Lantai Paling Sepi di Gedung Tertinggi

“Lantai paling tinggi bukanlah yang paling megah, tapi yang paling sunyi—karena di sanalah kita benar-benar bertemu dengan diri sendiri.”

.

Jam digital di dinding menunjukkan 22.49. Dari ketinggian lantai 35 di satu gedung perkantoran Sudirman, Jakarta, kota tampak seperti papan sirkuit: arus cahaya meluncur, berhenti, berpindah, seperti sinyal yang kadang lembut, kadang berderik. Hujan sore tadi menyisakan kilau di kaca-kaca, memantulkan spanduk raksasa yang mempromosikan harapan-harapan baru dalam bentuk produk, aplikasi, dan potongan harga.
Di lantai ini, lampu-lampu telah dimatikan kecuali satu kotak nyala: ruang kerja divisi komunikasi korporat. Di sana, Nadira menatap layar yang memutih, kursor berkedip seperti nyala kunang-kunang yang tersesat. Rambutnya diikat asal, gelang logam tipis menempel di kulit pergelangan yang dingin oleh AC. Tangan kirinya menyangga kepala; tangan kanan menggeser pointer, menata kalimat siaran pers untuk peluncuran lini anak perusahaan yang akan digeber minggu depan.

Ia tidak sedang mencintai pekerjaannya. Ia hanya tidak tahu ke mana harus pulang.

Tiga tahun terakhir, hidupnya bergerak dengan tiga kata: target, timeline, tanggal kadaluwarsa. Rapat mingguan terasa seperti sirine ambulans—selalu darurat, selalu ada yang perlu diselamatkan—sementara hidup pribadi terparkir di basement yang gelap. Ia lupa aroma parfum favoritnya. Lupa bagaimana rasanya makan malam tanpa Zoom. Lupa suara sendiri ketika tertawa lepas, bukan tawa yang disetel untuk menutup percakapan.

Lift berdenting pelan. Bayangan pria bagian keamanan melintas, memberi salam dengan dagu. “Lembur lagi, Mbak?” tanyanya.

“Sebentar lagi,” jawab Nadira, tapi ia tahu “sebentar” dalam bahasa kantor bisa berarti satu jam, dua jam, atau semalam.

.

Di antara papan nama dan gengsi

Karier Nadira melesat cepat. Di usia tiga puluh, ia menjadi Corporate PR Lead di sebuah grup multinasional yang menggurita. Emailnya menumpuk seperti bangku-bangku kosong di ruang rapat setelah acara; pesanan rilis media, talk point direksi, Q&A krisis, hingga strategi influencer. Ia menikmati efisiensi—jalur cepat di bandara, lounge dengan kopi spesialti, hotel yang mengenali nama keluarganya setiap check-in. Semua yang dulu ia impikan, datang bertubi-tubi, rapi dalam kalender.

Tapi setiap kali pintu lift tertutup dan wajahnya bertemu pada cermin logam yang buram, selalu ada pertanyaan yang tidak mau pergi:

Ini yang aku mau? Atau ini hanya yang dunia harapkan dariku?

Di pantry, Umar Madi—anak keuangan yang diam-diam menang lomba lari maraton—mencandai, “Dir, kalau kamu resign, separuh investor kita bisa kaget. Siapa yang akan bikin mereka senyum di depan kamera?”

Nadira tertawa sopan. “Kamu terlalu melebihkan. Tugas kita kan cuma… menyusun narasi.”

“Menyusun narasi itu seperti mengatur aliran sungai,” sahut Madi sambil menekan tuas mesin kopi. “Kalau derasnya kebanyakan, kampung di hilir bisa kebanjiran.”

Madi suka metafora. Dan seperti semua metafora yang baik, itu sekaligus menenangkan dan menelanjangi.

.

