Percakapan Kecil, Revolusi Batin
“Disiplin bukan hanya soal menata waktu, tetapi tentang menata hati agar tetap teguh meski dunia di luar terus berguncang.”
.
Senin pagi di Jakarta selalu sama: klakson bersahut-sahutan, bau hujan yang tertinggal di aspal bercampur dengan aroma kopi sachet di tangan para pejalan. Bus Transjakarta mengerem—berdecit—dan pintu gesernya membuka seperti mulut kota yang menelan siapa saja yang bergegas. Lalo berdiri di dekat jendela, napasnya berkabut tipis. Di telinganya, suara notifikasi bertalu—rapat jam sembilan, angka-angka yang harus dikurung dalam tabel, ambang batas yang harus ditembus.
Di layar ponsel, ada pesan dari Kelas: “Buckle down and get focused, Lal. Jangan biarkan Senin dan Selasa ngelindasmu. Kalau perlu, pura-pura tuli sama kebisingan.” Lalo tersenyum miring. Ia mengunci ponsel, menatap bayangannya sendiri di kaca bus—mata sedikit cekung, garis halus di kening yang belum ada setahun lalu.
Lift kantor melesat naik. Lantai dua puluh delapan. Ding. Ruang kerja mereka transparan—tembus pandang dari ujung ke ujung, seperti kejujuran yang dipamerkan. Di dinding, slogan berbunyi: Result is everything. Serat, atasan mereka, menepuk-nepuk meja dengan ujung pulpen. “Kita butuh keajaiban dalam dua hari,” katanya, setengah bercanda, setengah ancaman.
Lalo menunduk pada layar. Angka-angka menari, kadang pergi dari logika seperti burung yang tak betah di sangkar. Ia menarik napas panjang. Disiplin. Kata itu ia tulis di kertas tempel kuning, ditempel di tepi monitor. Disiplin versi Lalo bukan tentang jam kerja lebih panjang, melainkan cara menjaga kepala tetap utuh saat dunia menuntut lebih dari yang bisa ia beri.
Malamnya, kamar kos Lalo wangi deterjen. Ia meletakkan nasi bungkus di meja kecil, membuka catatan: Disiplin adalah menolak tergoda membandingkan hidupmu dengan orang lain. Disiplin adalah tetap sopan ketika kau ingin berteriak. Di ujung catatan, ada tambahan huruf miring: “Jangan biarkan kata-kata orang lain mendikte tetabuhan di dadamu.” Ia mengantuk, tapi matanya menolak. Ada sisa Senin yang menempel di kulitnya—lengket—dan tak mudah dibilas.
.
Selasa datang seperti rencana cadangan yang batal. Tim keuangan meminta revisi, tim produk minta data ulang, tim hukum minta “bahasa yang lebih aman.” Lalo seperti berdiri di simpang lima, semua kendaraan mengarah ke tubuhnya. Sekali waktu ia menoleh ke luar jendela—awan-awan kelabu bergerak cepat, rendah, seperti kepala-kepala pekerja yang menunduk di trotoar.
Menjelang magrib, ponsel bergetar. Panggilan video dari Ibu. Wajah Ibu muncul, sedikit buram karena sinyal. “Nak, piye kabarmu?” tanya Ibu. Suaranya mengingatkan pada kampung: sumur di belakang rumah, suara lonceng sapi, angin laut yang datang pelan. “Kota kerasa abot, Bu,” ujar Lalo, setengah berbisik. Ibu tersenyum, matanya menyipit. “Sing jujur lan sabar mesti menang. Nanging elinga, menang ora kudu ngalahake wong. Menang iku menaklukkan awak dewe.”
Kalimat itu menempel di dinding hati Lalo. Setelah panggilan berakhir, ia menatap monitor: file berderet, komentar-komentar di kolom samping seperti gerigi yang menunggu kulit. Ia menulis lagi di kertas tempel: “Menang terhadap dirimu sendiri.” Lalu ia mematikan monitor lima menit lebih cepat dari biasanya—hadiah kecil untuk diri yang tak runtuh hari ini.
.
Rabu pagi, hujan turun tebal. Kota seperti dililit selendang kelabu. Lalo datang lebih awal, menyalakan komputer, dan menuang kopi hitam ke cangkir kusam yang gagangnya retak. Di ruang rapat kaca, presentasi dimulai. Grafik-grafik di layar seperti peta yang akhirnya punya legenda. Kata-kata Lalo mengalir—bukan dari hafalan, tetapi dari sesuatu yang lebih dalam: keyakinan. Baris-baris data tiba-tiba punya cerita; kenaikan bukan sekadar persentase, melainkan napas pelanggan yang ditahan atau dihela.
