Luka Tanpa Kata

“Beberapa luka tidak meninggalkan darah—hanya diam yang dalam, dan air mata yang tidak sempat jatuh.”

.

Langit sore menua di luar jendela apartemen lantai sebelas yang menghadap ke jantung Jakarta. Lampu-lampu jalan mulai menyala seperti barisan kunang-kunang yang disiplin, dan di dalam ruang yang terlalu rapi itu Farid duduk menatap layar laptop yang tetap putih seperti dinding rumah sakit. Dua jam berlalu, kursor berkedip—seolah mengingatkan bahwa waktu tidak menunggu orang yang takut memulai.

Farid menutup mata. Di belakang kelopak, terbayang wajah-wajah dari masa kecilnya: arus mudik kapal feri ke Kamal, bau solar dan asin pelabuhan, teriakan pedagang es lilin. Ia tumbuh di pinggir kota, lalu pindah ke ibu kota dengan satu titipan yang ia kira sederhana: “Jangan pulang sebelum sukses.” Kata-kata yang terdengar seperti doa juga seperti kutuk. Ia menepati itu, setidaknya di kaca mata luar—konsultan kreatif di agensi branding bergengsi, presentasi yang selalu ditutup tepuk tangan, nama yang dikenal, proyek yang berderet. Namun, ketika lampu-lampu kota berganti sift dengan bintang, kebanggaannya menyusut. Yang tersisa hanya dengung AC, kursi ergonomis yang terlalu lapang, dan hati yang menyimpan sesuatu yang ia tak tahu cara menyebutnya.

“Tidak semua luka perlu kata,” bisiknya pada diri sendiri. “Tapi luka yang tak bernama—ke mana harus kulari?”

.

Ia pertama kali bertemu Rani di ruang rapat bernama “Kemang”. Papan tulis penuh coretan spidol yang berusaha menerjemahkan moodboard: “urban-raw, honest, tactile”. Rani masuk membawa map bening, rambut dicepol seadanya. Suaranya pelan, tapi setiap kalimat seperti menapak pada lantai yang kukuh.

“Farid, boleh lima menit? Aku mau cek ulang motif tekstur untuk klien Surya Abadi.” Rani duduk di sebelahnya, jarak yang cukup untuk tidak dianggap akrab tapi terlalu dekat untuk sekadar rekan kerja.

“Apa yang kamu rasa kurang, Ran?” tanya Farid, sok tenang.

Rani menunjuk foto-foto yang ditempel sebelah kanan, tangannya berhenti pada gambar jalan sempit di belakang mal yang dipenuhi stiker bekas kampanye. “Kita sering lupa halusnya kota,” katanya, “semua yang berisik kita potret, yang berbisik kita biarkan lewat.”

Kalimat itu menjadi retakan pertama di dinding Farid yang selama ini licin. Ia terbiasa pada slogan, headline, dan angka impresi. Tapi Rani menyentuh sesuatu yang tak bisa diukur.

Sejak hari itu, kehadiran Rani menjadi semacam jeda musik di tengah riuh. Mereka tidak pernah bicara tentang hal-hal besar, tapi di bawah tawa pendek ada sesuatu yang jernih: kehadiran yang tidak minta bukti.

Kadang mereka pulang bareng sampai halte GBK, berdiri di ujung jembatan penyebrangan. Farid memerhatikan cara Rani menatap lampu kota seperti menatap wajah teman lama—penuh ingatan yang tidak butuh diceritakan. Pada malam tertentu, ketika langit seperti kaca yang retak, Rani berkata lirih, “Kita diajari kuat sampai lupa bagaimana caranya lemah tanpa rasa malu.”

Farid menelan ludah, menunggu dadanya berhenti mengencang. Ada malam-malam yang ingin ia buka—malam ketika ibunya menghilang setelah pertengkaran tanpa kata, ketika pintu kayu tak lagi berderit karena tak ada yang mendorongnya dari luar; ketika ayah berubah jadi jam dinding: keras, bulat, dan hanya mengukur, tak pernah memeluk. Tetapi ia tidak pernah menemukan kalimat pembuka yang pantas.