Rafi, yang dulu datang paling akhir

Di masa-masa magang yang rawan bubar itu, hadir Rafi. Ia bukan hanya mantan. Ia adalah satu-satunya yang pernah tahu sisi rapuh Nadira—sisi yang tak pernah ditunjukkan pada KPI atau dewan komisaris. Rafi tahu kapan Nadira pura-pura kuat. Ia datang ketika Nadira dibentak direktur lewat telepon, membawakan kopi jam dua pagi saat revisi dokumen hukum seperti mengganti ban mobil di tengah hujan.

Tapi itulah Rafi yang kemudian pergi.
“Aku ingin hidup yang lebih waras,” ucapnya suatu malam di teras kos lama yang kini sudah jadi kafe. “Bukan hanya kerja, validasi, dan pencitraan.”
Nadira menatap lampu-lampu kendaraan yang memanjang seperti larik-larik puisi. “Aku tidak sedang mencari panggung,” bantahnya pelan.
“Kau tidak, tapi panggung mencari kamu,” kata Rafi. “Dan panggung itu mengusir semua yang lain.”

Rafi pindah ke Bali. Membuka kedai kecil di Canggu, menamai ruangannya “Ruang Tumbuh”. Di media sosial, ia memotret daun basil yang baru dipetik, gerimis di bibir cangkir, atau tulisan tangan pelanggan di serbet. Nadira tidak pernah mengirim pesan. Cukup membuka halaman Rafi tengah malam, memastikan laki-laki itu masih ada, masih hidup dalam ritme yang tidak membahayakan jantung.

.

Burnout tidak selalu meledak

Kelelahan tidak selalu datang sebagai ledakan. Ia merayap seperti jamur yang tumbuh di dinding: diam, gelap, bertambah. Nadira menyadarinya pada hal-hal sepele. Lupa kata sandi email dan menangis di toilet karena formulir lupa-sandi menanyakan “nama hewan peliharaan pertama” yang bahkan tidak pernah ia punya. Nasi goreng pantry terasa tawar. Lagu-lagu lama yang dulu menemani skripsi tidak lagi membangkitkan apa pun.
Ia menyusun to-do list dengan kotak yang rapi, spidol warna-warni; setiap centang membuatnya semakin kosong, seperti menutup jendela satu per satu sampai ruangan tinggal gelap.

Suatu siang, di taksi daring dari Kuningan ke Senayan, ia memandangi papan nama yang bersaing di ketinggian; setiap huruf kapital seperti mengacungkan telunjuk. Supir yang memperkenalkan diri sebagai Hamzah bertanya, “Mbak kerja di situ?” sambil menunjuk gedung kaca yang baru selesai.
“Iya,” jawab Nadira.
“Keren,” kata Hamzah. “Gedungnya tinggi sekali. Tapi saya dengar, makin tinggi makin sedikit orangnya.”
Nadira tersenyum kecil. “Betul, Pak. Makin tinggi makin sunyi.”

.

Taman kosong di tengah beton

Minggu pagi, Jakarta bagai menarik napas. Jalanan pelan. Suara sapu dari satpam komplek menemu dengan kicau burung yang entah datang dari mana. Nadira, untuk pertama kali dalam enam bulan, berjalan tanpa ponsel di tangan. Ia menyeberang ke taman kecil dekat Stasiun MRT Haji Nawi, duduk di bangku semen yang bercap daun.

Di seberang, seorang bocah—menyebut dirinya Maya saat ibunya memanggil—menggambar dengan jari di tanah lembab. Bentuknya tidak jelas; kadang seperti rumah, kadang perahu, kadang wajah. Maya tertawa pada inovasinya sendiri. Nadira memandangi tanpa ingin merekam. Bahagia, ternyata, tidak selalu harus diunggah. Bahagia bisa berupa telapak tangan yang kotor tanah dan suara tawa yang merembes ke pori-pori pagi.

Seorang perempuan berhijab, mungkin ibunya, duduk tak jauh. “Maya, cuci tangan ya,” katanya.
“Sebentar,” jawab Maya, “rumahnya belum ada jendela.”
Nadira tersenyum. Sejak kapan jendelanya dihapus dari rumahnya sendiri?

