Magnetisasi Masa Lalu

“Kadang yang paling menggetarkan hati bukan pertemuan pertama,
tapi pertemuan ulang yang tak pernah kita rencanakan.”

.

Telepon itu datang ketika kota baru saja menyalakan lampu-lampunya.

Rengganis berdiri di depan jendela besar apartemennya di kawasan hunian mewah di selatan kota, memandangi deret gedung perkantoran yang menyala seperti motherboard raksasa. Di atas meja kerjanya, laptop masih terbuka, menampilkan deck presentasi untuk klien korporat: program pelatihan “Mindful Productivity for Young Executives” yang akan ia bawakan pekan depan.

Ia baru saja meneguk sisa kopi dingin ketika ponselnya bergetar pelan. Nomor tak dikenal. Kode area luar kota.

Biasanya, nomor tak dikenal akan ia abaikan. Tapi malam itu entah kenapa jarinya lebih cepat dari pikirannya.

“Hallo, Rengganis?”

Suara itu seperti seseorang yang membuka pintu masa lalu dan menyalakan lampu di ruangan yang sudah lama dikunci. Dalam sekejap, ia kembali menjadi gadis dua puluh satu tahun dengan ransel lusuh, berdiri di halaman kampus, tertawa karena seseorang baru saja salah menyebut namanya.

“Ini… Panji.”

Seluruh ruang seperti menyempit. Nama itu sudah bertahun-tahun tidak ia dengar, bahkan tidak ia sebut dalam doa-doanya yang paling diam.

“Panji?” napas Rengganis tercekat. “Panji… yang itu?”

“Tentu cuma ada satu Panji yang dulu kamu blokir di semua media sosial,” jawabnya, disertai tawa pendek yang terlalu tenang untuk sebuah pertemuan ulang.

.

Mereka dulu pernah sangat dekat.

Rengganis, anak perempuan sulung keluarga Malang yang merantau ke kota besar, kini konsultan psikologi organisasi dan co-founder sebuah start-up edukasi yang baru saja mendapatkan pendanaan tahap awal. Panji, mantan aktivis kampus yang dulu pandai berorasi, kini dikenal di media sebagai pengusaha kuliner yang sukses—restoran fusion dengan daftar tunggu berminggu-minggu, beberapa coffee shop instagramable, dan satu beach club di pulau seberang yang sering muncul di video wisata influencer.

Dahulu, mereka punya rencana sederhana: bekerja sebentar, lalu menabung, lalu keliling dunia bersama. Lalu hidup—seperti semua rencana—punya caranya sendiri untuk tersenyum sinis.

Malam itu, suara Panji datang tanpa undangan.

“Aku di kota beberapa hari ke depan,” katanya. “Ada pitching sama investor dan survei lokasi. Aku… lihat namamu di salah satu artikel tentang program pelatihan korporat, terus aku cari nomor kamu dari Inu.”

Inu: teman lama mereka, sekarang manajer pemasaran sebuah perusahaan e-commerce raksasa.

“Aku tahu kamu mungkin nggak nyaman,” lanjut Panji. “Tapi aku cuma pengin bilang: aku senang sekali tahu kamu baik-baik saja. Kalau kamu nggak keberatan, mungkin kita bisa ketemu. Ngopi. Di tempat terang, di depan umum, tanpa masa lalu yang ikut duduk di meja.”

Kalimat terakhir itu, entah kenapa, justru membuat dada Rengganis sesak.

“Lihat saja nanti jadwalku,” jawab Rengganis, berusaha terdengar profesional. “Kirimkan saja detailmu lewat pesan.”

Setelah panggilan berakhir, apartemen itu terasa berbeda. Seperti seseorang telah memutar kembali jam dinding, tapi jarum jam emosinya tetap memaksa berjalan ke depan.

.

Keesokan harinya, ia menemukan sesuatu yang lain lagi.

Seusai mengisi kelas daring untuk peserta program sertifikasi HR, Rengganis memutuskan mampir ke rumah ibunya di pinggiran kota. Rumah itu tidak mewah, tapi rapi dan hangat. Di salah satu kamar yang dulu jadi kamarnya, lemari tua masih menyimpan beberapa kotak kardus.

