Pulang ke Kota yang Belajar Mencintai

“Hidup bukan tentang seberapa cepat kamu sampai, melainkan seberapa utuh kamu kembali.”

.

Lampu-lampu kota menyalakan kilau di genangan, seperti serpih bintang yang jatuh dan memutuskan untuk tinggal di trotoar. Jayeng berdiri di tepi atap gedung—bukan atap tertinggi, tapi cukup tinggi untuk menyadari bahwa jalan-jalan yang tampak lurus dari atas, di bawahnya sebenarnya berkelok oleh cerita manusia. Ia menutup payung, membiarkan gerimis menepuk rambut plontosnya, dan menarik napas yang terasa seperti halaman pertama dari buku yang belum dibuka.

Di layar ponselnya, pesan-pesan berdatangan: undangan diskusi kebijakan pariwisata dari asosiasi, notifikasi investor yang menanyakan proyeksi okupansi, tautan artikel tentang pergeseran perilaku wisatawan, dan kiriman foto dari teman-temannya—Sekar di sebuah studio arsitektur dengan maquette kota mini, Pati yang tertawa di atas panggung talkshow edtech, Kirana sedang menebar garam di atas steak dengan wajah serius, Umar memegang whiteboard penuh diagram, Maya di ruang praktik psikologi dengan kursi abu-abu yang tampak menenangkan, Madi di balik mesin espresso seperti dirigen orkestra, dan Rana yang memeluk anak-anak panti asuhan sambil mengangkat poster bertuliskan “Makan Gratis, Hari Ini & Setiap Hari.”

Mereka semua hidup di kota ini, atau kota-kota lain yang saling dihubungkan oleh kereta cepat, rapat Zoom, dan keinginan untuk berguna. Kota ini bukan tempat; ia ritme—kadang cepat menyambar, kadang mengajak kita melambat seperti gerimis.

Jayeng menulis satu kalimat di Notes: “Cobalah hal baru, bukan karena dunia menuntut, melainkan karena hatimu masih ingin belajar.” Ia senyum kecil. Sejak dulu ia percaya: rasa penasaran adalah cara paling sopan untuk mengetuk pintu masa depan.

.

Di sebuah ruang rapat berlantai semen ekspos, Umar mempresentasikan skema pendanaan untuk kolaborasi hotel-butik dengan sekolah vokasi. “Kita bikin jalur cepat dari kelas ke karier,” katanya, gaya bicara tegas namun ramah. “Magang dibayar, kurikulum sinkron dengan standar industri, dan properti kita jadi laboratorium hidup. Win–win–win.”

Pati mengangkat tangan. “Tapi jangan lupa literasi digitalnya. Anak-anak ini lahir dalam arus informasi—kita ajari mereka menyaring, bukan sekadar menelan.”

Kirana menambahkan, “Dan gizi. Hotel bukan hanya tempat tidur dan sarapan. Kita bisa jadi dapur besar yang waras; makanan tidak melulu estetika piring, tapi martabat yang dihidangkan.”

Sekar menggelar blueprint. “Aku rancang area belajar di lobi—terbuka, dengan kursi nyaman dan akustik yang baik. Tamu melihat masa depan, siswa melihat kesempatan.”

Maya menatap semuanya, matanya lembut tapi tajam. “Kita juga harus punya ruang hening. Kelelahan mental itu nyata. Kita sediakan sudut untuk menarik napas, bukan sekadar memajang quote instagramable.”

Rana, yang baru datang dengan kaus bertuliskan “Baik Itu Menular,” meletakkan kotak nasi di meja. “Aku bawa makan siang. Dari dapur komunitas. Dibiayai oleh donatur kecil-kecilan. Kalau proyek ini jalan, kita bisa sisihkan sebagian revenue untuk program seperti ini. Rezeki kalau dibagi, jaraknya sampai jauh.”

Suara mesin espresso dari pojok ruang menjadi intermezzo. Madi menyerahkan cangkir. “Tolong rasakan. Aku giling single origin dari kampung lereng. Aku ingin anak-anak tahu, asal-usul rasa seperti asal-usul diri; kalau jujur dari awal, hasil akhirnya tulus.”

