Pulang Dulu, Terbang Lagi
“Cinta pada diri sendiri tidak selalu memberi kupu-kupu di perut, tetapi memberimu sayap untuk pulang—dan terbang lagi.”
.
Pagi itu, Rengganis berdiri lama di trotoar sebuah jalan di pusat kota. Udara Jakarta belum terlalu panas; matahari masih malu-malu di balik gedung kaca. Di dinding putih sebuah kafe sudut—kafe yang kursinya kayu dan mejanya memantulkan bayang pohon trembesi—ada tulisan besar-besar: SELF LOVE WON’T GIVE YOU BUTTERFLIES BUT IT WILL GIVE YOU WINGS. Huruf-huruf hitam tebal itu seperti menabrak dadanya.
Rengganis membaca pelan, lalu memotret. Di layar ponsel, dinding itu seperti poster film yang belum tayang. Ia mengirim gambarnya ke dua orang: Jayengrana, atasannya; dan Kustapati, kawan lamanya yang sekarang mengelola studio kecil latihan musik dan ruang komunitas di Tebet.
“Kalimatnya agak sombong ya,” balas Jayengrana cepat. “Tapi tolong ingat rapat jam sembilan. Klien maunya revisi, semua harus selesai hari ini.”
Kustapati membalas beberapa menit kemudian. “Kalau sayapmu tumbuh, jangan dipotong sama tenggat. Datang ke studio malam ini. Ada pertunjukan kecil anak-anak.”
Rengganis menatap dua pesan itu seperti menimbang dua pintu. Di kantor, ia dikenal gesit, tangkas, jarang menolak tambahan pekerjaan. Di studio, ia dikenal sebagai orang yang pernah mengajari anak-anak kampung itu menulis puisi—waktu hidupnya masih luas, sebelum promosi, sebelum gaji membentang seperti jalan tol yang mengantar ia pulang larut.
Ia menutup ponsel, melangkah ke kafe. Aroma roti panggang, suara mesin espresso, dan obrolan yang bersahutan seperti orkes yang tak pernah selesai. Di sudut, seorang barista menyetel lagu lama, suaranya seperti mengingatkan pada kota yang punya masa kecil.
Rengganis memesan kopi hitam. Ia duduk menghadap jendela, memandangi dinding bertulisan tadi. “Kupu-kupu” dan “sayap.” Ia tersenyum getir. Bukankah selama ini ia menunggu kupu-kupu: pujian dari klien, apresiasi di rapat bulanan, angka penjualan melambung. Tetapi tiap kali angka melejit, perutnya kosong. Kupu-kupu tak pernah datang. Yang datang hanya kelelahan.
.
Di kantor, rapat dimulai tepat pukul sembilan. Ruangannya berhawa dingin, wangi karpet baru, papan tulis digital menyala menunggu data. Jayengrana, berusia empat puluhan, gaya bicaranya terukur dan selalu mengandung jeda yang membuat orang ingin memperhatikan. Di sisinya, Wiralodra dari divisi keuangan; di seberang, Rengganis bersama tim kreatifnya.
“Teman-teman,” kata Jayengrana, “klien minta narasi kampanye disesuaikan. Mereka mau bukan hanya bicara produk, tapi nilai-nilai. Kata mereka, ‘manusiawi’.” Ia memandang Rengganis. “Bisakah kita kirim draf baru malam ini?”
Rengganis mengangguk. “Bisa.”
Wiralodra mengangkat alis. “Malam ini? Anggarannya baru disetujui siang.”
“Bisa,” ulang Rengganis. Kalimat itu sudah menjadi kebiasaan, seperti tombol otomatis. Ia pandai membuat mustahil terasa mungkin, walau artinya menukar jam tidur dengan lembar-lembar presentasi.
Jayengrana menatapnya lebih lama. “Jangan memaksa, Ganis. Kalau lewat besok pagi juga tak apa.”
