Menjadi Orang Asing bagi Diri Sendiri
“Setiap hari ada bagian diri yang pergi; yang tinggal belajar menyambut yang baru. Bila tak lagi mengenali cermin, mungkin itulah saat kita pulang ke hati.”
.
Malam itu Jakarta menetes seperti atap rumah tua—tiris, mengi, kadang menggeram. Dari atap sebuah rumah susun di Tebet, Rengganis menatap lampu-lampu yang mengambang di kabut hujan, seperti noktah-noktah nasib yang tak selesai disusun. Di tangan kirinya, payung lipat yang tak benar-benar berguna; di tangan kanannya, sebuah stoples kaca bertutup seng, terikat pita kain lusuh warna bata. Labelnya ditulis dengan spidol hitam: Semoga Jadi Jalan Pulang.
Stoples itu tiba siang tadi, dikirim tanpa pengirim yang jelas. Hanya secarik kertas kecil: “Kadang-kadang kita perlu mendengar suara orang lain untuk berani jujur pada diri sendiri.” Tulisan tangan itu seperti pernah dilihat—huruf g yang memanjang berlebihan, titik di atas i yang selalu sedikit meleset. Rengganis menyimpannya di bawah lampu meja, lalu sepanjang sore ia menahan diri untuk tidak membongkar isi stoples. Malam ini ia menyerah.
Ia membuka tutup seng yang berkarat di ujung, terdengar suara ceklek kecil. Di dalamnya, puluhan potongan kertas dilipat seperti origami terburu-buru. Ia mengambil satu.
“Aku tidak lagi mengejar mimpi yang membuatku kehilangan hari ini.”
Kertas kedua: “Aku berhenti memanggil pulang pada rumah yang tak mau menoleh.”
Kertas ketiga: “Witing tresno jalaran saka kulina. Kutemukan diriku mencintai yang kupelajari, bukan yang diwariskan.”
Rengganis mengembuskan napas. Punggungnya diremas angin malam. Di kejauhan, kereta Commuter Line melesat, menyiulkan peluit seperti anak kecil yang pura-pura berani.
Ia baru saja menutup stoples ketika teleponnya bergetar. Nama di layar: Jokotole.
“Gan,” suara di seberang mengalahkan desau hujan, “kau sudah buka stoplesnya?”
Ia kaget oleh ketepatan pertanyaan itu. “Kau yang mengirim?”
“Tidak persis,” kata Jokotole, “Aku hanya menjemputnya dari banyak tangan. Lusa, mampirlah ke kiosku di bawah kolong Manggarai. Ada kopi untukmu. Dan cerita.”
.
Jokotole dulu adalah anak yang selalu menang lomba layangan di kampung Pabean, di tepi Kalianget. Ia kena serangan demam kota—penyakit yang membuat pemiliknya berkemas pada subuh dan tak kembali ketika ayam jago habis berkokok. Kini, bertahun kemudian, ia menjaga kios kecil di bawah rel kereta: Warung Tole—Kopi & Cerita. Dindingnya bekas spanduk pemilu yang dibalik. Di langit-langitnya, kabel-kabel merunduk seperti akar yang tumbuh mencari tanah.
Rengganis datang pada pukul sembilan malam, ketika tumpahan lampu stasiun membuat hujan tampak berkilau. Jokotole menyambut dengan senyum segitiga—tersipu, sedikit nakal, dan menahan sesuatu.
“Arabika Wonosobo?” tawar Jokotole.
“Kau ingat,” Rengganis duduk, menaruh stoples di meja kecil.
“Aku ingat hal-hal yang menyelamatkan orang. Kopi salah satunya,” jawab Jokotole, luwes.
“Apa ini?” Rengganis menunjuk stoples.
Jokotole menekan ujung tutupnya dengan jari. “Ritual. Orang-orang menulis satu kalimat yang jujur. Kita simpan. Kadang kubacakan pada yang perlu. Dulu ada yang menaruhnya di lobi hotel, ada yang di co-working, ada di kamar tunggu klinik; orang menulis tanpa nama. Aku hanya perantara.”
“Dan mengapa aku yang diberi?”
Jokotole menatap ke luar; bus kota melintas, memercikkan air. “Karena kau sedang belajar pergi.”
Rengganis tersenyum getir. “Aku sudah terbiasa pergi.”
“Tidak. Kau terbiasa berlari. Beda.”
