Lingkaran yang Menyembuhkan

“Sahabat sejati tidak datang untuk mengubah hidupmu, melainkan menjaga agar kamu tetap menjadi dirimu yang terbaik.”

.

Senja di Jakarta seperti layar LED raksasa yang selalu diganti tanpa konsultasi dengan penghuni kotanya. Awan—kadang merah jambu, kadang kelabu besi—memantul di jendela-jendela kaca. Dari lantai 23 menara perkantoran di Kuningan, Raka berdiri menatap kemacetan yang membentuk peta saraf berwarna merah pada aplikasi navigasi. Kantor agensi digital yang ia pimpin baru saja menyelesaikan presentasi untuk merek minuman energi. Ruang rapat berbau spidol, kopi instan, dan kelelahan.

“Rak, deck udah terkirim?” suara Panji, account director yang rapi seperti halaman depan majalah gaya hidup.

“Sudah,” jawab Raka. “Good job. Besok jam sembilan alignment lagi.”

Panji mengacungkan jempol, lalu berbalik sambil mengetik di ponsel. Tak ada percakapan tambahan. Mereka semua terbiasa hidup dengan kalender. Yang tidak terjadwal, dianggap tidak penting. Raka menutup pintu kaca, merasakan sunyi yang justru lebih berisik daripada lalu lintas di bawah sana.

Di lobi, Nares menunggunya. Kawan lama—sejak mereka masih bercelana abu-abu—kini menjalankan jaringan kedai kopi bernama Sajen. Rambutnya dibiarkan sedikit gondrong, kaos polos, jaket denim lusuh. Mata yang jernih. Sejenis ketenangan yang tak bisa dibeli dengan gaji tiga belas.

“Kita perlu bicara,” kata Nares, setelah pelukan singkat. “Bukan tentang bisnis.”

Raka tertawa tipis. “Tentang hidup? Berat.”

“Justru itu.”

Mereka berjalan menyeberang jalan dengan langkah diukur zebra cross. Di dalam Sajen cabang Kuningan, grinder menderu pelan. Musik akustik menyulam percakapan karyawan dan pelanggan.

“Aku perhatiin feed kamu,” Nares membuka topik. “Target, target, menang pitch, kerja sama baru. Tapi matamu nggak pernah benar-benar nyala.”

Raka menatap kopi tubruk yang masih mengepulkan uap. “Aku cuma lagi lelah.”

“Lelah beda sama hampa,” sahut Nares. “Kamu terlihat hampa.”

Kata itu seperti palu kayu memukul gong di dalam dada Raka. Ada gema, ada malu. Ia menghela napas.

“Orang-orang di sekitarku datang ketika butuh. Mereka bawa daftar kerjaan, problem, link. Setelah itu pergi. Aku jadi tempat parkir beban.”

“Karena kamu membuka pintu ke semua orang,” jawab Nares. “Padahal rumah jiwa punya kapasitas.”

Raka menatap sahabatnya. Dalam benaknya, kilas balik berdatangan: begadang demi klien yang pada akhirnya pindah ke agensi lain; rekan kerja yang memujinya di depan, tapi mengirim email menyudutkan ke manajemen; pertemanan yang diukur dari engagement rate. Ia tertawa, hambar.

“Besok aku ke Bandung,” katanya. “Sekar mengajak kumpul. Mungkin aku butuh jeda.”

“Pergi,” ucap Nares. “Kau butuh lingkaran yang bersih.”

.

Rumah Sekar berada di Dago atas, diapit pepohonan dan tiang lampu lawas. Pintu kayu jati membuka ke ruang tamu beraroma teh melati. Sekar, kandidat doktor psikologi yang mengajar di universitas negeri, menyambut dengan senyum lembut. Di belakangnya, tampak Andandini—adik sepupu Sekar—seorang peneliti UX yang baru pulang dari Surabaya. Di meja, kue pisang kukus masih hangat.

“Lama sekali kalian nggak duduk satu meja begini,” kata Sekar. “Sebelum kita bicara, makan dulu. Perut kenyang, hati lebih jernih.”

