Lelaki yang Tidak Pernah Punya Waktu
“Ia pikir kemewahan adalah jet pribadi dan meja rapat, hingga suatu hari ia sadar: yang paling mewah adalah tidur nyenyak tanpa rasa bersalah.”
.
Raja di Atas Lembur
Namanya Wong Agung—nama yang memantul di kaca-kaca lift perkantoran Sudirman seperti logo perusahaan yang tak pernah dimatikan lampunya. Di majalah ekonomi, ia disebut “simbol sukses lintas generasi.” Di grup WhatsApp para pengusaha, namanya jadi mantra; di ruang rapat, matanya yang bening seperti logam cair membuat semua orang mengangguk sebelum ia selesai bicara. Ia tidur empat jam sehari, makan sambil membaca laporan saham, berbicara pada investor sambil cairan vitamin mengalir dari infus transparan—sebuah pemandangan yang difoto oleh asisten dan dibagikan ke publik dengan keterangan: dedikasi tanpa jeda.
Orang-orang mengagumi. Para pesaing menaruh respek yang pahit. Di kota ini, ia seperti jam listrik: tak boleh padam, tak boleh melambat. Tubuhnya seperti dibentuk dari baja dan algoritma, pikirannya dihuni garis tren dan peta ekspansi. Ia mengenakan jas custom-made berwarna arang, dasi sehalus rahasia, dan senyum yang terukur—cukup hangat untuk menutup jarak, cukup tipis untuk menegaskan batas.
Namun di balik layar mewah itu, ada lelaki yang sudah lupa caranya tertawa tanpa beban. Ia menjadi segalanya bagi semua orang, kecuali bagi dirinya sendiri.
.
Rumah yang Sunyi oleh Rencana
Rumahnya di Menteng luas bagai museum yang kehabisan pengunjung. Lantai marmer memantulkan jejak langkah yang jarang. Lampu gantung besar menggantung seperti pertanyaan. Ada ruang kerja seperti jembatan komando kapal antariksa; ada piala, plakat, foto-foto peresmian. Ada kolam renang yang tak pernah beriak oleh kegembiraan. Ada taman yang lebih sering disapu petugas dibandingkan dihuni tawa.
Sekar Kedaton, istrinya, bicara lebih banyak pada meja makan daripada pada suaminya. Selera makannya persis seperti interior rumah: minimalis. Jam makan malam sepi dari perbincangan bermakna. Yang hadir hanya bunyi sendok garpu dan notifikasi ponsel yang bergetar bagai nyamuk tak lelah. Sekar menyusun napas seperti merapikan rambut: pelan, sabar, rapi di luar, kusut di dalam.
“Mas,” katanya pada suatu malam, suaranya seperti desir angin yang malu-malu mengetuk jendela. “Kamu masih ingat ulang tahun Ken Dedes, kan?”
Wong Agung mengangkat kepala. Sejenak ia mencari jawaban di udara, seperti orang mencari sinyal di daerah blank spot. “Kan minggu depan?” katanya. Senyum kecil singgah di bibirnya, yakin pada ingatannya.
Sekar tidak menjawab. Mata sendok di tangannya memantulkan wajahnya sendiri, sedikit gemetar. Hari ulang tahun putri mereka sudah lewat tiga hari lalu—dirayakan diam-diam dengan kue kecil yang dibeli Sekar di toko roti dekat rumah. Lilin dinyalakan, tiga detik doa, satu hisap napas panjang, lalu padam sendiri oleh angin dari exhaust dapur. Tak ada video. Tak ada unggahan. Tak ada ayah.
.
Puisi Anak yang Tidak Dipeluk
Ken Dedes, putri semata wayang mereka, kelas dua SMA yang duduknya selalu di dekat jendela, menciptakan blog anonim. Di sana, ia menumpahkan sepi yang tak bisa diucapkan—sepi yang bentuknya seperti jarak antara dua orang yang tidur satu ranjang namun bermimpi di negeri berbeda. Ia menulis puisi-puisi pendek yang ditandai dengan inisial: K.D.
“Tahu nggak,” katanya pernah pada Sekar, “kalau sepi itu kadang lebih ramai daripada pesta?” Sekar mengangguk, lalu meletakkan tangan di kepala anaknya. Gerak lembut itu seperti bendera putih.
Salah satu puisi Ken Dedes dibaca lebih dari lima ribu kali. Judulnya: “Inventaris Rumah yang Kosong.”
Ayahku punya jet,
tapi tak punya waktu.
Ia punya saham,
tapi lupa siapa yang paling butuh kehadirannya.Rumah kami penuh perabot,
tetapi kursi dekat hatiku kosong.
Namaku disebut dalam pidatonya,
namun tidak dalam jadwalnya.
