Orang yang Datang Terakhir

“Bukan banyaknya yang datang saat kamu bersinar,
tapi siapa yang tetap duduk di sampingmu ketika cahaya itu padam.”

.

Langit Jakarta sore itu berwarna aprikot yang muram, seakan menahan sesuatu yang belum selesai di antara awan dan senja. Jayengrana memarkir mobil listriknya di pelataran rumah sakit swasta di bilangan Kuningan. Di kaca jendela ia melihat pantulan dirinya: setelan abu-abu, dasi sempit, garis lelah di pelipis yang baru ia kenali setelah semua ini terjadi. Ia mengembuskan napas panjang—pelan, seolah menutup babak hidup yang penuh angka, target, dan rapat yang tak lagi terasa penting.

Pintu otomatis rumah sakit terbuka dengan bunyi hening. Antiseptik menyelinap ke hidungnya. Di ujung lorong Darsih—adik bungsunya—berdiri dengan kerudung krem, mata sembab yang baru selesai menangis, senyum yang tak sampai ke bibir.
“Mas…” suaranya pecah, “Bapak masuk ICU. Tekanan darahnya tinggi. Komplikasi.”

Jayeng mengangguk tanpa kata. Dunia yang selama ini ia bangun rapi mendadak menyusut dari ruang kantor bercahaya menjadi satu ranjang besi di balik pintu kaca buram. Di ruang ICU, suara mesin berdetak seperti jam yang menandai waktu bukan dengan menit atau detik, melainkan napas dan harapan. Ia berdiri mematung, mencoba mengukur hidup yang selama ini dikejar seperti grafik saham. Tiba-tiba semuanya terlalu sepi untuk disebut keberhasilan.

.

Beberapa hari sebelumnya, Jayeng berdiri di panggung konferensi Smart Hospitality Summit. Ia memaparkan data pergeseran belanja kelas menengah atas dari “memiliki” ke “mengalami”. Grafik-grafik bergerak, tepuk tangan naik turun seperti gelombang. Nama Jayengrana bukan orang asing: ia menulis rutin di media profesional, mengajar paruh waktu di kampus swasta, dan mengelola perusahaan riset pariwisata yang sedang mekar. Pada siang itu juga, dari kursi baris ketiga, ia melihat Retna.

Retna: rambut pendek, kemeja putih, celana hitam rapi, tatap mata yang tenang seperti jembatan. Mereka bertemu dahulu di Surabaya, ketika sama-sama menjadi relawan literasi di panti asuhan. Setelahnya hidup memutar ke arah sendiri. Jayeng memilih Jakarta, mengejar karier, menumpuk proyek. Retna memilih Yogyakarta, membangun ruang belajar seni untuk remaja marjinal dan membuat peta kecil tentang cara bertahan.

Usai presentasi, mereka duduk di sudut kafe hotel. Kopi hitam mengepul di antara mereka—seperti jeda yang terlalu lama.
“Sepertinya kamu makin pas dengan panggung besar,” kata Retna. “Tapi kamu kelihatan capek.”
“Kamu tahu cara membaca orang terlalu baik,” jawab Jayeng. “Capek yang tidak bisa tidur dengan uang. Capek yang tidak bisa diselesaikan kopi.”
Retna tertawa pendek. “Mungkin kamu kangen rumah.”
“Mungkin,” kata Jayeng, menahan kata lain: mungkin aku rindu kamu.

Hari itu mereka berpisah dengan pelukan cepat. Profesionalisme sering kali hanyalah nama lain dari penundaan perasaan.

.

Ketika panggilan dari Darsih datang tiga hari kemudian, Jayeng tidak menelepon Retna. Ia menahan kabar itu seperti menahan batuk di perpustakaan. Ia menandatangani formulir, menatap tubuh ayahnya yang dilingkari selang, dan menjawab telepon klien dengan kalimat yang sama: “Maaf, saya sedang di rumah sakit. Kita jadwalkan ulang.”

Kawan-kawan datang seperti ombak siang—ramai, cepat, mengirim bunga dan doa di grup. Teman cofounder memastikan operasional, kolega asosiasi industri mengirim pesan puitis yang nyaman dibaca. Tetapi ketika malam turun dan kursi tunggu mengeras, Jayeng menyadari betapa sedikit yang berani duduk diam menemaninya mendengarkan detak mesin.

