Lelaki yang Tidak Ingin Pulang

“Pergilah sejauh apa pun, bila hatimu masih menunggu di serambi yang sama, kau tak pernah benar-benar berangkat.”

“Tidak semua yang berdiri sendiri berarti kesepian. Kadang mereka sedang berdamai dengan hidup yang terlalu ramai.”

.

Gedung-gedung yang tak pernah mengenalmu

Jakarta, jam tujuh malam, ketika lembab menempel seperti kabar yang ditahan-tahan. Lampu-lampu SCBD mengedip dengan sabar, seolah kota ini punya cara sendiri mengikat orang: dengan janji, target, dan tenggat. Di atas parkiran lantai sembilan, seorang lelaki berdiri dengan punggung membisu. Jasnya rapi, dasinya kendur; sepatu kulit mengilap memantulkan pylons neons seperti riwayat yang ingin tetap tampak baik-baik saja.

Namanya Panji.

Ia anak kota yang tahu bagaimana caranya menjadi “tepat waktu” pada jam-jam yang salah. Divisi hukum firma konsultan kelas regional: notulen rapatnya yang paling rapi, memorandumnya yang paling dingin. Dua digit gaji—untuk seminggu kerja lembur yang tidak pernah benar-benar ia hitung. CV menawan, tatap mata mantap, retak-retak yang disembunyikan dengan senyum standar profesional.

“Belum pulang juga, Mas?” tanya satpam paruh baya—orang yang menua dengan cara yang jujur, mengenal Panji hanya sebagai lelaki yang sering menatap kota terlalu lama.

Panji mengangguk. “Sebentar lagi.”

Jawaban formal yang sebenarnya berarti: “Doakan aku berani turun.”

Ia menatap ke selatan, ke ruas tol yang seolah ke mana-mana tapi tidak benar-benar membawa pulang siapa pun. Angin mengibaskan sisa suara klakson. Kita semua menyebutnya metropolis, tetapi malam-malam seperti ini, Jakarta terasa seperti denah labirin tanpa pintu keluar.

“Orang kuat bukan yang tak jatuh,” gumam Panji pada diri sendiri, “melainkan yang tahu kapan berhenti pura-pura.”

.

Wajah ibu di video call yang tertunda

Tiga bulan lalu, pesan Ardan menyala di layar ponsel:

Mas, Ibu nanya Mas terus. Katanya dokter minta istirahat, tapi Ibu maksa bangun. “Video call sama Panji,” gitu katanya.

Panji membacanya di sela rapat dengan klien Singapura. Percakapan penuh angka dan klausul. Ia mengetik balasan: “Nanti malam, ya.” Lalu rapat berikutnya datang, kopi berikutnya datang, notifikasi lain datang, dan janji itu tenggelam di dasar kotak masuk seperti ikan kecil yang terseret arus deras.

Besoknya, ia lupa.

Seminggu kemudian, Ardan menulis lagi: Ibu koma, Mas.

Panji terbang. Jakarta–Surabaya—sudah ia hafal jam berangkat dan terminal kedatangan. Lanjut ke Pamekasan—tanah yang dibesarkan oleh bau asin selat dan doa-doa yang tak pernah minta nama. Ia sampai di ruang ICU yang dingin, bau antiseptik menyelip masuk ke pori. Ibu terbujur tenang, wajahnya tak lagi menegaskan apa pun. Hanya mesin yang bicara dalam bunyi-bunyi pendek.

“Ibu enggak sadar,” kata Ardan pelan.

Panji menyentuh jari-jemari yang dulu menggilas daun singkong dan menepuk-nepuk punggungnya saat demam. “Bu… aku pulang.”

Tapi seperti semua doa yang terlambat, kalimat itu tidak punya pintu untuk mengetuk. Lima hari kemudian, setelah serangkai pengajian dan tetangga-tetangga yang membaca surah lama dengan suara getir, ibu pergi dengan cara yang rapi—seperti selalu caranya menata baju anak-anaknya di lemari.