Suatu sore, Wong Agung mendapati laptop Ken Dedes terbuka di sofa. Kebiasaan lamanya—memeriksa semuanya—mendorongnya membaca. Dadanya diremas sesuatu yang tak terlihat. Ia seperti menemukan rekaman suaranya sendiri yang diputar balik: kata-kata yang selama ini ia ucapkan sebagai visi kini menggaung sebagai jarak. Namun pertahanan di dalam dirinya sudah terbiasa memadamkan nyala: ia menutup laptop, menghela napas pendek, lalu kembali ke deck kapal bisnisnya, menyusun strategi ekspansi seolah hidupnya adalah ringkasan eksekutif yang butuh kesimpulan cepat.
Ia terlalu sibuk bahkan untuk merasa bersalah.
.
Tumbang dalam Senyap
Malam itu mestinya ia tampil di forum G20—panel growth and resilience. Pukul delapan lewat dua, langkahnya memasuki lobi hotel bintang lima di Nusa Dua. Lantai mengilap, orkestrasi lampu hangat, aroma jeruk bali dari diffuser. Ia sudah mengulang teks pembuka di kepalanya: “Pertumbuhan yang sehat butuh dua hal—…” Di langkah ketujuh, dunia serasa menyempit menjadi celah pintu yang tak mau terbuka. Napasnya memendek, dadanya cekik, telapak tangannya dingin.
“Pak, Pak…?” suara resepsionis menggulung, kemudian jadi sorak-sorai panik. Wong Agung roboh. Jam tangan digitalnya merekam detik-detik yang seharusnya menyenangkan para timekeeper; detik itu malah memahatkan sunyi.
Di UGD, dokter bilang fisiknya prima. Paru-paru normal. Jantung stabil. Gula darah baik. Brain CT bersih. “Tak apa,” begitu tutup pemeriksaan. Namun ada sesuatu yang tak terbaca oleh mesin. Psikiater yang didatangkan diam-diam oleh Sekar—teman lamanya—menggelar pertemuan di ruang tunggu VIP. “Kapan terakhir Anda duduk diam tanpa melakukan apa-apa, Mas Wong?” tanyanya pelan.
Wong Agung menatap langit-langit. Lampu panel di atasnya seperti mata-mata. Air mata jatuh diam-diam, sederhana dan jujur. Ia tak tahu kapan terakhir kali duduk diam tanpa harapan bahwa diamnya itu menghasilkan sesuatu. Mungkin dua dekade lalu, ketika ia masih jadi perantau kurus yang menumpang di kamar saudara di Wonokromo. Mungkin lebih lama, ketika ia kecil dan neneknya di lereng Lawu mengajaknya menghitung bintang.
Diagnosis datang seperti hujan yang akhirnya turun di kota yang lama kering: burnout syndrome berat. Psikiater menyarankan cuti, memutus rangkaian kebiasaan. “Waktu bukan cuma alat ukur, Mas,” kata psikiater itu. “Waktu juga obat. Dan obat yang paling manjur seringkali adalah jeda.”
.
Desa yang Menyembuhkan
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Wong Agung mengambil cuti. Ia tidak memilih vila di Ubud atau resort di Maldives. Ia memilih Wanasaba—desa kecil di lereng Lawu, di mana masa kecilnya pernah bersarang, di mana kakeknya mengajarinya cara memotong bambu tanpa membuat seratnya luka. Di mana suara ayam dan desir padi lebih lantang daripada notification ping.
“Untuk apa ke desa?” tanya Sekar, heran. “Luka kita kan di kota.”
“Untuk mencari diriku yang tertinggal,” jawab Wong Agung. Ia menyiapkan satu ransel: dua kaus, satu jaket, buku catatan bergaris, dan sebotol balsem yang baunya seperti memori. Tanpa laptop. Tanpa target. Tanpa deliverables.
Hari pertama ia canggung—seperti pria yang lupa cara membuka jendela. Hari kedua ia bingung—jam seolah melar, mencicit pelan. Ia tidak tahu harus menaruh kegelisahannya di mana ketika tak ada rapat untuk menutupinya. Hari ketujuh, ia mulai tidur nyenyak. Bukan power nap 20 menit, melainkan tidur yang benar-benar tak diawasi. Pagi ke-10, ia tersenyum melihat embun di ujung daun alang-alang; titik-titik kecil seolah abjad yang sebelumnya tidak pernah ia baca.
“Mas, telingamu sudah bisa dengar angin lagi,” kata Puspawangi, pemilik warung kopi di tikungan desa, sambil menyodorkan gelas kaleng. Puspawangi—nama yang seperti mantra—menertawakan cara Wong Agung memegang cangkir, terlalu hati-hati, terlalu takut tumpah. “Di kota, tumpah itu rugi. Di sini, tumpah itu tanda kau minum sungguh-sungguh.”
