Pergi Tanpa Pamit
“Ada saatnya bertahan adalah keberanian, namun lebih sering, melangkah pergi adalah bentuk tertinggi dari mencintai diri sendiri.”
“Hujan itu tidak menenggelamkan, ia hanya menguji: masihkah kita sanggup menyeberang dengan kaki sendiri?”
.
Hujan turun sejak subuh. Bukan hujan deras, melainkan gerimis yang telaten—menetes pelan di sela genteng, memantul di seng tetangga, dan menyapu halaman sempit kos-kosan di bilangan Jagakarsa. Di kamar 3×4 meter—cat dindingnya terkelupas seperti ingatan yang tak mau direkatkan lagi—dua manusia duduk berhadapan dipisahkan meja kayu kecil yang pernah menjadi saksi tawa, cekikikan receh, juga diam-diam yang belakangan ini makin panjang.
Ponsel di atas meja menyala, notifikasi berulang “Meeting with Client, 09.00” berkedip seperti lampu darurat. Jayeng tak benar-benar melihat. Kaos kelabunya memudar, rambutnya kusut seperti file desain yang terlalu sering di-edit–undo–redo. Matanya merah. Bukan karena menangis; air mata adalah kemewahan yang sudah lama ia tunda. Di hadapannya, Ning menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin. Tatapan Ning menembus kaca jendela yang berembun: jalan kampung basah, suara KRL jauh di sana seperti garis yang membelah langit.
“Kamu nggak berangkat?” suara Ning lirih, secarik.
“Entar,” jawab Jayeng. Bahunya bergerak seakan beban tak terlihat disangkutkan di sana.
Mereka tidak bertengkar. Tidak ada pintu dibanting. Tidak ada kalimat terakhir. Justru karena tak ada ledakan, udara di dalam kamar terasa lebih mencekam. Seperti kapal yang retak di lambung, merembes, tenggelam pelan dan sendu. Mereka saling tahu; diam adalah bahasa yang paling jujur pagi itu.
.
Tentang Mereka yang Bertahan
Di kartu namanya tertulis “Jayengrana—Senior Graphic Designer”. Di Slack kantor, rekan-rekan memanggilnya Jayeng. Ia bekerja di sebuah agensi digital di bilangan Kemang. Hidupnya adalah rotasi layar monitor 27 inci, lampu meja yang terlalu putih, kopi sachet rasa mokacino, dan chat klien di pukul 00:37: “Mas, bisa revisi tone-nya agak youthful?” Ia sibuk. Tetapi jarang merasa hidup. Jakarta memelintir waktu: menit jadi detik, hari jadi minggu, mimpi jadi subfolder.
Ning—disingkat dari Adaninggar—adalah perempuan yang Jayeng temui tujuh tahun silam di aksi solidaritas lingkungan di Monas. Mata Ning menyala; suaranya tegas; pikirannya tajam seperti garis vector. Ia percaya pada hal-hal yang bisa tumbuh: pohon, keyakinan, orang. Setelah bertahun-tahun bersama, Ning menjadi versi lain dari dirinya: lebih banyak diam, lebih cepat lelah, penuh pertanyaan yang ditanya ke dinding.
Mereka tinggal di kamar kos itu dua tahun. Bukan karena tak mampu pindah, melainkan karena tak sempat memutuskan. Kamar itu memantulkan yang mereka rasakan: sempit, lama tak direnovasi, tetapi tetap dihuni. Di rak buku—yang sebenarnya rak sepatu—terselip Tere Liye, Pramoedya, manual Figma, dan seikat tiket KRL yang dilaminating seadanya: kenangan tentang siapa dulu mereka.
.
Mie Instan dan Ketidakpastian
Malam sebelumnya listrik sempat padam. Mereka memasak mie instan dengan air termos di teras kecil. Tanpa musik, tanpa TV, hanya rintik hujan dan dengung nyamuk. Di kegelapan yang dingin, suara sruput mie terasa lebih nyaring dari biasanya.
“Jay…” Ning memanggil, menahan jeda, “kamu bahagia nggak sih… sama semua ini?”