Kopi datang mengepul. Di kursi sebelah, seorang pengemudi ojol menaikkan resleting jaket sampai menutup leher. Hujan belum selesai.
“Dulu, Gan,” Jokotole memulai, “kau bilang kau ingin jadi orang yang menuliskan sejarah kota. Kau masuk ke PR, kau menulis, memotret, membuat kampanye. Tapi tiap masa kita menyimpan kurban. Apa yang kau kurbankan?”
Rengganis mengaduk kopi perlahan. “Samba.”
Nama itu meluncur seperti batu kecil ke dalam sumur gelap. Tak ada plung; hanya gelap yang memeluk.
“Dia pergi lima tahun lalu, kan?” tanya Jokotole hati-hati.
“Tidak,” Rengganis menatap jari-jarinya yang pucat, “Aku yang membiarkan dia pergi. Karena aku pikir aku harus menjadi seseorang. Padahal aku sedang menjadi orang lain.”
.
Kisah dengan Samba dimulai sederhana. Mereka bertemu di bus Suroboyo yang anti-ujaran kebencian; itu ditulis besar pada selebaran di kaca. Samba duduk menghadap jendela, menandai peta di layar ponsel, rute Suramadu—Gubeng—Wonokromo—Jember, seolah kota-kota bisa dilipat seperti kain sarung dan diselipkan ke dalam saku. Ia bercerita mengenai tempat-tempat yang tak masuk brosur: warung rujak cingur di sisi jembatan merah, gang kecil di Pabean di mana para perempuan menjemur rumput laut, wedang tape di alun-alun Jember saat hujan turun mendadak.
Samba membuat Rengganis percaya bahwa pulang adalah kata kerja: ia mengajak berjalan, tidak balik. Mereka menyusun mimpi yang terukur—homestay kecil dengan perpustakaan, tour pagi buta untuk melihat kapal-kapal berangkat di Kalianget. Mereka menabung cerita, lebih dulu dari rupiah.
Lalu kota menuntut bayaran. Rengganis diterima di agensi besar di Jakarta; bayangannya akan menulis sejarah kota terasa mungkin. Samba diminta pindah—tapi ibunya sakit. Ia memilih tinggal. Mereka mengukur jarak dengan janji, mencari harapan di jendela-jendela Zoom. Di tahun ketiga, janji mulai lag. Di tahun keempat, ibunya meninggal. Di tahun kelima, sebuah truk menyerempet motor Samba di malam berembus dingin. Ia selamat, tapi lututnya tidak. Kariernya berubah: dari pemandu perjalanan jadi pengemudi ojek, dari penggerak rencana menjadi perawat kecil di jalan—mengantar obat, menjemput bayi dari posyandu, mengantar orang yang kebingungan di perempatan.
Suatu malam sesudah bencana banjir Kanal Banjir Timur, Rengganis menunggunya di lobby coworking. Tak ada Samba. Di telepon, suara yang ia dengar adalah pernapasan yang letih.
“Aku tak lagi mengejar mimpi kita,” kata Samba, “Aku sedang belajar menjadi manusia yang tetap di tempat agar orang lain bisa lewat. Maaf, Gan.”
Keesokan paginya, Rengganis memotret kota dari lantai dua puluh lima gedung kaca. Jalanan kembali macet; sopir-sopir kembali mengumpat; kehidupan kembali semula. Hanya ia yang tak kembali.
.
“Gan,” Jokotole menepuk meja, “besok ada dapur darurat di Rusun Bidara. Kota akan padam sebagian karena pemeliharaan jaringan. Aku perlu orang yang bisa menulis papan-papan kecil untuk membagi giliran antre. Kau mau?”
Rengganis mengangguk, sama lapar dan takutnya. “Kau tahu aku bukan relawan yang bagus.”
“Kau tahu menulis,” kata Jokotole, “Itu cukup menyelamatkan orang dari bingung dan marah.”
Waktu bergerak seperti film dokumenter: cepat tetapi tajam. Keesokan sore, halaman rusun menguapkan bau solar dari genset. Di pojok, panci besar menggodok air, asapnya menulis kalimat yang tak selesai di udara. Anak-anak bermain hujan; seorang bapak menjemur powerbank di depan kipas.
