Langkah Tak Tertulis

“Hidup bukan hanya tentang jejak yang sudah tertinggal, melainkan tentang langkah yang belum kau tempuh. Masa depan menunggu untuk ditulis—oleh keberanianmu sendiri.”

.

Malam meneteskan sisa hujan di atas jalan Kuningan yang berkilau seperti kaca. Lampu-lampu gedung memantul di aspal, membelah bayangan orang-orang yang bergegas mengejar waktu. Di antara mereka, Raden berjalan sendirian, membawa tas ransel tipis dan sisa lelah yang mengeram di bahunya. Ponselnya bergetar. Pesan dari Wirabrata: Besok jam 10. Ballroom Lantai 5. Finalisasi. Kita butuh tandamu.

Raden menatap layar beberapa detik lebih lama dari yang diperlukan, lalu memasukkan ponsel ke saku. Di ujung trotoar, tukang sate Madura mengipas bara yang menyala jingga. Asapnya naik, mencampurkan cuka, kecap, dan hujan ke dalam satu aroma yang mengingatkan Raden pada rumah—kampung pesisir di Sumenep, tempat ia, Wirabrata, dan Siti pernah bertumbuh, memunguti mimpi seperti kerang di antara ombak kecil dan sisa jaring nelayan.

Ia menyeberang. Kota ini tak pernah benar-benar memberi ruang untuk ragu. Lampu lalu lintas berganti terlalu cepat. Orang-orang berbaris masuk ke MRT, pintu menutup seolah-olah tak ada yang boleh tertinggal. Dan di antara desakan arus itu, Raden merasa dirinya mengecil: hanya satu dari sekian juta nama yang sedang mencatatkan kehadiran, namun diam-diam kehilangan arah.

.

Dulu, malam di Sumenep tidak seribut ini. Kerlip lampu hanya dari warung kopi dan perahu nelayan yang hendak melaut. Wirabrata—yang kini dikenal di Jakarta sebagai Wira—suka berdiri di dermaga, melempar batu ke air, menghitung lingkaran yang meluas. “Lihat, Den. Lingkaran pertama kecil. Tapi semakin jauh, ia menyentuh pantai lain,” katanya. “Kita harus jadi batu itu.”

Raden mengangguk, percaya. Siti, yang rambutnya selalu ia kepang sendiri di serambi rumah, tertawa mendengar perumpamaan Wira. “Batu yang baik akan memilih waktu jatuhnya,” katanya. “Agar tak melukai ikan, agar tak mengganggu jaring.” Ketiganya masih remaja saat itu, percaya pada janji-janji kota besar seperti ayat suci yang baru mereka temukan.

Ayah Raden—seorang guru di madrasah—pernah berkata, “Nak, kota menguji dua hal: kesabaranmu dan niatmu. Kesabaran, karena kau akan selalu menunggu giliran. Niat, karena kau mudah lupa untuk apa memulai.” Raden menyimpan kalimat itu seperti biji di saku, berharap suatu saat bisa ia tanam ketika menemukan tanah yang tepat.

.

“Jangan mengukur harimu dari yang hilang; ukurlah dari yang kau benihkan.”

Kalimat itu ditulis Siti di sebuah cangkir kertas saat mereka bertemu kembali selepas bertahun-tahun, di sebuah kafe kecil di Menteng. Cangkir itu ia dorong pelan ke hadapan Raden, seperti menyalurkan sesuatu yang tak bisa ia ucapkan.

“Semalam aku ke bantaran Ciliwung,” kata Siti. “Anak-anak di sana baru saja menanam bibit cabai di pot bekas cat. Mereka kira kampungnya akan tetap ada sampai cabainya berbuah.”

Raden meremas cangkir itu lembut. “Kau sudah dengar tentang proyek Riviera?”

“Yang akan merapikan bantaran sungai jadi apartemen, kafe, jogging track, dan memindahkan warga ke rumah susun tiga kecamatan dari situ?” Siti mengangguk. “Aku dengar kau yang diminta menandatangani persetujuan teknisnya.”

Raden tersenyum pahit. “Wira yang meminta. Katanya, ini ‘kali pertama’ kita menjadi batu yang dilempar ke air, Den. Lingkarannya akan besar.”

