurui; ia seperti ruang untuk menatap ulang alasan memulai. Di grup WhatsApp karyawan, seseorang mengirim foto sticky notes warna-warni di kerangka pintu wissel: “Kalau capek, ingat pertama kali kamu dipanggil Mbak/Mas dan itu membuatmu merasa berarti.”

.

Suatu malam hujan datang lagi, lebih deras. Jalan depan hotel melambat, wiper mobil seperti sayap belalang, merapikan jatuh air. Lobi penuh koper. Koneksi internet ragu-ragu. Mesin check-in mengedip seperti bintang yang kehabisan tenaga. Ada antrean.

Azmi maju, membuka konter manual yang hampir setahun tidak dipakai. Arimbi membagi tugas: satu orang menyapa, satu orang menenangkan, satu orang menginput data manual, satu orang mengantar minuman hangat. “Pakai nama,” kata Azmi. “Dan jelaskan apa yang sedang kita lakukan. Orang tahan menunggu bila mereka tahu sedang ditunggu.”

Seorang tamu korporat, lelaki bersepatu mengilap, berusaha menyembunyikan kekesalan. “Saya punya meeting penting,” katanya.

Azmi mengangguk. “Pak Wirya, catatan Bapak ada. Kami sedang menginput ulang agar kamar Bapak langsung aktif tanpa kartu. Bapak boleh menunggu di kursi sana; kami antar kunci digital ke ponsel Bapak dalam tiga menit.”

“Kalau lebih?”

“Saya yang antar sendiri, Pak.” Azmi menatapnya, bukan menantang, melainkan memastikan. Ada sesuatu di mata Wirya yang melunak. “Tolong cepat,” katanya lebih pelan.

Di sudut lain, seorang ibu muda menggendong bayi yang rewel. Arimbi menunduk sejajar mata si bayi, menyanyikan satu bait lagu yang mungkin dipelajarinya dari rumah. Pelan-pelan tangis itu redup menjadi cegukan kecil, lalu hening, seperti hujan yang berpindah ke atap lain.

Tiga menit lewat. Azmi sendiri yang membawa ponsel cadangan sebagai kunci sementara ke Wirya. “Terima kasih sudah menunggu, Pak.” Tangan mereka bersentuhan sebentar—hangat, nyata.

Ketika hujan menipis, antrean usai. Mesin kembali normal. Orang-orang sesekali menoleh ke layar LED yang menampilkan promosi spa; malam menggulung kota.

Wirya menghampiri front desk sebelum naik. “Mas,” ucapnya, mendekat. “Saya jarang terkesan. Tapi malam ini… kalian menutup celah yang tak bisa ditutup software.”

Azmi menunduk. “Terima kasih, Pak.”

“Besok saya ada pertemuan dengan tim investor yang sedang menilai hotel ini,” sambung Wirya. “Saya akan sebutkan pengalaman saya. Jangan berubah ya—kalian tahu caranya membuat orang merasa pulang.”

.

Beberapa hari kemudian, rapat direksi dilakukan di ruang Sutasoma, ruangan yang jendelanya menghadap ke pohon angsana boulevard. Ada wangi kayu tua dan karpet tebal yang meredam langkah. Presentasi dimulai oleh perwakilan kantor pusat. Mei Lin menyela pada bagian “risiko implementasi”. Ia bercerita tentang kamar 718, tentang laundry B2, tentang malam hujan. “Nilai tak lekang bukan karena mereka tak berubah,” katanya, “tapi karena ada orang-orang yang menghidupkannya terus.”

Direksi bergumam. Seorang pria beruban, Tirtonegoro, yang sejak tadi tenang, memandang Azmi. “Saudara,” katanya, “kalau program ini kita jadikan standar, apakah Anda siap menjadi soulkeeper-nya?”

Azmi mengangguk—sebuah gerak kecil yang terasa seperti menjejak baru. “Saya siap, Pak. Dengan catatan: standar ini bukan daftar cek, melainkan laku yang kita rawat bersama.”

Tirtonegoro tersenyum. “Standar yang hidup.” Ia mengetuk meja, sekali. “Setuju.”

Sejak hari itu, pin kecil bertuliskan “Soulkeeper” terpasang di dada Azmi—abu dan emas, sederhana, seperti rembulan yang bulat tanpa sombong. Brosur rebranding diubah: “Tradition meets Future” kini mendapatkan subjudul, “and the Soul that holds them.”

.