.

Notifikasi yang tak ditunggu

Malamnya, ketika membuka email kantor, satu nama menyala—dengan nada yang membangunkan sesuatu yang lama. Rafi Ramadhan — Undangan Soft Launching Ruang Tumbuh.
Subjek: Mungkin kamu ingin melihat hidup yang lain, Nad.
Jantungnya berdebar, bukan gempita, melainkan rasa direbut yang lembut. Tangannya dingin.

Ia membaca pelan. Rafi menulis tentang ruang kecil untuk pelatihan barista yang gratis tiap Jumat, perpustakaan mini dari buku sumbangan, dan pasar sayur yang menggandeng petani di Bedugul. Tidak ada kalimat merayu. Tidak ada ajakan kembali. Hanya tautan ke siaran pers sederhana di blog komunitas.
Nadira menandai “belum dibaca”, menutup laptop, mematikan lampu. Dalam gelap, ia mendengar suara AC dan napas sendiri.

.

Sesi coaching yang mengubah perspektif

Kantor mengumumkan well-being week. Posters-nya rapi, font-nya sejuk, warna-warnanya selaras. Ada sesi mindfulness, ada yoga chair, ada coaching lima belas menit dengan seorang fasilitator bernama Karim.
Nadira datang karena tidak bisa menolak tautan dari HR.

Di ruang rapat tanpa jendela, Karim bertanya tanpa tergesa, “Nadira, kapan terakhir kali kamu beristirahat, benar-benar istirahat? Bukan scroll, bukan tidur karena lelah tumbang?”
Nadira tertawa kering. “Saya… lupa.”
Karim menatapnya, mata yang tidak menghakimi. “Banyak profesional di usia emas mengira mereka sedang membangun karier. Padahal, mereka sedang menggali kuburan kelelahan.”
Kalimat itu jatuh seperti batu ke sumur.
“Apakah kamu benar-benar hidup,” lanjutnya, “atau kamu hanya menghindari hal yang paling kamu takutkan: sendirian, tidak relevan, tidak dibutuhkan?”

Seperti menekan tombol yang selama ini dipasangi segel, air mata Nadira mengalir. Bukan air mata marah, bukan pula air mata kalah; lebih seperti hujan yang akhirnya turun pada awan yang terlalu lama menahan.

“Kalau aku berhenti berlari,” katanya nyaris berbisik, “apa yang tersisa dariku?”
“Orang yang kamu tinggalkan bertahun-tahun,” jawab Karim, “yang duduk diam menunggu di bangku taman kecil, menatap jendelanya yang belum kau pasang.”

.

Email balasan paling singkat

Tiga hari setelah undangan itu, acara soft launching lewat. Ruang Tumbuh mengunggah foto potong pita dengan pita seadanya, empat anak magang barista berdiri canggung, Rafi yang tampak lebih kurus tapi matanya jernih.
Nadira membuka email Rafi kembali. Kali ini ia mengetik.

Terima kasih sudah mengingatku. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu. Kali ini, aku juga akan membuat pilihanku sendiri.
Ia berhenti. Menghapus tiga kata terakhir. Mengetik kembali: Kali ini, aku memilih diriku sendiri.
Ia kirim.

Tak ada balasan malam itu. Dan, aneh, ia tidak menunggu.

.

Pilihan yang tidak harus spektakuler

Nadira tidak resign. Ia tidak pindah ke Bali. Ia tidak membuka kedai kopi. Ia memilih hal yang lebih sulit: tetap tinggal, tapi membangun pagar.
Ia memasang auto-reply setelah jam sembilan malam: “Saya akan membalas email Anda pada jam kerja, kecuali untuk urusan krisis.” Ia menyapa tubuhnya di pagi hari dengan lari kecil mengelilingi blok, bukan lari darurat mengejar presentasi. Ia membaca lagi—bukan tentang reputasi merek, melainkan buku sastra yang sempat aus di raknya. Ia menolak panggilan rapat yang tidak perlu. Ia belajar kata-kata yang membuat garis: “cukup,” “nanti,” “tidak sekarang.”