“Lingkaran untuk siapa?” Suara Siti pelan, tetapi menusuk.

Kafe penuh obrolan dan bunyi mesin espresso. Di luar, kendaraan memadat dengan kesibukan yang tak kenal belas kasihan. Dalam kebisingan itulah Raden mendengar suara detak jantungnya sendiri: cepat, gelisah, seolah-olah ada sesuatu yang akan ia tinggalkan tanpa sempat berpamitan.

.

Raden sudah lama melihat bagaimana Wira bekerja. Wira lincah di meja rapat dan tak kalah gesit di lapangan. Ia paham bahasa investor, juga bahasa pejabat kecamatan. Ia tahu cara menundukkan sopir truk sekaligus merangkul influencer. Dan ia selalu ingat rumah: menggaji sepupunya, membiayai kuliah adiknya, mengirim uang untuk perbaikan mushala di kampung. Ambisi Wira tidak pernah tampil sebagai kejahatan; ambisi itu datang seperti hujan lebat—memaksa, tak bisa ditolak, tetapi menyuburkan sesuatu.

Namun di balik semua itu, ada angka-angka yang tak pernah mau berkompromi. “Relokasi ini tak bisa kita tunda,” ujar Wira pada Raden beberapa hari sebelumnya. “Kita gantikan kayu-kayu reyot dengan balkon kaca, atap seng dengan peneduh pohon tabebuya. Kita beri jogging track di samping air yang disaring. Ini modernisasi.”

“Dan manusia yang sudah lama tinggal di sana?” tanya Raden.

“Kita beri hunian layak, tarif terjangkau, dekat stasiun,” jawab Wira ringan. “Mereka tetap bisa bekerja. Yang penting kota bergerak maju.”

Raden tak mampu menjelaskan bahwa “maju” dalam bahasa Wira berbeda artinya dengan “rumah” dalam bahasa Siti. Kota bergerak seperti kereta panjang—berderu, tak peduli apakah ada yang belum sempat naik.

.

Malam itu Raden tak segera pulang. Ia naik KRL ke arah Manggarai, pindah ke kereta lain menuju Pasar Minggu, lalu turun dan berjalan menyusuri trotoar yang tidak rata. Ia ingin menenggelamkan hati dengan bunyi roda besi, ingin mengusir bayangan Siti yang menatapnya seperti menatap seseorang yang akan menghilang.

Di kamar kosnya yang sempit di Tebet, Raden memutar pesan suara lama dari ayahnya, direkam bertahun-tahun lalu sebelum lelaki tua itu meninggal. “Raden,” suara itu lirih, “jika suatu hari kau bingung memilih, lihatlah siapa yang paling takut kehilanganmu. Karena orang itulah yang akan mendoakanmu tanpa henti.” Raden memejamkan mata. Siapa yang paling takut kehilangannya? Ayah sudah tiada. Emmak menua di kampung. Wira takut kehilangan kesempatan. Siti… takut kehilangan kampung orang lain yang baru ia kenal seminggu, namun ia rawat seperti keluarganya sendiri.

.

Keesokan paginya Raden datang ke bantaran Ciliwung yang disebut Siti. Mentari setengah memantul di permukaan air yang keruh. Apa yang oleh sebagian orang disebut kumuh terlihat baginya sebagai halaman rumah, dengan kursi plastik biru, jemuran baju, radio kecil yang memutar dangdut lawas. Seorang anak—menurut Siti bernama Zuba—menggenggam mobil-mobilan dari kayu. “Om kerja di mana?” tanya Zuba tiba-tiba.

“Di kota,” jawab Raden spontan.

“Di sini juga kota,” sahut Zuba, menyipit menantang. Raden tersenyum, merasa didekap oleh kebenaran yang dikatakan tanpa beban itu.

Siti mengajak Raden masuk ke sebuah rumah panggung yang disangga oleh pondasi seadanya. Di dinding tergantung peta sungai yang digambar tangan—garis biru goyah, di kiri-kanannya diberi catatan: “Warung Bu Ningsih”, “Lapak Pak Udin”, “Saung Belajar”. Ada juga gambar pot kecil dengan keterangan “cabai akan berbuah di sini”.