Seorang lelaki berkaus lusuh menawari ia kopi dari termos. “Mas, saya Umar,” katanya. “Jaga vending machine di lantai dua. Kalau butuh apa-apa, panggil saya. Malam-malam di sini panjang.”
Nama itu—Umar—menggerus kenangan masa kecil di Jember. Dulu ia punya sahabat SD bernama Umar; mereka berbagi penghapus dan takut pada matematika. Umar kecil pergi pindah kota. Umar di hadapannya tentu orang lain. Namun kalimatnya—malam-malam di sini panjang—seperti doa tanpa pengeras suara.

“Terima kasih,” kata Jayeng. Kopinya pahit, tapi menyala di perut.

Subuh, dokter berkata tekanan ayahnya menurun. “Kita menunggu. Fase kritis lewat, tapi hati-hati.” Jayeng mengangguk seperti siswa paham padahal tidak. Darsih tertidur di kursi panjang. Umar muncul lagi, membawa dua roti. “Kalau tidak makan, sakitnya menular,” ujarnya, separuh bercanda.
“Kamu selalu begini pada keluarga pasien?” tanya Jayeng.
“Saya pernah jadi keluarga pasien,” jawab Umar. “Istri saya masuk di sini dua tahun lalu. ICU juga. Saya mengerti bagaimana rasanya tersesat di antara orang-orang baik yang sibuk.”

Kata-kata itu menempel di hati Jayeng seperti karcis parkir di kaca mobil—sepele, tetapi menandai kehadiran.

.

Malam ketiga, Jayeng akhirnya menekan nama yang ia tahan: Retna.
“Aku di rumah sakit,” suaranya nyaris berbisik. “Bapak…”
Retna tidak menunggu penjelasan. “Aku ke Jakarta malam ini.”
“Tak usah. Bapak membaik.”
“Kalau membaik kita rayakan bubur kacang ijo. Kalau memburuk kita tangisi bersama. Dua-duanya perlu ditemani,” jawab Retna. “Tunggu aku.”

Retna tiba tengah malam, membawa ransel kecil, mata yang tidak gentar pada bau antiseptik. Mereka duduk di bangku plastik. Umar lewat, mengangkat tangan, lalu menghilang di balik mesin.
“Mas,” kata Retna, “kamu boleh dikelilingi orang hebat. Tapi jangan biarkan dirimu sendirian justru pada hari-hari paling manusiawi.”
Jayeng mengusap mata. “Kamu selalu menagih janji yang tidak pernah kita ucapkan.”
“Begitulah sahabat,” jawab Retna.

Kata itu—sahabat—jatuh seperti tetes hujan di tanah kering.

.

Hari bergerak lebih tenang. Ayah dipindahkan ke ruang rawat. Retna menetap di guest house dekat rumah sakit; siang ia memimpin rapat daring yayasan, malam ia duduk di samping Jayeng dan Darsih. Mereka mengobrol tentang hal-hal yang dulu dilewati: mengapa Jayeng memilih membangun perusahaan, kapan Retna memutuskan fokus pada pendidikan seni, bagaimana mereka sama-sama pandai hadir tapi juga lihai menghilang.

“Aku pikir kita dulu kekasih yang gagal,” kata Jayeng. “Padahal mungkin sejak awal kita diminta menjadi sesuatu yang umurnya lebih panjang.”
“Teman lama yang menyebalkan?” Retna mengerling.
“Sahabat,” kata Jayeng.
Retna tertawa. “Kalau begitu, izinkan aku berdebat soal prioritas. Perusahaanmu hebat, tapi dirimu? Bapak ibumu?”
Jayeng menatap jendela. “Dataku tidak memetakan rasa takut.”
“Bukan tugas data,” sela Retna. “Itu tugas kita.”

Malam itu juga sebuah email masuk: investor asing menawarkan buyout saham perusahaannya dengan angka yang menggoda. Di layar, nominalnya seperti kembang api. Jayeng hampir menekan “setuju”. Namun dari lorong, ia melihat Umar memegangi tangan seorang bapak tua saat mengisi formulir. Gerak itu jernih, seolah berkata: tidak semua keberhasilan perlu dinyatakan dengan angka. Jayeng menutup email. “Kita bicarakan lagi bulan depan,” balasnya.

.

Setiap sore Retna mengajaknya menyeberang ke taman kota. Mereka duduk di bangku beton memandangi orang bersepeda, anjing yang menarik tali, dan anak kecil berlari mengejar kapuk yang melayang.
“Ini bagian kota yang sering kamu lewati tapi jarang kamu lihat,” ujar Retna.
“Seperti kamu,” jawab Jayeng.
“Jangan mendadak puitis. Aku bisa jatuh.”
Mereka tertawa. Lalu hening yang nyaman mengendap seperti teh.

