Mendurhaka

“Mencintai tidak cuma soal membahagiakan. Kadang-kadang, sesederhana tenang berada di sana.”

.

Di Antara Kidung dan Keris

Namanya Sojapati. Dalam silsilah keluarga, nama itu adalah utang yang dibayar turun-temurun: sepotong doa, sepotong beban. Di rumah tua peninggalan simbah, dinding masih anyaman bambu, atap seng mengerut bunyi bila hujan menetes, lantai semen dingin menahan jejak telapak yang tak pernah benar-benar kering. Ayahnya, dalang yang hapal rasa malam; ibunya keturunan keputren yang meninggal ketika Sojapati baru belajar membedakan warna merah marah dan merah jambu. Di pendapa kecil, di antara kelir dan gamelan, ia tumbuh.

“Kelak, kau bukan siapa-siapa, kecuali kau penuhi takdirmu,” kata ayahnya, menelusupkan minyak cendana ke gagang sebilah keris yang hanya keluar saat malam satu Suro. “Trah itu bukan cerita. Ia utang.”
Sojapati mengangguk, namun hatinya ke lain tempat.
Ia tidak mencintai wayang. Ia terpikat pada warna yang meleleh di kanvas, pada suara cat akrilik yang retak halus bila kering, pada bau terpentin yang menampar hidungnya dan terasa seperti pintu ke dunia lain. Pada seragam sekolah yang ia coreti bunga, pada tembok kamar yang pelan-pelan jadi galeri rahasia.

Malam-malam di halaman, ayahnya menembang kidung yang mengelus gelap. Sojapati, diam-diam, menggambar gelap itu jadi terang.

.

Manggung atau Menghilang?

Ayahnya ingin ia masuk ISI, meneruskan garis darah di panggung bayang. Diam-diam, Sojapati mendaftar ke fakultas seni rupa di Bandung. Ia lulus. Ia diterima. Tetapi ia tak berangkat.

Bukan karena tak bisa, melainkan karena ia memilih menunda pertengkaran yang akan mengubah bentuk keluarga. Ia menyelipkan surat penerimaan ke dompetnya, bersebelahan dengan foto ibunya yang senyumnya seperti lampu minyak: kecil, tekun, hangat.
Ketika kabar itu terbongkar, kemarahan meletus.

“Durhaka kamu, Soja! Kau lupa dari mana asalmu?”
Suara ayahnya tajam, seperti paku memukul lantai.
Sojapati tidak menangis. Tetapi ia juga tidak tidur. Di depan kelir kosong, dengan arang ia menulis:
Apa guna melanjutkan tradisi kalau jiwaku mati?

Malam berikutnya, ia menyeberang batas yang selama ini hanya dibayangkan.

.

Kota yang Menjilat Luka

Sojapati kabur. Dengan bus malam yang harus menunggu dua kali di terminal karena sopirnya hendak menambal ban, ia berangkat ke Bandung. Ranselnya kecil: beberapa kaus, sepuluh sketsa, dua lembar uang ratusan ribu, keyakinan yang berisik tetapi tak punya rumah.
Kota, ternyata, tidak menunggu.
Ia tidur di emperan kampus selama tiga malam, lalu di kamar kos sempit dengan jendela yang menghadap tembok. Siang ia jadi loper koran, kuli cat bangunan, pelayan warung padang yang belajar menyendok gulai tanpa meneteskan kuah ke piring. Malam ia melukis di atas meja lipat, lampu bohlam 5 watt menggantung dari paku, suara radio tetangga seperti hujan gerimis.

Di Car Free Day Dago, ia menggelar kanvas kecil dan papan bertuliskan: Lukisan Jiwa. Orang-orang menoleh, sebagian berhenti, sebagian membeli. Nama pelukis? Ia tak menulis. Cukup tanda di pojok bawah: Sang Pengingkar.
Pengingkaran, ternyata, bisa juga jadi pintu untuk pulang ke dalam diri.

.