.

Di kantor, tim Farid sering bergurau soal nama-nama unik yang menghuni folder proyek. Ada “Umar Maya”—desainer UI yang datang dan pergi seperti bayangan, ada “Umarmadi”—anak magang yang telaten memotret hal-hal kecil: retakan cat, karat gagang pintu, bekas angka lift. Nama-nama itu seperti keluar dari buku lama yang dibacakan nenek di teras rumah: kisah Menak yang di-Jawa-kan, diceritakan ulang dengan logat Madura ayahnya. Zubaidah—koperasi kue basah di sebelah kantor; Jayengrana—tukang potong rambut di bawah jembatan yang suka memutar dangdut lawas. Mereka adalah kota itu sendiri: legenda yang dipotong menjadi label-label kecil di punggung map.

Rani memahami betul peta tak tertulis itu. Ia menggoda Farid bahwa ia menyembunyikan masa kecil di grid-grid Excel. Farid pura-pura tak paham, tapi pada jam dua dini hari ketika kafe-kafe merapatkan kursi, ia membuka folder “Draft—Pribadi” dan menulis kalimat-kalimat yang rasanya takkan pernah cukup panjang: “Aku marah kepada pagi yang tak pernah bertanya apakah aku tidur. Aku marah pada ayah yang lebih percaya angka daripada air mata. Aku marah pada diriku, karena mengira diam adalah mata uang yang bisa ditukar dengan cinta.”

Ia tidak mengirim apa pun kepada siapa pun.

.

Musim hujan datang seperti janji yang ditepati terlambat, tapi tetap melegakan. Pada suatu sore yang rasanya seperti selimut basah, Rani mengabarkan hal yang membuat ruangan berputar pelan.

“Aku ditarik ke Surabaya,” katanya, “awal bulan depan. Cabang baru. Mungkin tiga bulan. Mungkin—permanen.”

Farid mengangguk, gerakannya rapi sekali—terlalu rapi untuk seseorang yang baru saja kehilangan definisi ruang. Ada tiga kalimat yang saling dorong di tenggorokannya: “Jangan pergi.” “Aku takut.” “Bolehkah aku tetap mengabarimu meski tanpa alasan?” Yang keluar justru template manusia profesional: “Selamat ya, Ran. Kamu memang dibutuhkan di mana pun.”

Rani tersenyum, yang satu itu—senyum yang tak menuntut balasan. “Kamu juga bertahan, Rid. Kalau lelah, bilang. Kalau kosong, isi. Kalau sakit, akui. Kadang obatnya hanya itu.”

Di halte, hujan menggambar garis miring di kaca, orang-orang berteduh di bawah lampu neon yang berkedip. Farid menunggu bus yang tak kunjung singgah. Malam terasa lebih besar daripada tubuhnya.

.

Kota adalah sekolah untuk yang tak pernah diajari berpisah. Hari-hari setelah Rani pindah diisi rapat yang memanjang tanpa jeda, tumpukan revisi, nada telepon yang memaksa hati selalu siap. Farid kembali pada ketelatenan yang dulu menyelamatkannya: datang paling awal, pulang paling akhir, memotong ujung-ujung waktu supaya muat. Tapi di setiap layar presentasi, ada satu piksel yang selalu buram: ruang yang Rani tinggalkan.

Pada Jumat malam yang lembap, Farid berjalan sendirian menyusuri Jalan Sabang, berhenti di warung soto yang kuahnya keruh sempurna. Ia membuka catatan di ponsel dan, untuk pertama kalinya, menuliskan nama Rani di paragraf pertama. “Kepada Rani yang mengajarkan cara menamai sepi.”

Ia tidak mengirimnya. Ia simpan.