Raka tertawa kecil. Nares mengambil potongan paling pinggir, Andandini menuangkan teh.

“Pertanyaanku sederhana,” ujar Sekar setelah semua duduk. “Kapan terakhir kali kalian merasa benar-benar dilihat? Bukan di-‘like’, bukan di-‘love’, tapi dilihat.”

Tak ada yang segera menjawab. Jam dinding mengetuk pelan, seperti menunggu gilirannya bicara. Di luar, kabut turun tipis.

“Aku… lupa,” kata Raka akhirnya. “Aku terbiasa diukur dari performa. Orang mencariku karena aku berguna. Kadang aku pikir, tanpa fungsiku, aku nggak ada.”

Nares mengangguk pelan. “Aku pernah di titik itu. Waktu jaringan Sajen lagi ekspansi, setiap kenalan serasa investor. Aku menyamakan pertemanan dengan peluang. Aku capek.”

“Manusia butuh belonging circle,” jelas Sekar. “Lingkaran kecil yang menjadi ruang aman: tempat kita boleh rapuh tanpa takut kehilangan harga diri. Kita sering membiarkan orang masuk hanya karena mereka hadir, bukan karena mereka menyehatkan.”

“Seperti filter air,” sela Andandini. “Kalau filternya benar, air keruh pun jadi layak minum. Kalau filternya salah, air bersih pun bisa terasa anyir.”

Mereka tertawa. Percakapan malam itu mengalir: tentang kerja yang menjadi ibadah tapi mudah berubah jadi penjara, tentang keluarga yang kadang menuntut lebih dari kemampuan, tentang usia tiga puluhan yang tiba-tiba membuat semua orang berlomba merasa mapan. Raka mendengarkan, sesekali bercerita, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia tidak merasa dihakimi.

Menjelang tengah malam, lampu teras meredup. Udara dingin menyelinap lewat kisi jendela.

“Besok subuh,” kata Sekar, “kita jalan ke bukit di belakang rumah. Aku ingin kalian melihat sesuatu.”

.

Subuh Bandung cenderung melankolis. Langit kelabu, udara setengah basah, suara ayam dari halaman tetangga bersahut. Mereka berjalan melewati kebun kecil, mendaki bukit landai yang ditumbuhi ilalang. Di puncak, kota tampak seperti miniatur—bangunan-bangunan menumpuk, atap seng dan genteng berwarna, garis-garis cahaya kendaraan.

“Naiklah,” kata Sekar, menunjuk batu besar. “Lihat matahari.”

Raka berdiri di atas batu. Di hadapannya, cakrawala mulai berwarna oranye. Sinar pertama menyentuh wajahnya seperti tangan ibu. Ada hangat yang lama ia lupa.

“Manusia,” suara Sekar memecah hening, “sering memaksa diri jadi matahari untuk semua orang. Menyinari, menghangatkan, memberi energi. Padahal kita pun butuh matahari lain. Bila lingkaranmu benar, kau tak perlu berjuang sendirian.”

Nares menepuk bahu Raka. “Kamu selalu menjadi matahari buat banyak orang. Sekarang saatnya kamu duduk, menerima sinar.”

Raka memejamkan mata. Ia tidak menangis. Ia hanya membiarkan diri diam, tanpa target, tanpa rapat, tanpa notulen. Di titik itu, ia tahu: sebagian besar rasa sepinya lahir karena ia terlalu lama tinggal di ruangan yang salah.

.

Sekembalinya ke Jakarta, Raka melakukan hal yang tak pernah berani ia lakukan: mematikan notifikasi grup yang hanya berisi tautan dan undangan tanpa sapaan. Ia menolak dua proyek—yang satunya menguntungkan tapi tak sejalan dengan nilainya, yang satunya terlalu menguras tim. Panji protes, manajemen bertanya-tanya, tapi Raka menjelaskan dengan tenang.

“Kalau kita menerima semua yang datang,” katanya dalam rapat, “kita kehilangan daya memilih. Tanpa daya memilih, kita kehilangan arah. Aku tidak ingin kantor ini menjadi pabrik kelelahan.”