Suapan terakhir Jayeng berhenti di tengah jalan. Pertanyaan itu pernah mampir, tapi malam itu ia seperti mengetuk lebih keras. Ning melanjutkan tanpa menoleh, menatap hujan yang membuat garis-garis tipis di udara.
“Hidup kita sekarang kayak duduk di halte. Menunggu bus yang nggak pernah datang. Aku capek nunggu.”
Jayeng menatap Ning. Mata Ning berkabut, bukan oleh hujan. Ia ingin berkata sesuatu—apa saja—tapi kata-kata seperti tercekat di kerongkongan. Ia pun bingung: bus yang mana, ke arah mana, tiketnya siapa?
.
Kepergian yang Tak Bernada
Pagi ini Ning berangkat lebih awal. Tidak tergesa. Tidak dramatis. Tidak meninggalkan jejak kecuali secarik kertas di atas meja:
Aku nggak marah. Aku cuma sadar kita sudah lama tidak ke mana-mana. Aku butuh jalan pulang buat diriku sendiri.
Jayeng membaca lima kali. Tangan bergetar. Tidak ada dentum. Hanya rongga di dadanya melebar, seperti seseorang baru membuka jendela yang selama ini tertutup rapat dan lupa cara menutupnya lagi.
Ia ingin mengejar. Ingin bicara. Ingin menawarkan jeda, jeda yang tak pernah mereka beri. Tetapi ia tahu: Ning telah memilih kalimat yang paling ia takutkan. Pergi tanpa pamit—karena pamit sering disalahpahami sebagai pintu untuk menahan.
“Sebagian perjalanan memang harus dimulai sendirian. Bukan untuk menjauh, tapi untuk kembali bernapas.”
.
Ruang Kosong Bernama Sepi
Tiga minggu berlalu. Kamar itu sama, hanya lebih sunyi. Sandal Ning tak lagi di depan pintu; gelas favoritnya—yang bergambar kucing oranye—tak lagi basah di rak piring. Aromanya lenyap. Yang tersisa adalah suara hujan yang berhenti di talang, suara motor ojek di gang, dan suara isi kepala yang terlalu ramai.
Jayeng bekerja seperti biasa. Turun dari KRL di Tanjung Barat, lanjut Metromini, berjalan menunduk melewati trotoar yang baru diperbaiki. Di kantor, layar-layar menyala seperti akuarium neon. Umar Maya—teman satu divisi—menyodorkan revisi. “Bro, deck klien jam tiga ya. Mereka mau tagline yang lebih ‘membumi tapi aspiratif’.”
“Membumi tapi aspiratif?” Jayeng mengulang, tersenyum tipis. “Kayak kita ya, Ma. Kakinya di aspal, kepalanya di plafon.”
Umar Maya tertawa sebentar, lalu menyimpan tawa itu di saku. Ia menepuk bahu Jayeng. “Lo kelihatan capek.”
Sore di kantin, di antara suara sendok dan piring, Jayeng akhirnya berkata, “Ning pergi.”
Umar Maya diam. Membiarkan kalimat itu meletakkan dirinya di meja. “Lo mau gue temenin pulang?”
Jayeng menggeleng. “Gue… mau pulang ke diri gue dulu.”
.
Menulis untuk Pulih
Malamnya, Jayeng duduk di taman kecil dekat kos. Lampu taman redup, daun ketapang basah, semut-semut sabar menyeberang. Ia membuka aplikasi notes dan menulis:
Aku kehabisan energi dan kehilangan arah. Yang paling menyakitkan: aku tahu itu, tetapi tetap bertahan.
Ia menatap kalimat itu lama. Ada hal aneh yang ia rasakan: sakit yang jujur terasa menenangkan. Ia mengirim tulisan itu ke akun Medium yang tak pernah ia isi lagi; mengatur visibility menjadi unlisted. Tidak untuk siapa-siapa, tetapi tidak sepenuhnya untuk dirinya sendiri.
“Kejujuran pada diri sendiri bukan pintu yang dibuka orang lain; itu kunci yang kamu temukan di saku jaketmu sendiri.”
.