Madi melihat perubahan itu paling dulu. “Kok kamu pulang tepat waktu terus?”
Nadira mengangkat bahu. “Aku sedang bereksperimen.”
“Eksperimen apa?”
“Eksperimen hidup lebih pelan agar bisa mendengarnya.”
“Suara siapa?”
“Suara yang dulu pernah kubungkam.”

Suatu malam, lift berhenti di lantai 18. Pintu terbuka, seorang staf baru, Wulan, berdiri ragu membawa tumpukan proposal. “Mbak Nadira…”
Nadira menahan pintu. “Ayo.”
Di dalam, Wulan menghela napas putus asa. “Aku takut salah terus. Takut nggak dianggap.”
Nadira menatap angka-angka menyala hijau di panel. “Takut itu biasa. Yang berbahaya adalah kita belajar menenangkan takut orang lain sampai lupa menenangkan takut kita sendiri.”

Pintu terbuka di lobi. Aroma karpet basah menyambut. Di kaca depan, kota malam seperti tempat rekreasi yang tidak pernah tutup. Mereka berjalan berdampingan, tak saling berjanji apa-apa.

.

Rapat krisis dan jendela yang akhirnya terpasang

Suatu pagi, krisis datang seperti kabar kematian lewat telepon: cepat, singkat, minta jawaban. Produk anak perusahaan bermasalah. Thread di media sosial berubah menjadi kawah. Mention merebus, tagar menjerit.
Seluruh jajaran berkumpul. Direksi memadatkan dahi. Ada yang ingin melawan narasi, ada yang menyarankan diam.

Nadira meminta waktu. “Beri saya tiga puluh menit,” katanya tenang. Ia membuka jendela di laptop dan jendela di pikirannya. Di dinding, jam digital beranjak ke angka-angka ganjil.
Ia menelepon Hamzah—bukan supir daring, tapi kepala gudang yang dulu pernah menolongnya mendorong kotak-kotak merchandise. Ia menelpon Madi, memetakan jalur dana yang bersih. Ia menelpon dua jurnalis yang selama ini ia hormati, bukan karena mereka bisa dibeli, melainkan karena mereka bisa dipercaya.

Siaran pers yang keluar jam 11.17 tidak sempurna, tapi jujur. Ada kalimat maaf yang tidak ditutupi padanan kata. Ada alur tindak lanjut yang terbuka untuk diawasi publik. Ada nomor kontak yang bisa dihubungi selain chatbot.

Usai press conference, Nadira mundur ke pojok, minta izin untuk berjalan sebentar. Ia menuju jembatan penyeberangan—memandang sungai yang sering dibully sebagai drainase gagal. Angin siang berputar seperti kipas raksasa. Di kejauhan, awan menumpuk di atas kota. Ia merasa jendelanya terpasang kembali: jendela untuk memandang hidup seperti apa adanya, bukan seperti brosur.

.

Sebuah pesan suara dari Bali

Malamnya, di apartemen yang sempit tapi cukup, ponselnya menyala. Pesan suara. Rafi.

“Terima kasih sudah datang—eh, maksudku, terima kasih sudah menulis,” suara itu terdengar kelelahan sekaligus hangat. “Aku senang kamu memilih dirimu sendiri. Di sini, Ruang Tumbuh seusai. Ada anak magang yang salah menuang susu, cappuccino jadi laut bergelombang. Kami tertawa. Aku kira bahagia itu soal ukuran gelombang. Ternyata soal teman tertawa. Jaga dirimu ya.”

Nadira tersenyum, meletakkan ponsel menghadap meja. Ia tidak membalas malam itu. Tidak ada yang mendesak. Bahagia bisa menunggu di ujung senyum yang tidak dikejar.

