Pelan Adalah Cara Pulang
“Yang terburu-buru sering sampai duluan, tapi bukan selalu sampai di tempat yang benar.”
.
Hujan sore itu menempelkan bau aspal ke kaca jendela. Dari lantai dua puluh satu sebuah apartemen di kawasan Rasuna, lampu-lampu kota mulai menyala seperti gugus kunang-kunang yang enggan tidur. Jayeng berdiri di depan kompor tanam, menunggu air mendidih untuk kopi keduanya—sebuah jeda kecil di antara notifikasi rapat investor, tagihan payroll, dan panggilan video yang belum sempat ia jawab.
Di meja, selembar foto yang dikirim Keumala semalam tergeletak: hasil sayembara desain ruang publik di tepi sungai yang dulu kumuh, kini perlahan hidup. Dalam foto itu, tiga anak tertawa memegang buku mewarnai. “Kamu bilang ingin membangun sesuatu yang bertahan lebih lama dari presentasi,” tulis Keumala. “Kapan terakhir kamu berjalan tanpa menawar dirimu sendiri?”
Jayeng menghirup kopi, merasakan pahitnya menembus tenggorokan. Di kota ini, hampir semua orang berlari. Ada yang mengejar peluang, ada yang lari dari sepi. Ia sendiri mulai lupa, kapan terakhir berjalan pelan hanya untuk memastikan langkahnya masih menuju pulang.
.
Umara pernah berkata di sebuah lounge hotel SCBD, “Runway kamu tinggal enam bulan, Jeng. Kalau pivot ke B2B sekolah swasta top, kamu bisa survive. Tetap ada misi sosialnya, tapi bayarannya jelas.”
Kata “survive” terdengar seperti mantra dunia startup. Jayeng paham. Ia membangun Aksara Jirana tiga tahun lalu—platform pelatihan keterampilan kerja bagi lulusan SMK dan mahasiswa tingkat akhir. Tahun pertama penuh euforia, tahun kedua datang investor, dan tahun ketiga… datang tuntutan untuk tumbuh lebih cepat.
Namun setiap kali menandatangani proposal baru, Jayeng merasa sedang menukar sedikit dari jiwanya sendiri. Ia mendirikan platform itu untuk menjembatani pendidikan dan dunia kerja, bukan untuk memoles laporan tahunan investor. Tapi apa daya, idealisme butuh listrik dan gaji karyawan.
Sementara itu, Keumala melangkah di jalur lain. Ia mengajar di kampus swasta bergengsi dan mengelola biro arsitektur kecil: Kelaswara Atelier. Karya-karyanya rapi, fungsional, dan punya sentuhan hati. Di sela proyek rumah-rumah klien elit, ia merancang taman baca di pinggir sungai, menggambar ulang jalan setapak, dan menata ruang publik yang bisa diakses semua kalangan.
Mereka berdua pernah satu kampus. Dulu, Keumala menempelkan kutipan di pintu loker studionya: “Menggambar kota adalah menggambar sikap: mana yang kamu sisakan untuk bernapas.” Jayeng jatuh hati pada kalimat itu, bukan pada wajahnya. Ia tahu, di balik langkah tenangnya, Keumala menyimpan kegigihan yang tak menuntut tepuk tangan.
.
Malam itu, mereka bertemu lagi di sebuah kedai kopi kecil di bilangan Menteng. Bersama dua sahabat lama—Anggri dan Kelaswara—dan Umara yang datang dengan jas mahalnya, mereka membahas apa yang dulu disebut mimpi.
“Cerita kalian ini film banget,” ujar Anggri, yang kini menjadi konsultan komunikasi untuk program brand purpose perusahaan besar. “Ada startup, arsitektur sosial, komunitas sungai, semua lengkap.”
“Film butuh akhir,” sela Umara datar.
“Cerita hidup juga,” jawab Kelaswara lembut, “bedanya, kita bisa menulis ulang adegan.”
Jayeng tertawa pendek, tapi suaranya pecah. “Aku takut jadi orang yang menjual janji. Tapi aku juga takut melihat timku kehilangan pekerjaan.”
Keumala menatapnya lama. “Takut itu kompas, bukan rem.”
Hening jatuh seperti selimut yang menutup bahu. Di luar, hujan mereda. Anggri lalu bicara, “Oke, kita buat tiga babak saja. Babak satu: bertahan. Babak dua: bertumbuh. Babak tiga: berdampak.”
Umara menambahkan, “Bertahan dulu, baru bisa menolong. Kalau arus kas kamu sehat, kita bantu cari klien korporat yang butuh pelatihan untuk supplier mereka. CSR mereka besar, tinggal kamu kemas.”
