Perjalanan untuk Mengenang

“Kadang, yang kita tinggalkan demi masa depan, justru adalah yang membuat hidup layak dikenang.”

.

Kota selalu punya dua jam. Satu berderak cepat di dinding kantor-kantor kaca; satu lagi berdetak pelan di dada orang-orang yang bertahan. Suryaatma, seperti kebanyakan kota besar Indonesia, memilih jam yang pertama. Jalan layang baru memotong langit, papan LED berganti iklan saban tiga detik, dan kafe-kafe di koridor pusat bisnis berlomba menghadirkan latte art lebih rapi daripada trotoar di depannya.

Di gang sempit dekat museum kota, jam yang kedua masih menolak menyerah. Di sanalah Wak Totan tinggal—pria renta yang pernah menari di pendapa, menulis aksara Jawa dengan tangan yang kini gemetar, dan menyimpan ingatan yang tak tersapu arus. Pecinya hitam, pinggiran sudah rapuh; kursi kayunya miring sebelah, namun tetap setia menyangga tubuh kurus yang tegas.

Setiap pagi, Wak Totan membuka obrolan pada siapa saja yang melintas.
“Kamu tahu arti ‘edi peni adi luhung’?” tanyanya pada dunia yang bergegas.

Kebanyakan menoleh sekilas, lalu berlalu. Sampai suatu sore, pertanyaannya menahan langkah seorang anak muda.

.

Pertemuan di Bangku Kayu

Namanya Zaidan—mahasiswa tingkat akhir jurusan pariwisata. Anaknya kelas menengah kota: sneakers yang bersih, gawai yang selalu hangat, notifikasi yang tiada henti. Ia baru pindah kos di gang itu karena lebih dekat dengan halte BRT dan stasiun KRL yang memotong Suryaatma jadi rute-rute efisien.

“Maksudnya apa, Wak?”
“Kalau kamu belajar pariwisata,” suara Wak Totan serak, “jangan cuma lihat bangunannya. Lihat nilainya. Tempat bisa runtuh, tapi nilai yang kamu jaga—cara orang saling menyapa, cara kaki menapak pelan di lantai rumah tua—itu yang bertahan.”

Sore itu menjadi awal. Zaidan duduk di bangku kayu reyot yang mengadopsinya pelan. Mereka bercerita tentang kota yang namanya diambil dari matahari—Suryaatma—dan bagaimana cahaya yang terlalu terang kadang membuat orang lupa menengok bayang.

Wak Totan bercerita tentang zaman ketika pasar bukan sekadar transaksi, melainkan temu wajah; ketika nama jalan mengacu pada budi pekerti; ketika tarian bukan komoditas acara brand activation, melainkan rasa syukur atas hujan.

“Dulu,” katanya, “orang datang ke kota ini dengan bekal sopan pada ruang. Pintu ditutup tapi suara hati terbuka.”

Di saku jaket, Zaidan menyalakan perekam. Ia lalu menyalin kata-kata Wak Totan ke aplikasi catatan, menambahkan tagar dan folder agar rapi. Malamnya, ia mengunggah potongan kutipan ke akun kecilnya: #catatanjalan #suryaatma—tanpa tahu, sebuah perjalanan panjang mulai dicicil.

.

Nama-Nama dari Menak Madura

Suatu hari, Zaidan meminta izin. “Wak, boleh saya mengajak beberapa teman? Mereka sedang menulis tentang kota.”
“Bawa saja. Kota ini milik siapa pun yang mau merawat.”

Maka datanglah tiga anak muda—semuanya lulusan kampus-kampus baik, anak keluarga yang rumahnya punya rak buku sekaligus rak piala. Mereka membawa kamera mirrorless, buku sketsa, dan keingintahuan yang belum lelah.

Yang pertama, Jayeng Rana, arsitek yang bekerja di firma besar yang sering diminta merancang mixed-use development—mall, kantor, apartemen, hotel, disatukan di atas tanah bekas gelanggang remaja.
Yang kedua, Leswara, kurator museum yang bosnya sedang kebingungan menambah pengunjung di tengah kompetisi wahana selfie.
Yang ketiga, Joko Tola, produser konten yang paham algoritma, sanggup membuat bayangan lampu neon tampak puitis dalam reel berdurasi lima belas detik.

