Nama yang Kita Kenakan
“Nama bisa menjadi baju besi sekaligus jendela. Kenakan yang melindungi martabatmu, buka yang menyalakan harapan orang lain.”
.
Pagi timur kota merayap pelan di balik kaca-kaca tinggi Kuningan. Lalu lintas mengaum seperti koor tanpa dirijen, dan di ketinggian lantai dua puluh tiga, Jayeng menatap bayangannya di jendela kantor: setelan arang, dasi biru tua, senyum setengah hati yang dilatih untuk rapat pendanaan. Di bawah nama lengkapnya di pintu kaca tertulis: Jayeng Ranadipa — Managing Partner, Seruni Capital.
Di monitor, sebuah deck kampanye terbuka. Di slide pertama, foto close-up seorang perempuan tersenyum, mata menatap tajam bak ujung pena: Adaninggar. Tagline menyala: “Berani Setia pada Diri Sendiri.” Produk yang akan diluncurkan bukan sabun atau minuman, melainkan platform keterampilan daring—kelas public speaking, personal branding, dan literasi digital privat untuk profesional yang “ingin terlihat tanpa kehilangan diri.” Nama platformnya RAGIL—akronim dari Reflektif, Adaptif, Gandeng, Integritas, Lenting. Nama yang, diam-diam, membuat dada Jayeng bergetar: Ragil adalah nama seseorang yang pernah ia kejar—dan kalah—di Surabaya bertahun-tahun lalu.
Rapat kick-off dimulai. Pintu terbuka. Ragil—yang dulu Ragil Kuning di panggung teater kampus dan kini Ragil Kinasih, pendiri dan wajah RAGIL—masuk bersama timnya: Umarmaya, CTO berambut kribo yang rapi; Umarmadi, kepala legal yang kalem seperti pengawas ujian; dan Kertadarma, kepala pertumbuhan, mantan jurnalis ekonomi yang hafal angka-angka seperti doa.
“Selamat pagi,” sapa Ragil. Suaranya bening, tapi ada tenaga menahan badai. “Terima kasih, Seruni Capital. Kita jadikan peluncuran ini bukan pesta kembang api, melainkan lentera panjang.”
Jayeng menyambut, menjaga ritme napas. “Selamat datang di rumah sementara ambisi kalian,” katanya. “Kita punya enam minggu.”
Enam minggu yang, di Jakarta, bisa berarti tiga musim: musim ide, musim gosip, dan musim menepati janji.
.
Kota memberi latar, kelas menengah atas memberi alat. Ruang rapat menjadi studio kecil: papan tulis digital, prototipe UI/UX di layar, coffee machine yang lebih sering bicara daripada manusia. Pujawati—lead designer—mendaratkan sketsa antarmuka minimalis: dominan putih, aksen hijau pudar, font humanis tanpa serak. “Kita bukan menjerit,” katanya sambil menggambar outline tombol, “kita mengajak mendekat.”
“Kalimat kuncinya apa?” tanya Kertadarma.
Ragil mencatat. “Bukan be somebody, tapi be somebody to yourself first. Berdaya agar tak mudah diperdaya.”
Jayeng menandai di notulen: cantik—tapi kita butuh duri. Pengalamannya di dunia modal ventura mengajarkan: pasar kota besar suka janji yang manis, tapi berkomitmen pada hal yang getir: efisiensi, reputasi, privasi.
Di sela rapat, notifikasi Telegram menyalak. Adaninggar mengirim link. “Bang, cek ini.” Adaninggar, yang jadi duta konten untuk pra-peluncuran, menangkap kabar miring: sebuah akun gosip korporat mengunggah foto Ragil di lobi hotel mewah, judulnya menggelitik sinis: “Guru Personal Branding, Kok Sembunyi Soal Mantan?” Caption menuding: Ragil tak pernah menceritakan masa lalunya—sebuah hubungan yang pernah kandas dengan seorang pengusaha properti Surabaya bernama Panji. Foto itu tidak melanggar hukum; yang dilanggar adalah nalar: mengapa masa lalu personal menjadi prasyarat kredibilitas profesional?
“Ini bukan sekadar gosip,” gumam Umarmadi. “Ini narasi: kalau kau tak membuka seluruh halaman hidupmu, kau palsu. Padahal, hak privat bukan kebohongan.”
Malamnya, tim berkumpul di co-working space Sudirman. Lampu langit-langit redup, menumbuhkan keintiman diskusi. Ragil duduk berhadapan dengan Adaninggar, antara mereka segelas teh yang mendingin.