Nama yang Kembali Dipanggil

Dari seorang perupa senior yang melihatnya melukis di taman, ia diajak membantu menata pameran di sebuah galeri kecil di Braga. Galeri itu berbau campuran kopi, kayu tua, dan cat basah—aroma yang mengingatkan pada cerita-cerita ibunya tentang pagi hari yang rapi.
Di sana ia bertemu Ragapadmi—orang memanggilnya Raga—yang mengurus program residensi seni untuk anak-anak pinggiran. Raga punya tawa yang tidak minta izin pada duka, dan cekatan seperti punggung tangan yang hapal garis takdirnya sendiri.
“Kenapa ‘Sang Pengingkar’?” tanya Raga, suatu sore ketika lampu galeri memantulkan bayang pohon asam di kaca.
“Soalnya nama asli ku seperti pintu yang selalu diketuk masa lalu.”
“Nama bukan borgol. Nama itu tali: bisa kau anyam, bisa kau lepaskan,” kata Raga. “Kalau tak percaya, pakai punyaku sementara.”
Sejak hari itu, ketika menjawab pesan dari kurator, ia menulis: Soja. Nama kecilnya, separuh resmi, separuh selamat.

Kabar pelan beredar. Dua karya kecilnya ikut pameran kelompok. Foto karya itu masuk akun-akun seni di Instagram. Di kolom komentar, ada yang menulis: “Kupikir ini karya orang yang lebih tua.” Soja tertawa kecil—bukan karena bangga, tapi karena ia merasa terhibur ada yang percaya pada usia lukisan lebih dari usia manusia.

.

Mencintai Lewat Benci

Empat tahun menanjak-turun seperti jalan Siliwangi setelah hujan. Kos berpindah dua kali, pekerjaan sambilan berulang—tetapi paletnya makin berani. Ia belajar menunda bicara hingga warna yang bicara lebih dulu.
Suatu siang, pesan singkat masuk dari kampung: ayahnya stroke. Rumah tua akan dijual untuk biaya pengobatan. Gamelan disimpan di rumah tetangga. Kelir dilipat, tersisa debu.

Soja membeli tiket kereta ekonomi. Di bangku yang bikin punggungnya jadi garis lurus, ia melatih napas seperti menimbang berat kata “pulang.”
Kampung menyapa seadanya: bau sawah, suara motor tua, udara yang setia meski penduduknya pergi satu per satu. Di rumah sakit, ayahnya menatap dari ranjang. Mata itu—yang dulu menuduh—kini menjadi telaga yang kebingungan. Bibirnya miring, kata-katanya lari seperti anak kecil dikejar anjing.
Soja memegang tangan ayahnya. Tulang-tulangnya terasa ringan.
“Pak,” katanya pelan.
Laki-laki tua itu bersusah payah mengangkat jari, seolah hendak mengatakan sesuatu. Tidak ada yang keluar, kecuali air mata yang berdiri di pelupuk dan tak berani jatuh.
Untuk pertama kali, Soja merasa dimengerti tanpa bahasa.

Ia tinggal tiga bulan di kampung. Pagi mengantar ayahnya fisioterapi, siang melukis di pendapa balai desa, sore mengajar anak-anak mencampur warna dengan air sumur. Ia mengecat ulang dinding pos ronda, menanam tabebuya di pinggir kali yang selalu kebanyakan sampah.
Ia tidak menyentuh kelir. Ia menolak saat diminta menggantikan ayahnya menanggap.
Tetapi ketika malam datang dan jangkrik bertukar kabar, ia menempelkan kanvas pada kelir itu, membiarkan sisa bau dupa meresap ke cat. Kelir kosong akhirnya terisi juga, bukan oleh bayang, melainkan oleh warna.

.