Kantor terdiam. Di layar, presentasi Raka berhenti pada satu kalimat:

“Bekerja untuk kontribusi, bukan pembuktian.”

Ada yang menilai Raka sok idealis. Ada yang mengagumi. Raka tahu, itu harga dari kejujuran.

Ia lalu memulai Lingkar Kita, pertemuan kecil dua minggu sekali di ruang komunitas coworking di Pejaten. Peserta pertamanya hanya tujuh orang: Panji (ragu-ragu tapi datang), Sekar (via Zoom), Nares (membawa termos kopi), Andandini (mencatat), Umar (founder fintech yang baru saja gagal pendanaan), Candra (residen anak di rumah sakit swasta), dan Ragil (pegawai BUMN yang ingin pindah jalur).

Malam pertama, mereka tak membahas KPI. Mereka membahas tidur. Tentang insomnia, pikiran yang berputar, notifikasi yang menyusup seperti maling. Sekar mengajarkan latihan napas empat-tujuh-delapan. Nares memberi kopi rendah kafein. Raka mematikan lampu satu demi satu hingga ruangan hanya diterangi lampu pijar kuning. “Kita menurunkan volume hidup,” ucapnya.

Lingkar Kita menjadi cair. Kadang mereka berbagi buku, kadang menonton film, sesekali mengundang pembicara—psikiater, guru yoga, ekonom perilaku. Pembahasan selalu kembali pada manusia dan ketahanannya. Mereka saling mengirimi kabar bukan hanya saat sukses, melainkan saat pagi terasa berat. Di grup kecil itu, emoji jempol bergantian dengan doa-doa pendek.

.

Suatu sore, badai datang dari arah yang tak disangka. Salah satu klien besar agensi—merek personal care—terseret isu diskriminasi karyawan yang meledak di media sosial. Panji menatap Raka dengan mata panik. “Kita diminta krisis handling. Mereka mau semua kanal disterilkan, komentar negatif dilaporkan.”

Raka membaca brief. Ia tahu secara teknis mereka bisa. Ia juga tahu, kalau dilakukan tanpa perbaikan struktural, itu hanya menunda luka.

“Kita minta mereka membuka dialog dengan mantan karyawan,” kata Raka akhirnya. “Transparan, bukan menutup. Kita bantu moderasi.”

“Kalau mereka menolak?”

“Kita mundur.”

Keputusan itu berisiko. Nilai kontrak bisa menutup gaji tim selama tiga bulan. Namun Raka memilih. Ia menyampaikan syarat dengan bahasa jelas dan data pendukung. Pihak klien awalnya kaku, lalu melembut. “Baik,” kata mereka, “kita coba.”

Malam itu Raka mengantar istrinya—Larashati, arsitek interior yang sedang menata butiknya sendiri—ke studio. Dalam perjalanan, ia menceritakan pergulatan hati. Larashati, yang biasanya hemat kata, menoleh.

“Kamu akhirnya memilih hidup sesuai kata hati,” katanya. “Aku bangga.”

Raka tersenyum. Hatinya berdebar seperti anak sekolah. Di parkiran studio, ia memegang tangan istrinya. “Terima kasih,” ucapnya lirih.

“Jangan lupa makan,” balas Larashati, setengah bercanda. “Orang jujur sering lupa lapar.”

.

Seminggu kemudian, giliran Nares yang mengalami ujian. Sajen cabang Kemang dibobol maling saat dini hari. Kerugian tidak besar secara barang—satu mesin espresso cadangan dan kotak amal—tetapi secara batin, Nares terpukul. Ia menelpon Raka pukul enam pagi.

“Aku merasa gagal,” suaranya serak. “Aku biasanya jaga, tapi tadi malam pulang duluan. Ada anak barista yang terluka kena kaca.”

Raka menghubungi Lingkar Kita. Dalam dua jam, Umar sudah datang membawa tukang kaca, Andandini menghubungi relawan psikolog untuk barista yang trauma, Candra memeriksa luka. Raka duduk di trotoar bersama Nares, menatap garis polisi yang dipasang seadanya.

“Aku malu,” kata Nares.