“Aku lelah harus menjelaskan,” Ragil berkata pelan. “Seolah-olah kebenaran hanya ada jika semua dibeberkan. Padahal tidak semua cerita adalah konsumsi umum.” Ia menatap Jayeng sesaat, lalu memalingkan wajah. “Termasuk cerita yang pernah kita jalani.”
Ruang itu menahan napas. Jayeng mengangguk. “Kita tidak akan menjual aib untuk mengangkat brand,” katanya. “Tapi kita juga tidak akan membiarkan orang lain menentukan panggung. Kita tentukan panggungnya.”
“Bagaimana?” tanya Pujawati.
Jayeng berdiri, mendekati papan tulis. Ia menulis besar-besar: Batas Bukan Tembok — Batas Adalah Pagar.
“Esok kita rilis manifesto,” jelasnya. “Bukan klarifikasi sensasional. Manifesto tentang batas: apa itu personal branding dan apa itu privasi. Kita ajak publik belajar memilah: yang dibuka adalah nilai, kompetensi, proses; yang dilindungi adalah hal-hal yang tak perlu untuk publik. Kita beri contoh faktual, data, rujukan UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi. Edukatif, praktis, tidak menggurui.”
“Dan visualnya?” Pujawati sudah menyiapkan pena digital.
“Bikin dua layer,” jawab Jayeng. “Layer depan: siluet—orang berbicara di panggung, terang. Layer belakang: jendela setengah tertutup, lampu kamar temaram. Copy: ‘Yang menyala di panggung adalah karya. Yang redup di kamar adalah hak.’”
Umarmadi menambahkan, “Kita siapkan template kebijakan privasi platform: siapa pemegang data, retensi, hak akses, konsekuensi pelanggaran. Sederhana, taktis, bisa dibaca awam. Kita latih moderator untuk menolak oversharing yang tak sehat.”
Ragil menghela napas, lebih lega. “Baik. Kita menari tanpa telanjang.”
.
Jakarta, seperti laut, menyembunyikan arus di bawah kilau permukaan. Arus pertama: investor kolektif. Arus kedua: warganet. Arus ketiga: keluarga. Dan keluarga, untuk kelas menengah atas urban, kadang lebih deras dari yang lain.
Suatu malam, Sekar Mayang, ibu Ragil—mantan guru bahasa, bergaun sederhana tapi sikapnya ratu—datang ke apartemen Ragil di Tebet. Hujan tipis mengetuk jendela.
“Aku lihat berita,” katanya tanpa basa-basi. “Kau baik?”
“Aku baik,” jawab Ragil. “Capek, tapi lebih paham diriku.”
Sekar menatap foto-foto kecil di dinding: Ragil waktu SMA teater di Taman Budaya, Ragil menerima beasiswa, Ragil memeluk Sekar di bandara. “Dulu kau suka menutup jendela kamar separuh,” Sekar tersenyum samar. “Katamu, biar angin masuk, tapi tak semua mata melihat.”
Ragil merunduk di pangkuan ibunya. “Aku ingin orang belajar menyusun diri. Tapi aku tak ingin seluruh kehidupanku jadi kurikulum umum.”
Sekar mengusap rambut ragil. “Kau boleh menutup jendela, Nak. Orang yang menuntut kau membuka semuanya bukan murid, tapi penonton. Murid datang membawa hormat.”
Kalimat itu, kelak, menjadi salah satu quote yang paling banyak di-repost dari manifesto RAGIL: “Murid datang membawa hormat. Penonton datang membawa tuntutan.”
.
Peluncuran RAGIL dijadwalkan di Graha Widya—gedung milik jaringan alumni kampus, yang dari luar tampak seperti kapal kaca. Panggung dipasang sederhana, kursi disusun jarak manusiawi. Tiket terjual habis dalam 48 jam; sebagian besar pembeli adalah profesional muda dari perbankan, konsultan, arsitek, dokter muda, para pendidik sekolah swasta; selebgram ada, tapi bukan pusat perhatian.
Sebelum acara utama, ada sesi panel: Data, Diri, dan Dunia Kerja. Moderatornya Umarmaya—yang ternyata punya talenta MC—mengundang tiga panelis: Nawang (kepala SDM firma hukum), Ardika (pendiri HR for Good), dan Dewi Anggraini (dokter psikiater yang meneliti dampak oversharing di tempat kerja). Diskusi hangat. Statistik beruntun, contoh kasus nyata tentang kandidat hebat kehilangan peluang karena jejak digital—bukan foto liburan, tapi saling doxxing di forum kantor lama.
“Personal branding bukan etalase tanpa harga,” kata Nawang. “Itu kurasi nilai—keliatan dalam cara menulis, cara merespons kritik, cara memegang rahasia klien.”