Nama-nama mereka diambil dari kisah Menak Madura yang acap diselipkan kakek-nenek: Jayengrana, Kelaswara, dan Jokotole. Di Suryaatma, nama-nama itu diringkas oleh kota—tanpa gelar, tanpa kemegahan—agar lebih akrab di telinga Gen-apa-pun.

Mereka duduk bersama di bangku Wak Totan.
“Kalau saya arsitek,” ujar Jayeng, “apa yang harus saya simpan dari kota?”
“Cara dinding berbicara,” kata Wak Totan. “Jangan semua dinding kamu buat dari kaca yang tak memantulkan wajah warga.”
Leswara bertanya, “Kalau museum?”
“Jadikan ruang bagi warga menemukan dirinya. Kalau hanya benda di lemari kaca, ia jadi sunyi.”
Joko Tola mengangkat kamera. “Kalau konten?”
“Pastikan yang kamu viralkan adalah yang menumbuhkan.”

Kalimat terakhir itu menempel di hati Joko Tola seperti lagu yang enggan pergi.

.

Skripsi dan Sebuah Janji

Topik skripsi Zaidan berubah. Dari rencana awal “Daya Tarik Baru Pariwisata Suryaatma: Analisis Event Musik di Kawasan Bisnis”, ia berbelok ke “Perjalanan untuk Mengenang: Narasi Nilai sebagai Daya Tarik Kota.”

“Bagian metodologi jangan lupa,” canda Wak Totan, “kamu sebutkan juga narasumbernya suka duduk di kursi miring.”

Zaidan tertawa. Ia mulai merekam suara Wak Totan untuk dijadikan audio guide. Ia menyusun rute: dari pendapa tua yang kini menjadi co-working space, ke pasar pagi yang diserobot coffee truck, ke masjid kecil yang atapnya berlumut tapi azannya lembut. Ia menulis ulang kisah-kisah lama dengan bahasa yang tak menua.

“Wak,” katanya suatu sore, “saya mau bikin tur virtual. Suara panjenengan jadi pemandu. Anak muda bisa keliling kota pakai earphone, berjalan kaki, dan mendengar cerita.”
“Kalau itu bisa membuat mereka paham,” Wak Totan menatap langit, “rekamlah. Tapi jangan potong maknanya.”

Zaidan mengangguk. “Janji.”

.

Hujan di Hari Pemakaman

Tiap janji yang baik diuji oleh waktu. Musim kemarau yang telat selesai membuat tubuh renta kalah. Satu sore, bangku kayu kosong. Di kamarnya yang sempit, Wak Totan terbaring. Foto hitam putih di dinding—dirinya muda, selendang di bahu, mata yang tertawa.

“Le,” katanya pelan pada Zaidan yang duduk mendekat, “kalau aku tak ada, jaga kotamu. Bangun dengan kenangan.”

Jumat pagi, hujan turun seperti pembuka tirai teater. Pelayat tak banyak: tetangga, penjaga museum, beberapa mahasiswa yang pernah mampir. Jayeng memayungi Leswara yang membawa setangkai bunga cempaka. Joko Tola tak merekam apa-apa hari itu. Ia menyimpan kameranya, merasakan basah di wajah—entah hujan, entah air mata.

Zaidan pulang membawa buku kecil dari meja Wak Totan. Tulisan tangan, tinta yang kadang bocor, huruf yang menua namun tegas. Sampulnya sederhana: Perjalanan untuk Mengenang. Di halaman pertama, ada kalimat yang kemudian mereka jadikan prolog tur suara:

“Pariwisata adalah perjalanan untuk mengenang. Jika hanya menjual pemandangan, ia cepat pudar. Tapi jika membawa nilai, ia abadi.”

.