Ucapan itu mengejutkan. Jayengrana jarang melonggarkan target. Rengganis ingin bilang “terima kasih,” tapi menahan. “Malam ini baik, Mas. Lebih cepat lebih baik.” Ia mendengar suaranya sendiri: mantap, profesional, seperti biasanya. Di dalam, sebuah serat kecil yang rapuh di hatinya mengeluh pelan.
.
Pukul enam petang, langit di luar kantor berwarna abu-abu, lalu oranye. Karyawan mulai pulang. Lift-lift menjadi ramai. Rengganis masih menatap layar. Slide ke-23 belum beres. Kata “humanisasi” di judul terasa seperti mantel yang kebesaran; ia butuh tubuh cerita yang cocok menampungnya.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Kustapati: “Anak-anak sudah mulai. Kalau kau datang, bawa cerita baru. Tak harus selesai. Cukup jujur.”
Ia menatap pesan itu lama. Rapat internal selesai relatif cepat sore tadi. Jayengrana mengingatkan agar ia makan. “Jangan lupa hidup,” katanya sambil tersenyum—senyum yang jarang ia lihat. Biasanya Jayengrana meringkas hal penting dalam tiga baris. Hari ini berbeda. Semua orang seperti kompak mengulang, seolah semesta sedang mendorong ia berbelok.
Rengganis mematikan layar. Ia mengirim pesan ke grup: “Presentasi dikerjakan dari rumah. Kirim progres jam 11 malam.” Lalu ia keluar. Udara malam menyambut seperti sapaan lama yang tertunda. Ia memesan ojek daring, menuju Tebet.
.
Studio Kustapati berlokasi di gang kecil yang dindingnya penuh mural. Anak-anak mengelilingi panggung mini dari papan. Di tembok belakang, tergantung kain putih tempat proyektor memantulkan animasi sederhana: burung-burung bergerak, rumah-rumah bernafas, kota yang berjalan.
Kustapati yang kurus dan berambut sebahu menyambut. “Kau datang juga,” katanya. “Kupikir sayapmu disita HRD.”
“Kupikir juga,” jawab Rengganis. “Tapi aku kabur.”
“Kabur bukan kalah. Tahu kapan berhenti itu bagian dari lari maraton.”
Mereka tertawa. Di panggung, seorang anak memperkenalkan diri: Sutasoma, kelas dua SMP. Ia membacakan sajak tentang jalan raya yang tak pernah tidur. Suaranya pecah-pecah, tapi mata anak itu menyala. Setelahnya, seorang anak perempuan bernama Rengganing melangkah, membawakan lagu dengan gitar. Liriknya tentang hujan, tentang ibu, tentang cuci tangan di kali yang airnya mulai keruh.
Rengganis merasakan sesak yang lembut di dadanya. Di sini tak ada KPI, tak ada “market share.” Ada kehidupan yang sederhana, yang berusaha menyembuhkan dirinya sendiri. Ia melihat Kustapati bertingkah seperti sutradara: mengatur mikrofon, menenangkan anak yang gugup, mengangkat jempol saat bait selesai.
Acara usai pukul sembilan. Orang-orang bubar. Bau gorengan dari warung ujung gang merayap ke halaman. Rengganis duduk di bangku kayu. “Aku lupa rasanya seperti ini,” katanya pelan, “berkapasitas sebagai manusia.”
Kustapati menatapnya. “Kau baik?”
“Aku bekerja terus. Sering berhasil. Kadang senang. Tapi belakangan aku merasa… kosong. Pagi ini aku lihat tulisan di dinding: self-love tidak memberi kupu-kupu, tapi memberi sayap. Aku memikirkan sayap. Rasanya sayapku sudah lama melipat.”
Kustapati diam sejenak. “Sayap melipat itu bukan hilang. Ia menunggu musim.”
“Musim apa?”
“Musim pulang.”
Kalimat itu memukul pelan. Rengganis memandang langit yang mulai gelap. “Pulang ke mana?”
“Kau tahu,” kata Kustapati. “Pulang ke diri yang tak mewakilkan nasib pada angka.”
.