“Bu, ini boleh aku sortir?” tanyanya.

“Iya, kalau mau. Sudah lama Ibu nggak berani buka. Takut kamu marah kalau barang-barangmu diutak-atik,” jawab ibunya sambil tertawa kecil.

Di antara tumpukan kertas ujian dan catatan kuliah, ia menemukan sebuah buku tulis dengan sampul lusuh. Di halaman pertama, ada tulisan tangan yang dulu sangat ia kenal:

“Rute kita boleh beda, tapi janji kita cuma satu: jangan jadi penonton hidup sendiri.”
— Panji

Rengganis terduduk di lantai, memegang buku itu seperti seseorang yang menemukan bukti bahwa dirinya dulu pernah bahagia, pernah utuh, pernah sembrono.

.

Di hari lain, kejutan-kejutan kecil terus muncul.

Di sebuah co-working space tempat ia sering menyelesaikan laporan, ia tak sengaja mendengar dua orang founder muda membahas nama Panji.

“Restoran Panji sekarang mau bikin konsep baru, katanya dessert bar yang kolaborasi sama local farmers,” kata salah satu.

“Dia gila sih. Siapa yang kepikiran bikin menu strawberries & whipped cream dengan cerita tentang petani di dataran tinggi Jawa Timur?” sahut yang lain. “Tapi laku. Viral. Orang suka kalau ada cerita di balik rasa.”

Strawberries & whipped cream. Dua kata yang nanti akan menandai satu malam yang menguji batas-batasnya.

Rengganis menghela napas, menutup laptop.

“Semesta kok kompak banget, ya?” gumamnya. “Kalau mau bercanda, sekalian saja.”

Sejak telepon itu, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil yang dulu mungkin akan ia lewati begitu saja: papan iklan restoran, artikel di portal bisnis, bahkan flyer digital di grup WhatsApp alumni. Nama Panji muncul di antara mereka semua, seperti watermark di layar kehidupannya.

.

Mereka akhirnya bertemu di sebuah restoran baru di pusat kota, milik seorang sahabat Panji. Interiornya industrial minimalis: dinding bata ekspos, lampu gantung, meja kayu panjang yang diisi kelompok-kelompok muda dengan laptop dan minuman berembun.

Panji datang dengan kemeja putih digulung sampai siku, jeans gelap, dan sneakers yang tampak mahal tapi tidak berteriak. Jambangnya lebih tebal, garis senyumnya lebih dalam, tapi matanya tetap sama: mata seseorang yang terlalu sering menertawakan dirinya sendiri agar dunia tidak sempat mendahului.

“Rengganis.”

Ia menyebut namanya pelan, seolah takut nama itu akan pecah kalau diucapkan terlalu keras.

Rengganis menyodorkan tangan, kaku. Panji menyambut, hangat.

“Tenang saja,” katanya, “aku sekarang sudah cukup tua untuk tahu kapan harus menjaga jarak.”

Mereka tertawa, dan untuk beberapa detik, canggung itu luluh oleh memori tentang bagaimana dulu mereka bisa menghabiskan jam demi jam membicarakan apapun.

Malam berjalan seperti film dengan dialog yang rapi. Mereka saling bertukar kabar, bukan hanya tentang karier, tapi juga tentang lintasan-lintasan hidup yang tidak pernah muncul di LinkedIn.

Rengganis bercerita tentang resign dari perusahaan multinasional demi merintis start-up edukasi, tentang kegagalan batch pertama yang sepi pendaftar, tentang mentor yang membuatnya bertahan. Panji bercerita tentang kegagalan membuka cabang restoran di kota lain, tentang kesepian hotel-hotel yang ia tinggali sendirian, tentang pernikahan singkat yang berakhir terlalu cepat.

“Kita sama-sama sempat percaya bahwa cinta itu bisa disusun seperti business plan,” katanya, menatap gelas di tangannya. “Ternyata ada variabel yang nggak bisa kita kendalikan: manusia.”