Kelas, duduk di sudut ruangan, mengangkat alis, bangga. Setelah rapat, ia merangkul Lalo. “Start a revolution,” katanya, setengah berbisik. “At least start a conversation.” Ia tertawa. “Dan barusan, orang-orang beneran menggantung di setiap kata lo.”
Siang itu, mereka makan di warung tenda belakang kantor—ayam goreng, sambal, nasi yang mengepul. Di meja sebelah, dua anak muda ribut soal startup: valuasi, pivot, burn rate, kata-kata besar yang mudah dibunyikan. Kelas memandangi mereka sebentar, lalu beralih ke Lalo. “Gue iri sama cara lo bicara, Lal. Lo nggak menakut-nakuti, tapi bikin orang mau bergerak.”
Lalo menatap nasi di piringnya. “Gue nggak mau jadi pemimpin yang bikin orang takut,” katanya. “Gue cuma mau jadi orang yang berani bilang ‘aku juga takut, tapi mari coba’.”
Kamis sore, kantor mengadakan town hall. Serat berdiri di depan, menjelaskan target kuartal berikutnya. Ada satu sesi tanya-jawab. Tangan Lalo terangkat sendiri, bahkan sebelum pikirannya selesai berhitung risiko. “Kalau target ini tercapai dengan lembur yang tidak sehat,” katanya, “apakah kita tetap menyebutnya kemenangan?” Ruangan senyap. Serat mengerling, semacam senyum kecil yang tak sampai ke mata. “Pertanyaan bagus,” katanya. “Kita akan bahas di internal manajemen.”
Setelah acara bubar, seorang perempuan mendekati Lalo. Rambutnya sebahu, matanya tajam, suaranya tenang. “Aku Ning,” katanya. “Divisi people & culture.” Ia menahan tangan Lalo sejenak. “Terima kasih sudah menanyakan hal yang semua orang pikirkan.” Nama itu merobek kotak kecil di kepala Lalo—Menak. Ia teringat nama-nama yang pernah diceritakan Mbahnya di masa kecil: Jayengrana yang teguh, Adaninggar yang cerdas, Umarmaya yang setia. Di kota ini, nama-nama itu seperti menitis menjadi Jaya, Ning, Maya—bukan tokoh sandiwara, melainkan manusia biasa dengan tagihan listrik dan janji-janji yang ingin ditepati.
.
Jumat pagi membawa rasa masam di lidah. Notifikasi dari bank: saldo menipis. Tagihan cicilan motor, uang kiriman untuk Ibu, makan sehari-hari, jatah untuk nabung yang selalu gagal utuh. Lalo membuka file lama—Rencana Keuangan Lalo. Sederhana: pemasukan, pengeluaran, sisa. Tetapi hidup jarang sederhana. Ia menatap kolom “lain-lain” yang selalu kebablasan: kopi tambahan, ongkos transport saat hujan, kado kecil untuk teman yang resign.
Kelas mengetuk pintu kubikel. “Lo sempet?” Lalo mengangguk. Mereka duduk berdampingan, menatap lembar kerja yang sama. “Kita bikin ulang dengan jujur,” kata Lalo. “Bukan ideal, tapi real.” Mereka mengurutkan pengeluaran, mengganti “lain-lain” menjadi “kebaikan kecil”—nama yang lebih jujur. Di sampingnya, Lalo menulis: Kebaikan kecil tak perlu besar, hanya perlu tepat.
Sore menjelang, kantor perlahan kosong. Jam lima lewat tiga puluh, Serat menyapa—suara halus yang sering terdengar saat ada misi baru. “Lalo,” katanya, “manajemen tertarik dengan presentasimu. Tapi tolong, minggu depan kamu bantu tim penjualan untuk dorong angka—apa pun caranya.” Apa pun caranya. Kalimat yang mengundang banyak cara, termasuk cara-cara yang tak ingin Lalo pakai.
Sabtu, Lalo memutuskan berjalan kaki lebih jauh dari biasanya. Dari kos di kampung kecil dekat stasiun, ia menyeberang gang, melintasi pasar pagi yang mulai lengang, menuju jembatan penyeberangan yang menatap jalan protokol. Di bawahnya, poster iklan berkilau menjanjikan versi hidup yang lebih cepat, lebih sukses, lebih gemilang. Di atas jembatan, Lalo merasakan angin mengusap wajahnya. Ada rasa ringan yang datang dari ketinggian—bukan karena lebih dekat ke langit, tetapi karena sesaat bisa memandang kota tanpa harus memenangkannya.