Besoknya, ia memberanikan diri membuka blog yang pernah ia buat lalu ia biarkan mati. Ia menamai ulang blog itu: Luka Tanpa Kata. Ia menulis satu esai pendek setiap malam, selalu diawali sebuah kalimat yang seperti pintu: “Tidak ada yang lebih berat dari cerita yang kita tutup rapat karena takut merusak citra.” Ia menulis tentang anak kecil yang pandai menebak mood ayah dari bunyi sendok di meja makan; tentang tembok kamar yang belajar hafal suara tangis menahan; tentang kantor yang memuja target tetapi gagap saat seseorang bilang “aku hancur”.

Komentar mulai berdatangan pelan-pelan, seperti tetangga yang mengetuk pintu bawa penganan.

“Aku kira aku satu-satunya,” tulis seseorang bernama Zubaidah, “terima kasih sudah menuliskannya untuk kami yang tenggorokannya selalu kering ketika ingin meminta tolong.”

Yang lain: “Aku Umar. Ibuku juga pergi diam-diam. Aku menunggu bertahun-tahun tanpa kata. Ternyata menulis bisa seperti meludah tanpa rasa bersalah.”

Farid membaca dengan napas ditahan. Namanya sendiri tidak pernah ia tuliskan, tapi orang-orang yang datang seperti mengembalikan potongan puzzle yang selama ini ia kira hilang.

.

Suatu malam, telepon berdering dengan nomor Surabaya. Suara di seberang terdengar seperti seseorang yang berlari ke kamar untuk menutup pintu, lalu menyandarkan punggung ke kayu.

“Rid… maaf ganggu. Sulit sekali belajar tinggal sendiri lagi,” suara Rani. “Aku pikir aku baik-baik saja, ternyata… tidak selalu.”

Farid berjalan ke balkon. Angin malam mengangkat tirai. Ia duduk di lantai, punggung pada dinding.

“Kamu tidak harus baik-baik saja setiap hari,” jawabnya. Kalimat itu terasa asing dan hangat di mulutnya, seperti kata yang baru ia pinjam dari seseorang yang lebih berani. “Aku menulis. Sedikit. Tentang hal-hal yang dulu kita tidak punya kata untuknya.”

“Boleh aku baca?”

“Belum siap menyebutkan namaku,” kata Farid jujur. “Tapi aku akan mengirimkan tautannya. Kamu mengerti tanpa nama, kan?”

Rani diam sejenak. “Aku selalu mengerti tanpa nama.”

Hening yang menyusul bukan jurang, melainkan jalan setapak.

.

Di kantor, proyek baru datang dengan label “Pemulihan”: klien hotel di kawasan Karet—namanya Jayengrana—yang ingin beralih dari citra glamor palsu menjadi tempat bernafas. Tim memutuskan untuk menata ulang lobi: menambahkan sudut membaca kecil, mengganti lampu yang menggurui menjadi cahaya yang memeluk. “Hospitality as healing,” kata Farid di presentasi, kalimat yang ia pungut dari lembar hidupnya sendiri. Umarmadi mengusulkan sudut dinding untuk menempelkan kartu-kartu kecil tak bernama, tempat tamu menulis sesuatu lalu memasangnya tanpa takut dihakimi. “Seperti blog, tapi bisa diraba,” ujar Umar Maya, menimpali.

Pada pembukaan, seorang tamu menulis dengan huruf miring: “Aku datang untuk rapat. Pulang membawa izin untuk menangis di kamar mandi tanpa merasa kalah.” Yang lain menempelkan ini: “Aku tidak pulang karena rumahku tidak pernah selesai dibangun di kepala.”

Farid berdiri agak jauh, melihat orang-orang memegang kartu, menimbang-nimbang, lalu menempel. Ia mengira akan merasa canggung. Tetapi ia justru merasa lapang. Benda-benda yang diberi nama tidak lagi menakutkan. Mereka seperti perabot: bisa dipindahkan, bisa dilap, bisa diberi tempat.

.

Suatu sore Minggu, Farid pulang ke kampung lamanya. Ayah sudah pensiun, suara sepeda motor tetangga masih setia membelah siang. Dinding ruang tamu berhias kalender bekas, jam dinding yang tak lagi tepat waktu. Ayah duduk di kursi rotan, televisi menyala tanpa penonton. Farid duduk di sampingnya, menunggu obrolan menemukan pijak.