Malam itu, di meja kerjanya, Rengganis menata slide presentasi seperti menata isi lemari yang terlalu penuh: membuang yang tak perlu, merapikan yang tinggal. Ia memasukkan cerita anak-anak di studio—tanpa menyebut detail yang tak boleh—sebagai contoh kampanye yang benar-benar “manusiawi”: merekam suara warga, bukan menempelkan slogan. Ia mengutip pitutur Jawa: urip iku urup; hidup itu menyala ketika memberi pelita ke orang lain. Ia menulis paragraf ringkas: “Kampanye yang menguatkan konsumen dimulai dari penguatan manusianya; bukan menyanjung kesempurnaan, melainkan membantu orang menerima dirinya agar dapat memilih dengan sadar.”
Pukul sebelas, ia mengirim progres. Jayengrana membalas lima menit kemudian: “Arahmu tepat. Lanjutkan. Besok kita perdalam.”
Rengganis menutup laptop. Rasa lelah masih ada, tapi semacam hangat perlahan mengalir. Ia memikirkan musim pulang.
.
Hidup, rupanya, suka membuat pertemuan-pertemuan kecil dengan kejutannya sendiri. Dua minggu setelah presentasi, saat kampanye mulai berjalan, Rengganis diajak Jayengrana mengunjungi salah satu mitra dari komunitas kota—sebuah panti singgah untuk remaja yang putus sekolah. Mereka bertemu pengelolanya, Rangga Kustiraja, yang wajahnya datar tapi matanya selalu seperti memegang pintu—terbuka dan tertutup pada saat bersamaan.
“Mereka senang diajak bicara,” kata Rangga. “Bukan diajak diselamatkan.”
Rengganis mencatat kalimat itu. Di aula panti, seorang remaja memperlihatkan gambar mural rancangan mereka: sepasang sayap dipasang di dinding, bisa dipakai siapa pun berfoto. Di bawahnya tertulis: Pulang dulu, terbang lagi.
“Saya suka,” ucap Rengganis, “boleh kita jadikan bagian kampanye? Gambar tetap milik kalian.”
Rangga tersenyum. “Boleh. Asal foto-fotonya kembali ke mereka juga.”
“Pasti.”
Jayengrana berdiri di samping Rengganis, lebih banyak diam dari biasanya. Sewaktu mereka kembali ke mobil, ia berujar, “Kau tahu, Ganis, dulu aku kira dunia ini dibuat dari hasil dan target saja. Tapi selama kampanye ini, aku melihat pilihan: kita bisa bekerja sambil merawat arti.”
Rengganis mengangguk. “Terima kasih sudah memberi ruang.”
Jayengrana menghela napas. “Kau yang membuka.”
.
Kampanye itu berjalan tidak spektakuler, tapi stabil. Angkanya baik. Lebih penting: cerita-cerita di baliknya kembali ke masyarakat. Video yang menampilkan anak-anak studio Kustapati menulis lagu mereka sendiri itu tidak diisi narasi suara maskulin yang menggurui; kamera hanya mengikuti, seolah-olah orang yang menonton duduk di samping, ikut mendengar. Di bawah video, muncul ratusan komentar: “Seperti anakku,” “Seperti aku dulu,” “Aku ingin belajar nyanyi lagi.”
Rengganis mengawasi pergerakan angka dengan detak jantung yang tak lagi cemas. Ia ingat dinding kafe. Sayap. Mungkin yang disebut sayap adalah ini: kemampuan menjaga diri agar tak digerus tuntutan, sambil tetap mau bergerak bersama orang lain.
Hanya saja, hidup memang tidak selalu lurus. Semester berikutnya, kantor mereka menghadapi penghematan besar. Proyek-proyek ditunda. Sebagian karyawan dirumahkan. Kabar itu datang siang hari yang terik. Jayengrana memanggil Rengganis.
“Aku sedang memperjuangkan timmu,” katanya. “Tapi kita harus jujur: rencana pemangkasan ini besar.”
“Berapa lama?”
“Belum tahu. Bisa sementara, bisa permanen.”