Malam berikutnya, lobi bernafas seperti biasa. Azmi berdiri di teras, menatap rembulan lebih penuh daripada minggu lalu. Ia teringat ayahnya yang mengajarinya menyusun ulang kursi bale-bale agar semua tamu kebagian tempat duduk. Ia teringat ibunya yang selalu berkata, “Kalau kainmu robek, tambal dengan motif yang kau pahami—jangan memaksakan pola orang lain.”

Arimbi menepuk daftar hadir pelatihan di tangannya. “Angkatan baru besok. Ada nama-nama yang dulu kita kira nggak bakal mau.”

“Yang paling keras menolak,” kata Azmi, “sering hanya belum menemukan cara mencintai.”

“Mas,” panggil suara dari pintu putar—seorang anak cleaning service yang dulu menunduk, kini menatap mantap. “Besok saya yang memulai sesi ‘Mengakui Kesalahan’. Boleh ya?”

“Boleh,” jawab Azmi. “Mulailah dengan cerita paling malu yang membuatmu tumbuh.”

Anak itu tersenyum, matanya berkilat seperti lampu lobi yang memantul di sepatu tamu.

Azmi memandang rembulan lagi. “Kita nggak mengubah dunia, Rim,” katanya pelan.

“Tidak,” sahut Arimbi. “Tapi kita menjaga nyala kecilnya dalam orang-orang yang pulang dan datang lagi.”

Rinai hujan sisa menggambar garis-garis halus di kaca. Jakarta di bawah rembulan adalah panggung panjang: tak pernah benar-benar sepi, tak pernah benar-benar rampung. Dan di atas lobi hotel itu, ada cahaya yang bukan dari lampu: cahaya keyakinan sederhana, bahwa hati—meski disisihkan—tetap menemukan jalan.

.

Suatu subuh, Azmi menulis surat untuk dirinya sendiri—bagian dari tradisi pelatihan yang ia ajarkan dan kini ia praktikkan. “Azmi, kalau suatu hari kau lelah dan tergoda menjadi mesin yang patuh, ingat malam ketika AC rusak dan kau menemani orang asing sampai bisa tidur. Ingat anak muda yang belajar menyebut ‘maaf’ tanpa takut dianggap lemah. Ingat rembulan di atas lobi—kau tak perlu memilikinya untuk menerima cahayanya.”

Ia menutup buku. Di kejauhan, azan subuh menggema dari masjid kecil di gang belakang hotel. Jalanan baru hendak bangun. Rembulan merunduk perlahan seperti ibu yang menunduk merapikan selimut. Azmi menarik napas panjang. Ia tahu hidup tak akan pernah berhenti menuntut efisiensi, target, bukti. Tapi ia juga tahu: ada jenis keuntungan yang tak bisa diaudit—ketenteraman orang yang dipercaya dan diberi tempat.

Ia menyentuh pin “Soulkeeper”. Pin kecil, makna panjang.

“Nilai-nilai tak lekang bukan karena tak berubah,” tulisnya di papan pelatihan pagi itu, “melainkan karena ada yang memilih menghidupkannya—tanpa lelah, tanpa banyak kata.”

Dan ketika lobi kembali diisi oleh koper-koper baru, langkah-langkah cepat, rencana pertemuan, pesan-pesan yang tak kunjung dibalas, ada sesuatu yang tak berubah: sepasang mata yang berusaha menyapa dengan benar, seulas senyum yang tidak dijual, dan seluruh tenaga yang percaya bahwa melayani adalah kata kerja yang paling manusiawi.

Rembulan masih di sana, mengawasi. Di atas lobi hotel, di atas kota, di atas hati yang mencoba tak padam.

.

.

.

Je,mber, 6 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #UrbanJakarta #Hospitality #SoulOfService #nJAWAni #KompasMingguVibes #RembulanDiAtasLobi #NilaiLuhur #CerpenIndonesia #Mengharubiru

.

Quotes Terkait

  1. “Ketika mesin menyelesaikan urusan, hati menyelesaikan perasaan.”

  2. “Menak bukan perkara darah, melainkan cara menahan diri ketika kuasa bisa dipamerkan.”

  3. “Rumah sementara menjadi rumah sungguhan ketika ada yang menunggumu kembali.”

  4. “Kecepatan menutup jarak; kepedulian menutup luka.”

  5. “Standar boleh sama; laku yang menjaganya membuat tempat ini berbeda.”

Leave a Reply