“Dan privasi,” timpal Dewi, “bukan benteng isolasi. Ia pagar yang menandai taman agar bunga bisa tumbuh.”
Sesi itu disiarkan langsung. Kolom komentar ramai, tapi tak seramai jika ada skandal. Edukasi jarang memecah layar, tapi malam itu ia merambat seperti lampu jalan—tenang dan ajek.
Saat giliran Ragil naik panggung, ia membawa kartu kecil. “Aku pernah hidup dari panggung ke panggung,” katanya, memandang kursi-kursi. “Di teater dan acara. Lama sekali aku belajar menjadi sosok yang penonton harapkan. Sampai suatu sore, aku sadar: aku bisa jadi sosok yang aku perlukan dulu—perempuan yang tidak menyesal menolak panggung yang salah.”
Ia menghela napas, mengangkat kartu.
“Tiga hal yang akan RAGIL lindungi: data pribadi pengguna, riwayat konseling, dan cerita keluarga. Tiga hal yang akan kami buka: kurikulum, metode, dan hasil pengukuran. Kami percaya, yang menjadi konsumsi publik adalah kualitas, bukan kehidupan privat.”
Tepuk tangan. Bukan yang meluap-luap, tapi yang terasa menembus.
Di baris belakang, Jayeng berdiri, menyamarkan rasa yang lebih rumit daripada investor biasanya izinkan. Ia menatap Ragil; bagian dirinya yang pernah menjadi anak Surabaya yang canggung kembali menepuk bahu. Ada yang selesai; ada yang baru mulai.
.
Kampanye digital berjalan mulus tiga hari. Lalu arus balik datang: sebuah akun anonim membocorkan pitch deck internal RAGIL, mengolok kalimat “Menjadi terlihat tanpa kehilangan diri” sebagai retorika kosong. Lebih buruk, akun itu menempelkan foto seseorang—perempuan yang disebut-sebut mantan partner Ragil—dengan label menyakitkan. Dunia digital, yang selalu yakin paling tahu, menggerakkan jari-jarinya.
Malam itu, kantor kecil RAGIL di Kemang menjadi posko. Umarmadi memeriksa pasal demi pasal pelanggaran, Kertadarma menyusun langkah respons, Adaninggar menyiapkan tulisan panjang.
“Kita tuntut?” tanya Pujawati.
“Proses hukum jalan,” jawab Umarmadi. “Tetapi ada yang lebih cepat: literasi. Kita tanggapi dengan dua hal—klarifikasi fakta dan panduan warga.”
“Kau yakin?” Ragil menatap Jayeng.
“Aku tidak bisa memutuskan untukmu,” kata Jayeng. “Tapi aku tahu: kebisuan adalah bahasa, dan jawaban juga bahasa. Pilih bahasa yang membuatmu masih bisa memandang cermin besok pagi.”
Ragil mengangguk. “Baik. Kita tulis.”
Mereka menulis sepanjang malam. Tulisan itu bukan thread kemarahan; ia struktur: Apa yang bocor?—Slide yang bukan rahasia dagang. Apa yang diserang?—Orang yang tidak terkait bisnis. Apa yang kami lakukan?—Menghapus, meminta maaf kepada pihak tak terkait, melaporkan akun, mengedukasi. Apa yang bisa publik lakukan?—Jangan menyebarkan; laporkan; bertanya sebelum menilai.
Rilis keluar jam 09.00. Tanpa dramatisasi, tanpa expose. Di akhir tulisan, ada satu paragraf:
“Kami percaya, batas bukan penghalang cinta pada sesama manusia. Justru karena kami menghormati kalian, kami menandai pagar: agar yang tumbuh di halaman adalah kepercayaan, bukan ilalang rasa ingin tahu yang keliru.”
Hari kedua, gelombang mulai surut. Bukan karena semua orang paham, melainkan karena sebagian orang akhirnya lelah pada gosip yang tak berbuah. Di sela ringkasan berita, seorang editor budaya menulis esai: “Privasi di Zaman Etalase.” Esai itu menyebut RAGIL sebagai contoh gerakan kecil: menganggap publik dewasa, bukan anak-anak yang perlu hiburan setiap jam.
.
Sebuah sore, saat Jakarta pudar menjadi jingga, Jayeng dan Ragil bertemu di kafe kecil di Cipete. Tanpa tim, tanpa kamera. Dulu mereka hampir jadi pasangan; kini mereka jadi batas yang saling menghormati.
“Aku membaca semua yang kau tulis,” kata Jayeng, mengaduk kopi yang sudah tidak panas. “Dan aku belajar.”