“Cinta tanpa kejujuran hanyalah marketing campaign yang lupa deliver produk.”

Ucapan spontan Panji itu membuat Rengganis terdiam. Di kepalanya, ia sudah mulai memformulasi kalimat itu sebagai kutipan yang cocok untuk slide materi pelatihannya. Tapi di dada, kalimat itu menohok lebih dalam: mengingatkan betapa dulu mereka berpisah bukan karena kejahatan besar, tapi karena sekumpulan kebohongan kecil yang dibiarkan menumpuk.

.

Malam berikutnya, mereka bertemu lagi.

Kali ini Panji mengajaknya ke salah satu restoran miliknya yang baru dibuka di kota itu. Dapur terbuka, bar panjang, dan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota dari lantai atas. Di meja mereka, Panji memesan dessert yang paling ia banggakan.

“Ini,” katanya sambil mendorong piring kaca ke arah Rengganis, “adalah strawberries & whipped cream versi kami. Strawberry-nya dari petani di lereng gunung, kami buat perjanjian harga supaya mereka nggak dipermainkan tengkulak. Cream-nya kami infuse dengan vanilla lokal. Topping-nya sedikit crumble dari rempah. Simpel, tapi nggak sederhana.”

Rengganis mencicipi, dan sesuatu yang lama tertidur dalam dirinya—yang bukan hanya soal rasa—pelan-pelan bangun.

“Segar,” komentarnya. “Ada manis yang nggak berlebihan. Kayak ucapan maaf yang nggak dibumbui alasan.”

Panji menatapnya, mata mereka bertemu. Sekali lagi, ada sesuatu yang bergerak di udara: bukan remaja, bukan pula sekadar nostalgia. Ini sesuatu yang lebih matang, lebih pelan, tapi justru lebih mengkhawatirkan.

“Ris,” suara Panji menurun, “kalau waktu bisa diulang, kira-kira kita akan melakukan semuanya dengan cara yang sama?”

Rengganis meletakkan sendok.

“Aku nggak tahu,” jawabnya jujur. “Yang aku tahu, kalau waktu diulang, kita mungkin akan ulang kesalahan yang sama—sampai kita belajar melihat diri sendiri dengan jujur.”

Panji menghela napas panjang. “Malam ini, aku cuma pengen jujur: aku senang kamu ada di ruangan yang sama denganku lagi.”

.

Beberapa hari itu jadi rangkaian pertemuan yang tidak pernah mereka niatkan untuk jadi “affair”, tapi tak bisa sepenuhnya menghindar dari panasnya. Mereka jalan kaki menyusuri trotoar yang baru dipercantik pemerintah kota, mampir ke pameran seni di sebuah galeri kecil, tertawa saat menemukan karya instalasi berupa ranjang yang dipenuhi alarm clock.

“Ini cocok banget buat kamu,” kata Rengganis. “Manusia yang dulu selalu telat, sekarang punya delapan restoran dan tiga coffee shop. Dunia memang hobi bercanda.”

Panji mengangkat alis. “Dan kamu? Manusia yang dulu suka nulis jurnal di kantin, sekarang jadi konsultan yang dibayar mahal untuk menyuruh orang lain menulis jurnal. Hidup kita sebenarnya on track, cuma rutenya muter.”

Di tengah semua itu, ada momen-momen kecil yang mengganggu garis batas. Tangan yang bersentuhan agak terlalu lama ketika membantu menyeberang jalan, tatapan yang bertahan sedikit lebih panjang dari yang diperlukan, pesan singkat larut malam berisi foto langit kota dari dua jendela berbeda.

Di salah satu malam, selepas makan malam dan dessert strawberries & whipped cream, mereka duduk di lounge hotel tempat Panji menginap. Lampu temaram, musik jazz pelan, beberapa tamu asing bercakap dalam bahasa yang tidak mereka mengerti.