“Riviera ingin menutup semua ini,” kata Siti pelan. “Mereka menyebutnya pembaruan.”

Raden mengusap peta itu dengan ujung jari—seolah-olah melintasi sungai dengan kulitnya sendiri. Dalam gemuruh air yang menampar kaki tiang, ia melihat wajah Wira; dalam warna spidol yang pudar, ia melihat wajah Siti. Ia rasa hatinya berdiri di dua tepi yang tak punya jembatan.

.

Malam sebelum rapat final, Wira mengajak Raden ke sebuah rooftop di Sudirman. Angin tinggi mengusir lembab kota. Lampu-lampu terasa dekat, seperti bintang yang mau dipegang. “Kau ingat, Den,” kata Wira, menuang kopi ke cangkir, “dulu kita ingin sampai di sini. Dulu kita—kau dan aku—berjanji akan berdiri setinggi orang kota.”

Raden membiarkan kalimat itu berjalan sendiri. “Aku ingat.”

“Besok kita tanda tangan. Setelah itu, kau akan memimpin unit sosial. Nah, di situlah kau berperan. Relokasi akan mulus kalau kau yang bicara. Siti? Ia idealis. Tapi kau bisa menjembatani.”

Raden memandang gelasnya—cairan gelap yang memantulkan wajahnya sendiri. “Apa yang paling kau takuti, Wira?”

Wira tertawa kecil. “Kalah cepat. Kota ini tidak menunggu. Kalau kita tidak berlari, orang lain yang memutuskan. Dan mereka tak akan mengingat Sumenep, Den. Mereka tidak akan mengingat kita.”

Raden menelan ludah. Di benaknya, suara ayah menyejukkan: “Yang tak menunggumu bukan berarti jalanmu bukan di sana. Mungkin kau diminta membuka jalan lain.”

.

“Yang ditakdirkan kuat bukan yang tak pernah roboh, melainkan yang tahu berdiri lagi pada tanah yang benar.”

Ballroom Lantai 5 dipenuhi orang-orang dengan jas rapi, ponsel berdering lembut, dan gelas-gelas tinggi yang berkeringat. Presentasi telah selesai. Investor memuji. Seorang pejabat daerah menyebut proyek itu sebagai “mimpi yang mewujud”. Saat itulah giliran Raden—tanda tangannya menjadi syarat terakhir agar urusan sosial “legal” di mata publik.

Wira berdiri di sampingnya, menatap dengan mata seorang saudara, seorang pemimpin, sekaligus seorang yang takut tak kebagian tempat. Siti ada di baris kursi belakang, memegang map berisi alternatif desain yang ia dan beberapa arsitek muda susun semalam: revitalisasi in-situ, ruang publik berlapis yang memanfaatkan struktur rumah panggung, sistem pengolahan air sederhana yang bisa dikelola warga. Biayanya lebih rendah, risiko gejolaknya lebih kecil, keuntungan investor berkurang, tetapi kota—dengan cara paling manusiawi—akan bergerak.

“Raden,” bisik Wira, “kau dan aku.”

Raden menatap pulpen di tangannya. Di dalam tinta, ia melihat lingkaran yang dilemparkan Wira bertahun-tahun lalu di dermaga. Lingkaran itu menyentuh pantai lain, ya. Tapi ia juga melukai ikan yang berenang tenang. Raden mengembuskan napas pelan.

“Aku tidak bisa,” katanya.

Hening turun seperti hujan pertama. “Apa?” Wira memicing, seakan-akan belum belajar kosakata penolakan dari Raden.

“Aku tak bisa menandatangani. Bukan karena aku tidak percaya kau bisa menjalankan proyek ini, Wira. Tapi karena aku percaya kota ini tidak hanya milik mereka yang kuat. Ada orang-orang yang tak terlihat dari rooftop—namun mereka yang membuat kota tetap bernyawa.”

Raden menaruh pulpen. Wira menegang, sebutir keringat jatuh dari pelipisnya. Investor berbisik-bisik. Pejabat daerah berdehem. Siti menunduk—bukan karena kalah, melainkan karena lega.