Jayeng menatap satu-persatu sahabatnya. Mereka datang dari lintasan berbeda, tapi selalu kembali ke tujuan yang serupa: membuat kota ini lebih ramah bagi orang yang bekerja keras, belajar keras, dan mencintai keras. Mereka bukan malaikat; mereka manusia yang bertengkar dengan tenggat, bimbang oleh angka-angka, tapi tidak pernah menyerah pada sinisme.

Di kepala Jayeng, kota ini merapat seperti kapal: ada jangkar yang perlu diangkat, ada layar yang ingin digelar. Di saku jasnya, sebuah kunci kamar hotel bergemerincing; ia selalu menyimpan satu kunci sebagai pengingat: pintu-pintu baru harus terus dicoba.

.

Ada hari-hari ketika riuh menjauh seperti pantai saat surut. Di meja kayu rumahnya, Jayeng mematikan notifikasi, menyiapkan teh melati, dan membuka buku catatan tebal. Di halaman pertama ia menulis, “Rencana lima tahun, bukan untuk mengikat, tapi untuk menuntun.”

Ia menulis daftar: memperbanyak beasiswa untuk siswa pariwisata; memasang standar transparansi upah di properti miliknya; menyiapkan ruang ibadah dan ruang hening di semua cabang; mengembangkan kurikulum keramahan—dari menyapa dengan mata, bukan sekadar bibir; mengundang pengusaha kecil masuk ke rantai pasok; membuka program alumni agar yang lulus tak melupakan yang tertinggal; membentuk klinik karier agar bakat tidak padam hanya karena tak tahu arah.

Di bawah daftar itu, ia menulis pertanyaan-pertanyaan jujur: “Apa yang kucari? Panggung atau pengaruh yang sunyi?” “Aku ingin dikenal atau dibutuhkan?” “Jika aku kelelahan, siapa yang kuhubungi?” Dan ia menulis jawaban seadanya; bukan untuk publikasi, melainkan untuk menyambung kembali kabel yang kadang terputus dalam keramaian.

Maya pernah berkata, “Menunda hancur adalah juga bentuk sayang pada diri.” Jayeng mengulang kalimat itu seperti doa. Ia ingat masa-masa ketika ia percaya jam kerja panjang adalah lencana kebanggaan; kini ia tahu, kualitas hadir lebih berharga daripada kuantitas tiba.

Malam merapat. Ia menatap lampu kota yang berpendar seperti luka yang sudah dipeluk. Ada semacam tenang yang tumbuh—bukan karena masalah menghilang, melainkan karena ia memilih berdiri lebih kokoh.

.

Suatu sore di kafe Madi, hujan datang sebagai kabar baik. Orang-orang yang basah memasuki ruangan, membawa bau tanah yang ramah. Di sudut, seorang perempuan memegang draft skripsi; di meja lain, dua pria berdebat tentang unit economics. Musik jazz pelan seperti benang yang menjahit dekat.

Kirana meletakkan piring di depan mereka: nasi sedikit, lauk cukup, sayur warna-warni. “Aku capek dengan piring yang cantik untuk kamera tapi pelit untuk tubuh,” katanya sambil tertawa. “Dari dulu kita belajar estetika; sekarang kita perbaiki etika.”

Rana menunjukkan video pendek: antrean orang yang tertawa di depan gerobak “Makan Gratis”. “Ini bukan sedekah—ini kerja sama.” Matanya berbinar, bukan karena jumlah like, melainkan karena ia tahu ingatan rasa kenyang bisa menjadi pondasi harapan.

Pati bercerita tentang platform barunya: kelas-kelas daring untuk pekerja hotel yang ingin naik jenjang. “Bisa diakses tengah malam sesudah shift. Materinya praktik; bukan hafalan seremonial.”

Sekar menggeser iPad, memperlihatkan visual lobby yang akan ia bangun: bukan megah, melainkan bersahabat. “Ada sudut anak, ada meja panjang untuk kerja kolaboratif, ada rak buku yang kurasi bareng Maya.”

Umar menghitung di buku kecilnya, menghubungkan semua dengan angka wajar. “Bisnis yang baik itu yang bertahan, bukan yang meledak lalu padam. Kita bikin model yang ‘napas panjang’.”