Rengganis merasakan dinding di belakangnya bergeser. Ia sudah lama menyiapkan kemungkinan paling buruk—orang kota diajari begitu—tetap saja dada terasa digaruk. “Kalau begitu, apa yang bisa kulakukan?”
“Berkas-berkas harus rapi. Jika terpaksa, aku ingin memastikan kalian mendapat rekomendasi terbaik.”
“Mas,” kata Rengganis, “boleh aku jujur?”
Jayengrana mengangguk.
“Selama ini, aku mengukur diri dengan pekerjaan. Kalau pekerjaan hilang, aku takut tak ada apa-apa. Tapi sekarang, aku ingin percaya ada yang tinggal: musim pulang, musim menanam.”
Jayengrana tersenyum miris. “Kau mengajarkannya ke aku.”
Selepas pertemuan itu, Rengganis berjalan sendirian. Di trotoar, suara kemacetan mirip dengungan lebah marah. Ia keluar dari pintu gedung dan seperti biasa berjalan ke kafe sudut itu—yang dindingnya masih menampung kalimat besar-besar itu. Di sana, kursi kayu tetap empat, meja tetap menghadap jalan. Sebuah pohon trembesi merunduk seperti teman lama.
Ia duduk. Barista menyapanya: “Seperti biasa?”
“Seperti biasa. Tapi hari ini sakarinya lebih hemat,” jawabnya bercanda.
Barista tertawa. Kopi datang. Rengganis memandangi orang-orang lewat. Di meja sebelah, dua perempuan muda membicarakan konten mereka, suara mereka lincah seperti burung. Di seberang jalan, seorang bapak berhelm duduk di motornya sambil membuka bekal. Kota ini, pikir Rengganis, tidak berhenti untuk siapa pun. Kita yang harus menemukan ritme kita sendiri.
Ponselnya bergetar. Email HRD: pemberitahuan resmi tentang restrukturisasi. Bukan hari ini, tapi tak lama. Ia menutup email itu. Nafasnya naik turun. Ketika ia hendak menelepon seseorang—siapa saja—suara notifikasi lain masuk. Kustapati: “Kau di mana? Studio sepi. Butuh tangan yang tahu menyalakan lampu.”
Ia tersenyum. Tangan yang tahu menyalakan lampu. Ia berdiri. “Mas,” katanya ke barista, “nanti kembali lagi ya.”
.
Studio malam itu kosong, hanya ada Kustapati membersihkan debu di panggung kecil. “Besok anak-anak latihan lagi,” katanya. “Kau bisa bantu?”
“Bisa.” Jawaban itu terasa berbeda dari “bisa” yang sering ia ucapkan di kantor. Tidak berutang pada target, tidak juga didorong takut. Lebih mirip, seperti kata Kustapati, bagian dari lari maraton.
“Bagaimana kantor?” tanya Kustapati sambil menekuk kabel.
“Akan ada pengurangan. Aku mungkin salah satu nama di list.”
Kustapati berhenti bekerja sekejap. “Kau takut?”
“Ada cemas. Tapi anehnya, ada juga lega. Seperti ketika kau melepas sepatu yang kekecilan. Sakitnya baru terasa saat lepas.”
“Kalau lepas, rencanamu apa?”
“Belajar menanam. Di sini. Mungkin membuka kelas menulis kecil. Atau membuat program konten bersama komunitas. Entah. Tapi aku ingin membuat sesuatu yang pulang ke orang.”
Kustapati mengangguk, memandang Rengganis lama-lama. “Kau tahu nama panggungku di kampung dulu?” Ia tertawa. “Orang memanggilku Kusti, padahal bukan raja. Orang kota mungkin akan mentertawakan. Tapi aku menyimpan maknanya: kita bukan pemilik panggung, kita penjaga lampu.”
“Penjaga lampu,” ulang Rengganis.
“Lampu bukan untuk menyorot kita, melainkan untuk mengenalkan orang pada wajahnya sendiri.”