“Ris,” kata Panji, kali ini tanpa banyak pengantar. “Aku tahu kita bukan lagi dua mahasiswa yang bisa kabur ke kota sebelah cuma karena nggak mau pulang. Kita sekarang punya bisnis, pegawai, tanggung jawab. Tapi setiap kali aku bareng kamu, aku ngerasa… pulang.”

Kalimat itu jatuh seperti batu ke permukaan air tenang. Gelombangnya pelan, tapi menjalar jauh.

Rengganis menatapnya. Di kepala, ia mampu merinci semua konsekuensi: gosip, rasa bersalah, kehilangan penghargaan terhadap diri sendiri. Di dada, ada bagian yang hanya ingin sekali ini saja tidak menjadi dewasa.

“Kematangan itu bukan berarti hati kita kebal,
tapi kita mau menahan diri saat hati minta yang bukan haknya.”

“Aku juga merasa hangat kalau ngobrol sama kamu,” jawabnya akhirnya, “tapi hangat bukan berarti kita harus bakar rumah.”

Panji tertawa pelan, pahit. “Kamu masih suka pakai metafora aneh.”

“Dan kamu masih suka bikin orang lain percaya bahwa rebusan mimpi bisa jadi kenyataan dalam tiga langkah,” balasnya.

Malam itu mereka pulang ke kamar masing-masing, setelah satu pelukan yang terlalu lama untuk disebut sekadar salam perpisahan sementara, tapi terlalu pendek untuk disebut pelarian.

Di dalam taksi online yang membawanya pulang, Rengganis memejamkan mata. Ia tahu, jika ia terus membiarkan diri berada di lingkar itu, sesuatu yang tak perlu akan terjadi. Pertemuan-pertemuan berikutnya akan menghapus garis tipis antara “teman lama” dan “seseorang yang seharusnya tidak kucintai lagi, tapi ternyata masih.”

.

Hari-hari berikutnya justru menghadirkan letdown dengan caranya sendiri.

Satu sore, ketika sedang memeriksa email di co-working space, ia menerima surat dari calon investor yang sudah sebulan terakhir intens berdiskusi.

Setelah mempertimbangkan dengan matang, saat ini kami memutuskan untuk menunda kerja sama pendanaan…

Matanya melompat ke kalimat di bawahnya. Kata “menunda” seakan lebih menyakitkan daripada “membatalkan”. Menggantung, tidak jelas, memaksa menunggu.

Sebelum sempat ia mencerna, ponselnya bergetar. Pesan dari seorang teman lama: screenshot berita daring tentang Panji.

Pengusaha Kuliner Panji Jayengrana Siap Ekspansi ke Luar Negeri, Mengaku Banyak Didukung Mantan Istri.

“Serius?” Rengganis berbisik sendiri, menatap berita yang menyebut bagaimana Panji dan mantan istrinya—yang disebut sebagai sahabat baik—bekerja sama mengembangkan brand.

Ia bukan cemburu. Atau mungkin ia cemburu, tapi yang lebih kuat adalah rasa ditampar: betapa sedikit yang sebenarnya ia tahu tentang kehidupan Panji sekarang, dibandingkan jumlah imajinasi yang ia bangun sendiri.

Malam itu, ia menolak ajakan Panji untuk bertemu. Alasannya singkat: Deadline materi klien. Maaf, aku nggak bisa keluar, tulisnya.

Padahal, kenyataannya ia hanya duduk di lantai apartemennya, membiarkan kegelapan mengisi ruangan lebih cepat dari biasanya.

“Kita sering kecewa bukan karena orang lain jahat,
tapi karena kita diam-diam menulis skenario yang tak pernah mereka setujui.”

Ia sadar, yang mengendalikan naik-turunnya emosinya beberapa hari ini bukan pekerjaannya, bukan kotanya, bukan investornya—melainkan bayangan tentang kemungkinan yang tidak pernah ia kontrak secara sadar.

.

Pada satu titik, ia memutuskan: cukup.

Bukannya karena ia tiba-tiba kebal, tapi karena ia lelah digeret-geret oleh perasaan yang tidak punya rencana jangka panjang.