Ragapadmi di Jakarta

Pulang ke Bandung, Soja mendapati undangan residensi pendek di Jakarta dari Raga. Sebuah ruang kolaborasi di Kemang bersedia menyediakan studio selama dua bulan.
Jakarta menyambutnya seperti banjir kiriman: deras, tak banyak pilihan selain belajar berenang.
Di studio, jendelanya menghadap jalan yang tidak pernah benar-benar tidur. Mobil listrik berseliweran, kurir paket berhenti, mesin espresso bersiut di lantai bawah. Raga datang setiap Senin dengan roti gandum dan kabar-kabar kecil: tentang anak yang baru lulus, tentang ibu yang menawar lukisan tanpa bingkai, tentang tetangga yang mengeluh karena mural di gang dianggap terlalu sedih.
“Sedih juga warna,” kata Raga. “Kita sering lupa.”

Di Jakarta, Soja belajar disiplin yang berbeda: manajemen waktu pameran, deadline sponsor, foto karya yang harus ‘ramah feed’ tanpa mengkhianati isi. Ia belajar bernegosiasi agar karya tak disunat konsep oleh brief. Ia belajar menolak undangan yang sumir. Dan—paling susah—belajar memisahkan cinta dari pekerjaan ketika keduanya bertemu di satu ruang bernama Raga.

“Kalau suatu saat aku harus memilih, kamu pilih apa?” tanya Raga di suatu malam saat hujan turun, biru lampu kota seperti luka yang sudah capek.
“Di pekerjaanku, aku selalu memilih yang membuatku jujur,” jawab Soja. “Dalam cinta, aku ingin sesuatu yang membuatmu tenang.”
“Tenang itu mahal,” kata Raga, menatap keluar jendela. “Tapi mungkin itu satu-satunya definisi yang tak pernah salah.”

.

Jokotole, Mandilaras, dan Prabaswara

Di Jakarta juga, Soja bertemu tiga kawan lama yang seperti cermin dari kemungkinan yang tidak ia ambil.

Jokotole—dipanggil Joko—adalah anak Madura yang dulu sekelas di SMP, kini jadi arsitek di firma asing. Hidupnya teratur: mobil listrik, apartemen di Sudirman, kopi tanpa gula, jam tangan pintar yang mengingatkan untuk berdiri setiap satu jam. Ia mengundang Soja makan malam di restoran atap, memandangi kota seperti papan sirkuit.
“Gue salut lu nggak mundur dari seni,” kata Joko. “Gue sering kepikiran balik bikin proyek-proyek publik di kampung. Tapi target kantor selalu lebih keras.”
“Mungkin yang kita sebut mundur itu cuma cara lain untuk istirahat,” kata Soja. “Biar napas panjang.”

Mandilaras—dipanggil Mandil—kerja di perusahaan modal ventura, sibuk mengukur masa depan dengan presentasi. Ia lihai membaca angka, sama lihainya ia membaca ambisi orang.
“Gue bisa cari sponsor buat pameran lu,” katanya. “Dengan satu syarat: tema lu harus gampang dipahami audiens kelas menengah atas. Jangan terlalu personal. Mereka maunya cermin yang memuji, bukan yang menggugat.”
Soja tertawa. “Gue takut malah jadi cermin yang lupa muka sendiri.”
“Di kota ini, lupa itu mata uang,” balas Mandil.

Prabaswara—Praba—adalah creative director agensi besar, hidup di ruang putih minimalis dan kalender rapat yang padat. Ia meminjamkan studio foto untuk memotret katalog karya Soja.
“Kau butuh storytelling yang bisa dibaca merek, Ja,” kata Praba, menata lampu. “Cerita keluargamu kuat sekali. Origin story yang menyentuh. Tapi jangan jadikan duka sebagai komoditas. Biar ia tetap di rumah, menghangatkan, bukan dijual.”
Kalimat itu menempel di kepala Soja, seperti cat yang menolak kering.

.

Pameran yang Tak Pernah Selesai

Undangan pameran bersama datang dari sebuah galeri di Senopati. Kuratornya—seorang penulis yang mencintai garis-tembus sejarah—meletakkan karya Soja di ruang tengah, ditemani teks kuratorial yang berbunyi: “Pada kanvas-kanvas ini, kita menyaksikan anak yang memotong tali tanpa memutuskan darah. Ia belajar berdiri di tepi cahaya.”