Jayeng bercerita tentang Jember: sawah di belakang rumah, suara kereta malam, kawan kecil bernama Umar yang mengajari main layangan. Retna mendengarkan seperti orang menampung hujan dengan dua telapak tangan.
“Kita sering salah tafsir,” katanya. “Kita mengumpulkan kawan agar tak merasa kalah, mengejar kekasih untuk menutup sepi, padahal yang kita butuhkan sahabat—seseorang yang tidak selalu memberi jawaban, tapi menjaga kita tetap berani bertanya.”
“Kalau begitu, kamu sekarang apa?”
“Kalau kamu mau, aku jadi sahabat yang dulu kita sembunyikan di bawah meja rapat.”
“Aku mau,” jawab Jayeng.

Ia tidak menyebut “pacaran” atau “menikah”. Mereka memilih kata lama yang baru mereka pahami: sahabat. Di antara sahabat, ada sesuatu yang menjalar pelan—kehangatan yang tidak perlu diberi label agar sah.

.

Ayah pulang setelah dua minggu. Dinding rumah seketika menjadi lebih lebar. Jayeng memindahkan meja kerjanya ke teras, mempercayakan operasional kepada tim muda yang selama ini ia remehkan, dan mengurangi perjalanan. Ia menulis kepada investor: We will discuss next quarter—after I finish a more urgent acquisition: my own life.

Suatu sore, pesan dari Umar masuk. “Mas Jayeng, istri saya kambuh. Saya malu minta bantuan… tapi saya kehabisan biaya untuk obat bulan ini.”
Jayeng duduk lama. Ia bisa mengirim donasi anonim, menghubungi lembaga amal, menulis status tentang asuransi. Namun ia ingat roti hangat malam pertama. Ia menelepon Retna.
“Aku ingin menolong Umar, bukan sekali ini. Aku ingin ia tidak kembali ke titik yang sama tiga bulan lagi.”
“Kalau begitu kita rancang sistem kecil,” kata Retna. “Kamu paham tata kelola dan data; aku paham pendampingan keluarga. Kita buat tabungan kesehatan komunitas di lingkungan rumah sakit. Umar koordinatornya.”
“Namanya apa?”
Retna tersenyum di seberang telepon. “Sahabat Jaga.”

Mereka bergerak cepat, tapi dengan arah yang lebih pelan di hati. Jayeng mengajak kampus membuat capstone project, Retna menyusun kurikulum literasi kesehatan dan keuangan, Darsih merekrut tetangga menjadi relawan. Pihak rumah sakit menyediakan ruang kecil di belakang apotek. Umar—kini berkemeja sederhana—belajar mencatat pemasukan dan pengeluaran di aplikasi yang diinstal Jayeng. “Saya takut salah,” katanya.
“Salah angka bisa diperbaiki,” jawab Jayeng, “asal niatnya benar.”

Posko Sahabat Jaga dihadiri pedagang gorengan, sopir ojek, pekerja kebersihan mal. Mereka menabung dua puluh ribu per minggu; donatur menambah matching fund; klinik mitra memberi harga obat generik. Bukan revolusi besar. Tapi satu per satu kecemasan kecil menemukan bantalan. Seorang ibu hamil bisa periksa rutin; seorang kakek penderita diabetes tak lagi menukar insulin dengan uang bensin cucunya. Umar membacakan saldo setiap Jumat seperti membacakan mantra keselamatan.

Perlahan, perubahan juga menyentuh rumah Jayeng. Ia memasak sarapan untuk bapak-ibu—pekerjaan yang dulu ia delegasikan. Ia belajar menyapa tetangga tanpa rasa ingin buru-buru. Di sebuah webinar nasional, ketika ditanya “Apa definisi kesuksesan 2025?”, ia menjawab, “Kesuksesan adalah bisa mengangkat telepon dari orang yang benar-benar membutuhkanmu dan kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.”

Usai webinar, investor asing menulis pendek: We read about your community work. If you consider partners who respect that mission, call us. Dunia kadang berputar seperti baling-baling kertas: makin ringan, justru makin cepat.

.

Musim berganti. Retna datang ke Jakarta untuk rapat yayasan. Mereka berjalan di trotoar yang dulu mereka lintasi, kini dinaungi pohon yang lebih rimbun. Retna menggenggam tangan Jayeng seperti orang yang berhenti ragu.
“Aku punya hadiah,” katanya. Amplop kecil berisi gambar tiga garis: kawan, kekasih, sahabat. “Anak-anak sanggar yang menggambar. Garis sahabat paling panjang karena tumbuh.”
“Kita ini garis yang mana?” tanya Jayeng.
“Kita menulis sendiri,” jawab Retna. “Kalau kamu setuju, dua garis yang saling menjaga jarak aman tapi tak pernah hilang dari peta.”
“Bukankah itu definisi kemitraan?”
“Juga definisi cinta yang paham kerja,” kata Retna sambil tertawa pelan.