Kertolo, tetangga yang pekerjaannya serba ada—memperbaiki pagar, mengganti genting, mencarikan kambing—menawari Wong Agung ikut menanam bibit cabai. Di tanah merah, telapak tangan mereka sama-sama kena lumpur. “Kalau di kota kamu nyuruh tanah tumbuh uang,” kata Kertolo, “di sini tanah ngajari kamu uang itu bukan satu-satunya yang bisa tumbuh.”
Malamnya, di bawah lampu pijar yang kuningnya hangat, Wong Agung menulis di buku catatannya: “Hari ini, aku tidak menghasilkan uang. Tapi aku merasa hidup.” Tulisannya tidak rapi, tetapi bebas dari garis bawah.
.
Kepulangan yang Dulu Ditunda
Dua minggu kemudian, Sekar dan Ken Dedes menyusul. Mobil sewaan berhenti di halaman rumah panggung kecil yang disewa Wong Agung dari seorang pensiunan guru. Lampu-lampu petromaks di warung Puspawangi berpendar seperti kunang-kunang yang tidak sabar tua. Mereka melihat lelaki itu duduk di beranda, mengenakan kaus lusuh yang tak akan pernah dipakai di board meeting, memegang buku yang bukan annual report.
“Ken,” panggilnya pelan, seolah takut suaranya membuat embun jatuh. Ken Dedes menatap ayahnya lama. Mata yang selama ini seperti cermin one-way—mereka bisa melihat diri sendiri, tapi tak yakin dilihat balik—kini memantulkan sesuatu yang sederhana: kehadiran. Mereka berpelukan. Kaku. Lalu melebur. Sekar menitikkan air mata. Bukan karena sedih, melainkan karena akhirnya ia melihat rumah dalam wujud lelaki yang dulu dicintainya.
Malam itu, mereka bertiga makan pecel sayur di warung Puspawangi. Nasi masih mengepul, sambal kacangnya wangi daun jeruk, rempeyeknya rapuh. Percakapan mengalir. Tentang sekolah, tentang kampung, tentang langit yang, kata Ken Dedes, “seperti wallpaper tapi asli.”
“Pa,” kata Ken Dedes, “boleh nggak kita nggak bahas angka malam ini? Bahas aja yang nggak bisa dihitung.” Wong Agung tertawa. Tawa yang tidak meyakinkan siapa pun selain dirinya sendiri—dan itu cukup.
.
Surat Cinta yang Tertunda
Di malam yang mengelus halus, di bawah pohon jambu yang buahnya jatuh dengan bunyi kecil seperti anak kecil tertawa jauh, Wong Agung menulis surat untuk dirinya sendiri.
Mas Wong,
Maaf, ya. Untuk waktu-waktu yang kucuri darimu demi kekaguman yang tak pernah mengenyangkan. Untuk tidur yang kugadaikan. Untuk keluarga yang kutinggalkan karena ingin disebut hebat oleh orang-orang yang tak tahu rasanya kehilanganmu. Maaf karena membuat kata “berhasil” berarti “berhasil menjauh dari diri sendiri”. Aku ingin bertemu lagi denganmu—tanpa mikrofon, tanpa proyektor, tanpa jadwal. Hanya kita berdua, berjalan ke warung Puspawangi, menukar cerita, lalu tertawa pada hal-hal kecil yang dulu kita kira tidak penting.
Sampai jumpa di cermin.
Surat itu ia baca sendiri di depan kaca kecil di dinding rumah panggung. Ia menangis seperti anak kecil yang akhirnya boleh pulang setelah lama menghafal nama-nama jalan. Lalu ia lipat, masukkan ke saku, dan menyimpannya dekat dada.
.
CEO yang Belajar Memasak
Wong Agung kembali ke kota tiga minggu kemudian. Gedung-gedung masih menjulang seperti ambisi. Jalan tol masih sibuk seperti timeline. Namun ia bukan lagi mesin. Ia menyerahkan jabatan CEO—beralih menjadi mentor strategis, dua hari seminggu. Ia menolak tiga undangan menjadi keynote speaker yang honornya bisa membeli mobil kecil. Ia menulis buku tipis berjudul Waktu yang Dicuri; bab-babnya pendek, tiap bab diakhiri latihan hening: duduk lima menit tanpa menilai. Penerbit awalnya ragu: siapa mau baca buku hening? Ternyata buku itu habis cetak ketiga dalam dua bulan.
Ia belajar memasak. Hari Sabtu, ia ke pasar pagi bersama Sekar—tempat ia dulu tidak percaya masih ada jam tujuh. Ia bertanya pada penjual tahu tentang tahu yang baik; ia mau tahu mengapa tahu sumedang lebih renyah. Penjual tempe tertawa melihat laki-laki berwajah korporat serius menawar daun bawang. “Pak, di sini kalau bapak senyum saja, harganya turun sendiri,” kata ibu itu.
