Langkah Pulang Zainab
“Jangan paksa dirimu menjadi satu hal saja. Hidup yang utuh bukan tentang memilih, tapi memeluk semuanya.”
.
Gerimis menggurat kaca-kaca toko tua di Cikini seperti baris-baris kenangan yang belum rampung ditulis. Pagi Jakarta menggigil dalam sorot lampu sepeda motor dan sayup azan dari surau kecil di gang samping. Zainab berdiri di tepi trotoar, payung lipatnya patah pada satu ruas, namun ia tetap membentangkannya seperti menolak kalah. Di tangan kanan, sebuah amplop cokelat lecek, alamatnya kabur oleh hujan dan waktu. Di sudut amplop, ada tulisan yang tak bisa dihapus oleh musim: “Zainab, jika kamu masih mengingat caranya pulang, temuilah aku. Sabtu pagi. Rumah Kenanga. —Sahlan.”
Nama itu menua seperti kaligrafi yang dilapisi debu. Namun ketika bibir Zainab menyebut dalam hati, getarnya tetap sama: nyeri yang tenang, senang yang gentar.
.
Gerimis Kota dan Amplop Tak Bernama
Tak ada yang paham kenapa sebagian hujan bisa menunda orang-orang, dan sebagian lain justru mempercepat langkah-langkah pulang. Bagi Zainab, gerimis adalah ruang penundaan: kesempatan untuk mengatur napas, menimbang ulang usia, menata kembali ragam peran yang ia pakai seperti baju kerja. Ia menepi di bawah teritisan warung kopi sachet, menghangatkan telapak di sisi gelas. Bau lilin, kopi murah, dan rokok sampurna melapisi tenggorokannya. Di televisi kecil, berita pagi berlari: saham biru, angka inflasi, dan rencana MRT fase berikutnya. Kota ini sigap bergerak, bahkan ketika hati orang-orangnya ragu-ragu.
Zainab teringat malam ketika ia diusir dari rumah besar Menteng puluhan tahun lalu. Malam yang bau kayu mahal dan marmer dingin. Malam ketika kata “pembantu” diludahkan menjadi penghukuman, dan kata “cinta” dikutuk sebagai pengacau tatanan. Malam ketika Sahlan—yang biasanya setenang musala selepas subuh—memilih diam, seperti daun yang tidak menahan apa pun.
Ia menyesap kopi. Pahitnya sederhana. Amplop di tangannya bergetar sedikit—mungkin oleh AC warung, mungkin oleh pertarungan kecil di dadanya.
“Zainab,” panggil penjual, “hujannya tidak lama. Kalau mau ke arah Kenanga, nanti naik Metromini saja. Turun di Taman Cut Mutiah.”
Zainab tersenyum. “Saya ingat jalannya,” katanya. “Saya ingat semuanya.”
.
Perempuan yang Pernah Dilarang Menangis
Dulu, Zainab datang dari Bangkalan dengan rambut disanggul kencang dan mata yang selalu redup bila menatap orang yang dipanggilnya “majikan”. Ia tinggal di paviliun kecil di belakang rumah, menyiangi halaman sebelum lampu-lampu jalan padam. Di dapur, ia belajar rasio garam dan gula dari juru masak senior yang kadang memanggilnya “neng” dengan sayang, kadang “hei” dengan terburu-buru.
Sahlan adalah satu dari mereka yang tinggal di rumah besar itu. Wajahnya meminjam ketenangan ayah-ibunya yang berwibawa; langkahnya menyimpan kegelisahan yang hanya tampak di antara rak-rak pustaka. Ia sering menemukan Zainab di sela pekerjaan: di lorong menuju perpustakaan, di serambi yang menghadap flamboyan tua. Awalnya mereka bicara tentang kelembapan cucian dan kenapa piring harus diseka dua kali. Lalu, pelan-pelan, obrolan bergeser: kampung halaman, laut yang tak pernah benar-benar biru, harga cabe di pasar, dan buku-buku yang sampulnya dilapisi plastik bening.
“Sepertinya kamu suka kata-kata,” kata Sahlan suatu sore, ketika hujan juga selembut hari ini.
“Aku suka diam-diamnya,” jawab Zainab. “Kata-kata menunggu seperti padi.”
Mereka belajar saling menghafal: cara Sahlan menaruh cangkir di atas tatakan tanpa bunyi, cara Zainab menyisihkan lauk paling enak untuk orang terakhir di meja makan karyawan. Sebuah persamaan tumbuh di bawah pandangan yang tidak diundang: kesediaan untuk mendengar yang jarang dimiliki orang-orang aman. Namun ketika rahasia mereka sampai di meja makan keluarga, suara paling lantang bukanlah suara mereka—melainkan aturan-aturan tak tertulis yang dibuat oleh orang yang paling takut kehilangan kehormatan.