“Babak dua,” potong Keumala, “jadikan pelatihanmu terhubung dengan ruang publik. Anak-anak magang bisa ikut membangun kios UMKM, memperbaiki trotoar, menata promenade. Biar belajar itu menempel pada tanah.”
“Babak tiga,” ujar Kelaswara, “ukur dampak nyata. Bukan jumlah like, tapi berapa keluarga yang stabil penghasilannya, berapa remaja kembali sekolah.”
“Dan aku bantu narasi,” timpal Anggri. “Bukan untuk pencitraan, tapi supaya orang lain bisa meniru.”
Jayeng terdiam lama, lalu mengangguk. “Pelan, tapi mantap,” katanya lirih.
“Pelan bukan berarti lambat,” sahut Keumala, “pelan itu cara memastikan arah.”
.
Pagi berikutnya mereka ke tepi sungai. Udara masih basah. Anak-anak berlarian di jalan setapak yang baru dicat, pedagang kaki lima menata gerobak, dan beberapa ibu menyapu daun yang gugur di pelataran.
“Dulu, sungai ini hanya tempat buang sampah,” kata Keumala. “Sekarang, orang datang untuk membaca.”
Jayeng tersenyum. “Kau selalu tahu cara membuat kota belajar menunggu.”
Mereka duduk di tangga beton yang menghadap air. Seorang anak perempuan datang membawa buku cerita bergambar. “Mbak Keumala!” serunya, “Buku baru sudah datang!”
Keumala memperkenalkan, “Ini Mas Jayeng, yang suka bertanya.”
Anak itu terkikik, “Kalau suka bertanya, ikut kelas baca nyaring ya, Mas!”
Jayeng tertawa. Di dalam kontainer biru yang dijadikan perpustakaan, anak-anak membaca dengan suara keras. Seorang bertanya, “Kalau mau jadi arsitek, harus bisa gambar?”
“Harus bisa bertanya,” jawab Keumala.
“Kalau mau jadi pengusaha?”
Jayeng menatap Keumala sekilas sebelum menjawab, “Harus bisa menjaga janji pada diri sendiri.”
Di luar, matahari naik perlahan. Suara air seperti doa yang diulang tanpa tergesa. Jayeng baru sadar, selama ini ia sibuk mengejar masa depan, padahal sebagian dari dirinya hanya ingin duduk di sini: mendengar dunia tanpa suara mesin.
.
Waktu bergerak. Babak satu berjalan sesuai rencana. Umara menghubungkannya dengan tiga perusahaan besar yang membutuhkan pelatihan vokasi untuk pemasok lokal. Tim kecil Aksara Jirana menyesuaikan kurikulum, memadukan keterampilan teknis dengan literasi digital dan etika kerja. Pendapatan stabil, gaji terbayar, dan untuk pertama kalinya grafik laporan keuangan berhenti menurun.
Babak dua lebih menantang. Integrasi antara pelatihan daring dan proyek lapangan membuat para peserta benar-benar menyentuh realitas. Mereka mengecat marka jalan di sekitar pasar, merancang kios modular, hingga membuat sistem antrean yang lebih manusiawi. Keumala memimpin klinik desain, Kelaswara mengoreksi rancangan, sementara Anggri mendokumentasikan prosesnya dengan narasi jujur tanpa sensasi.
Babak tiga lahir dari papan skor di dinding kontainer perpustakaan: Remaja kembali sekolah: 7. UMKM naik omzet: 12. Sampah berkurang: 18 karung.
Di bawahnya tertulis: “Angka adalah jejak; jangan biarkan ia menggantikan wajah.”
Itu tulisan tangan Kelaswara.
Umara datang tanpa jas kali ini. Ia berdiri di depan papan skor, lama. “Tahu nggak, Jayeng,” katanya, “angka-angka ini yang bikin CEO saya berhenti bicara. Mereka ngerti bahasa ini.”
Keumala menimpali, “Kamu akhirnya belajar bahasa manusia?”
Umara tertawa kecil. “Mungkin. Aku mulai paham kenapa pelan itu juga kecepatan.”
.
Tentu tidak semua hari berjalan seperti poster CSR. Ada konflik, miskomunikasi, dan kelelahan. Ada relawan yang merasa idenya diabaikan, ada vendor yang menunda pembayaran, ada komentar sinis di media sosial yang menyebut mereka sekadar pencitraan.
Suatu malam, Jayeng mengirim pesan di grup kecil mereka: “Hari ini rasanya seperti ditarik ke dua tebing.”
Balasan muncul hampir bersamaan:
Umara: Kamu pegang tali, bukan jurang. Tarik napas.
Kelaswara: Besok sore kita dengarkan semua pihak. Jangan buru-buru menyimpulkan.