Perjalanan ke Selatan
Besoknya ia mengajukan cuti. Dua minggu. “Recharge,” tulisnya di kolom reason. HR menanyakan alasan lebih spesifik; ia ketik: “Menemukan yang hilang.” Tiket kereta ekonomi ke Yogyakarta dibelinya mendadak. Ia membawa satu tas ransel: dua kaus, celana bahan longgar, kamera saku murah, buku kecil kosong.
Stasiun Pasar Senen subuh. Penjaja roti dan kopi instan; obrolan pelan orang yang baru bangun; anak kecil bertanya kenapa kereta bisa panjang sekali. Di bangku tunggu, seorang bapak berpeci menyanyi pelan: “Terlalu manis… untuk dilupakan…”
Dalam gerbong, Jayeng duduk dekat jendela. Sawah mulai menampakkan diri setelah Bekasi: garis-garis hijau, kubah-kubah musala kecil, burung bangau berdiri di lumpur. Tangisan bayi di kursi depan, bau telur gulung dari plastik, dan ritme roda yang menenangkan: tak ada notifikasi, tak ada revisi.
Di Tugu ia turun. Menyewa motor matik. Ia melaju tanpa tujuan: Malioboro dengan payung warna-warni, Kotagede yang menyimpan sepi, Parangtritis dengan angin yang menghentak. Lalu senja di Imogiri: langit oranye, suara azan membelah hawa, seseorang menawari wedang ronde. Ia menolak pelan, memilih duduk di bawah pohon beringin. Di sana, akhirnya, ia menangis. Lama. Bukan karena Ning. Bukan semata karena Ning. Tetapi karena ia sadar: ia telah terlalu lama membiarkan dirinya menjadi orang yang bukan dirinya.
Malam itu ia menulis lagi:
Seandainya ada sejenis tanda “keluar” di dalam hidup, semoga aku akan menemuinya di sini. Bukan untuk kabur; untuk pulang.
.
Hamzah di Angkringan
Di sebuah angkringan dekat Ki Ageng Pemanahan, ia bertemu Hamzah. Pria muda dengan mata jernih, sedang membuat konten untuk kanal YouTube-nya: cerita-cerita orang kecil yang bertahan. Hamzah mengulas kegiatan relawan, pekerja seni jalanan, pedagang buku bekas. “Yang saya rekam cuma cara mereka mengakali hidup, Mas,” katanya. “Biar orang ingat, kehidupan tetap berdetak meski pelan.”
Hamzah menunjuk kamera: “Mau cerita?” Jayeng menggeleng, tertawa malu. “Belum. Saya masih jadi tokoh pendukung di film sendiri.”
Hamzah mengangkat alis. “Seru itu. Tokoh pendukung bisa selamat, Mas. Tokoh utama kadang tewas duluan.”
Jayeng menatap jauh, lalu mengatakan sesuatu yang bahkan mengejutkan dirinya: “Saya ingin hidup yang lambat. Bukan hidup yang terlambat.” Hamzah mengacungkan jempol. “Duduk. Minum teh. Pelan-pelan. Hidup kita bukan respawn game. Cuma satu kali.”
“Bahagia sering kali bukan datang dari penambahan, melainkan dari pengurangan: kurangi bising, kurangi basa-basi, kurangi pura-pura.”
.
Surat untuk Ning
Di penginapan murah di Prawirotaman, Jayeng menulis surat yang tak ia kirim:
Ning,
Aku selalu takut kehilangan, hingga tak pernah berani melepaskan. Ternyata, dilepasmu aku menemukan: yang seharusnya paling kuberi pegangan selama ini adalah diriku sendiri.
Aku ingat kamu bilang: ‘Kita ini halte, tapi kita memaksa diri jadi terminal.’ Maaf—aku memaksamu jadi terminal untuk semua raguku. Terima kasih sudah pergi. Kepergianmu menunjukkan arah: bukan ke mana harus mengejar, melainkan ke siapa harus kembali.
Aku tidak minta kau kembali. Aku hanya minta diri kita masing-masing tidak lagi hilang.