.

Ruang rapat, ruang kelas, ruang doa

Waktu berjalan dengan ritme yang lebih manusia. Nadira mengajar sebulan sekali di rumah singgah milik komunitas tetangga, mengajak anak-anak remaja menulis opini singkat tentang kota. “Kota adalah rumah dengan banyak jendela,” tulis seorang anak. “Kadang kita harus menutup satu agar bisa melihat yang lain.”
Ia menghadiri yoga chair di kantor tanpa pamer selfie. Ia memulai kebiasaan belanja dari pedagang sayur di bawah flyover. Ia menyapa satpam dengan nama. Ia merawat tanaman lidah mertua di depan pintu apartemen kecilnya.

Suatu Jumat, ia berhenti di mushola kantor yang biasanya ia lewatkan. Seorang cleaning service bernama Maya—kebetulan sama dengan bocah di taman—sedang mengganti taplak. “Mbak capek?” tanyanya.
Nadira mengangguk.
Maya tersenyum. “Capek itu tanda kita masih manusia.”
Kalimat sederhana itu meneduhkan. Di kota yang sering menyuruh orang menjadi mesin, ada juga orang yang mengingatkan untuk tidak kehilangan sendi.

.

Pulang paling larut yang tidak lagi menyakitkan

Malam kembali menjemput. Di lantai 35, lampu menyala untuk terakhir kali sebelum dipadamkan. Nadira merapikan meja. Di notes di laptop-nya, ia menulis:

Aku bukan kehilangan Rafi. Aku kehilangan bagian diriku sendiri selama bertahun-tahun. Dan sekarang aku menemukannya lagi—di bangku taman, di suara Karim yang bertanya pelan, di tangan Maya yang kotor tanah, di tawa Madi atas metafora sungai, di sapa Hamzah yang mengantar pulang. Aku tidak butuh panggung yang lebih tinggi, hanya jendela yang lebih jernih. Aku tidak butuh banyak untuk merasa penuh; cukup diriku sendiri, yang utuh.

Ia mematikan layar. Kota di bawah masih berjalan, tapi ia tidak lagi merasa tertinggal. Lift mengantarnya turun, tiap angka menyala seperti doa yang pelan: 35, 34, 33…
Di lobi, hujan turun lagi. Nadira membuka payung, melangkah ke trotoar yang licin, menyeberang bersama pejalan lain yang membawa kisahnya masing-masing. Di halte, bus datang tepat waktu.

Di kursi paling belakang, ia bersandar. Mengeluarkan buku yang baru setengah bab. Membaca dengan tenang, seperti seseorang yang akhirnya mengizinkan dirinya pulang. Bukan ke sebuah alamat, melainkan ke ruang dalam yang selama ini tak sempat disalami.

Karena pada akhirnya, lantai paling tinggi bukan tempat orang menaklukkan dunia, melainkan tempat orang berdamai dengan dirinya sendiri. Dan ketika lampu-lampu kantor padam, yang tersisa bukanlah gelar, bonus, atau gelar lain di belakang nama, melainkan keberanian untuk berkata, “cukup.”
Cukup untuk hari ini. Cukup untuk menjadi manusia yang tak lagi membuktikan apa-apa.

Dan besok, saat matahari merangkak di antara gedung, Nadira akan kembali bekerja—bukan sebagai hamba sirine, melainkan sebagai penjaga jendelanya yang baru.

.

“Kadang, menaiki tangga karier bukan soal sampai paling atas, melainkan tahu kapan harus berhenti di lantai yang membuat kita tetap manusia.”

“Bahagia bukanlah panggung yang kita sewa, melainkan ruang kecil yang kita rawat—tempat batas dan harapan saling bertegur sapa.”

.

.

.

Jember, 24 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #KehidupanKota #Burnout #Healing #CorporatePR #SelfDiscovery #Jakarta #Storytelling #NamakuBrandku

Leave a Reply