“Kamu sibuk?” tanya ayah, pertanyaan yang sejak lama menggantikan, “Kamu bahagia?”

“Sedikit,” jawab Farid. “Cukup untuk hidup. Kurang untuk lupa.”

Ayah mengangguk seperti mengerti, meski mungkin tidak. Lalu, tanpa menoleh, ia berkata, “Ibumu selalu tahu cara menyimpan suara. Kadang aku iri pada orang yang pandai mengunci pintu.” Ia merogoh laci kecil, mengeluarkan foto usang: seorang perempuan muda di teras rumah dengan senyum yang siap kabur. “Aku tidak pernah punya kalimat yang tepat untuk meminta maaf,” sambungnya. “Mungkin kamu bisa menuliskannya, nanti kubaca diam-diam.”

Farid tidak menjawab. Ia menatap foto itu lama-lama, sampai garis di bibir ibunya terasa seperti garis horizon: tempat langit mau turun menyentuh bumi, tapi hanya janji.

Malamnya, di kamar lama yang cat hijaunya pudar, Farid menulis surat yang takkan dikirim: “Bu, aku menyimpan suaramu di telingaku seperti orang menyimpan nama Tuhan di dada—tidak untuk dipamerkan, hanya untuk menguatkan ketika tak ada yang mengerti.” Ia selesai menulis ketika ayam tetangga mulai menguji pita suara. Surat itu ia lipat, ia letakkan di bawah bantal, seperti anak kecil yang percaya pada peri gigi.

.

Kota mengajar Farid bahwa orang-orang berjalan dengan koper tak terlihat. Di MRT, ia belajar menebak beban dari cara seseorang memegang pegangan. Di musala kantor, ia melihat bahu-bahu yang berguncang tanpa suara. Di timeline, ia melihat lelucon yang menutupi duka seperti selimut tipis menutupi luka bakar.

Pada satu dini hari, ia menerima email dari pengunjung blog: “Namaku Zubaidah. Aku tinggal di rusun tepi kota. Suamiku pergi ketika anakku demam. Aku takut menulis karena takut tulisanku dihina. Tapi membaca tulisanmu seperti memegang tangan seseorang di gelap. Terima kasih.”

Farid membalas singkat: “Kamu tidak sendiri.” Setelah menekan tombol kirim, ia menatap jari-jarinya. Dulu, jari-jari ini hanya pandai mengetik angka di invoice dan slogan di billboard. Kini, mereka belajar mengetik kata-kata yang ia berutang pada dirinya sendiri.

.

Rani menelpon lagi suatu malam dengan suara yang lebih tenang. “Aku mulai lari pagi di Kalimas,” katanya, “aku mulai menghitung detak jantung, bukan hanya KPI.” Mereka tertawa, tawa yang tidak mewah tetapi cukup menutup dua kota.

“Boleh cerita sesuatu?” tanya Farid.

“Tentu.”

“Aku pulang kemarin. Ayah… minta aku menulis maaf untuk ibu. Rasanya aneh—selalu aneh ketika orang yang dulu seperti tembok datang membawa pintu.”

“Apa kamu akan menulisnya?”

“Aku sudah menulis. Aku tidak tahu kapan akan membacakannya—mungkin takkan pernah. Tapi menulisnya… seperti membuka jendela yang keras kepala.”

“Farid,” kata Rani, “kadang memaafkan bukan membebaskan orang lain—melainkan membebaskan kalimat-kalimat yang kau sandera di tenggorokan.”

Hening menitipkan kita di ruang yang sama.

.

Pada hari ulang tahun Farid yang ke-35, tim kantor merayakannya sederhana di pantry. Kue tart kecil dengan lilin kebanyakan. Umarmadi menempelkan selembar kertas di kulkas kantor bertuliskan: “Selamat ulang tahun kepada orang yang mengajari kami bahwa presentasi terbaik adalah kejujuran.” Umar Maya mengangkat gelas plastik: “Untuk Farid—yang berani menamai hal-hal.”