Ragil tersenyum. “Aku juga belajar darimu, tentang tegas tanpa bising.”
“Masih mau menutup jendela separuh?” tanya Jayeng.
Ragil menatap ke luar. Pohon asam menunduk, jalanan sesekali berkilau serupa sisik ikan.
“Aku akan membuka jendela selebar nilai yang ingin kubagi,” katanya. “Tapi kamar akan tetap jadi kamar.”
“Mungkin itu yang dimaksud orang tua kita dulu,” jawab Jayeng. “Tata krama bukan gemerlap di ruang tamu, melainkan cara kita menaruh kunci.”
Mereka tertawa kecil. Ada lega yang jatuh pelan seperti daun.
Sebelum berpisah, Ragil memberikan kartu undangan: Workshop RAGIL: Merancang Portofolio Diri. Di pojok kartu ada kutipan yang belum dipublikasikan.
“Jangan biarkan sorak sorai menentukan arah hidupmu. Tepuk tangan hanyalah cuaca; kompasmu adalah nilai.”
“Boleh kupakai?” tanya Ragil.
“Kau tak perlu izin untuk kalimat yang lahir dari perjalananmu,” jawab Jayeng.
Mereka berjabat tangan. Sudah larut ketika Ragil melangkah ke arah motor listriknya; Jakarta berubah jadi lampu-lampu yang mengantuk. Di punggungnya, sebuah tas kanvas tempat ia menyimpan hal-hal yang hanya ia kenal: sepotong surat dari ibunya, foto lama dirinya dengan adik di pantai Kenjeran, dan catatan kecil: “Yang paling pribadi bukan untuk disembunyikan, melainkan untuk dirawat.”
.
Peluncuran bulan pertama menutup laporan: 4.200 pengguna, retensi 62% di minggu kedua, 180 mentor mendaftar, satu kasus pelanggaran privasi yang ditangani tuntas, tiga kampus menandatangani kemitraan. Angka-angka yang membuat investor tersenyum realistis, dan tim tersenyum bangga. Di balik layar, Umarmadi menuliskan prosedur ringkas First Aid Digital: langkah-langkah jika seorang mentor terpapar doxing; Umarmaya membangun fitur panic redact—sekali klik untuk menyamarkan informasi sensitif dari dokumen portofolio; Pujawati merapikan design system; Adaninggar menulis seri esai “Jendela & Panggung”—tentang menakar cerita diri.
Sementara itu, di ruang kerja Seruni Capital, Jayeng menutup folder laporan. Dari jendela, Jakarta seperti peta sirkuit—garis cahaya menyilang. Ponselnya bergetar: sebuah pesan dari adiknya di Surabaya, Anggra. Mas, gimana caranya kerja kelihatan, tapi hidup tetap tenang?
Jayeng menatap pesan itu lama, lalu membalas:
“Kerjakan hal yang benar di ruang yang tepat. Bicarakan hasilnya, bukan semua jalannya. Dan ingat—batas bukan tembok; ia pagar. Buka gerbang pada nilai, tutup pintu pada sensasi.”
Ia meletakkan ponsel, menatap lagi bayangannya di kaca. Nama di pintu bukan lagi baju besi yang memisahkan; ia jendela yang dipilih lebar dan tinggi dengan sengaja. Di bawahnya, di ruang kota yang tak pernah tuntas, orang-orang berjalan dengan seribu nama: sebagai anak, pemilik usaha, dosen, dokter, sutradara, public relations, hotelier, aktivis, pendidik, juga manusia yang ingin punya ruang untuk duduk diam.
Kota akan terus bercerita. Dan mereka, perlahan, belajar membalas dengan bahasa yang lebih pelan—tapi lebih dalam: bahasa nilai, bahasa pagar, bahasa yang membolehkan bunga tumbuh tanpa harus dicabut akarnya untuk diperlihatkan.
.
.
.
Malang, 24 Oktober 2025
.
.
#PersonalBranding #PrivasiDigital #EtikaSosial #KarierUrban #KelasMenengah #ReputasiProfesional #LiterasiData #StartupEdukasi #Nilai #Indonesia
.
Quotes dari cerpen:
-
“Batas bukan tembok; ia pagar. Buka gerbang pada nilai, tutup pintu pada sensasi.”
-
“Murid datang membawa hormat. Penonton datang membawa tuntutan.”
-
“Tepuk tangan hanyalah cuaca; kompasmu adalah nilai.”
-
“Yang menyala di panggung adalah karya. Yang redup di kamar adalah hak.”
-
“Yang paling pribadi bukan untuk disembunyikan, melainkan untuk dirawat.”