Anggri: Kirim poin objektif, biar aku bantu frame-nya.
Keumala: Tidur dulu. Kau bukan pahlawan. Kau manusia.
Jayeng membaca pesan itu berkali-kali. Lalu ia memejamkan mata, mendengar bunyi hujan seperti detak hati kota yang akhirnya melambat.
.
Beberapa bulan kemudian, mereka menggelar pameran kecil bertajuk “Menak di Kota: Kisah yang Tak Lagi Jauh.”
Foto-foto proses terpajang: anak-anak mengecat trotoar, pedagang menata lapak, peserta magang memegang laptop di bawah tenda. Ada teks pendek di dinding: Jayengrana adalah keberanian menolak jalan pintas. Keumala adalah keteguhan tanpa teriak. Kelaswara adalah cara mengatur ruang agar manusia betah di dalamnya. Umara adalah logika yang akhirnya menemukan nurani. Anggri adalah cerita yang tidak berhenti di tepuk tangan.
Saat lampu ruangan dipadamkan sebentar, Jayeng berdiri di depan mikrofon. “Kami sering ditanya apa ukuran berhasil,” katanya. “Hari ini jawabannya sederhana: ketika yang bersama kita bertambah, dan yang diabaikan berkurang.”
Keumala menambahkan, “Arsitektur tanpa manusia hanyalah bayang-bayang. Kota tanpa jeda hanyalah pabrik.”
Umara mengangkat gelas kertas. “Untuk keputusan yang benar, bukan yang paling cepat.”
Kelaswara menulis di buku tamu: ‘Kebaikan yang tidak lekas selesai.’
.
Hari berganti, musim berputar. Proyek bertambah, reputasi membaik, tapi lebih dari itu—mereka mulai hidup dengan ritme yang manusiawi.
Jayeng kini belajar menolak jadwal rapat yang terlalu padat. Ia menyisakan satu hari dalam seminggu untuk membaca di kontainer perpustakaan.
Keumala berjalan kaki setiap pagi, memotret tembok kota dan pola ubin di trotoar.
Umara melepas dasinya pada hari Rabu untuk datang ke klinik desain.
Anggri menolak satu kontrak besar karena kliennya hanya mau membeli cerita tanpa kerja.
Kelaswara… tetap Kelaswara. Diam tapi hadir, tajam tapi lembut.
Suatu sore, setelah anak-anak pulang, mereka duduk di tangga kontainer memandangi sungai.
Jayeng bertanya, “Kamu pernah marah padaku, karena dulu aku terlalu sibuk mengejar?”
Keumala menatap air yang memantulkan langit jingga. “Tidak marah. Sedih, mungkin. Tapi sedih itu juga guru. Ia mengajari kita menandai batas.”
“Batas apa?”
“Batas antara ingin dipuji dan ingin berguna.”
Hening memeluk mereka. Di kejauhan, matahari tenggelam tanpa warna dramatis. Hanya cahayanya yang tenang, seperti napas terakhir sebelum malam.
“Keumala,” Jayeng berkata pelan, “bolehkah aku mulai pulang?”
“Pulang tidak perlu izin,” jawabnya. “Pulang perlu langkah.”
Mereka berdiri. Langkah pertama terasa canggung, tapi pasti. Kota di belakang mereka tetap bising, tapi di dada ada ruang kosong yang mulai diisi oleh sesuatu yang lama hilang: tenang.
Sungai mengalir seperti biasa—tidak tergesa, tidak malas. Hanya setia.
Dan di sanalah Jayeng belajar bahwa pelan bukan lawan dari cepat. Pelan adalah cara untuk sampai dengan utuh.
.
Tiga Catatan di Dinding Kontainer
-
Bertahan dengan Bersih: Stabilitas bukan dosa. Asal cara mendapatkannya tidak mengkhianati nilai. Catat arus kas mingguan. Jika tak bisa menutup tiga bulan ke depan, hentikan ekspansi.
-
Bertumbuh dengan Menempel Tanah: Semua teori harus menempel pada proyek nyata. Ukur hasil dengan perubahan kecil yang bisa difoto ulang: antrean rapi, kios terang, omzet naik.
-
Berdampak dengan Terukur dan Bisa Disalin: Dampak yang bisa dijelaskan akan bisa diwariskan. Buat papan skor sederhana. Ajarkan orang lain meniru, bukan memuja.
Di bawahnya tertulis kalimat penutup yang mereka sepakati bersama:
“Kita tidak sedang berlomba menjadi yang pertama. Kita sedang belajar menjadi yang bertahan.”
.
.
.
Malang, 13 Oktober 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #PelanAdalahCaraPulang #NarasiReflektif #MenakJawaModern #KotaYangBernapas #KeumalaJayeng