Di pemakaman, panas menekan ubun-ubun. Panji berdiri kaku, mulutnya mengering oleh sesal. Di kepalanya, potongan-potongan kecil menyala: chat yang belum dibalas; panggilan yang tidak diangkat; “Nanti, Bu,” yang tak pernah benar-benar tiba. Ada semesta kecil runtuh dalam dirinya tanpa menimbulkan bunyi. Kota besar mengajarinya banyak hal—negosiasi, naik gaji, meja rapat bundar—tetapi tidak pernah mengajarinya cara paling sederhana untuk mengatakan: “Aku ada untukmu.”

.

Lelaki, status, dan kegagalan pada diri sendiri

Kembali ke kantor, Panji tetap bekerja. Ia mengetik cepat, bicara tenang, berpakaian bersih. Tapi jam pulang menjadi sesuatu yang cair. Rooftop lantai sembilan jadi biara rahasianya—tempat manusia metropolitan meletakkan kepalanya di bahu beton, mengaku kalah pada angin.

Suatu malam, Kertadipa—rekan kerjanya dari Bali, lelaki yang tertawa dengan mata—mengikuti Panji ke atas. Mereka duduk di lantai, kaki menjuntai di bibir keamanan. Kertadipa membuka kopi kaleng dan menyeruputnya dengan khidmat, seolah itu jamu untuk batin.

“Kita jago ya, Panj,” katanya. “Jago memerankan versi terbaik diri kita di panggung orang lain.”

“Aku enggak akting,” Panji membantah, suara serak.

“Tapi kamu juga enggak bahagia.”

Angin melemparkan tawa kecil mereka ke sisi kota yang lain.

“Orang sukses,” lanjut Kertadipa, “bukan yang punya banyak kartu nama, tapi yang berani pulang.”

Panji tersenyum miring. “Masalahnya, aku lupa alamatnya.”

“Alamat rumah, atau alamat hati?”

Panji tak menjawab. Sebab dua-duanya sama-sama hilang.

.

Rengganis dan cinta yang tertinggal di kereta

Sebelum kota ini mengadopsinya, hidup Panji pernah sederhana: satu perempuan, satu mimpi, satu kota dengan jam-jam yang wajar. Namanya Rengganis—perempuan yang mencintai hujan dan anak-anak kucing, bibir yang hafal sajak, mata yang selalu berani menatap balik.

“Kamu ngejar mimpi sampai lupa siapa yang pernah mendoakanmu,” kata Rengganis di peron Gubeng suatu malam. Kereta ke Jakarta menggerung. Malam seperti itu selalu punya dua arah: pergi atau tinggal.

“Jakarta cuma kerja,” janji Panji. “Habis itu aku balik.”

“Kamu bilang itu lima tahun lalu.”

Kereta mendekat, angin tajam menyapu rambut Rengganis. Pilihan terkadang sesederhana satu langkah. Panji melangkah ke gerbong, menatap kaca, melihat wajahnya sendiri bertambah kecil, lalu hilang.

Pada banyak Jumat malam di kantor, di antara dokumen dan lampu putih yang tak punya belas kasihan, Panji pernah bertanya diam-diam: berapa tepatnya hargamu, sebuah janji? Ia membayar dengan lembur, bonus, promosi. Ternyata tak ada kurs. Janji yang diingkari dibayar oleh sepi.

.

Kartu pos tanpa pengirim

Dua minggu lalu, satu kartu pos datang tanpa nama. Pantai Lombang, pohon-pohon cemara udang, langit Madura yang seolah dilukis ulang setiap pukul lima sore. Di baliknya, tulisan tangan miring:

Kamu tidak perlu jadi besar untuk membuat orang bangga. Kadang, cukup jadi manusia.

Kalimat itu menembus rapat-rapat. Malam itu, Panji tidak menyalakan TV. Ia duduk di lantai apartemen, punggung pada tembok, dasi terlepas. Di luar, lampu kota berkelip seperti morse yang mencoba menawar. Di dalam, ia mendengar sesuatu yang lebih tegas: kelelahan yang telah memadat menjadi batu. Air matanya turun pelan, seperti hujan pertama setelah kemarau panjang—tak gaduh, tapi mengubah banyak hal.

“Cukup jadi manusia,” ia mengulang. Betapa lama ia tidak menjadi itu.

.

Pintu yang tidak pernah benar-benar ditutup

Malam-malam berikutnya, langkah Panji di koridor parkiran menjadi lebih pasti. Ia mulai membereskan meja: menyimpan foto-foto, memindahkan catatan-catatan kecil yang bukan tentang pekerjaan—catatan tentang ibu yang suka memotong mangga terlalu pagi, tentang suara air yang jatuh di sumur tua, tentang Rengganis yang menulis puisi di kertas kwitansi warung.