Jayeng berhenti di bawah lampu jalan. “Aku mencintaimu. Tapi aku tak ingin menyita jalanmu.”
“Aku pun mencintaimu,” kata Retna, “dan tak ingin memotong sayapmu. Mari jadi dua orang dewasa yang bersepakat: keintiman kita adalah ruang aman untuk tumbuh, bukan proyek untuk mengubah.”

Mereka tidak mengabadikan kesepakatan itu di media sosial; mereka menaruhnya di saku hati. Sejak hari itu, Retna dan Jayeng punya kalender bersama yang aneh: jadwal rapat daring, kunjungan posko, hari berbelanja ke pasar dengan ibu, dan hari libur tanpa notifikasi.

.

Program Sahabat Jaga berkembang. Rumah sakit lain mengundang posko serupa. Media menulis berita pendek; perusahaan Jayeng memberi jam relawan bagi pegawai. Umar memimpin rapat kecil tiap Jumat, membaca angka dengan mantap.
“Mas Jayeng,” katanya suatu sore, “dulu saya pikir sahabat itu orang yang selalu punya solusi. Sekarang saya mengerti: sahabat adalah orang yang membuat saya berani meminta tolong.”
“Dan berani menolak ketika tak sanggup,” tambah Jayeng.
Umar tersenyum. “Batas juga bentuk sayang.”

Malam itu Jayeng mengirim pesan pada Retna: “Besok kita ke Jember. Bapak sudah kuat berjalan sampai ladang.”
Retna membalas dengan ikon payung dan pelangi. “Kalau hujan kita pakai payung. Kalau cerah kita jalan lebih jauh.”

Di Jember mereka berjalan di jalan kampung yang setia pada bau tanah basah. Ayah bercerita tentang masa muda yang kemarau; ibu menggoreng tempe bacem yang manisnya persis masa kecil. Retna menyapu halaman, tertawa pada cicak yang memperhatikan dari sela genting. Malamnya, Jayeng membaca tulisan tangan lama yang masih menempel di dinding kamar: Urus yang bisa kau urus. Selebihnya, jangan memaksa hidup. Nanti hidup yang memaksa kita.

“Dulu aku menganggapnya nasihat kuno,” kata Jayeng. “Sekarang rasanya seperti ilmu penataan pikiran.”
“Kurasa sahabat adalah orang yang mengajari kita menata—bukan hanya rak buku, tapi juga waktu dan takut,” jawab Retna.
“Dan keberanian untuk kehilangan.”
“Kehilangan apa?”
“Kehilangan versi diriku yang selalu ingin terdepan. Ternyata yang membuatku berarti sederhana: siapa yang ada ketika semua hal hebatku tak berguna.”
Retna mengulurkan tangan. “Dan siapa yang masih memandangmu dengan mata yang sama.”

Kereta malam lewat seperti garis sahabat yang tak putus: menjauh, lalu kembali melewati stasiun yang sama.

.

Pada sebuah konferensi, Jayeng menerima penghargaan Social Impact Leader. Lampu panggung menyirami wajahnya. Ia tidak memamerkan angka. Ia membaca pelan:

Kawan adalah seribu orang yang datang saat kita senang.
Kekasih adalah satu orang yang membuat kita lupa seribu orang.
Sahabat adalah satu orang yang tetap duduk di samping kita ketika seribu orang melupakan.”

Ia menutup pidato: “Terima kasih kepada orang yang datang terakhir dan tinggal paling lama.”
Di baris depan, Retna berdiri dan bertepuk tangan. Umar menontonnya dari posko; ayah dan ibu menyimak dari teras rumah, berbisik amin. Kota, dengan segala riuhnya, mendadak terasa seperti ruang tamu yang hangat.

Jayengrana tahu: dalam hidup yang selalu bergegas, kemenangan terbesar adalah menemukan seseorang—atau beberapa—yang tidak mendorongmu lari lebih cepat, melainkan mengajarkanmu berdiri lebih utuh.

.

Jangan kejar kerumunan; carilah satu hati yang berani duduk diam di sampingmu ketika dunia minta kau berlari.

.

.

.

Malang, 17 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #Sahabat #KelasMenengahAtas #Jakarta #KarierDanKeluarga #BisnisSosial #LiterasiKesehatan #RefleksiHidup #MenakJawa #MenakMalangan

Leave a Reply