Malam itu, ia membuat ritual kecil sendiri. Ia mematikan semua notifikasi di ponsel, menyalakan diffuser dengan aroma chamomile, lalu menyalakan lampu kecil di pojok ruang tamu. Di atas meja, ia menaruh buku jurnal kosong dan pena favoritnya.

“Emotional side, aku nggak mau kamu jadi CEO lagi,” gumamnya. “Mulai malam ini, kamu cuma Head of Creative. Yang menentukan arah tetap aku.”

Ia menulis: tentang telepon tak terduga, tentang pertemuan-pertemuan yang membuatnya merasa muda dan tua sekaligus, tentang dessert strawberries & whipped cream yang rasanya akan selalu ia ingat bukan karena manisnya, tapi karena percakapan yang menyertainya.

Ia menulis tentang ketakutan kehilangan kesempatan, dan ketakutan kehilangan diri sendiri.

Lalu ia menulis keputusan:

  1. Ia akan menyelesaikan presentasi untuk klien dengan fokus penuh.

  2. Ia akan mengirim email profesional kepada investor yang menolak, meminta umpan balik dengan kepala dingin.

  3. Ia akan mengatur pertemuan terakhir dengan Panji—bukan untuk menyalakan kembali api, tapi untuk menutup pintu dengan sopan, dari kedua sisi.

Setelah menulis, ia memaksa dirinya tidur lebih awal. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia bangun tanpa rasa ingin membuka ponsel terlebih dahulu.

.

Pertemuan terakhir itu terjadi di sebuah kafe kecil yang tenang, jauh dari pusat perkantoran, tidak ada lampu gantung aestetik, tidak ada dessert yang jadi trending topic.

“Ris, kamu kelihatan beda,” ujar Panji ketika ia datang. “Lebih… ringan.”

“Mungkin karena aku akhirnya tidur cukup,” jawabnya, setengah bercanda.

Mereka berbicara seadanya: tentang cuaca, tentang bisnis, tentang rencana Panji membuka cabang di luar negeri. Lalu, sebelum percakapan itu bergeser ke arah yang terlalu personal, Rengganis menarik napas.

“Panji, aku mau jujur,” katanya.

“Silakan. Kita sekarang sudah di usia di mana basa-basi lebih melelahkan dari kejujuran,” jawab Panji.

“Aku senang kamu menghubungi aku,” Rengganis memulai. “Aku senang tahu kamu baik-baik saja, sukses, dan masih jadi orang yang bisa bikin aku ketawa. Tapi beberapa hari terakhir aku sadar: kalau aku terus berada di sekitar kamu dengan cara seperti ini, aku akan mulai membohongi diriku sendiri.”

Panji menautkan jari-jarinya di atas meja.

“Maaf,” katanya pelan. “Aku nggak bermaksud—”

“Ini bukan soal kamu saja,” potong Rengganis lembut. “Ini soal aku juga. Soal caraku menempelkan harapan baru ke masa lalu, sementara masa depanku sendiri lagi ngantri minta diperhatikan. Aku nggak mau hidupku didefinisikan oleh seseorang yang tidak lagi hidup di kalender yang sama denganku.”

Ia tersenyum kecil.

“Aku butuh menjaga jarak. Bukan karena benci. Justru karena aku menghargai apa yang pernah kita punya.”

Panji terdiam lama. Di wajahnya, terlihat jelas pertempuran antara ego dan pengertian, antara ingin menahan dan ingin merelakan.

“Aku nggak akan pura-pura nggak kecewa,” katanya akhirnya. “Tapi aku juga nggak mau jadi orang yang menghalangi kamu jadi versi terbaik dirimu. Kalau ini pilihanmu, aku hormati.”

Ia merogoh saku, mengeluarkan sesuatu: sebuah kartu kecil.

“Ini kartu untuk dessert bar baru kami,” ujarnya. “Di belakangnya ada kode. Kapan pun kamu pengen makan strawberries & whipped cream, kamu bisa datang. Gratis. Nggak harus sama aku. Nggak harus sekarang. Tapi aku berharap, suatu saat kamu bisa datang tanpa beban apa-apa.”