Rengganis meletakkan papan: Anak-anak: 17.00–17.30. Lansia: 17.30–18.00. Ibu hamil: 18.00–18.30. Ia mencoba huruf besar yang ramah—tidak berteriak, tidak bergumam. Orang-orang membaca. Antrian membentuk dirinya, kadar amarah menurun. Ia merasakan sesuatu seperti musik yang tidak datang dari pengeras suara.
“Gan,” seseorang memanggil pelan.
Ia menoleh. Samba berdiri setengah basah, topi ojolnya miring, kaki kanan disangga brace ringan. Di tangannya sekantong roti sobek. Di mata keduanya, hujan yang sama menumpuk.
“Kau… di sini,” kata Rengganis, bodoh.
“Jokotole bilang kau butuh roti,” jawab Samba. Ia meletakkan kantong, lalu menatap papan-papan tulisan tangan Rengganis. “Kau menulis seperti orang yang mengerti orang.”
“Aku menulis seperti orang yang pernah menyakiti orang,” Rengganis bisa mencandai dirinya kini. “Terima kasih sudah datang.”
Samba mengangguk. Di pipinya, kau bisa membaca jalan-jalan yang ia tempuh—Helipad Fatmawati, Pasar Rumput, Pancoran. Mereka bekerja tanpa banyak bicara. Ketika malam turun, listrik padam sebentar. Genset menyerah. Dalam gelap itu, ada sunyi yang tidak mengancam.
“Gan,” bisik Samba, “Kau masih suka menyimpan kata-kata?”
Rengganis mengeluarkan stoples dari tas. “Selalu.”
Samba tersenyum kecil. “Boleh kubaca satu?”
Ia menyodorkannya. Samba mengocok pelan, mengambil secarik kertas. Ia membaca dalam batin, lalu mengembalikannya.
“Apa isinya?” tanya Rengganis.
“Kalimat orang yang berani,” jawab Samba. “Dan aku belum berani.”
“Kau dulu selalu yang paling berani,” kata Rengganis. “Di bus, di halte, di dermaga.”
“Berani mengejar. Bukan berani melepaskan.”
Hening merunduk di bawah genteng rusun. Anak-anak berhenti berlari. Di kejauhan, sirene ambulan sekilas memecah kemudian menyatu kembali dengan suara hujan. Rengganis menarik napas panjang.
“Aku minta maaf, Samba. Atas semua yang kutuntut darimu, atas diriku yang dulu.”
Samba menatapnya. “Aku juga minta maaf, Gan. Karena memilih diam sementara kau memperjuangkan. Tapi mungkin kita bukan gagal. Kita hanya—”
“—berubah,” sambung Rengganis.
“Ya,” kata Samba, “Kita hanya berubah.”
.
Malam berikutnya, mereka menyusun sesuatu. Jokotole mengusulkan nama yang kedengaran seperti doa. Ritual Kopi Tengah Malam. Di halaman rusun, lampu-lampu darurat dipindah ke dekat meja panjang. Orang-orang antre bukan untuk beras, melainkan untuk mencium bau kopi dan mendengar cerita satu sama lain. Jokotole menuang air panas ke bubuk robusta, uapnya naik seperti kabar baik. Samba membagi roti; Rengganis menyodorkan spidol dan kertas.
“Kalimat apa pun,” katanya pada seorang ibu yang bayi di gendongannya tengah tidur, “yang jujur, yang tak harus menyenangkan siapa pun. Tidak usah pakai nama.”
Orang-orang menulis ragu. Lalu menulis sungguh-sungguh. Seorang satpam: “Aku rindu jam pulang yang tidak selalu jam lembur.” Seorang pengamen remaja: “Aku ingin ayahku menoleh sekali saja.” Seorang guru honorer: “Aku ingin muridku berhenti minta maaf karena miskin.”
Stoples kaca yang semula setengah kosong, tiba-tiba penuh kalimat yang berdenyut seperti jantung kolektif. Pada tengah malam, Rengganis memintanya pada Jokotole. “Boleh kubawa?” tanyanya.
“Bawa saja,” kata Jokotole. “Tapi kembali lagi besok. Orang akan butuh tempat untuk menitipkan kalimat lagi.”
Rengganis menatap Samba. “Kau datang besok?”
Samba memperbaiki topi. “Kalau hujan turun, ya datang. Kalau tidak turun, ya tetap datang.” Ia tertawa pada kalimat sendiri—sebuah tawa yang mengeringkan udara. “Kau tahu? Dulu aku takut jika kita berjumpa kembali, kau tidak mengenaliku. Aku juga takut tidak mengenali diriku.”