Kalimat itu seperti mengklik sesuatu di kepala Rengganis. Ia mulai merinci program: lokakarya menulis untuk remaja, kelas pembuatan video sederhana menggunakan ponsel, pameran mural di gang dengan kerja sama RT. Kustapati mencatat cepat di papan putih: Sayap Kota—pulang dulu, terbang lagi.
.
Berhari-hari setelahnya berjalan seperti lembaran buku yang memantul pada cahaya. Di kantor, ia tetap menyelesaikan semua tugas. Di studio, Rengganis menjadi fasilitator: menemani anak-anak memori menulis, membuat video sederhana tentang pasar yang pukul dua pagi sudah ramai, menata panggung untuk pertunjukan bulanan. Ia mengajarkan hal-hal yang dulu ia pakai di pekerjaan: cara bercerita, cara mendengar, cara memotong adegan. Di sela-sela itu, ia menemani Kustapati bersilaturahmi ke kampung-kampung sekitar, bertemu ibu-ibu, bapak-bapak, mendengar cerita yang tak ada di presentasi: listrik yang kerap padam, sewa kontrakan yang naik, anak yang ingin pindah sekolah karena guru favoritnya dipindahkan.
“Orang sering menganggap kota ini masa depan,” kata seorang bapak bernama Wirasaba sambil mengasah pisau untuk memotong tahu bulat. “Padahal sebagian dari kami hidup pada hari ini saja. Besok baru dipikir besok.”
Rengganis mengangguk. Dalam catatannya, ia menulis: “Harus ada program tabungan waktu: satu jam seminggu untuk cerita.” Mereka akhirnya membuat program itu: di warung, di musala, di teras studio; semua orang boleh datang untuk bercerita. Ada yang membaca puisi, ada yang menyetel rekaman suara bapaknya yang sudah meninggal. Ada juga yang hanya duduk, minum teh, mendengarkan.
Suatu malam, seorang remaja—Dewi Rengganing yang dulu pernah bernyanyi—meminta bantuan memotret. Ia berdiri di depan mural sayap di gang. “Aku ingin foto ini untuk lamaran beasiswa,” ujarnya. “Di bawahnya aku tulis: ingin terbang, tapi selalu pulang.”
Rengganis memotretnya. Hasil foto itu bersih, cahaya lampu jalan membentuk lingkaran tipis di rambut Rengganing. Ketika foto jadi, remaja itu menatap lama-lama, lalu memeluk Rengganis. “Kak, rasanya aku lihat diriku sendiri pertama kali.”
Lampu-lampu di gang bergetar digoyang angin. Dari kejauhan suara kereta lewat, seperti garis yang ditarik di udara.
.
Pada bulan ketiga, kabar PHK resmi datang. Nama Rengganis ada di daftar. Jayengrana mengirim pesan panjang yang terasa seperti surat. “Kau salah satu orang paling kuat yang pernah bekerja bersamaku,” tulisnya. “Kau mengajari kami membedakan tangkas dan kasar, cepat dan tergesa. Jika kau butuh apa pun, sebut namaku.”
Rengganis menangis baru kali itu. Bukan karena kehilangan—meski sedihnya ada—tetapi karena rasa diakui sebagai manusia. Ia datang ke kantor untuk pengembalian barang, bertemu staf-staf yang sibuk. Jayengrana menemuinya di lobi. “Aku minta maaf,” katanya.
“Kau sudah membelaku. Aku tahu.”
“Rengganis,” kata Jayengrana, “aku ingin sebuah kemitraan kecil dengan programmu. Bila kau setuju.”
Mata Rengganis membesar. “Program Sayap Kota?”
“Ya. Perusahaan sedang mengarahkan tanggung jawab sosial yang berdampak. Kita bisa dukung lokakarya, produksi video, beasiswa kecil. Kau kelola, kami meniru profesionalismu.” Ia tertawa lirih. “Kau keluar, tapi tetap bekerja bersama kami. Bedanya, ini panggungmu.”
Panggungmu, pikir Rengganis. Atau lampu, koreksi hatinya sendiri. Ia berjabat tangan. Di lift, ia melihat wajahnya di kaca: ada lelah, ada takut, tapi juga ada cahaya yang pelan-pelan menyala dari dalam.