Rengganis menerima kartu itu. Di belakang, ia membaca tulisan tangan yang ia kenal:

“Untuk Rengganis, yang mengingatkanku bahwa pulang itu bukan selalu kembali,
tapi berani melangkah ke depan tanpa menyeret masa lalu.”

Mereka berpisah tanpa pelukan, tanpa drama di pinggir jalan. Hanya dua orang dewasa yang, setelah saling menggetarkan satu sama lain, memilih untuk berdiri tegak di jalan masing-masing.

.

Hari-hari setelahnya terasa berbeda. Bukan karena hidup tiba-tiba jadi mudah, tapi karena ia merasa punya pegangan baru: dirinya sendiri.

Ia mulai menstrukturkan ulang jadwal kerjanya: membatasi sesi konsultasi agar punya waktu untuk diri sendiri, mengatur ulang modul pelatihan agar peserta tidak hanya belajar mengejar target, tapi juga belajar mengelola energi. Ia menambahkan satu sesi baru di modulnya, ia beri judul: “Organizing Feelings as a Daily Ritual”.

Di slide pembuka, ia menulis:

“Perasaan itu penting, tapi bukan direksi.
Tugas kita adalah mendengarkan, bukan dijajah olehnya.”

Malam-malamnya tak lagi diisi menunggu pesan masuk dari kota lain. Ia kembali ke hobi lama: membaca novel dan buku filsafat ringan, menonton ulang film-film lama yang dulu ia tonton bersama adik-adiknya. Sesekali ia mengecek berita bisnis, dan jika nama Panji muncul, dadanya memang masih sering menghangat, tapi tanpa perih.

Suatu hari, setelah menyelesaikan sesi pelatihan untuk sekelompok manager muda di sebuah hotel bintang lima, ia berjalan sendirian melewati lobi. Lampu kristal bergantung berkilau, suara koper beroda bergesek di lantai marmer.

Di lobi itu, ia melihat sepasang tamu: seorang perempuan yang tampak lelah tapi memaksakan senyum, dan seorang pria paruh baya yang sibuk dengan dua ponsel. Perempuan itu memandang sekeliling, seperti mencari sesuatu yang bisa membuatnya merasa “di rumah”.

Rengganis tersenyum pelan. Ada bagian kecil di dalam dirinya yang ingin menyamperin dan berkata: “Hei, kamu nggak harus kelihatan kuat setiap saat.” Tapi ia tahu, perannya di sini adalah berbeda. Jadi ia melanjutkan langkah, dengan kesadaran baru:

“Kadang, solusi hidup bukan menemukan orang yang tepat,
tapi berani menjadi orang yang tepat bagi diri sendiri.”

Malam itu, di apartemennya, ia membuka laptop dan mulai menulis artikel untuk blog personalnya. Judulnya: “Telepon Tak Terduga dan Seni Mengatur Ulang Hati.”

Ia menulis bukan untuk Panji, bukan untuk mantan-mantan yang lain, tetapi untuk orang-orang dewasa yang lelah menjadi korban perasaannya sendiri.

Di akhir artikelnya, ia menulis:

“Kalau suatu hari telepon tak terduga datang dan mengguncang tenangmu,
ingatlah: bukan tugasmu menutup semua pintu masa lalu,
tapi tugasmulah memastikan pintu masa depan tetap punya kunci yang hanya kamu genggam.”

Saat menekan tombol “Publish”, ia merasakan sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan: bukan euforia, bukan juga kelegaan semata, melainkan rasa hormat pada dirinya sendiri.

Dan di tengah malam kota yang tak pernah benar-benar tidur, Rengganis akhirnya menyadari: hari-hari energik tidak selalu dimulai dari luar; seringkali, semuanya dimulai dari satu keputusan tenang di dalam dada.

.

.

.

Malang, 7 Desember 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #FiksiDewasa #CintaDewasa #KehidupanPerkotaan #SelfLove #EmotionalHealing #BoundariesMatter

Leave a Reply