Kota yang Terus Berlari

Tahun-tahun setelah itu, Suryaatma berlari lebih kencang. Jalan tol baru dibuka—menghubungkan kawasan pelabuhan dengan bandara. Billboard makin besar, pajak reklame makin gemuk. Tetapi di ruang-ruang kecil, pembelajaran baru tumbuh: rute jalan kaki yang ramai tiap akhir pekan; peta yang menyebutkan bukan hanya arah, melainkan cerita; kafe yang menawarkan diskon bila pelanggan mau mendengar audio guide Wak Totan selama lima belas menit sebelum memesan.

Jayeng yang semula sibuk menggarap masterplan kawasan bisnis, mendadak terserap dalam proyek kecil yang baginya terasa besar: merestorasi rumah kayu di belakang museum. Bukan jadi restoran mahal, melainkan rumah singgah cerita—ruang baca, ruang dengar, ruang minum air putih sambil menenangkan langkah. Ia meminjam prinsip Jokotole dari kisah yang pernah ia dengar: kuat karena tahu tempat memukul—mengetuk tepat di simpul struktur agar tidak perlu menghancurkan yang seharusnya cukup diganti.

Leswara merancang program museum yang bukan pamer artefak semata, melainkan pamer cara merawat. Ia menempelkan kode QR kecil di benda-benda; pengunjung bisa memindai, mendengar suara Wak Totan menjelaskan fungsi anglo, kursi lincak, atau jeding di belakang rumah.

Joko Tola, yang algoritmanya tajam, mulai bermain serius. Ia membuat kanal: @PerjalananUntukMengenang. Kontennya bukan nostalgia lebay, melainkan kecakapan: cara menyapa pedagang lama, cara menegur sopan ketika mural lama dicat ulang, cara mencari jalur teduh untuk lansia. Ia percaya: yang dibuat viral bukan hanya pemandangan, melainkan perilaku yang menumbuhkan.

Zaidan lulus. Skripsinya dipuji, lalu menguap seperti kebanyakan skripsi. Tetapi janji pada Wak Totan membuatnya tak bisa pindah ke ibukota lain. Ia bertahan di Suryaatma, bekerja freelance sebagai pemandu tur nilai—sebuah profesi yang tak ada dalam nomenklatur Dinas, namun pelan-pelan menemukan jalannya.

.

Festival Kenangan

Lima tahun selepas hujan pemakaman, Festival Perjalanan untuk Mengenang digelar untuk pertama kali. Bukan festival besar dengan panggung raksasa—melainkan rangkaian hari yang tenang: jalan kaki bersama nenek-nenek yang berbagi tip mencuci baju tanpa mengusir sabar, lokakarya membaca rumah, sesi diam di pendapa dengan menyalakan lampu kuning yang lembut.

Suryaatma, entah kenapa, tampak lebih ramah di hari-hari itu. Trotoar yang biasa diabaikan, tiba-tiba terasa luas. Kafe-kafe mematikan musik bising satu jam tiap sore, memberi ruang bagi suara audio guide Wak Totan mengalun: “Yang baik dan mulia tidak selalu terlihat. Tapi ia tinggal dalam hati orang-orang yang mau mengenang.”

Di tengah festival, seorang anak bertanya pada ibunya, “Bu, siapa Wak Totan?”
Sang ibu tersenyum, menyodorkan ponsel. “Dengarkan.”

Suara serak itu melintas dari speaker kecil, menyeberang dari masa lalu ke telinga masa kini. Anak itu terdiam, lalu menatap ke sekitar—seolah baru pertama kali melihat bahwa kota punya umur.

.

Konflik: Tender yang Menggoda

Ketenangan tak pernah abadi. Pada tahun ketiga festival, sebuah perusahaan pengembang—besar, terdaftar di bursa—mengincar lahan rumah singgah cerita. Mereka menawarkan kerja sama: pendanaan penuh untuk pindah ke lokasi “lebih representatif”, dengan kompensasi digitalisasi penuh, branding, bahkan merchandise yang terlihat meyakinkan.