.
Program Sayap Kota resmi diluncurkan pada awal musim hujan. Di spanduk, tertulis: Pulang Dulu, Terbang Lagi. Komunitas memberikan tempat; perusahaan bekas kantornya memberi dukungan dana dan peralatan; beberapa dosen dan jurnalis datang sebagai relawan. Kustapati menjadi direktur panggung: menata kursi, meminjam pengeras suara, memastikan mikrofon hidup. Rengganis menjadi kurator cerita: memilah tema-tema, menyusun jadwal, memfasilitasi kelas.
Kelas pertama dihadiri dua belas remaja. Mereka belajar membuat naskah video satu menit tentang hal yang mereka pedulikan. Ada yang menulis tentang ibu yang membuka warung subuh, ada yang menulis tentang adik yang stunting, ada yang menulis tentang teman yang kecanduan gawai. Rengganis mengajarkan story arc; ia tidak menyebut teori rumit. “Mulai dari melihat, lalu merasa, kemudian memilih,” katanya. “Sisipkan satu kalimat yang kalian percaya.”
Sutasoma—remaja yang dulu membaca sajak jalan raya—membuat video tentang tukang tambal ban di ujung gang. Kalimat yang ia percaya: “Bunyi pelan itu pertolongan.” Video sederhana itu menular. Orang-orang di sekitar mendonasi lampu tambahan agar usaha tambal ban tetap jalan malam hari.
Kelas kedua lebih ramai. Ada ibu-ibu. Mereka membuat podcast berbahasa kampung—bercerita tentang pengasuhan, uang belanja, bunga pinjaman. Kelas ketiga adalah pameran foto di dinding gang yang sama. Di satu dinding paling besar, mereka menulis kutipan: “Cinta pada diri sendiri tidak memberi kupu-kupu, tetapi memberimu sayap untuk pulang—dan terbang lagi.” Di bawahnya ratusan foto orang-orang berdiri memakai sayap mural. Ada guru honorer, ada ojek daring, ada petugas kebersihan, ada pegawai bank yang baru pulang lembur.
Suatu petang, hujan turun. Rengganis berdiri di bawah payung menatap semua itu. Kustapati berdiri di samping, payungnya berbeda warna. “Kau lihat?” katanya.
“Apa?”
“Sayap tidak hanya untuk yang menang kontes. Ia untuk semua yang butuh pulang.”
Rengganis menoleh. “Terima kasih sudah menjemputku waktu itu.”
“Siapa yang menjemput siapa? Kadang aku merasa kaulah yang menyalakan lampu pertama,” ujar Kustapati. “Aku cuma menjaga.”
Hujan semakin deras. Orang-orang berteduh di bawah langit-langit studio. Jayengrana datang hanya dengan jaket. Ia mengecek sudut-sudut, tertawa ketika Sutasoma memanggilnya “Om Jay.” Ia mendekati Rengganis. “Selamat,” katanya. “Kau tahu video tukang tambal ban itu? Viral kecil. Tapi aku paling suka komentar seorang ibu: ‘Terima kasih sudah membuat saya melihat tetangga.’”
Rengganis mengangguk. “Kita sering buta di kampung sendiri.”
“Buta yang disengaja,” Jayengrana mengiyakan. “Karena hidup terlalu cepat.”
.
Malam penutupan pameran, mereka mengadakan pertunjukan kecil. Rengganing bernyanyi, Kustapati memainkan gitar; Sutasoma membaca puisi baru: “Kota adalah rumah yang tak selesai, tapi kita saling menambahkan gentengnya.” Lampu-lampu kecil digantung, makanan dibawa dari rumah masing-masing.
Rengganis diminta memberi sambutan. Ia tidak mahir pidato, tetapi ia belajar berbicara jujur. “Kita merayakan pulang,” katanya. “Pulang bukan mundur; pulang adalah menaruh kaki di tanah, supaya besok kita bisa terbang ke arah yang benar. Sebab, apa gunanya sayap jika kita tak ingat jalan pulang?”