Farid memandang mereka satu per satu. Rasanya lucu: untuk seorang yang tak pandai bicara, ia dikelilingi orang-orang yang tidak butuh jawaban panjang untuk mengerti. Rani tak hadir di ruangan itu, tetapi pesan singkatnya datang tepat jam dua belas malam: “Semoga tahun ini, kamu bertambah kata untuk memeluk dirimu sendiri.”

Ia meniup lilin. Untuk pertama kali ia tidak memikirkan permintaan macam-macam. Ia hanya berharap bisa terus bangun setiap hari tanpa merasa perlu menyembunyikan dirinya dari cermin.

.

Malam itu juga, Farid memutuskan sesuatu yang kecil namun mengubah haluan: ia menandatangani semua tulisan blognya dengan satu nama: Farid. Tidak lengkap, tidak megah, hanya nama yang bisa dipanggil tanpa tatakrama. Ia takut—takut dinilai, takut dicemooh, takut ditanya-tanya. Namun, rasa takut itu tidak lebih besar daripada keinginannya untuk tidak lagi berjalan sembunyi.

Responsnya tidak berkurang; malah bertambah. Beberapa kolega kantor mengirim pesan: “Aku membaca tulisanmu tanpa tahu itu kamu. Kini aku tahu. Terima kasih karena berani duluan.” Seorang klien menunda rapat lima menit hanya untuk menyalami Farid. “Saya baru berani bilang ke tim bahwa saya juga sedang terapi,” katanya.

Kota ternyata tidak sekejam yang ia takutkan. Terkadang, ia hanya menunggu satu orang melambaikan tangan.

.

Suatu senja, Farid kembali ke hotel Jayengrana untuk memeriksa sudut kartu-kartu kecil. Ia menemukan selembar baru: tulisan rapi yang ia kenal, dipasang di pojok paling rendah, sejajar dengan mata anak-anak yang duduk di karpet.

“Aku tidak pamit waktu pergi. Aku minta maaf karena mengira diam adalah cara paling anggun untuk melindungi. Ternyata diam kadang mengubah orang yang kita cintai menjadi patung di museum. Rani.”

Farid tersenyum. Ia tidak pernah tahu Rani menginap di situ. Ia berdiri lama sekali di depan kartu itu, membiarkan sepotong kecil di dadanya yang selama ini menggigil menemukan selimutnya. Ia tidak menelpon Rani malam itu. Tidak juga membalas dengan kartu. Ia pulang, duduk di meja, dan menulis satu esai pendek: “Tidak semua pintu ditutup. Sebagian hanya menunggu kita berhenti mendorong dari arah yang salah.”

.

Malam-malam berikutnya lebih sunyi, tetapi sunyi yang bisa diduduki seperti kursi taman—ada angin, ada lampu, ada suara jauh yang membuat kita merasa bagian dari sesuatu. Farid belajar menata ulang ruang di dalam kepalanya: ia memberi rak untuk amarah, laci untuk rindu, gantungan untuk kenangan yang mudah kusut. Ia menempelkan tiga kalimat di dinding dekat tempat tidur, ditulis dengan spidol hitam:

  1. “Keberanian pertama: mengakui aku sedang terluka.”

  2. “Keberanian kedua: meminta tolong tanpa menawar rasa malu.”

  3. “Keberanian ketiga: memaafkan diriku yang dahulu memilih diam.”

Pada hari-hari yang berat, ia mengulang tiga kalimat itu pelan-pelan, seperti orang berdoa.

Ia tidak lagi memaksa luka untuk cepat sembuh. Ia memberi waktu. Ia menulis bukan untuk membuktikan—melainkan untuk bernafas.

.