Suatu malam, ia turun bukan untuk membeli kopi. Ia membawa koper kecil.

Satpam yang setia menunggu shift malam—lelaki yang memanggul hidupnya tanpa banyak kata—mengangkat alis. “Pulang, Mas?”

Panji menatap jam—jam tangan mahal yang tiba-tiba terasa seperti borgol yang dibeningkan. Ia tersenyum. “Iya. Akhirnya.”

Taksi online menunggu di lobi. Jalan tol memeluk mobil seperti sesal memeluk waktu—erat, tak bisa ditawar. Panji memandangi kota yang membiarkannya pergi tanpa adegan dramatis. Kota besar tidak pernah cemburu; ia tahu akan ada yang datang menggantikan.

Terminal Bungurasih, bus malam, bau solar dan mie instan. Salah satu bangku kosong menunggu. Panji duduk dan menutup mata. Ia bermimpi tentang halaman kecil yang hangat, tentang suara sendok yang bertemu gelas, tentang sebutir telur diceplok Ibu, sisi yang gosong dibiarkan untuk dirinya karena “yang gosong biasanya lebih enak.”

Pagi buta, Pamekasan menyambutnya dengan udara yang tidak perlu menjelaskan apa-apa. Pagar besi tua, bel yang kadang macet, pohon mangga yang terlalu sering dipanjat. Ardan membuka pintu. Di matanya ada lega yang tak ingin pamer.

“Mas…”

Pelukan mereka panjang, seperti tali layang-layang yang akhirnya menemukan ujung. Di meja makan, nasi jagung mengepul. Tahu goreng diletakkan di atas koran. Sambal terasi memantulkan minyak. Panji makan pelan, seperti menyuapi dirinya yang lebih muda dengan potongan-potongan waktu.

Di kamar Ibu, aroma kapur barus dan baju-baju yang tak lagi dipakai. Panji duduk di lantai, punggung pada ranjang. “Bu… aku pulang,” bisiknya. Rumah merespons dengan cara rumah selalu merespons: tidak menghakimi, hanya menampung.

.

“Di kota, kita belajar menunda pulang. Di rumah, kita belajar menunda pergi.”

.

Jokotole, lokomotif, dan suara lelaki tua

Sore berikutnya, Panji berjalan ke alun-alun. Seorang penjual es kornet—yang ternyata bukan es juga bukan kornet—menawari. Di bangku panjang, lelaki tua bertopi anyam duduk memelototi koran. Tulisan besar di halaman depan: proyek baru, nilai triliunan. Di sudut halaman, berita kecil tentang seorang nelayan yang perahunya karam.

“Masnya dari kota ya?” tanya lelaki tua, senyumnya cepat.

“Dulu, Pak.”

“Dulu itu kapan? Di sini, ‘dulu’ bisa jadi kemarin. Di kota, ‘besok’ bisa jadi tidak pernah,” ia tertawa, mengeluarkan dua gigi emas.

“Mau cerita sedikit, Pak?” Panji tiba-tiba berani.

“Aku suka kereta,” kata lelaki itu. “Bukan karena sampai, tapi karena suara peron saat berpisah. Dulu ada anak muda, pintar sekali, semua orang bilang dia nanti jadi orang besar. Dia pergi. Lama. Pulang-pulang, dia tanya ke aku, ‘Pak, kenapa pulang rasanya lebih berat daripada pergi?’ Aku bilang, karena pulang adalah jawaban. Menjawab berarti berani berhenti.”

“Anak muda itu…?”

Lelaki itu tersenyum, pandangannya menerobos jauh, menabrak dinding tahun-tahun. “Dia masih belajar. Kita semua masih belajar.”

Panji tertawa kecil. “Nama Bapak siapa?”

“Samudera,” katanya. “Tapi orang di sini manggilku Jokotole. Bukan pahlawan itu, tentu. Cuma julukan iseng. Soalnya dulu aku kerja di bengkel lokomotif.”

Panji memandang mata tua yang jernih itu. Mendadak, ia ingin memegang tangan orang asing dan percaya bahwa dunia punya simpul-simpul rahasia yang mempertemukan orang pada waktu paling pas.