Wira menarik Raden ke lorong. “Kau gila? Ini kesempatan kita—kesempatan!*”

“Kesempatan apa yang membuat kita kehilangan cara memandang manusia?” Raden balas. “Kita berangkat dari kampung yang kecil. Mengapa sesampai di kota kita lupa mengapa ingin besar?”

Wira membalas dengan tatapan yang tak pernah Raden lihat sebelumnya—tatapan orang yang diserang dari belakang. “Aku cuma… aku tidak mau kembali menjadi kecil,” katanya lirih.

Raden menepuk bahunya. “Kau tidak kecil. Tapi mungkin caramu menjadi besar berbeda dari caraku.”

Itu pertemuan terakhir mereka sebagai rekan. Setelah itu, kabar beredar: Raden mengundurkan diri. Media memuat berita pendek tentang “pekerja sosial menolak proyek prestisius”. Di linimasa, orang berdebat. Di kampung bantaran sungai, anak-anak kembali menyiram cabai di pot bekas cat.

.

Menganggur di Jakarta adalah mendengar jam dinding berdetak terlalu keras. Tabungan Raden menipis, dan telepon dari Emmak mulai sering datang. “Raden, kabarmu nambâ?” tanya Emmak dalam suara Madura yang kental. “Emmak ndâpè ajunan dhâ’ dâ’ ka’mma?”

“Tak apa, Mak,” jawab Raden. “Raden abâ’ lâbâ’ kabhâ’—Raden baik.” Ia tak sanggup berkata lebih, takut suara ibunya menetes menjadi air mata di ujung telepon.

Siti datang membawa kopi dan sekuat dengar. “Kalau kau mau, ada lembaga yang butuh konsultan untuk kerja-kerja komunitas,” katanya. “Di Surabaya. Gajinya tak besar, tapi kau bisa hidup. Dan… mungkin kau akan bertemu versi dirimu yang lebih jernih di sana.”

Raden tersenyum. “Kau ikut?”

“Aku akan bolak-balik. Jakarta masih butuh aku.”

Malam itu, sebelum mematikan lampu, Raden menulis satu kalimat di buku catatannya: Masa depan bukan lorong gelap; ia cermin yang menunggu kita berani menatap. Ia tertidur dengan perasaan sangat lelah, namun untuk pertama kalinya setelah sekian lama, lelah itu terasa seperti awal, bukan akhir.

.

Surabaya menyambut dengan panas yang jujur. Udara siang menempel di kulit seperti genggaman berjanji. Di Taman Bungkul, Raden duduk bersama remaja-remaja yang membawa gitar dan mimpi. Mereka menamakan ruang kecil di pinggir taman itu Ruang Tak Tertulis. Lantai semen sederhana, rak buku dari kayu bekas, kipas angin yang kadang ngos-ngosan. Mereka mengadakan kelas menulis, fotografi jalanan, desain poster kampanye lingkungan, kadang kuliah WhatsApp tentang bagaimana menggunakan media sosial untuk menghimpun donasi banjir.

Raden tak menyangka, yang paling membuatnya bahagia bukan proyek besar, melainkan suara tawa yang kembali sehat. Sore-sore, mereka naik bus kota ke Kenjeran, memotret langit memerah, membeli lontong kupang, membicarakan masa depan dengan kata-kata yang lebih ringan. Sesekali Siti datang, mengisi kelas “arsitektur untuk kampung”. Siti berjalan menyusuri gang seperti menyusuri map di dadanya sendiri. Anak-anak memanggilnya “Bu Siti”—Siti menggoyang-goyangkan telunjuk, “Jangan pakai ‘bu’. Siti saja.”

“Cinta yang sehat tidak memaksa arah; ia menuntun langkah.”

Suatu sore, kabar mengejutkan datang lewat berita singkat: proyek Riviera dihentikan sementara. Ada audit, ada pertanyaan tentang proses, tentang angka, tentang janji fasum dan fasos yang menguap. Wira tidak menghubungi Raden. Bukan karena benci, Raden duga, melainkan karena terlalu letih untuk menjelaskan. Dalam hati yang jauh dihaluskan oleh jarak, Raden mendoakan Wira: semoga lingkaran yang ia buat benar-benar menyentuh pantai yang ia dambakan.