“Aku pun begitu,” kata Rengganis. “Tapi mungkin kita tak perlu mengenali. Kita cukup saling melihat.”
.
Jakarta memasuki pekan listrik yang hidup-mati seperti hati remaja. Ritual Kopi Tengah Malam bertumbuh di halaman rusun, dan dengan cara-cara yang ganjil, menyejukkan. Anak-anak menulis tentang sepeda baru, tentang kucing kampung yang lebih berani dari manusia. Para ibu menulis tentang punggung yang pegal tetapi hati yang belajar memaafkan. Para lelaki yang mengira diri tak pandai menulis, akhirnya menulis juga—dengan huruf besar, dengan kata-kata yang ringkas dan tepat.
Pada malam ketujuh, seorang pemuda kurir berdiri di depan meja. Tangannya gemetar saat menerima spidol. “Kalau aku menulis tentang kematian,” katanya, “apakah itu menakutkan orang lain?”
“Menulis juga cara menyalakan lilin,” jawab Rengganis. “Tulislah. Kita di sini tidak membawa korek untuk membakar. Hanya untuk menerangi.”
Ia menulis: “Aku takut tidak diingat. Tapi aku lebih takut menghabiskan hidup mengejar diingat.”
Rengganis merasakan sesuatu menggeliat di dadanya—sebuah kalimat yang bernapas. Ia menengok Samba. Laki-laki itu sibuk mengiris roti, telapaknya yang menghitam oleh setang motor terlihat rapi. Ada luka tipis di pangkal pergelangan, bekas kecelakaan, bekas takdir. Ia tiba-tiba ingin memeluknya, lalu tertawa pada keinginan itu: betapa banyak manusia ingin memeluk yang pernah melepaskan mereka, hanya untuk membuktikan bahwa pelukan itu masih mungkin.
Di saat itulah hujan berhenti sejenak. Langit melepaskan bau tanah dan bensin. Lampu-lampu darurat berkedip. Jokotole mengetuk gelas.
“Teman-teman,” katanya, suaranya meminjam wibawa dari ketulusan, “Aku ingin membaca sebuah kalimat yang kutemukan semalam.” Ia membuka stoples, mengambil secarik kertas lusuh—kertas pertama yang dikeluarkan Rengganis di malam atap Tebet. “Begini bunyinya, ‘Aku tidak lagi mengejar mimpi yang membuatku kehilangan hari ini.’”
Orang-orang hening. Kata-kata itu seperti berjalan di antara mereka, mengetuk bahu, bertanya apakah boleh singgah. Samba menoleh pada Rengganis. Di matanya, ada pengakuan yang sederhana. Aku. Hanya itu, tetapi cukup.
“Gan,” katanya seusai acara, “Maukah kau menulis naskah tentang ini? Supaya orang tahu suatu kota bisa pulang pada dirinya melalui kalimat-kalimat yang ditulis orang kecil.”
Rengganis menatap sekeliling. Orang-orang membawa pulang kantong roti, beberapa menyelipkan kalimat cadangan pada saku. Jakarta berjalan lagi, bukan lebih muda, bukan lebih tua, tapi dengan langkah yang diatur lebih hati-hati.
“Ya,” katanya. “Kita tulis. Tapi nanti, kalau naskahnya selesai, jangan biarkan orang berhenti menulis hanya karena ada tulisan yang panjang. Biar stoples ini tetap bekerja.”
Samba mengangguk. “Biar kota terus menulis dirinya.”
.
Dua minggu kemudian, Ritual Kopi Tengah Malam pindah-pindah: ke teras mushala ketika rusun diperbaiki pipa, ke bawah flyover ketika lapangan dipakai lomba tarik tambang HUT RI, ke depan kios listrik saat pengisian kartu antrian menimbulkan protes. Di mana pun ada ketersendatan, mereka datang. Rengganis menulis papan keterangan seperti menulis puisi—Antri bukan karena tak punya kuasa, melainkan karena ingin kuasa sampai pada semuanya. Orang-orang membaca dua kali sebelum tersenyum tanpa mengerti sepenuhnya, tetapi patuh.
Suatu malam seorang perempuan muda datang dan berkata pelan, “Saya membaca tulisan tentang ritual itu di news portal.” Ia menatap Samba sekilas, pada bekas luka yang tidak menyembunyikan apapun. “Saya biasanya takut bertemu orang, tetapi malam ini saya ingin menaruh kalimat.” Ia menulis: “Aku memaafkan diriku karena akhirnya memilih hidup yang kecil.”