.

Surat untuk Rengganis

Malam keempat, Panji menulis. Tinta mengalir, kalimat-kalimatnya tidak mencari gaya; mereka mencari arah.

Rengganis,

Jika kamu pernah merasa aku memilih kota dan melupakan kamu, itu benar. Tapi ternyata kota pun tidak mengingatku. Aku kembali dengan tangan penuh, tapi dada kosong. Sekarang aku berada di halaman rumah kecil, mendengar suara ayam dan dengung nyamuk. Di sini, aku tidak ingin besar. Aku hanya ingin jadi manusia.

Jika di hatimu masih ada celah untuk seseorang yang pernah pergi dan ingin belajar tinggal, aku akan menunggu. Bukan untuk mampir. Untuk menetap.

— Panji

Surat itu ia titipkan pada teman masa kecil bernama Kasim—yang kini berjualan pakan burung di pasar. “Tolong, Sim.”

Kasim mengangguk, wajahnya polos seperti kurir yang mengerti bahwa tugasnya bukan mengantar kertas, melainkan mengantar peluang.

Hari berganti. Tiga. Lima. Tujuh.

Di hari kedelapan, motor berhenti di depan pagar. Perempuan itu turun perlahan, melepas helm, mendorong rambut ke belakang telinga—gerak yang pernah menjadi detik paling favorit Panji.

Rengganis berdiri di serambi. Pagi mengunci suara jangkrik, membuka ruang untuk keheningan yang lebih menuntut.

“Aku dapat suratmu,” katanya.

Panji bangkit. Ia tidak menyiapkan kalimat indah. Ia menyiapkan napas panjang.

“Kalau kamu pulang untuk bertahan,” Rengganis melanjutkan, “aku akan terima. Tapi kalau kamu cuma mampir, jangan buka lagi pintu yang sudah kubiarkan tenang.”

“Aku pulang untuk tinggal,” kata Panji. “Dan belajar mencintai tanpa alasan.”

Mata Rengganis berair, tapi bibirnya tetap tegas. “Cinta selalu punya alasan. Hanya saja kali ini, biarkan alasannya sederhana: kita ingin jadi manusia.”

.

Kopi Pulang

Nama itu muncul begitu saja ketika Panji menatap halaman kosong dan bekas kandang ayam. Ia membayangkan meja panjang, cangkir keramik tebal yang mudah retak, lampu-lampu kuning yang hangat. “Kopi Pulang,” katanya, seperti menyebut mantra. Warung kecil di sudut kampung, diapit tembok-tembok yang penuh coretan doa.

Ardan meminjamkan tabungan. Rengganis menawarkan untuk mendesain interior—rak buku, poster puisi, foto-foto hitam putih. Jokotole (Samudera) membantu memasang kabel listrik dengan cara yang lebih aman dibandingkan masa mudanya. Kasim datang dengan karung-karung kopi dari petani lokal, mengatakan, “Ini bukan Starbucks, tapi bintang di langit tetap bisa singgah.”

Pembukaan sederhana: tetangga datang dengan sandal jepit dan pertanyaan-pertanyaan ringan. “Laku, Njih?” “Wi-Fi ada?” “Kopi susu pakai gula aren bisa?” Panji berdiri di belakang bar, tangan gemetar pertama kali menuang. Ia belajar bahwa bunyi air panas berjumpa bubuk kopi bisa lebih menenangkan hati dibanding tepuk tangan di ruang rapat.

Suatu malam, anak SMA datang bergerombol. Seragam mereka belum dilepas, obrolan mereka lebih jujur daripada seminar motivasi. Salah satu, yang paling diam, menatap Panji lama-lama.

“Mas, bener ninggalin kantor gede demi buka warung sekecil ini?”

“Iya,” jawab Panji.

“Kenapa?”

Panji mengusap meja, menghilangkan sisa gula. “Karena rumah bukan alamat. Rumah itu arah. Dan aku enggak mau lagi berjalan jauh tanpa tahu arah.”

Anak itu mengangguk. “Aku takut gagal, Mas.”

“Gagal itu alamat sementara,” kata Panji. “Jangan bikin jadi KTP.”