“Jangan,” Raka menjawab. “Di kota, yang paling kuat adalah yang paling cepat pulih, bukan yang tak pernah jatuh.”

Mereka membersihkan pecahan kaca. Di tengah kerja, warga sekitar berdatangan, menawarkan sapu dan karung. Seorang ibu-ibu bahkan datang membawa bubur ayam. “Kasihan anak-anakmu,” katanya pada Nares. “Sarapan dulu.”

Sore itu, Sajen kembali buka. Di papan kapur hitam, Andandini menulis: Kehilangan bisa terjadi, kehangatan jangan ikut dicuri. Pengunjung berdatangan lebih ramai dari biasanya. Bukan karena penasaran, tapi karena ingin hadir. Lingkaran membesar sementara, tapi tetap hangat.

Nares memandang ke arah Raka. “Ternyata benar,” katanya, “lingkaran yang benar menyembuhkan lebih cepat daripada asuransi.”

Raka tertawa. “Tetap daftar asuransi.”

Mereka tertawa bersama—tawa yang memulihkan.

.

Tidak semua orang menyukai perubahan Raka. Di kantor, Panji menyampaikan rumor: ada rekan yang merasa Raka terlalu campur ke urusan nilai, padahal agensi adalah bisnis. “Kamu hati-hati,” ujar Panji pada suatu malam. “Bisa jadi mereka menyiapkan pengganti.”

Raka tidak terkejut. Ia pulang, memesan dua porsi soto untuk makan malam, dan berbincang dengan Larashati tentang kemungkinan—bahwa ia mesti berhenti dan memulai studio kecil yang fokus pada komunikasi berdampak sosial. Larashati mendengarkan.

“Kalau itu terjadi,” katanya, “kita rapikan tabungan. Aku bisa mengambil proyek tambahan. Kita tidak akan miskin karena melakukan hal yang benar.”

“Bagaimana dengan orang tua?” tanya Raka. “Mereka bangga aku punya jabatan.”

“Kita jelaskan pelan-pelan,” jawab Larashati. “Orang tua sejati bangga bukan pada jabatan, tapi pada keberanian anaknya menjadi orang baik.”

Kalimat itu membuat Raka menahan air mata. Ia tiba-tiba ingin memeluk seluruh dunia—tapi ia tahu, pelukan terbaik dimulai dari rumah. Ia memeluk istrinya lama-lama. Dalam pelukan itu, ia merasa kembali ke masa kecil, saat setiap keputusan hanya tentang memilih rasa es krim di warung dekat rumah.

.

Undangan datang dari Sekar: retreat dua hari di Lembang untuk Lingkar Kita. Mereka menginap di penginapan kecil milik Ragil—yang ternyata selama ini diam-diam membuka usaha guesthouse—dengan halaman berlatar hutan pinus. Malam pertama, mereka membuat api unggun. Umar membawa gitar, Candra menghidangkan sup ayam, Nares menyediakan kopi hangat, Andandini memajang kartu-kartu refleksi.

“Bagikan satu hal yang paling kalian takutkan,” kata Sekar. “Dan satu hal yang ingin kalian pelajari.”

Panji, yang tadinya hanya ‘mengintip’ komunitas itu, akhirnya bicara. “Aku takut kalau tanpa jabatan, orang tidak menghormatiku.”

Raka menatap Panji. “Aku pernah takut begitu. Ternyata yang menghormatiku karena jabatan, tidak pernah benar-benar mengenalku.”

Umar berkata, “Aku takut gagal lagi. Investor mundur, teman menjauh. Aku ingin belajar memisahkan harga diri dari angka.”

Ragil menambahkan, “Aku ingin belajar memaafkan diriku yang lama—yang terlalu ingin menyenangkan semua orang.”

Sekar tersenyum. “Terima kasih. Kalian tahu, keberanian utama dalam persahabatan adalah menyediakan punggung, bukan panggung.”

Hening menyusul. Api unggun berdesis halus. Raka memandang wajah-wajah di sekitarnya: lelah, tapi jujur. Di bawah langit, ia merasa seperti bagian dari orkestra kecil yang memainkan nada yang sama: menjadi manusia.