Ia menatap wajah-wajah di hadapannya: Jayengrana, Kustapati, anak-anak kampung, ibu-ibu yang menggenggam payung, bapak-bapak dengan jaket hujan. Rasa haru menyengat hidungnya seperti bau hujan di halaman. Ia melanjutkan: “Aku pernah kehilangan diriku di kota ini. Kupikir yang menyelamatkan adalah pujian, target, angka. Ternyata yang menyelamatkan adalah kalian—cerita-cerita yang benar. Kupu-kupu tak selalu datang; tapi sayap bisa kita bangun bersama.”
Tepuk tangan datang pelan, lalu menguat. Di belakang panggung, mural sayap tampak seperti hidup ditempa lampu-lampu kecil.
.
Tahun berganti. Program Sayap Kota berkembang, tapi mereka sengaja menolak tumbuh terlalu cepat. “Alon-alon asal kelakon,” kata Kustapati mengutip pitutur Jawa. Mereka menambah kelas baru hanya ketika ada relawan siap dan anggaran cukup. Kampung-kampung lain meniru; Rengganis tidak keberatan. Ia percaya hal baik tak perlu diberi lisensi ketat.
Pada hari yang tak terduga, sebuah surat datang dari lembaga filantropi. Mereka menawarkan hibah untuk memperkuat program. Jayengrana menelpon, suaranya terdengar seperti seseorang yang akhirnya melihat matahari setelah berbulan di balik awan. “Aku bangga,” katanya. “Kau mengubah caraku memimpin. Sekarang aku lebih sering bertanya: apa dampaknya untuk orang yang jarang masuk rapat?”
Rengganis tertawa. “Pertanyaan itu berat.”
“Ya, tapi kita harus kuat mengangkatnya.”
Malam itu, Rengganis pulang berjalan kaki. Kota terasa lebih ramah. Bukan karena masalah selesai, melainkan karena ia menemukan cara berjalan yang sesuai dengan napas. Di kafe sudut, tulisan di dinding masih ada. Ia memotret lagi, untuk alasan yang berbeda dari dulu.
Seorang remaja, entah dari mana, bertanya, “Mbak, maksud kalimat itu apa?”
Rengganis menatap dinding, lalu anak itu. “Maksudnya, kau tak usah menunggu rasa berdebar untuk melakukan yang baik pada dirimu. Berbuat baik pada diri sendiri itu tidak selalu terasa seperti jatuh cinta. Tapi dari sanalah sayapmu tumbuh. Kau bisa pulang. Dan kalau sudah pulang, kau lebih mudah terbang—menolong orang lain.”
Anak itu mengangguk, mungkin mengerti, mungkin juga belum. Tak masalah. Kata-kata butuh jarak untuk tumbuh, seperti sayap butuh musim untuk mengembang.
Rengganis melanjutkan langkah. Di trotoar, pohon-pohon trembesi bergoyang. Dan di dalam dirinya, ada sesuatu yang pelan tapi pasti menyala—urip iku urup—hidup adalah nyala.
Ia mengirim pesan pada Kustapati: “Besok kita mulai kelas menulis untuk ibu-ibu puskesmas. Siap?”
Balasan datang cepat: “Siap, penjaga lampu.”
Rengganis tersenyum. Malam seperti mengangguk kepadanya. Sayap-sayap di dinding dan di hati orang-orang itu rupanya menjadi satu kesepakatan baru dengan kota: kita akan pulang dulu, kemudian terbang lagi. Setiap hari, pelan, tapi pasti.
Dan barangkali, itulah bahagia: bukan pesta besar, melainkan kemampuan untuk kembali ke diri sendiri—lalu berbagi jalan pada yang lain.
.
“Pulanglah ketika lelah, karena di sanalah sayapmu diperbaiki. Setelah itu, terbanglah lagi: bukan untuk hebat, tapi untuk bermanfaat.”
.
.
.
Jember, 19 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #SastraKota #SelfLove #PituturJawa #MotivasiHidup #KompasMingguStyle #SayapKota #Storytelling