Mereka tertawa, tapi ada sesuatu yang benar-benar berpindah malam itu: beban di dada orang muda itu entah berkurang, atau belajar meletakkan diri di tempat yang lebih tidak menyiksa.

.

“Kadang yang kita cari seumur karier bukan promosi, melainkan kesempatan memaafkan diri.”

.

Jakarta mengetuk pada hari ke empat puluh dua

Email masuk dari firma: subject-nya pendek, isinya panjang. Ajakan kembali, proyek baru, angka-angka yang menggoda seperti kaca berkilat di bawah matahari. “Kamu penting,” kata mereka. “Kami tunggu jawaban.”

Panji tidak marah. Ia berterima kasih. Jakartalah yang memberinya bahasa untuk kuat—meski salah alamat. Ia membuka laptop di meja dapur. Menulis balasan pelan.

Terima kasih. Aku berutang banyak. Tapi untuk pertama kalinya, aku memilih tinggal. Bukan karena kalah. Karena ingin menang di tempat yang tidak mengenal podium.

Ia menutup laptop, keluar ke halaman, melihat langit yang tidak berlagak besar. Di beranda, Rengganis merapikan kursi. “Kamu sudah memutuskan?” tanyanya.

Panji mengangguk.

“Takut menyesal?”

“Banget.”

Rengganis tersenyum. “Kita pelihara saja. Menyesal yang dirawat bisa jadi kebun. Yang dibiarkan bisa jadi hutan.”

.

Surabaya, sebuah jalan pulang yang lain

Sebulan kemudian, “Kopi Pulang” ramai bukan karena promosi, melainkan karena orang datang membawa cerita. Seorang perempuan berkaca mata yang bekerja sebagai manajer bank di Surabaya, datang tiap Sabtu. “Di sini aku ingat caraku bicara pelan,” katanya. Seorang bapak-bapak, bekas sopir truk, menemukan kembali hobinya memahat kayu—ia memajang karya kecilnya di dinding warung; bentuknya hati yang retak tapi utuh.

Suatu Minggu, Panji dan Rengganis ke Surabaya. Mereka berdiri di peron Gubeng, tempat dulu yang dipilih kereta. Kali ini, tidak ada kepergian. Mereka diam, memandangi rel. “Kita bukan melawan kota,” kata Panji. “Kita hanya mencabut izin kota untuk memutuskan cara kita mencintai hidup.”

Rengganis menggenggam tangan Panji. Ada sesuatu yang beres dalam genggaman itu—bukan sempurna, tapi jujur.

.

Jakarta, lagi—dan selalu

Kota lama, seperti mantan yang tidak jahat, tetapi terlalu banyak menyisakan pekerjaan rumah di hati. Jakarta tidak hilang dari Panji. Kadang pada malam-malam hujan, ia merindukan suara lift, aroma karpet kantor, rasa “berarti” yang lahir dari rapat-rapat besar. Ia rindu, dan ia tidak malu.

“Rindu itu bukan undangan untuk kembali,” kata Rengganis. “Rindu itu lampu kota. Kita cukup melihat, tidak wajib mengejarnya.”

Pada hari-hari tertentu, Panji membuka ponsel dan menatap wallpaper lama: foto gedung tinggi berlatar senja. “Terima kasih ya,” bisiknya. “Kamu mengajariku cara bertahan. Sekarang izinkan aku mempelajari cara pulang.”

Ia menutup ponsel, menyalakan kompor kecil, merebus air. Warungnya pelan-pelan menjadi tempat orang membawa pulang hal-hal yang tidak bisa dibungkus: keberanian, tenang, dan kata-kata yang tepat pada waktunya.

.

“Bahagia bukanlah kota yang kita masuki. Ia adalah meja kayu yang kita bersihkan sabar, kursi reyot yang kita betulkan bersama.”

.

Madura, sepotong peta dan riwayat yang disediakan

Suatu sore, Samudera si Jokotole datang membawa peta lusuh Madura. “Kamu harus ke Lombang lagi,” katanya. “Bukan untuk menyeberang. Untuk menatap. Ada pantai yang bekerja seperti cermin. Ia mengembalikan wajahmu, bukan untuk dipuja, melainkan untuk diakui.”