“Ini kesempatan,” ujar orang dinas pada rapat. “Kita bisa punya gedung baru, AC terjaga, pengunjung lebih banyak.”
Jayeng mengernyit. “Gedung baru bisa. Tapi apakah memori yang berpindah ruang tidak ikut pecah?”
Leswara mencoba menengahi. “Kalau kita bisa merancang translokasi yang sensitif?”
Joko Tola menatap Zaidan. “Algoritma suka yang baru. Tapi orang belajar dari yang lama.”

Mereka berdebat berhari-hari. Di tengah keramaian argumentasi, Zaidan diam-diam membuka kembali buku kecil. Ia membaca catatan tangan Wak Totan, menemukan halaman yang dulu tak diperhatikan: “Perubahan baik adalah perubahan yang menambah cara orang berbuat baik.”

Keesokan paginya, di rapat final, Zaidan berbicara. Ia bukan pejabat, bukan investor, bukan pemilik lahan—hanya anak muda yang pernah berjanji. “Kita boleh menerima pendanaan,” katanya, “tapi syaratnya: rumah singgah tetap di sini. Jika harus dibangun ulang, gunakan material lama sebanyak mungkin. Setiap kayu yang diganti, namanya harus ditulis di dinding: asal-usulnya, tanggal ia dipasang. Kita minta ruang terbuka yang tak digembok, tempat orang duduk tanpa harus beli. Kita minta jadwal hening: dua jam setiap hari, tanpa transaksi. Dan kita minta dana dijalankan dalam model trust—diurus badan yang diawasi warga.”

Seketika ruangan sunyi. Kalimat “diawasi warga” terdengar asing di telinga yang biasa mengukur dengan ROI. Namun entah bagaimana, kata-kata itu menemukan pijakan. Kepala dinas menatap pengembang. “Bisakah?”
Perwakilan pengembang menimbang. Mereka bukan tanpa hati; mereka hanya biasa bergerak dengan logika grafik. “Beri kami angka,” katanya.
Jayeng mengangkat sketsa. “Ini costing konservasi. Ini jadwal yang bisa menguntungkan: placemaking organik, brand equity dari kepercayaan warga. Ini proyeksi foot traffic jangka panjang—bukan peak musiman.”
Leswara menambahkan: “Museum akan menyuplai program tetap, bukan sekali jadi.”
Joko Tola mencatat, siap mengubah bahasa semua itu menjadi narasi yang bisa dipegang publik.

Akhirnya, kontrak disepakati. Bukan tanpa gesekan, tapi juga bukan tanpa wajah yang lega. Rumah singgah tetap di tempatnya. Kayu-kayu tua dibersihkan, dipasang ulang. Di dinding barat, nama-nama kayu tercatat seperti silsilah: saka guru bekas pendapa RT 03, papan jendela dari rumah Mbah Sani, lincak sumbangan Warung Pojok.

.

Pelajaran-Pelajaran Kecil

Selebihnya adalah rangkaian hal kecil yang pelan-pelan menjadi besar:

  1. Jalur Aman untuk Lansia. Jayeng dan teman-temannya melakukan audit pejalan kaki. Mereka mengecat garis tipis di trotoar: jalur lambat dengan permukaan yang rata. Tiga kafe sepakat meminjamkan kursi untuk titik rehat; siapa pun boleh duduk, tanpa pesanan.

  2. Jam Hening. Leswara menetapkan pukul 16.00–18.00 setiap hari sebagai waktu tanpa musik keras di sekitar museum. Pedagang kaki lima diberi briefing: “Ini jam cerita, bukan jam teriak.” Pendapatan tak turun; malah meningkat, karena orang betah.

  3. Reel yang Menumbuhkan. Joko Tola mendesain konten rutin: “Sapaan selama 10 detik untuk pedagang lama,” “Cara mengucap terima kasih kepada petugas kebersihan,” “Tips jalan kaki dengan mata yang memeluk.” Tontonan itu ditiru; tagar #perjalananuntukmengenang mendadak jadi kebiasaan, bukan tren musiman.