Selamat pulang ke dirimu. Aku belajar menyusul.
—J.
Ia menutup buku. Dalam diam, ada semacam salam.
.
Pulang dengan Cara Baru
Sebulan kemudian, Jayeng kembali ke Jakarta. Kamar kos itu masih sempit, tetapi ia membukanya: mengganti lampu menjadi hangat, menempelkan foto langit Imogiri, menaruh pot sirih gading di dekat jendela. Ia mengatur lemari dan menyingkirkan baju yang tidak lagi terasa menjadi dirinya. Ia memasak perlahan: sayur bening, telur dadar, sambal bawang. Wangi bawang tumis membuat kamar seperti rumah.
Ia menulis blog tentang kelelahan di dunia kerja. Bukan motivasi murahan, bukan tips-tips ajaib, melainkan catatan yang jujur—tentang kegagalan, tentang rasa bersalah, tentang belajar menolak. Tulisan itu tidak ia promosikan. Tapi algoritma punya cara mendengar kejujuran: satu demi satu orang menemukan, mengirim surel, bercerita. Petugas call center, pegawai kelurahan, desainer lepas, perawat malam. “Mas, saya baca tulisan Mas. Rasanya seperti diajak duduk di teras. Terima kasih.”
Umar Maya suatu sore memotret kamar Jayeng yang berubah. “Bro,” katanya heran, “lo install IKEA di sini?”
Jayeng tertawa. “Gue install diriku. Beta version.”
Kantor menawarkan promosi. Posisi associate creative director. Gaji naik, tanggung jawab dua kali lipat. “Kamu pantes,” kata bosnya. “Portofoliomu kuat. Kamu orang paling tenang saat krisis.” Jayeng meminta waktu. Malam-malam ia berjalan kaki di Tebet, menyebrangi jembatan penyeberangan yang membentang di atas perlintasan KRL. Lampu kota seperti kumpulan titik-titik pilihan yang harus dipilih juga. Pada akhirnya ia menolak promosi, memilih jam kerja yang lebih manusiawi, dan menyusun jadwal pro bono untuk komunitas muda: kelas design for good di warkop, sesi mendengar untuk kawan yang kelelahan.
“Menolak bukan berarti tak bersyukur. Kadang itu justru cara paling tulus untuk menjaga yang sudah kau syukuri.”
.
“Tanda-Tanda Kamu Perlu Pergi”
Dua tahun kemudian, sebuah komunitas di Depok mengundang Jayeng mengisi seminar: “Tanda-Tanda Kamu Perlu Pergi.” Aula kecil, kursi plastik biru, kipas angin berdecit, spanduk ditempel plester. Seratusan orang duduk. Sebagian memegang buku catatan, sebagian lain menggenggam cemas di jari.
Jayeng membuka dengan cerita biasa: gerimis yang telaten, kamar 3×4, mie instan, listrik padam. Ia tidak menyebut semua nama. Tetapi setiap orang seperti merasa dipanggil.
“Kalau kamu bangun pagi dan merasa seperti utang pernapasan sejak kemarin, hati-hati,” katanya pelan. “Kalau kamu bekerja dengan jari bergetar, bukan karena kopi, tapi karena takut mengecewakan semua orang—termasuk dirimu—berhenti sebentar. Kalau kamu mulai memaki cermin, bukan bercermin—mungkin itu saatnya pergi. Bukan untuk menyerah, tetapi untuk pulang.”
Seusai acara, seorang perempuan menyapanya. Rambutnya lebih pendek, matanya tetap itu: tajam yang hidup, hangat yang berani. “Hai,” katanya. “Kamu kelihatan sehat.”
“Hai,” balas Jayeng. “Kamu juga.”
Ning tidak menanyakan kabar terlalu dalam. Tidak ada nomor bertukar. Mereka berdiri di depan aula, memandangi anak-anak SMP pulang mengayuh sepeda, dan tertawa pada sesuatu yang tidak perlu disebutkan: mereka pernah saling menyelamatkan, caranya saja berbeda.
“Terima kasih,” kata Ning, “sudah menuliskan yang banyak orang takut sebut.”