Rengganis menatap kata kecil, mengusapnya dengan mata. Ada masa di mana ia mengejar garis besar, mengira kebesaran lahir dari ketinggian. Kini ia tahu: kebesaran bisa tumbuh dari ketekunan menyeduh tiga puluh cangkir kopi, dari menulis “anak-anak duluan” dengan spidol yang hampir habis, dari menahan marah saat listrik mati dan satu-satunya lampu yang hidup adalah keberanian.
Malam itu, setelah semua orang pulang, setelah meja dilipat dan kursi ditumpuk, mereka bertiga duduk memunggungi kota. Jokotole memeluk lutut; Samba mengupas jeruk kecil; Rengganis menatap stoples yang kembali setengah penuh.
“Kadang-kadang,” kata Jokotole, “aku merasa kita bukan lagi orang yang dulu.”
“Betul,” sahut Samba, “karena orang yang dulu ingin dipahami. Yang kini ingin memahami.”
“Dan aku,” ujar Rengganis, “dulu ingin menulis sejarah kota. Yang kini ingin menulis supaya orang tak saling melukai.”
“Urip iku urup,” Jokotole menutup percakapan, “hidup itu nyala. Selama masih ada yang mau menyalakan yang kecil-kecil, kota tak padam.”
Mereka tertawa kecil tanpa alasan baik. Udara menjadi ringan. Di kejauhan, kereta terakhir malam itu lewat dengan peluit sayu, seperti salam yang datang dari laut.
.
Rengganis menutup naskahnya pada suatu dini hari ketika Jakarta tak lagi minta maaf pada hujan. Ia memilih judul yang ia kenal sejak lama: Orang Asing yang Memakai Kenangan. Kalimat-kalimat orang kecil membentuk tulang punggung cerita. Di paragraf pertama, ia menulis sebuah paragraf yang bukan milik siapa-siapa: “Kita tak lagi sama, dan itu bukan pengkhianatan. Setiap hari hidup mengambil sesuatu dari kita, lalu menggantinya dengan peluang untuk menjadi siapa.”
Ia mengirim naskah itu ke seorang editor harian Minggu. Lalu ia menaruh stoples di atas meja, membiarkan tutupnya terbuka. Angin dini hari masuk melalui jendela, menggoyang kertas-kertas tipis yang berdesis seperti doa.
Teleponnya bergetar. Pesan pendek dari Samba: “Besok hujan. Datanglah lebih awal. Aku bawa roti yang kulitnya lebih renyah.”
Rengganis menatap jempolnya, mengisap kata-kata yang mungkin berlebihan. Akhirnya ia menulis, “Sampai besok. Biar kita jadi dua orang asing yang terus belajar memakai kenangan dengan cara yang ramah.”
Ia meletakkan telepon. Menutup jendela. Kota memadamkan sebagian lampu—bukan karena kehabisan listrik, melainkan karena lelah juga manusia. Ia merebah, lalu sebelum tidur, ia memikirkan satu kalimat untuk ditaruh di stoples besok malam:
“Aku tidak lagi mencari ‘aku yang dulu’. Aku menjaga ‘aku yang hadir.’”
Pagi menyusul dengan suara azan dari mushala kecil di deret sebelah. Jakarta bangun dengan kebiasaan lamanya—mencari, kehilangan, menemukan. Di bawah kolong rel, Warung Tole menguapkan kopi pertama. Di rusun, anak-anak bertengkar tentang siapa yang duluan menekan tombol lift. Di sebuah motor, Samba mengecek brace dan menyalakan mesin. Di sebuah kamar sempit dengan jendela yang baru diganti karet penahannya, Rengganis memegang stoples, merasakan dingin kaca di telapak tangan, dan tahu: ia bukan lagi orang yang dulu, tetapi ia masih manusia yang sama—yang ingin menyalakan cahaya kecil di mana gelap berkumpul.
Dan itu cukuplah.
.
.
.
Jember, 2 September 2025
.
.
#RitualKopiTengahMalam #CerpenKompasMinggu #KotaDanKita #Identitas #Perubahan #Empati #UripIkuUrup #JokotoleRengganisSamba #CeritaJakarta #NamakuBrandku