Raden menulis pesan tak terkirim di ponselnya: Wira, kau akan baik-baik saja. Kita tidak pernah jadi batu yang sama. Tapi kita tetap air yang bergerak ke laut yang sama. Pesan itu dibiarkan di folder draf, seperti doa yang sudah menemukan alamatnya tanpa perlu tukang pos.

.

Suatu malam, listrik padam di Ruang Tak Tertulis. Anak-anak remang-remang menyalakan ponsel sebagai lampu. Seorang anak bernama Rahmad membacakan puisi yang baru ia tulis tentang ayah yang pulang terlalu malam. Di akhir bait, suara Rahmad pecah. Raden menepuk bahunya.

“Kau tahu, Mad,” katanya, “puisi yang baik bukan karena kata-katanya indah. Tapi karena ia mau menampung air mata tanpa merasa basah.”

Rahmad mengangguk, dan seluruh ruangan seperti mengerti bahwa puisi dan kota sama-sama membutuhkan orang yang bersedia menjadi ember—menadah, bukan melimpahkan.

.

Setahun berlalu. Ruang Tak Tertulis mulai dikenal kecil-kecil. Beberapa orang datang untuk berbagi; seorang barista mengajar meracik kopi, seorang programmer mengajar membuat situs sederhana, seorang jurnalis mengajar mengecek fakta. Raden membuat kelas “menulis surat kepada masa depan”. Mereka duduk melingkar, menulis kepada diri lima tahun mendatang.

Raden menulis: “Kau mungkin akan bertemu orang-orang yang kelak lebih berarti dari siapa pun yang kau kenal hari ini. Jangan takut membuat tempat bagi mereka.” Ia tersenyum. Di ujung kalimat, ia menambahkan: “Jika kau bertemu Siti dalam lima tahun itu, jangan lupa berterima kasih.”

Malamnya, Siti mengajaknya ke jembatan di atas Kalimas. Air berkilat membawa pantulan lampu. “Aku akan pindah ke Jember beberapa bulan,” kata Siti tiba-tiba. “Ada proyek komunitas di tepi sungai, mirip ini. Aku perlu belajar lebih dekat dengan alam, dengan tanah.”

“Jember?” Raden menahan kaget. “Jauh.”

Siti tertawa kecil. “Kau yang mengajariku, Den. Masa depan dibangun dari langkah yang belum tertulis. Ini mungkin langkahku.”

Raden menatap sungai. Ada rasa hilang yang lembut, seperti angin yang lupa menutup pintu. “Apakah kita…?” Ia tak meneruskan.

Siti menatapnya—mata yang mengandung musim kemarau dan musim hujan sekaligus. “Kita adalah orang-orang baik yang saling menjaga jarak aman agar dapat terus berjalan,” katanya pelan. “Jika suatu hari jarak itu memendek, biarkan itu terjadi tanpa paksaan.”

Mereka tertawa, kemudian berdiam. Di bawah mereka, air mengalir. Di atas, kota bergumam dengan ritme yang tak pernah usai.

.

Beberapa bulan kemudian, Ruang Tak Tertulis mengadakan pameran kecil: foto-foto kampung kota, surat-surat untuk masa depan, pot-pot cabai yang dibawa dari bantaran Ciliwung oleh Siti sebelum ia pergi. Seseorang berdiri di sudut ruangan, memperhatikan dengan tatapan lama yang baru.

“Wira,” sapa Raden, tercengang.

Wira lebih kurus, tetapi tatapannya lebih tenang. Mereka berpelukan seperti menanggalkan beban yang tak lagi perlu disandang. “Aku datang sebagai tamu,” kata Wira. “Aku dengar tempatmu dari Siti. Ia bilang, jika aku ingin memperbaiki arah, datanglah ke sini dan dengarkan.”

Mereka duduk di teras. Wira menceritakan segala yang tak dimuat media: protes warga, rapat-rapat yang berubah jadi debat, pemegang saham yang memandang kota seperti excel yang sempurna. “Aku tidak mau lagi memimpin sesuatu yang menuntutku mengerti manusia hanya dari presentasi,” katanya.

Raden merasakan sesuatu yang hangat menanjak di dadanya. “Kau akan ke mana?”