“Terima kasih,” jawab Jayeng, “sudah menunjukkan pintu keluar yang ternyata pintu masuk.”
.
Umar, Maya, dan Kota
Di keramaian kota, teman-teman tak benar-benar meninggalkan. Umar Maya—yang selalu menjahit humor di sela cemas—akhirnya berbisnis kecil-kecilan, mencetak totebag dari kain sisa untuk komunitas pejalan kaki. “Biar langkah kita punya wadah,” katanya. Ia memanggil proyeknya Maya-Maya: bayangan yang menemani.
Hamzah di Yogyakarta mengirim pesan: videonya tentang pedagang buku bekas mencapai seratus ribu tonton. “Kita tidak viral,” tulisnya, “kita beriak—pelan, tetapi cukup untuk membuat lingkaran.”
Kota tetap bising: bunyi sirene, klakson, kampanye, kabar PHK, harga sewa naik. Tetapi ada juga hal-hal kecil yang—kalau kamu menunduk—dapat kamu lihat: ibu-ibu membagikan bubur gratis di posyandu, bapak-bapak menambal lubang jalan dengan sisa semen proyek, anak-anak mengajari kakek-nenek membuat akun pos-el. Di antara jembatan dan gang sempit, Jakarta selalu menyimpan alasan untuk bertahan—kalau kamu tahu apa yang sedang kamu pertahankan.
“Kita tidak harus kuat setiap hari. Yang penting: tidak berbohong pada lelah.”
.
Surat Balasan yang Tak Dikirim
Sebuah malam, tanpa hujan, tanpa angin—hanya panas yang malas—Jayeng menemukan amplop di bawah pintu. Tanpa nama pengirim. Tulisan tangan yang ia kenal. J., seandainya kau masih menyimpan rak buku itu, simpan juga ini. Di dalamnya ada fotokopi halaman buku kumpulan puisi, kertasnya menguning. Pada sudut bawah, ada kalimat Ning:
Ketika kau berjalan menjauhi yang menahan napasmu, jangan lupa menghirup panjang. Itu doa dari dirimu yang kau tolong.
Jayeng tersenyum. Ia menempelkan kertas itu di dinding, di samping foto langit Imogiri, di bawah pot sirih gading yang merambat sabar. Ia duduk di lantai, punggung menempel dinding, merasakan sesuatu yang sederhana: damai, karena tidak ada lagi S.O.S. yang ia abaikan dari dalam dirinya.
.
Gerimis yang Mengerti
Beberapa tahun berlalu. Seminar menjadi lebih jarang; ia memilih kelompok kecil, lingkar-lingkar belajar di perpustakaan RW, sesi menulis di balai warga. Di satu sore, gerimis kembali datang, telaten seperti dulu, memanggil rasa-rasa yang pernah tumbuh, dan menanyakan kabar dengan diam.
Di bawah atap seng yang berisik oleh rintik, Jayeng menulis kalimat yang mungkin akan ia coret sebentar lagi, tetapi malam itu ia biarkan hidup:
Pergi tanpa pamit bukanlah cara untuk menyakiti. Kadang itu satu-satunya cara agar yang tertinggal di belakang berani belajar berkata: ‘Aku juga boleh memilih diriku.’
Ia mematikan lampu, membiarkan cahaya dari jendela menyusup; kota masih bekerja, masih bising, masih ingin didengarkan. Dan dari tempatnya, di kamar sempit yang kini terasa luas, ia tahu: pulang bukan alamat. Pulang adalah keberanian untuk tidak lagi mengabaikan panggilan ke dalam.
“Hidup bukan tentang bertahan selamanya. Kadang, pulang berarti melangkah pergi.”
“Tekanan tidak datang untuk menghancurkanmu, melainkan mengingatkan: kamu masih hidup, masih belajar, dan masih punya kesempatan untuk tumbuh.”
.
.
.
Jember, 30 Juli 2025
.
.
#Cerpen #PergiTanpaPamit #SelfLove #UrbanJakarta #KesehatanMental #Storytelling #MenakMadura #Harubiru #Motivasi #LiterasiIndonesia