Malam itu mereka membuat perjanjian sederhana, ditulis tangan di kertas buram dan ditandatangani satu-satu:

  1. Kami hadir bukan untuk menilai, melainkan untuk menemani.

  2. Kami menegur dengan kasih, bukan dengan amarah.

  3. Kami menjaga rahasia, merawat kepercayaan.

  4. Kami tumbuh bersama, tanpa saling mendahului.

Andandini menutup perjanjian dengan kalimat yang disoraki semua orang:

“Kalau salah, bilang. Kalau benar, peluk.”

.

Hidup jarang memberi jeda panjang. Beberapa minggu setelah retreat, ayah Raka jatuh di kamar mandi, mengalami patah tulang pinggul. Raka dan Larashati pulang ke rumah orang tua di Bekasi hampir setiap malam. Rumah sakit menjadi rumah kedua. Di sela menjaga ayahnya, Raka menulis di buku kecil: Menguatkan ibu. Menguatkan diri. Menguatkan kerja.

Satu per satu anggota Lingkar Kita datang bergantian. Candra memastikan perawatan berjalan baik. Nares mengirim makanan hangat tanpa banyak kata. Sekar menelpon ibu Raka, menenangkan dengan suara yang seperti cuaca baik. Ragil menawarkan mobilnya untuk antar-jemput. Panji—yang jarang menampakkan sisi rapuh—mengirim pesan tengah malam: “Aku doakan ayahmu. Kalau butuh aku, telepon kapan pun.”

Di kursi tunggu rumah sakit, Raka menyadari sesuatu: kesedihan terasa lebih ringan saat hadir dalam irama yang dibagi. Ia menatap ayahnya yang tertidur, mengingat masa kecil—ayah yang mengajarinya menanam pohon mangga di halaman gang sempit, mengulangi kalimat: “Kalau kamu ingin berteduh, beri teduh dulu.” Air mata jatuh tanpa suara.

“Kita tumbuh paling cepat ketika menumbuhkan orang lain,” ia menulis. “Ternyata ayah tidak pernah berhenti menanam, bahkan lewat sakitnya.”

.

Gelombang terakhir datang dari kantor. Manajemen memutuskan restrukturisasi. Posisi Raka diubah menjadi penasihat; tanggung jawabnya dipangkas. Banyak yang menganggap ini bentuk peminggiran halus. Di ruang kerja, Raka menatap kursi dan meja yang mendadak terasa asing. Ia tidak marah. Ia hanya sangat tenang, seperti orang yang baru menyelesaikan doa.

Ia pulang lebih awal. Di meja makan, ia menyampaikan kabar pada Larashati.

“Kalau kamu siap,” kata Larashati, “kita mulai studio kita. Kita, ya. Bukan kamu seorang.”

Malam itu, Lingkar Kita berkumpul di Sajen yang sudah pulih. Mereka mengangkat gelas kopi.

“Untuk bab baru,” kata Nares.

“Untuk keberanian memilih,” tambah Sekar.

“Untuk kesehatan jiwa,” ujar Candra.

“Untuk rejeki yang bersih,” sambar Ragil.

Panji mengangkat gelas paling tinggi. “Untuk persahabatan yang mempertahankan martabat.”

Raka menatap mereka satu per satu. Wajah-wajah yang dulu biasa lewat sebagai username di media sosial, kini berdiri sebagai wujud dari kata ‘hadir’. Ada hangat naik dari perut ke dada. Ia mengucapkan pelan, lebih pada dirinya sendiri:

“Terima kasih, kawan-kawan. Kalian menolongku menjadi orang biasa yang tetap berharga.”

.

Studio kecil itu mereka beri nama Bale Kata. Fokusnya: komunikasi yang memihak manusia—kampanye keselamatan kerja, literasi finansial, kesehatan mental di kantor, narasi UMKM ramah lingkungan. Proyek pertama datang dari komunitas pekerja kreatif yang ingin membuat toolkit kesejahteraan. Mereka tidak dibayar besar, tapi dibayar penuh makna. Raka mengundang Andandini sebagai konsultan riset, Panji sebagai project lead, Umar mengembangkan platform donasi mikro, Nares mengkurasi kopi untuk acaranya, Candra dan Sekar menjadi narasumber.

