Mentor yang Tak Pernah Lelah
“Kadang, yang kita butuhkan bukan nasihat panjang lebar, tapi seseorang yang hadir, mendengar, dan percaya bahwa kita mampu.”
Jakarta, Lantai Tujuh, dan Pertemuan Pertama
Di tengah riuh kota Jakarta yang berderap seperti mesin tak kenal lelah, di lantai tujuh sebuah gedung perkantoran di bilangan Kuningan, terdapat sebuah ruang kerja yang jarang sunyi. Di balik kaca buram berbingkai hitam, seorang pria paruh baya duduk dengan gaya yang khas: tegap, penuh wibawa, namun tak ada sedikit pun kesan menekan. Namanya Bisma.
Bisma adalah seorang mentor internal di sebuah perusahaan multinasional. Sudah lebih dari dua dekade ia membaktikan diri dalam dunia pengembangan sumber daya manusia. Ia bukan hanya ahli dalam menyusun kurikulum pelatihan, tapi juga dikenal karena kemampuannya membaca batin manusia. Suaranya berat namun hangat, dan tutur katanya mengalir seperti sungai yang sabar menapaki batu-batu kerikil kehidupan.
Hari itu, langit Jakarta mendung, seakan ikut memantulkan isi hati Arjuna—seorang karyawan muda yang baru tiga bulan bekerja di divisi pengembangan produk. Arjuna datang dengan kepala tertunduk, kemeja putihnya kusut karena lupa disetrika, dan matanya lelah seperti tak tidur semalam.
“Silakan duduk, Jun,” kata Bisma sambil menutup layar laptopnya. Arjuna hanya mengangguk.
“Ada apa? Kamu tampak seperti kehilangan arah.”
Arjuna menarik napas panjang. Suaranya gemetar ketika ia berkata, “Saya merasa gagal, Pak. Eh… Maksud saya, saya merasa tak berguna. Target saya tidak tercapai, dan saya mulai ragu apakah saya cocok di sini.”
“Kamu belum gagal, Jun. Kamu baru memulai. Dan kamu tidak perlu memanggil saya Pak, cukup Bisma. Di sini, kita semua rekan belajar.”
Arjuna tersenyum hambar. Tapi kata-kata itu, pelan-pelan, masuk ke rongga dadanya yang sesak.
Ketakutan yang Tak Disuarakan
Tiga bulan pertama Arjuna memang tidak mudah. Latar belakangnya sebagai anak kampung dari Cilacap membuatnya harus beradaptasi keras dengan budaya kerja yang cepat dan penuh tekanan. Ia mengira bahwa kunci agar atasan senang padanya adalah dengan patuh dan berkata “ya” pada segala hal. Tapi, alih-alih dihargai, ia justru merasa seperti robot yang kehilangan arah.
“Saya kira, kalau saya selalu nurut, bos saya akan senang. Tapi saya malah makin bingung. Saya takut bilang tidak. Takut dibilang tidak loyal.”
Bisma mengangguk, lalu berdiri menuju rak buku dan mengambil satu buku kecil bersampul cokelat tua.
“Kamu tahu apa yang membuat seorang atasan benar-benar bahagia?”
Arjuna menggeleng pelan.
“Keberanian. Bukan kepatuhan membuta. Kami, para atasan, lebih senang melihat anak muda yang mau berpikir, mencoba, gagal, dan bangkit, daripada yang hanya bilang ‘siap’ tanpa paham.”
Belajar Memimpin Diri Sendiri
Hari-hari berikutnya, Arjuna mulai sering datang ke ruang Bisma. Bukan untuk mengadu, tapi untuk belajar.
Di salah satu sesi, Bisma memperkenalkan konsep self-leadership. “Kalau kamu ingin jadi profesional, Jun, kamu harus bisa memimpin dirimu sendiri dulu. Atur waktumu. Bangun pagimu. Buat prioritasmu. Ingat, produktif itu bukan sibuk.”
Arjuna mulai menyusun ulang rutinitasnya. Ia belajar menggunakan metode Pomodoro untuk mengatur waktu. Ia mulai menulis jurnal harian untuk mencatat perkembangan dirinya. Ia juga mulai berani mengutarakan pendapat dalam rapat. Tak selalu diterima, tapi tak lagi membungkam diri.
Ujian Kepemimpinan Pertama
Suatu hari, Arjuna diberi kesempatan untuk memimpin proyek kecil. Ia gugup, tapi Bisma hanya berkata, “Belajarlah dari gagal, bukan dari ketakutanmu.”
Proyek itu tak sempurna, bahkan sempat mengalami keterlambatan. Tapi evaluasi akhir menunjukkan adanya peningkatan signifikan dari sisi pendekatan, komunikasi tim, dan semangat kolaborasi.
Kepala divisinya berkata, “Saya lihat kamu berkembang. Teruskan.”
Arjuna menahan air matanya.
Jejak Seorang Mentor
Di balik itu semua, Arjuna mulai memahami satu hal penting: mentorship bukan tentang memberi solusi instan, melainkan membimbing seseorang untuk menemukan versinya sendiri dalam menyelesaikan masalah.
Suatu sore, Bisma memanggil Arjuna.
“Jun, bulan depan saya pensiun.”
Dunia Arjuna seolah berhenti. “Tapi saya masih butuh belajar…”
Bisma tersenyum. “Kamu tidak akan pernah berhenti belajar. Tapi kini, saatnya kamu belajar menjadi mentor.”
Cahaya yang Diteruskan
Sepuluh tahun berlalu. Arjuna kini adalah Kepala Divisi Inovasi. Ia punya ruang sendiri, tapi tetap menyisakan sudut kecil seperti ruang Bisma dulu. Di dindingnya tergantung kutipan favorit sang mentor:
“Ilmu yang baik adalah yang menyalakan, bukan yang menyilaukan. Jadilah pelita, bukan petir.”
Di ruang itu, seorang anak magang duduk dengan gugup. Arjuna menutup laptopnya, menatap dengan hangat, dan berkata, “Silakan duduk, kamu ingin bicara soal apa hari ini?”
.
.
.
Jember, 28 Juli 2025
.
.
#CerpenMentorship #KesehatanMentalKerja #CeritaProfesional #MentorBijak #BelajarDariKegagalan #ArjunaModern #GayaKompasMinggu #CeritaPenuhMakna