Malam pembukaan, orang-orang datang dengan parfum yang berdebat, sepatu yang mengayun dari parkir bawah tanah, kamera ponsel yang cekatan. Ada yang bertanya konsep, ada yang bertanya harga, ada yang bertanya apakah warna biru di sudut kanan bawah itu sengaja dibiarkan tidak rata.
Ayahnya—yang sejak stroke tak lagi bisa bepergian jauh—menonton siaran langsung dari ponsel Mandil yang menyelinap ke rumah sakit melalui video call. Mata di layar itu basah.
“Pak,” kata Soja di depan lukisan paling besar malam itu, “ini cara lainku menembang.”
Ayahnya mengangguk pelan. Hening merupakan terjemahan paling akurat untuk restu.

.

Surat yang Tertinggal di Meja

Tiga minggu sesudahnya, pagi Jakarta datang dengan matahari tanpa janji. Raga mengirim pesan singkat: “Ayahmu…”—lalu jeda—“…pergi dengan tenang.”
Kata-kata itu pendek. Tetapi jarak antar hurufnya seperti jalan tol yang tiba-tiba kosong dan panjang sampai tak terlihat ujung.
Soja pulang lagi, kali ini mengantar jenazah.
Rumah tua itu sudah setengah dikosongkan. Di laci meja kayu, mereka menemukan sepucuk surat, tulisan tangan ayahnya yang miring tetapi rapi, ditulis entah kapan:

Soja,
Kalau kau membaca ini, mungkin aku sedang belajar diam. Aku marah karena takut kehilangan. Aku takut karena tak bisa membayangkan dunia yang bukan duniaku. Tetapi kau benar: apa guna melanjutkan tradisi bila jiwamu mati? Kalau kau memegang warna dengan jujur, kau masih menembang. Kau dalang yang menggambar cahaya. Maafkan aku yang telat mengerti.

Di bawahnya ada gambar keris kecil, seperti anak panah yang menunjuk ke halaman kosong.
Soja meletakkan surat itu di dada. Ia tidak menangis, tidak juga tertawa. Ada yang reda di dalam kepalanya, seperti api yang memilih menjadi bara.

.

Kemang: Kota, Kaca, dan Kidung

Musim berganti. Soja kembali ke Jakarta, hidup di ritme yang lebih teratur. Pagi lari kecil di taman kota, siang mengerjakan pesanan commission untuk keluarga muda di Menteng—mereka ingin mural di kamar anak, bertema “laut yang berani dan pelan”—sore menghadiri rapat kuratorial untuk pameran tunggalnya.
Joko sesekali mampir, membawakan blueprint gedung-gedung yang dibayangkan ramah pada manusia. Mandil mengirim tautan berita tentang ekonomi yang naik turun seperti nada-nada yang tidak sepakat. Praba membantu menata naskah katalog, menolak kalimat berbunga yang tak memberi ruang bernapas.
Raga, di sela kesibukan residensi, masih membawa roti gandum setiap Senin. Ritual kecil itu menjadi kompas.

“Judul pameran tunggalmu?” tanya kurator, suatu siang yang terlalu terang.
Soja menatap kanvas paling besar: seorang dalang tua memegang benang wayang yang tidak lagi terhubung ke kelir, sementara di belakangnya, seorang anak muda menggambar kelir baru dengan warna-warna yang berisik namun jujur.
“Mendurhaka,” katanya.
Kurator mengerjap. “Kau yakin?”
“Durhaka yang kubicarakan bukan pembangkangan yang memutus. Ini tentang hukuman yang kita jatuhkan pada diri sendiri saat tak berani jujur, dan amnesti yang kita berikan ketika akhirnya memilih. Ini kata lama yang kucuci, lalu kupakai lagi.”

.