Di bawah, ia melihat seorang perempuan memotret mural di dinding beton. Ning. Ia menyadari orang itu sama dengan Ning dari town hall. Ning melambaikan tangan, mengajaknya turun. “Aku suka datang ke sini,” katanya. “Kota ini jujur kalau kita jarakkan diri sedikit.” Mereka jalan beriringan, bercerita tentang asal-usul. Lalo bertutur tentang kampung dan Mbah—tentang kisah Menak yang dulu ia dengar sebagai dongeng tidur, tentang sabar yang tidak pasrah, berani yang tidak gegabah. Ning bercerita tentang ayahnya yang pedagang buku bekas. “Setiap buku punya bekas tangan orang,” katanya. “Kota juga begitu. Bekas tangan, bekas harap, bekas takut.”
Mereka berhenti di kios roti kecil. Ning menunjuk papan bertuliskan Setiap roti adalah pagi yang baru. Lalo tertawa. “Kalau begitu, boleh aku membeli dua pagi?” “Boleh,” jawab Ning. “Satu untukmu, satu untuk hari yang ingin kau mulai ulang.”
.
Minggu datang tanpa rencana, seperti tamu yang mengetuk dan langsung masuk. Lalo naik ke atap kos—genteng seng memantulkan matahari tipis. Ia duduk di tepi, kaki bergoyang di udara panas. Ponselnya penuh catatan berantakan, tapi hari itu ia membuka halaman baru. Manifesto Kedisiplinan Lembut. Ia menulis pelan:
-
Disiplin adalah perlindungan, bukan hukuman.
-
Disiplin adalah bahasa cinta pada diri sendiri.
-
Disiplin adalah keberanian menolak cara singkat yang melukai.
-
Disiplin adalah kebaikan kecil yang diulang sampai menjadi kebiasaan.
-
Disiplin adalah menghitung ulang tanpa menghina diri sendiri.
-
Disiplin adalah tahu kapan berhenti supaya besok masih bisa mulai.
-
Disiplin adalah jujur pada rasa takut, lalu menatapnya tanpa tunduk.
-
Disiplin adalah menempatkan orang tersayang di kolom prioritas, bukan catatan kaki.
-
Disiplin adalah membiarkan tubuh beristirahat tanpa rasa bersalah.
-
Disiplin adalah meminta tolong sebelum terlambat.
-
Disiplin adalah membagi kemenangan kecil agar harapan tidak lapar.
-
Disiplin adalah mengingat asal-usul—agar tujuan tidak kehilangan akar.
Ia menutup mata. Angin membawa suara masjid tak jauh di bawah. Kota seramai ini tetap menyediakan sunyi untuk siapa pun yang mau mencarinya, pikirnya. Ponsel bergetar. Pesan masuk dari Kelas: “Minggu ini gue mau bikin diskusi kecil di kafe. Tema: Uang, Kerja, dan Martabat. Lo mau ngomong lima belas menit?” Lalo mengetik: “Aku takut. Tapi mari coba.”
.
Kafe itu kecil, dindingnya diplester separuh, kursi-kursi kayu tak seragam. Ada poster band lokal, ada lampu-lampu kuning yang membuat meja seperti selalu sore. Orang datang dengan baju kerja yang belum sempat dicuci, dengan tas punggung, dengan wajah ragu-ragu. Di depan, ada mikrofon berdiri. Kelas membuka acara. “Kita bukan ahli,” katanya, “tapi kita punya pengalaman. Dan pengalaman, kalau dibagi, bisa jadi peta sederhana.”
Lalo berdiri. Tangannya dingin. Ia mengingat pesan Ning: “Kota jujur kalau kita jarakkan diri sedikit.” Ia menatap hadirin. “Aku Lalo,” katanya. “Aku bekerja di perusahaan rintisan. Minggu ini, aku belajar lagi arti disiplin.” Ia bercerita, pelan, tentang menolak jam lembur yang merusak tubuh, tentang menolak apa pun caranya untuk mengejar angka, tentang menulis ulang rencana keuangan dengan jujur, tentang bantuan kecil yang tepat, tentang telepon Ibu pada Selasa senja. Ia tidak menuduh siapa pun, tidak menggurui. Ia hanya menyusun batu-batu kecil pengalaman, satu per satu, sampai menyerupai jalan setapak.
Orang-orang mengangguk. Seorang laki-laki di deret belakang mengangkat tangan—Rangga, katanya, seorang kurir daring yang sedang belajar menabung seribu perak sehari. Seorang perempuan memperkenalkan diri sebagai Maya, karyawan kontrak yang baru saja menolak bonus karena syaratnya tidak manusiawi. Ning duduk di samping, merekam potongan-potongan cerita dengan mata yang hangat. Percakapan mengalir, dari takut menuju kurang takut, dari bingung menuju sedikit mengerti.