Jayeng mendengar, menampung, mengikat benang-benang ide seperti penjahit yang sabar. Ia bayangkan hotel yang bukan sekadar tempat singgah, melainkan sekolah kecil, pasar kecil, rumah kecil. Ia teringat nama-nama dari cerita lama yang membesarkannya—Menak Jawa dan Menak Malangan—kisah-kisah tentang keberanian yang tidak keras, melainkan konsisten. Di kepala Jayeng, nama-nama itu terkini, berwujud sahabatnya sendiri: Jayeng dan Sekar dan Pati dan Kirana dan Umar dan Maya dan Madi dan Rana. Mereka bukan bangsawan, tapi menak dalam cara lain: meninggikan yang rapuh.

“Kadang,” ujar Jayeng pelan, “yang kita kejar bukan sukses, tapi pulang.” Mereka terdiam, dan hujan mendengarkan.

.

Di suatu panggung kecil, Jayeng diminta berbicara. Ia tidak membawa slide menawan, hanya kartu catatan dengan tulisan tangan. “Kota ini,” katanya, “mengajarkan saya untuk menyapa sebelum menjual, mendengar sebelum menjawab, dan berterima kasih sebelum berlalu.”

Ia bercerita tentang pegawai housekeeping yang bisa membedakan rasa letih tamu dari cara meletakkan sepatu; tentang barista yang hafal nama pelanggan bukan demi tip, tapi demi percakapan; tentang chef yang menimbang garam seperti menimbang kata-kata; tentang arsitek yang menukar sebagian fee untuk kursi yang lebih empatik; tentang investor yang rela menunggu kembali modal demi memastikan orang-orang yang bekerja di baliknya pulang dengan senyum.

“Keramahan itu,” kata Maya dari kursi depan, melanjutkan tanpa diminta, “adalah keberanian menjadi manusia di tengah mesin-mesin target.”

Tepuk tangan tidak hingar, tapi hangat. Dalam hangat yang tidak meledak, Jayeng merasa lebih percaya pada perlahan. Ia melihat Sekar menatap panggung dengan kebanggaan yang tak butuh selfie; Pati menulis sesuatu untuk konten pelajar; Kirana merekam video singkat bukan untuk viral, tapi untuk dokumentasi; Umar menghitung sumbangsih dalam persentase yang masuk akal; Madi mengangkat cangkir kopi sebagai salam; Rana memeluk seorang ibu muda yang datang membawa dua anak; dan Maya—seperti biasa—menjaga semua tetap waras.

.

Malam menggelap seperti selimut yang sudah dicuci dan dijemur: wangi dan menyenangkan. Jayeng berjalan sendirian di trotoar, melewati mural yang memadukan aksara Jawa dan kutipan bahasa Inggris, melewati toko buku yang lampunya tak pernah terlalu terang, melewati kedai konter HP yang selalu ramai. Di perempatan, lampu merah memantul di genangan; ia berhenti, bukan karena aturan, melainkan untuk merasakan kota bernapas.

Ia memikirkan hari-hari yang akan datang tanpa menamai mereka. Ia tahu akan ada masa untuk keluar bertemu banyak orang, masa untuk kembali ke ruang hening, masa untuk merapatkan barisan dan tertawa keras, dan masa untuk menunduk, menata niat agar tidak lari dari esensi. Ia berharap, ketika orang-orang mengingatnya, yang diingat bukan pencapaian yang ia pamerkan, melainkan kebermanfaatan yang mereka rasakan.

Di atas kepala, langit membuka sedikit celah. Satu bintang menyelinap. “Terima kasih,” gumamnya—kepada kota, kepada teman-teman, kepada dirinya yang memilih untuk tidak menyerah menjadi manusia.

Di layar ponselnya, ada pesan dari seorang siswa yang baru saja lulus magang: “Mas, terima kasih. Saya diterima kerja tetap. Saya janji, kalau sudah mapan, saya balik jadi mentor.” Jayeng menutup mata sejenak. Ada air hangat di pelupuk—bukan air hujan.

Ia mengetik balasan: “Tetap rendah hati. Tinggi bukan berarti jauh dari bumi. Jika sudah siap, mari kita pulang bersama—membangun yang membesarkan kita.”

.