Mereka berempat berangkat: Panji, Rengganis, Ardan, dan Samudera. Mobil menyusuri jalan yang tak meminta gradasi cat baru untuk terlihat indah. Angin membawa asin dan cerita. Sesampai di Lombang, mereka duduk tanpa bicara panjang. Di depan, air menjaga kesetiaannya pada garis.

“Aku dulu sering menunggu di sini,” ujar Samudera. “Menunggu kapal-kapal pulang. Tidak semua kembali. Tapi laut mengajari kita satu hal: gagal bukan akhir dunia, selama ada daratan dan orang yang memanggil namamu dari serambi.”

Panji memejam. Dalam gelap matanya, ia melihat wajah Ibu, sapaan yang terlambat, doa yang tetap sampai meski datang belakangan. Ia melihat meja rapat lama—dan wajah-wajah yang justru ia syukuri. Ia melihat peron Gubeng, dan Rengganis yang kali ini tidak pergi.

“Terima kasih,” katanya pelan—entah kepada siapa. Mungkin kepada semua.

.

“Maafkanlah masa lalumu, karena ia tidak lagi berdaya selain dalam cara kau menatapnya.”

.

Bukan sekadar akhir

“Kopi Pulang” kini punya rak buku sumbangan: novel lusuh, buku resep, pamflet koperasi. Di sudut, papan tulis kecil dengan kapur yang gampang patah. Orang-orang menulis kalimat yang mereka ingin percaya:

“Yang lelah boleh duduk.”
“Yang tidak tahu boleh bertanya.”
“Yang sudah sampai jangan lupa menyapa yang masih mencari.”

Suatu malam, anak SMA yang dulu bertanya kembali datang, kali ini membawa gitar dan sebait lagu. Suaranya belum bulat, tapi niatnya penuh. Setelah selesai, ia mendekat.

“Mas, aku tadi diberi kesempatan magang di kantor besar di Surabaya. Orangtuaku senang. Aku juga. Tapi aku takut… pindah berarti meninggalkan.”

“Pergi tidak selalu berarti mengkhianati,” kata Panji. “Yang mengkhianati itu melupakan.”

“Kalau aku melupakan?”

“Kita bikin aturan,” usul Panji. “Setiap Jumat sore kamu kirim kabar, sesingkat apa pun. Di sini ada kursi yang enggak akan diubah posisi. Kamu tahu harus duduk di mana ketika pulang.”

Anak itu tertawa, matanya basah. “Terima kasih, Mas.”

Sementara itu, email dari Jakarta sesekali masih datang—sopan, menawarkan hal-hal yang dulu dipuja. Panji membalas dengan terima kasih yang tulus. Hidupnya kini bukan tentang menolak atau menerkam, tetapi tentang menimbang, memilih, merawat.

Di malam-malam tertentu, ia naik ke atap rumah—kebiasaan lama yang berpindah alamat. Langit di sini tidak menyilaukan, tetapi cukup untuk mengizinkan seseorang menaruh kepalanya pada sepotong gelap dan berkata: “Aku baik-baik saja, tapi bukan karena tidak apa-apa. Karena kali ini, aku didampingi.”

Kalau kebahagiaan adalah alamat, mungkin ia sesederhana ini: sebuah warung kecil di sudut kampung, suara sendok beradu gelas, kursi kayu yang tak pernah baru, dan orang-orang yang menua bersama tanpa perlu menyembunyikan apa-apa.

Di kejauhan, ibu Panji—mungkin—tersenyum dalam cara langit tersenyum: tak terlihat, tetapi terasa. Anak bungsunya pulang. Bukan hanya ke rumah, tapi ke dirinya sendiri.

Dan kota? Jakarta berdiri seperti semula. Gedung-gedungnya tak pernah mengenal namamu. Tapi kini, kau tak menuntutnya. Kau sudah punya halaman tempat kau dikenal: oleh meja kayu, secangkir kopi, sepasang mata yang kau pilih, dan namamu yang kembali utuh ketika dipanggil pelan dari ambang pintu.

“Pulang bukan sekadar langkah mundur dari ambisi. Ia adalah langkah maju menuju alasan.”

.

.

.

Jember, 2 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenUrban #KelasMenengah #Jakarta #Pamekasan #Pulang #Reflektif #EdukasiEmosional #KopiPulang #Jokotole #Rengganis #JeffreyWibisonoV

Leave a Reply