Di tengah diskusi, Kelas memajang satu kalimat di layar: Start a revolution. Or at least start a conversation. Orang tertawa kecil. Lalo menambahkan, “Revolusi kita mungkin tidak masuk berita. Tapi kalau besok kita berani bilang ‘aku pulang tepat waktu’, itu sudah revolusi kecil yang menyelamatkan satu tubuh, satu jiwa.”
Sesi usai. Orang-orang saling menyentuh bahu, menukar kontak, janji saling mengingatkan. Di luar, malam Jakarta masih riuh. Namun ada sesuatu yang berbeda di dada Lalo: ketenangan yang bukan dari kemenangan gemerlap, melainkan dari keyakinan bahwa arah kecilnya benar.
.
Senin berikutnya, kantor kembali bekerja seperti pabrik jam. Serat memanggil Lalo. “Tentang permintaan kemarin—‘apa pun caranya’ itu kalimat yang mungkin terlalu… lepas,” katanya, memilih diksi. “Aku menghargai pertanyaanmu di town hall. Aku juga dengar, kau mengadakan diskusi.” Lalo mengangguk, menunggu badai. “Aku ingin kita menulis guideline etika penjualan,” lanjut Serat. “Bukan formalitas. Kau mau memimpin?”
Lalo mengerjap. “Aku… mau,” katanya, perlahan. “Tapi dengan syarat: kita tidak mengorbankan manusia untuk angka.” Serat menatapnya lama. Dalam tatapan itu, Lalo melihat seseorang yang juga lelah, juga ingin pulang tepat waktu. “Deal,” kata Serat akhirnya. “Kita coba.”
Berita kecil itu menyebar seperti gosip baik. Kelas merayakan dengan gorengan panas di pantry. Ning mengirim pesan: “Langkah kecil, tapi penting.” Di jendela, matahari mengiris awan. Lalo kembali ke mejanya, memindahkan kertas tempel kuning ke tempat yang lebih terlihat. Disiplin. Di bawahnya, ia menambah kalimat baru: “Disiplin adalah keberanian mengubah satu hal yang bisa kau ubah hari ini.”
.
Malam itu, Lalo naik KRL. Di dalam gerbong, orang-orang tertidur sambil berdiri, seperti pohon yang kenal betul arah angin. Ia teringat Ayah—jam tua di pergelangan Lalo masih menyimpan goresan halus bekas paku di gudang kampung. Ayah pernah berkata, “Kota itu pasar yang tak pernah tutup. Karena itu, kau harus punya jam sendiri kapan buka, kapan tutup.” Lalo menatap jarum jam. Ia memejamkan mata, membayangkan Ibu di beranda, menyusuri halaman dengan sapu lidi, radio kecil memutar tembang lawas.
KRL melambat, berhenti, berjalan lagi. Seperti hidup—tidak dramatis, tapi menabung jarak. Lalo turun di stasiun, menyeberang lampu merah, menyusuri gang. Di tikungan, ada anak kecil berlari mengejar mobil mainan yang talinya putus. Lalo merunduk, mengikat tali itu, menyerahkan kembali. Kebaikan kecil—kolom anggaran yang tadi siang mereka tulis ulang—ternyata bisa juga menjadi baris dalam hidup.
Di kos, Lalo membuka laptop. Ia menulis draf pertama Guideline Etika Penjualan: taktik yang dilarang, bahasa yang dihindari, cara menawarkan yang manusiawi. Ia memasukkan bab tentang hak untuk tidak tergesa, bab tentang kejujuran yang tidak memalukan, bab tentang metrik yang menghitung manusia—bukan hanya dompetnya. Ia menambahkan lampiran: Daftar pertanyaan untuk memeriksa diri sebelum menjual. Di bagian akhir, ia mengutip kalimat yang lahir dari atap kos Minggu lalu: Disiplin adalah bahasa cinta pada diri sendiri dan pada orang yang kau ajak bicara.
Pukul melewati tengah malam. Lalo memejamkan mata. Tidurnya tenang, seperti halaman rumah setelah hujan.
.
Hari-hari berikutnya bergerak: percakapan kecil di pantry yang membuat orang merasa tidak sendirian; pertemuan singkat di koridor dengan Serat yang merapikan kalimat-kalimatnya; obrolan di chat internal yang ramai mengusulkan perubahan SOP; tim penjualan yang mulai berlatih menolak “janji kosong” dengan bahasa yang sopan. Tidak spektakuler, tetapi terasa. Kabar seperti ini jarang masuk berita, tapi masuk hati orang-orang yang pulang kerja dengan pandangan sedikit lebih terang.