Di acara peluncuran toolkit, seorang perempuan muda—barista yang pernah bekerja di Sajen—naik ke panggung. Suaranya bergetar saat bercerita tentang malam ketika kedainya dibobol, tentang traumanya menyentuh kaca, tentang bagaimana ia tidak menjadi ‘korban’ karena dikelilingi orang yang menyehatkan.

“Waktu itu aku ingin berhenti,” katanya. “Tapi ada orang-orang yang mengecek kabarku tanpa menuntut cerita panjang. Mereka cuma bilang, ‘Kami ada.’ Dan ternyata, ‘ada’ itu obat.”

Ruang hening. Lalu tepuk tangan. Raka berdiri lebih tegak. Ia teringat dirinya di balkon lantai 23 beberapa bulan lalu, menatap kota rasa neraka. Kini, ia menatap kota yang sama, tapi dengan hati yang berbeda. Ternyata dunia tidak mengganti kulit—kitalah yang mengganti cara memandangnya.

.

Malam itu, setelah semua selesai, Raka pulang lebih pelan. Di apartemen, Larashati menunggu di sofa dengan lampu redup.

“Bagaimana?” tanya Larashati.

“Seperti menanam pohon mangga lagi,” jawab Raka. “Tidak tahu kapan berbuah, tapi yakin akar menyentuh tanah yang benar.”

Mereka duduk berhimpitan. Di meja, secarik kertas tergeletak. Kertas perjanjian Lingkar Kita yang sudah dilaminasi seadanya. Raka menunjuk kalimat terakhir yang belakangan ditambahkan oleh tangan Sekar:

“Persahabatan adalah ruang darurat yang buka 24 jam—datanglah tanpa perlu permisi.”

Raka menatap langit lewat jendela. Lampu-lampu kota mengedip seperti bintang yang belajar realistis. Di dalam dadanya, ada tenang yang baru.

Ia membuka buku catatan, menulis:

Dulu aku sibuk mengundang semua orang masuk ke rumahku. Sekarang aku belajar membuka pintu pada yang mau ikut bersih-bersih. Hidup terasa lega. Lingkaran mengecil, tapi hati meluas.

Di bawahnya, ia menambahkan satu kalimat dari hatinya yang paling jujur:

“Pilih mereka yang menanyakan kabarmu ketika kamu tidak bicara apa-apa.”

Raka menutup buku, memeluk Larashati. Ada rasa selesai—bukan selesai dari masalah, tapi selesai dari kebiasaan membiarkan diri terluka oleh salah lingkaran. Ia mengirim pesan ke grup Lingkar Kita:

“Terima kasih sudah menjadi rumah. Kalau besok aku lupa, ingatkan aku untuk pulang.”

Notifikasi masuk hampir bersamaan:

Nares: “Pulang selalu.”
Sekar: “Rumah adalah teman-teman yang mendoakanmu tanpa suara.”
Panji: “Terima kasih sudah mengajarkanku berani.”
Andandini: “Jangan lupa tidur cukup.”
Umar: “Kalau jatuh, kabari lokasi.”
Candra: “Besok vaksin flu bareng.”
Ragil: “Sabtu, barbeque di halaman. Datang, ya.”

Raka tersenyum. Ia mematikan ponsel bukan untuk kabur, melainkan untuk benar-benar hadir. Malam melipat kota. Di dalam lipatan itu, tumbuhlah lingkaran kecil—kukuh, hangat, menyembuhkan.

.

“Pilih sahabat yang datang membawa cahaya ketika listrik batinmu padam.”
“Kebaikan kecil yang konsisten mengalahkan perhatian besar yang hanya sekali.”
“Lingkaran yang menyehatkan tidak selalu ramai, tapi selalu ada.”

.

.

.

Malang, 17 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#cerpenKompasMinggu #NamakuBrandku #PersahabatanSejati #UrbanLife #HealingJourney #JeffreyWibisonoV #KesehatanMental #CircleOfTrust

Leave a Reply