Di hotel yang ia kelola, Jayeng membuat kebiasaan kecil: setiap kali membuka pintu, ia menyapa cermin. “Apa yang kubawa hari ini?” Kadang jawabannya adalah lelah. Kadang antusias. Kadang ragu. Kadang marah. Semua sah, selama di depan orang lain ia datang dengan keberanian untuk tidak memaksakan luka.

Rana suatu kali berkata, “Kebaikan itu seperti kopi. Ia pahit kalau diminum sendiri, tapi hangat kalau dibagi.” Madi tertawa, “Bisa juga manis, tinggal seleramu.” Kirana menimpali, “Yang penting seimbang; lidahmu bukan satu-satunya hakim.” Sekar menambah, “Dan wadahnya juga perlu: bentuk mengikuti fungsi, fungsi mengikuti kasih.” Umar merangkum, “Semua harus masuk neraca, tapi neraca juga perlu hati.” Pati mengakhiri, “Kalau sudah begitu, sisanya tinggal belajar tanpa henti.” Maya menutup, “Jangan lupa tidur.”

Kalimat-kalimat itu menjadi kompas kecil. Jayeng menjaga agar kompas tidak rusak oleh badai.

.

Suatu petang, mereka berkumpul lagi—kali ini bukan untuk rapat, hanya untuk makan. Di meja panjang, ada sayur lodeh dan sambal tomat dan ayam panggang dan salad daun-daun segar. Tidak ada dress code, tidak ada ice breaker kaku. Mereka saling mengisi piring, menertawakan kegagalan kecil, merayakan keberhasilan orang lain.

Di tengah kehangatan itu, Jayeng menyadari sesuatu yang sederhana: di kota yang sering memberi angka untuk segala hal, persahabatan adalah satu-satunya yang tak bisa dinilai dengan tabel. Ia mengangkat gelas. “Untuk mimpi-mimpi yang mau diajak negosiasi. Untuk realistis yang tetap romantis. Untuk kota yang keras, tapi tidak kejam jika kita saling mendekap.”

Mereka bersulang dengan air putih. Tanpa musik keras, tanpa confetti. Hanya detak jantung yang kompak.

.

Menjelang pulang, hujan reda. Udara memeram bau baru. Jayeng berjalan ke atap lagi. Kota mengerjap seperti bayi yang baru belajar tertawa. Di bawah sana, ribuan kisah menyusun dirinya sendiri: driver ride-hailing yang menabung demi kuliah anak; barista yang mengirim uang ke orang tua di kampung; arsitek yang menghindari proyek yang tak menghormati pohon; investor yang berhenti memaksakan pertumbuhan tak wajar; psikolog yang pergi ke puskesmas pinggiran secara sukarela; chef yang menyelipkan ekstra lauk di piring anak pabrik; guru yang menulis catatan tangan untuk siswa yang sepi.

“Jika besok aku tidak di sini lagi, apa yang tertinggal?” tanya Jayeng pada langit. Ia tak butuh jawaban. Ia sudah tahu: yang tertinggal adalah cara orang lain memperlakukan orang lain setelah bertemu dengannya.

Ia menuliskan satu kalimat terakhir di Notes malam itu: “Jangan terlalu menganalisis sampai lupa menyentuh.” Lalu ia menutup ponsel, menutup payung, dan menutup jarak dengan dirinya sendiri—pelan, rendah hati, utuh.

Di bawah, lampu-lampu tetap menyala. Di atas, bintang tetap jauh. Di tengah-tengah, manusia bernama Jayeng memilih untuk tidak terburu-buru menjadi siapa pun—kecuali menjadi versi terbaik dari dirinya yang kembali pulang.

.

.

.

Malang, 26 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKota #MiddleClassIndonesia #Hospitality #Edutech #Arsitektur #KulinerSehat #SocialImpact #MentalHealth #Branding #Leadership #MenakJawa

.

Kutipan yang Menyertai Cerita

  • “Bahagia bukan tentang di mana kamu berada, tapi dengan siapa kamu dianggap ada.”

  • “Keramahan adalah keberanian menjadi manusia di tengah mesin-mesin target.”

  • “Cobalah hal baru, bukan karena dunia menuntut, melainkan karena hatimu masih ingin belajar.”

  • “Tinggi bukan berarti jauh dari bumi; pulang adalah cara tertua merayakan berhasil.”

 

Leave a Reply