Di sela semua itu, Lalo dan Ning berjalan lagi di jembatan penyeberangan. Kota di bawah seperti arus sungai logam. “Kadang aku takut,” kata Ning, “bahwa semua ini cuma kilau di permukaan.” Lalo menoleh. “Aku juga,” katanya. “Tapi mungkin kita tidak perlu menolak rasa takut itu. Kita ajak saja duduk di sebelah—kasih minum—lalu kita tetap melangkah.”
Ning tertawa kecil. “Kota membuat kita puitis.”
“Kota membuat kita tidak punya pilihan selain puitis,” balas Lalo. “Supaya hati tetap punya alasan.”
Mereka berhenti di kios roti yang sama. Kali ini, papan kecilnya berbunyi: Setiap roti adalah kesempatan kedua. Lalo membeli dua roti lagi. Satu ia selipkan ke tasnya, satu lagi ia berikan pada loper koran yang menunggu pelanggan di tikungan. Orang itu mengucap terima kasih dengan suara yang serak—seperti lantai kota yang menggesek sol sepatu.
.
Suatu Jumat, setelah guideline disetujui, Serat menepuk bahu Lalo. “Terima kasih,” katanya, tulus. “Kau membuat perusahaan ini sedikit lebih enak ditinggali.” Kata ditinggali membuat Lalo tersenyum. Kita semua sedang tinggal di sini—sementara—seperti menyewa kamar di kota besar, seperti menyewa usia pada waktu.
Sabtu, Lalo menengok keuangan lagi. Ia tersenyum—ada sisa kecil yang bisa ditabung. Ia mengirim sebagian ke Ibu, menulis pesan: “Ini belum banyak, Bu. Tapi aku belajar menabung harap.” Ibu membalas dengan foto kebun kecil di belakang rumah—sebatang pepaya baru ditanam, dua cabai merah siap petik. *“Harap itu seperti cabai,” tulis Ibu. “Kecil, tapi sanggup mengubah rasa.”
Minggu, Lalo kembali ke atap. Matahari naik perlahan, biru langit bersih. Ia membaca lagi dua belas butir manifesto. Di bawah, kota berjalan seperti biasa. Di atas, ia merasakan sesuatu yang baru—bukan kemenangan, melainkan kesanggupan untuk kalah tanpa hancur, untuk menang tanpa sombong. Ia mengeluarkan ponsel, mengetik pesan ke grup kecil kafe percakapan yang kini semakin ramai: “Minggu depan, tema: bekerja tanpa menyakiti. Siapa mau berbagi?” Notifikasi menjawab bertubi—nama-nama yang dulu asing kini terasa seperti keluarga: Rangga, Maya, Ning, beberapa rekan tim penjualan, bahkan satu orang dari tim hukum.
Lalo menatap langit. “Kalau begini,” gumamnya, “revolusi kecil tampaknya akan bertahan.” Ia tersenyum—bukan pada gedung-gedung, bukan pada kota, melainkan pada dirinya yang akhirnya percaya bahwa “disiplin” bukan cambuk, tapi pelukan yang mengatakan: “Aku ingin kau pulang besok, utuh, dan berani mencoba lagi.”
Dan ketika siang merayap, Jakarta tak terasa terlalu keras. Jalan-jalan tetap macet, hujan tetap turun tiba-tiba, target tetap datang seperti gelombang. Tetapi ada ruang yang tidak bisa disentuh bangunan mana pun: ruang yang Lalo bangun sendiri, bata demi bata, dari percakapan, dari penolakan kecil pada cara-cara yang melukai, dari roti di kios pinggir jalan, dari tawa bersama, dari telepon Ibu pada Selasa senja, dari keberanian mengangkat tangan di town hall, dari sisa tabungan yang akhirnya tidak nol.
Di antara gedung-gedung itu, badai memang masih mungkin datang. Namun kini Lalo tahu: ia punya payung yang tidak dibeli di toko mana pun—payung yang namanya Disiplin Lembut. Dan ketika langkahnya turun dari atap, menapak tangga satu per satu, ia merasa ringan—seperti seseorang yang akhirnya menemukan jalan pulang, bukan ke alamat, melainkan ke dirinya sendiri.
.
.
.
Jember, 5 September 2025
.
.
#CerpenSastra #KompasMingguStyle #CeritaUrban #DisiplinLembut #EtikaKerja #FinansialSehat #Percakapan #KisahEmosional #InspirasiHarian