Di sebuah subuh, Jakarta terasa seperti kota yang baru dicuci: basah, wangi tanah yang tuntas, langit memutih sebelum biru. Farid berjalan tanpa tujuan, menyeberangi jembatan, menyusuri gang-gang yang ditandai bau roti panggang dan kopi murah. Ia berhenti di warung kecil; ibu pemilik warung menyodorkan teh panas tanpa bertanya.

“Bawa pulang sesuatu?” tanya si ibu.

Farid menunjuk dua bolu kukus. “Yang satu untuk ayah saya,” katanya. “Yang satu untuk saya sendiri.”

Si ibu tertawa pendek. “Bagus. Orang sering lupa membelikan untuk dirinya.”

Sambil menunggu teh mendingin, Farid membuka ponsel. Ada pesan dari Rani: foto matahari menembus celah-celah gedung tua di Tunjungan, caption singkat: “Kota ini ahli membuat orang rindu.” Farid membalas dengan foto jembatan tempat ia berdiri, lampu-lampu masih menyala, air kali memantulkan warna yang belum sempat ditamai. Ia menulis: “Rindu kadang tidak perlu pulang, Ran. Ia cukup diberi tempat duduk.”

Rani membalas dengan emoji kecil yang sederhana. Tidak ada janji temu, tidak ada rencana reuni, tidak ada kalimat penutup yang monumental. Hanya riak kecil di permukaan hati, cukup untuk mengingatkan: kita hidup.

.

“Beberapa luka tidak meninggalkan darah,” tulis Farid pada pembuka buku catatan yang akhirnya penuh, “hanya diam yang dalam, dan air mata yang tidak sempat jatuh.” Ia menutup buku itu, menyelipkannya di rak paling atas. Ada pekerjaan yang menunggu di kantor; ada presentasi, ada proyek, ada laporan. Di belakang semua itu ada manusia-manusia—Umar, Umarmadi, Zubaidah, Jayengrana—yang mengajarkannya bahwa nama-nama bukan sekadar label; mereka adalah cerita yang menolak punah.

Farid berdiri di depan cermin, menatap wajah yang dulu jarang ia ajak bicara. “Aku Farid,” ucapnya pelan, “aku sedang belajar baik-baik saja tanpa memalsukan apa-apa.” Tidak heroik, tidak menggelegar—tetapi cukup. Ia mengambil jaket, menyambar kunci, mengunci pintu.

Di lift, ia bertemu tetangga yang dulu hanya saling angguk. “Pagi,” sapa tetangga.

“Pagi,” jawab Farid, menambahkan satu kalimat yang jarang ia hadiahkan, “semoga harimu ringan.”

Ketika pintu lift terbuka, kota menyambut dengan kebisingan akrab yang tidak lagi menakutkan. Di trotoar, seseorang tertawa. Di kejauhan, sirene lewat. Di atas jembatan, matahari menguap pelan dari atap-atap seng. Dan di dada Farid, sebuah ruang kecil yang dulu gelap kini menyalakan lampu tidurnya sendiri.

Ia melangkah. Tidak terburu-buru, tidak pula ragu. Sebagian dari dirinya masih melindungi duka, sebagian lain sudah menyiapkan kursi untuk bahagia. Kedua-duanya duduk berdampingan, saling menatap tanpa curiga.

Karena beberapa luka… memang tak butuh kata—cukup diberi tempat untuk ada.

.

.

.

Jember, 20 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#LukaTanpaKata #CerpenHealing #CeritaFarid #EmosiYangDiam #HealingDalamDiam #CerpenDewasa #BlogReflektif

.

Kutipan-kutipan yang Menyulam Cerita

  • “Kota mengajarkan kita berpisah tanpa upacara; hanya lampu-lampu yang menatap punggung.”

  • “Keberanian pertama adalah memanggil namamu sendiri dengan lembut.”

  • “Tidak semua pintu ditutup; sebagian hanya menunggu kita berhenti mendorong dari arah yang salah.”

  • “Memaafkan bukan melupakan; melainkan berhenti menghukum hari ini dengan kemarin.”

  • “Yang berbisik juga bagian dari kota; yang berbisik juga butuh didengar.”

 

Leave a Reply