Kota sebagai Saksi

Malam pameran, Jakarta hadir seperti dirinya sendiri: glamor yang tak meminta maaf. Lampu track menyorot karya satu-satu. Orang-orang mengenakan pakaian terbaiknya; PR list memastikan nama-nama penting mendapat minuman sebelum haus.
Di antara kerumunan, Soja melihat seseorang berdiri agak jauh, tidak memotret, tidak bertanya. Seorang bapak-bapak berkemeja putih sederhana, istrinya menggandeng lengan. Dari cara mereka menatap karya, Soja tahu: mereka tengah menghitung jarak antara anak-anak mereka dengan harapannya sendiri.
Seorang calon pembeli bertanya harga karya utama. Angkanya memantul di udara seperti koin yang dilempar ke sumur. Mandil menatapnya dari sudut ruangan, mengacungkan jempol. Praba mengangguk kecil. Joko menepuk bahunya, berkata dengan mata: jalan terus.
Raga berdiri di sampingnya, diam saja. Tangan mereka bersentuhan tanpa sengaja. Tenang itu mahal, tetapi malam itu terasa bisa dicicil.

Di katalog pameran, pada halaman terakhir, Soja menulis:

“Tak semua pengkhianatan adalah keburukan. Terkadang, ia adalah cinta yang memilih jalan sendiri.”

Kalimat itu bukan pembenaran; itu penerangan jalan.

.

Setelah Lampu Padam

Beberapa bulan kemudian, pameran selesai. Karya-karya berpindah rumah; sebagian ke apartemen di lantai tinggi, sebagian ke rumah dengan halaman yang suka didongengi hujan.
Soja pulang lebih sering ke kampung. Di pendapa yang kini berfungsi sebagai balai warga, ia memasang kanvas besar dan membiarkan anak-anak mencoret sepuasnya. Mereka menulis nama masing-masing, menggambar kebun yang belum ada, memeluk warna seperti memeluk masa depan.
Di belakang rumah, tabebuya yang pernah ia tanam mulai berbunga. Bunga-bunga kuning itu jatuh seperti amplop-amplop tak terkirim, menumpuk di jalan tanah. Ia foto pohon itu, ia kirim ke Raga. Balasan datang: “Tenang itu, ya? Kalau ada yang menyebut namanya, ia sering hilang.”
Soja tersenyum.
Ia tahu, beberapa hal tidak perlu didefinisikan untuk bisa ditempati.

.

Penutup yang Memerdekakan

Pada akhirnya, menjadi “durhaka” bukan tentang mengibarkan bendera ego, melainkan tentang berani menyelamatkan yang paling sederhana dalam diri: napas yang tak ingin berbohong. Dunia terlalu luas untuk dilalui hanya dengan menyalin jejak; namun juga terlalu rapuh untuk ditinggalkan tanpa pamit pada asal-usul.
Sojapati bukan lagi sekadar nama di kartu keluarga. Ia menjadi titik temu antara kidung dan warna, antara keris yang dirawat dan kuas yang dicuci. Di kanvas-kanvasnya, kita melihat bagaimana seseorang bisa tetap mencintai rumah, meski memilih pintu yang lain.
Sebagaimana ayahnya, pada akhirnya, diam-diam menyelipkan restu dalam surat yang tak sempat diucapkan, kita belajar bahwa trah bukan borgol, melainkan tali yang—bila diurai dengan hati-hati—bisa dijalin ulang menjadi jembatan.
Dan cinta, seperti yang Raga ajarkan, tak melulu soal menaklukkan dunia; kadang-kadang sesederhana menyediakan tempat yang tenang untuk berteduh.

“Kalau semua orang harus jadi seperti yang diinginkan orang lain, lalu siapa yang akan jadi dirinya sendiri?”

.

.

.

Jember, 19 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenSastra #KompasMingguStyle #Mendurhaka #SeniRupa #UrbanIndonesia #TradisiDanModernitas #JatiDiri #Pengampunan #CeritaKota #NamakuBrandkuStyle

Leave a Reply