Di rumah, ia memasak untuk keluarga: sop bening dengan jagung yang tidak terlalu manis, tumis buncis yang garing, telur dadar yang tepinya renyah. Ia mengunggah video seadanya: Menanam Sayur di Balkon—tak ada brand placement, tak ada musik trending. Hanya tangan, tanah, suara burung, dan kalimat yang sederhana: “Kalau daun ini tumbuh, semoga sabar kita juga.” Video itu ditonton ratusan ribu orang tanpa iklan. Banyak yang menulis di kolom komentar: Suara bapak menenangkan. Aku jadi ingat ayahku.
Sekar sesekali memandangi suaminya yang memegang spatula seperti komando baru. “Mas,” katanya, “ternyata kamu bisa juga ya nggak menang.” Mereka tertawa. Di tawa itu, mereka merayakan kekalahan paling membahagiakan: kalah dari kebutuhan sendiri untuk jeda.
.
Yang Tidak Bisa Dibeli
Pada sebuah seminar yang tetap ia datangi—kali ini bukan sebagai pembicara utama—seorang peserta berdiri. “Pak Wong,” katanya, “apa hal paling mahal yang pernah Bapak beli?”
Wong Agung diam sebentar. Ia membiarkan pertanyaan itu duduk di kursi kosong di sebelahnya, menunggu teman. “Yang paling mahal dalam hidup saya,” jawabnya, “bukan yang saya beli, melainkan yang dulu saya abaikan: tidur nyenyak, makan malam keluarga, dan pelukan anak.”
Ruang itu hening. Keheningan yang bukan dead air, melainkan udara yang akhirnya dikembalikan pada paru-paru masing-masing.
.
Jalan Kecil Bernama Pulang
Sore itu, ia menyetir sendiri—kebiasaan baru—menjemput Ken Dedes di sekolah. Jakarta sedang hujan sebentar lalu berhenti; aspal hitam mengkilap seperti kepala yang baru disisir. Mereka tidak buru-buru. Mereka mampir ke toko buku kecil yang masih bertahan di pojok ruko. Ken Dedes memilih antologi puisi. “Pa, boleh nggak nanti aku baca puisiku di open mic?” tanya Ken Dedes.
“Boleh,” jawab Wong Agung. “Ayah malah ingin duduk di kursi paling belakang, tepuk tangan paling kencang.” Ken Dedes tertawa, memegang lengan ayahnya. Sentuhan kecil yang dulu terasa asing kini menjadi tanda baru di peta rumah.
Di rumah, Sekar menghidangkan teh melati. Mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Tidak ada televisi menyala. Ponsel ditumpuk di meja, menghadap ke bawah. Mereka bermain kartu UNO, saling curang kecil-kecilan, saling protes, saling tertawa hingga suara mereka keluar ke halaman, menabrak angin malam, lalu kembali sebagai gema yang menghangatkan.
Malamnya, ketika kota menggulung diri, Wong Agung berdiri di balkon. Lampu-lampu gedung di kejauhan seperti bintang-bintang yang berusaha meniru langit. Ia menutup mata. Tidak ada timeline yang perlu dikejar. Tidak ada target yang perlu disundul. Ada lelah yang diterima, ada sunyi yang dipeluk.
Di buku catatannya, ia menulis kalimat terakhir hari itu: “Mungkin selama ini aku bukan tidak punya waktu. Aku punya—tetapi kubiarkan dipakai oleh yang bukan aku.”
.
Epilog: Nama-Nama yang Menyala
Suatu hari Minggu, mereka bertiga pergi ke Wanasaba, membawa tiga pot tanaman cabai. Mereka menanamnya di halaman warung Puspawangi. Kertolo datang dengan cangkul. Puspawangi tertawa, “Kota membawa bibit, kampung kasih tanah. Adil.”
Di papan kecil, Ken Dedes menulis tiga nama varietas cabai imajiner: Retna Kencana, Jayengrana, Wirasantara—nama-nama yang mereka sematkan sebagai penanda bahwa kebahagiaan memerlukan cerita. Mereka menyirami tiga bibit itu. Air menyelinap ke tanah, suara kecilnya seperti doa. Cahaya pagi jatuh di punggung mereka, lembut, seperti tangan yang lama ditunggu.
Di sana, di antara cabai-cabai yang suatu saat akan pedas, mereka belajar bahwa pulang selalu mungkin. Bahkan untuk lelaki yang dulu tidak pernah punya waktu.
.
.
.
Jember, 20 Juli 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #UrbanLife #Burnout #Keluarga #AyahDanAnak #SelfHealing #WorkLifeBalance #MenakMadura #WaktuYangDicuri