“Pamekasan dulu. Emmak rindu,” jawab Wira, tertawa. “Setelah itu aku belum tahu. Mungkin aku akan membuka koperasi kecil. Atau bekerja pada orang-orang yang tidak takut jika aku pulang kampung.”

Raden menatap wajah Wira yang diterangi lampu kuning. Lingkaran di dermaga Sumenep tiba-tiba terasa sangat dekat. “Kau tahu, Wira,” ucapnya pelan, “beberapa perpisahan adalah jalan pulang yang menyamar.”

Wira mengangguk. “Dan beberapa pertemuan adalah jembatan yang tak sengaja kita bangun.”

Mereka tertawa bersama. Di dalam ruangan, seorang anak memainkan gitar, menyanyikan lagu lama tentang laut dan angin. Raden berpikir, mungkin benar kata Siti: cinta yang sehat tidak memaksa arah. Persahabatan pun demikian. Ia bukan tali yang menjerat, melainkan jalan setapak yang selalu ada ketika kita butuh pulang.

.

“Masa depanmu bukan di belakang punggung orang lain, melainkan di bawah telapak kakimu.”

Suatu pagi, Raden mengantar Siti ke stasiun. Kereta ke Jember berangkat pukul 08.05. Mereka berdiri di peron, menatap rel yang memanjang seperti paragraf tanpa titik. Siti memegang cangkir kertas—kebiasaan lama yang tak ia tinggalkan. Di cangkir itu, ia menulis: “Pergilah yang baik, niscaya kau akan menemukan jalan yang baik.” Ia menggambar lingkaran kecil di bawah kalimat, menambah lingkaran lain yang lebih lebar, dan satu lagi yang menyentuh tepi cangkir.

“Untuk Wira,” kata Siti. “Kau yang antar nanti.”

Raden mengangguk. Kereta datang—derit besi, napas panjang mesin, bunyi pintu yang siap menutup. Siti memeluk Raden cepat, kemudian masuk. Raden berdiri di situ sampai kereta hilang, sampai iklan di pengeras suara terdengar seperti doa, sampai ia ingat bahwa dalam semua kisah yang ia tulis, perpisahan hanyalah cara lain untuk memulai bab baru.

Ia berjalan pulang melewati taman kota yang baru ditanami tabebuya. Anak-anak sekolah berlarian. Seorang pedagang menata gorengan. Seorang petugas kebersihan menyapu daun, membiarkan beberapa dedaunan kering tetap berada di tanah—seperti memberikan ruang bagi sesuatu yang baru tumbuh.

Di Ruang Tak Tertulis, Raden menulis di papan: Kelas malam ini: “Menjaga yang tinggal, merayakan yang datang.” Ia menatap pot cabai yang mulai berbuah. Hujan kecil jatuh. Ia menutup jendela, lalu menulis satu paragraf untuk dirinya sendiri:

Pikirkan berapa banyak orang yang belum kau temui dan akan berarti lebih dari yang dapat kau bayangkan hari ini. Pikirkan berapa banyak tempat yang belum kau lihat, momen yang belum kau jalani, kenangan yang menunggu dibuat. Hidup tidak di belakangmu—ia di depanmu. Bab terbaik belum ditulis. Masih begitu banyak cinta untuk ditemukan, pengalaman untuk membentuk dirimu. Masa depanmu terbuka lebar. Pergi dan hidupi.

Kalimat itu bukan sekadar kutipan; ia adalah jembatan yang Raden bangun di dalam dirinya. Dan ketika malam turun, lampu-lampu kota Surabaya menyala seperti baris-baris kecil yang menunggu diisi. Raden duduk di teras, mendengar suara anak-anak bercanda, suara motor lewat, suara kota yang tak pernah berhenti menjadi rumah bagi siapa pun yang berani menulis babnya sendiri.

Ia menatap langit. Tidak ada bintang. Tetapi ia tahu, tak semua cahaya harus terlihat agar bisa menuntun.

.

.

.

Jember, 4 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMinggu #SastraUrban #CerpenJakarta #InspirasiHidup #MenakMaduraAdaptasi #JeffreyWibisonoStyle

Leave a Reply