  4. Tur Nilai. Zaidan memandu rute yang bukan tentang spot swafoto. Ia mengajak menutup mata di depan rumah yang menyimpan duka, membaca nama di dinding kayu, dan menuliskan satu kalimat syukur di kertas kecil untuk ditempel di papan pesan.

    “Kota bertahan,” katanya pada setiap rombongan, “bukan karena beton, melainkan karena kita memilih untuk mengenang dengan benar.”

  5. Dana Publik. Kontrak dengan pengembang memasukkan satu klausul: 1% omzet ruang komersial di sekeliling museum masuk ke Dana Kenang Warga—dipakai membiayai perawatan, program anak, dan beasiswa pemandu muda. Transparan, dipublikasikan tiap kuartal.

Semua itu bukan revolusi. Tetapi di kota yang terbiasa mengukur dari tinggi bangunan dan ketebalan marjin, kebaikan-kebaikan kecil adalah seni bertahan yang elok.

.

Surat untuk Wak Totan

Pada peringatan tujuh tahun tur suara, Zaidan menulis surat. Ia duduk di bangku tua yang kini sudah dibetulkan tukang kayu kampung, sambil menempelkan mikrofon kecil di dadanya.

Wak,
Terima kasih telah mengajarkan detak jam yang pelan. Kota ini masih berlari, tapi sekarang ia menengok lebih sering. Ada anak yang menanyakan arti “edi peni adi luhung” karena mendengar suaramu di kafe. Ada bapak-bapak yang memutuskan menunda mengecat ulang mural karena ingat catatanmu tentang dinding berbicara. Ada pengembang yang belajar bahwa angka bisa berdamai dengan memori.

Kami masih belajar, Wak. Masih salah, masih tak sabar. Tapi kami tahu arah: menumbuhkan.

Ia menutup suratnya, menaruh salinannya di rak kecil di rumah singgah, di samping buku asli yang rapi dalam kotak kaca—bukan untuk dimuseumkan, melainkan untuk diingat bahwa kenangan yang baik bekerja tanpa panggung.

.

Anak yang Mendengar

Festival Perjalanan untuk Mengenang kini menjadi acara tahunan. Di lapangan kecil dekat museum, anak-anak menari tari klasik dengan langkah yang dipelankan, seperti mengingatkan bahwa gerak paling puitis bukan lompatan, melainkan jeda di antara lompatan.

Seorang anak—mata bulat, rambut diikat—menarik lengan ibunya. “Bu, siapa Wak Totan?”
Sang ibu mengambil ponsel, memutar audio guide dari kanal. Suara serak itu datang, selembut lampu sore.

“Yang baik dan mulia tidak selalu terlihat. Tapi ia tinggal dalam hati orang-orang yang mau mengenang.”

Anak itu mengangguk. Di wajahnya, ada sesuatu yang tumbuh: cara memandang yang sedikit lebih sabar. Ia memegang tangan ibunya lebih kuat, menandai rute yang ingin ia lalui malam ini. Bukan ke mall baru, bukan ke wahana lampu buatan, melainkan ke rumah singgah cerita—ruang di mana kota berdetak pelan, mengajarkan satu pelajaran lama yang terus segar:

Bahwa masa depan paling kokoh adalah masa depan yang dibangun dari kenangan yang dijaga, bukan dari lupa yang dirayakan.

.

.

.

Jember, 8 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#PerjalananUntukMengenang #Suryaatma #KotaYangBerhati #TurNilai #MuseumHidup #CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #HeritageUrban #CeritaKota #BelajarMengenang

.

Quotes dalam naskah & relevan

  • “Pariwisata adalah perjalanan untuk mengenang. Jika hanya menjual pemandangan, ia cepat pudar. Tapi jika membawa nilai, ia abadi.”

  • “Perubahan baik adalah perubahan yang menambah cara orang berbuat baik.”

  • “Yang baik dan mulia tidak selalu terlihat. Tapi ia tinggal dalam hati orang-orang yang mau mengenang.”

  • “Kota bertahan bukan karena beton, melainkan karena kita memilih untuk mengenang dengan benar.”

Leave a Reply