“Pergi malam ini juga,” kata perempuan pemilik rumah, suaranya rapih seperti lembar laporan keuangan. “Kami tak ingin menulis babak memalukan di dalam keluarga ini.”
Zainab menunggu Sahlan bicara. Namun bahkan angin pun lupa lewat malam itu. Ia paham: ada laki-laki yang berani dalam wacana, dan ada laki-laki yang berani dalam keputusan. Kadang-kadang keduanya tidak pernah bertemu pada orang yang sama.
Ia pergi. Tanpa tangis. Ia perempuan yang pernah dilarang menangis—bukan oleh siapa-siapa, tapi oleh kebutuhan hidup yang harus diselesaikan.
.
Hidup yang Menggabungkan Banyak Peran
Cempaka Putih mengajarinya cara bertahan dengan gigih tanpa menimbulkan gaduh. Zainab menyewa kamar petak di gang buntu, lemari baju adalah satu-satunya perabot yang bisa dikunci. Ia bekerja di warung padang siang hari, membersihkan kios sepatu di Cikini sore, menjaga kasir minimarket malam. Di antara ketiga pekerjaan itu, ia menyelipkan doa: semoga perutnya kenyang secukupnya dan hatinya tidak menuntut terlalu banyak.
Sembilan bulan setelah malam pengusiran, Ahmad lahir. Bayi yang membuka mata tanpa menuntut penjelasan. Zainab menamai Ahmad—bukan karena ia berharap anaknya jadi saleh secara sempurna, melainkan karena ia ingin mengingat: ada sesuatu yang baik tetap mungkin tumbuh dari tanah yang dipijak dalam keadaan kalah.
Ahmad tumbuh dalam suara dua kota: lengkingan klakson Jakarta, dan doa-doa Madura yang dipanggil pulang lewat lagu-lagu ibu. Ia menjadi anak yang pahitnya tak bertepi tapi tawanya gampang. Di sekolah ia cepat menangkap, di rumah ia lambat meminta. Ketika teman-temannya ingin sepatu merek tertentu, Ahmad menawar realitas dengan cara lain: menjadi nomor satu dalam lomba cerdas cermat, menjadi panitia bazar, menjadi relawan perpustakaan kelurahan.
“Kalau kamu bisa menjadi banyak hal, mengapa hanya memilih satu?” kata Zainab suatu malam, ketika mereka menghitung uang sewa kamar yang naik seharga dua bungkus nasi. “Yang penting, kamu tetap jadi manusia yang memanusiakan.”
Ahmad mengangguk. Ia memeluk ibunya tanpa kata-kata.
.
Rumah Kenanga: Dua Wajah yang Pernah Satu Hati
Sabtu pagi, Zainab berdiri di depan Rumah Kenanga. Pagar putihnya baru dicat, bougenville melambai seperti hendak memperkenalkan tamu pada halaman yang lupa ramai. Di dalam, waktu seakan melambat: suara detik jam dinding, dorongan kursi roda yang diseret perlahan.
Sahlan duduk di sana. Rambutnya memutih habis, bibirnya kering seperti padang setelah musim timur. Saat melihat Zainab, matanya merunduk—bukan karena malu saja, tapi karena mengerti bahwa sebagian hidupnya telah lewat tanpa keberanian yang layak.
“Aku tidak ingin dimengerti,” katanya pelan. “Aku ingin diakui sebagai pengecut yang memilih diam karena takut kepada orang-orang yang mencintaiku. Aku ingin minta maaf bukan demi memaafkan diriku, tapi agar kamu tak lagi terbebani.”
Zainab membuka tas kainnya. Ia keluarkan foto Ahmad berseragam SMA, kepala miring sedikit seperti kebiasaan anak itu ketika menahan tanya.
“Ini anakmu,” katanya. “Ia tidak marah. Ia tidak tahu apakah harus bangga atau kecewa. Aku juga tidak mengarahkan.”
Sahlan menatap foto itu lama, seperti menatap jendela yang baginya terlalu terang.
“Apakah… ia mau menemuiku?”
“Aku tidak memaksa. Aku hanya menyampaikan,” jawab Zainab.
Hari itu, mereka bicara tentang hal-hal yang dulu dihindari: penyakit yang datang seperti tagihan tak terduga; saudara-saudara yang berebut peran di rumah besar, namun tak satu pun bersedia menjaga malam; kebun mangga di belakang rumah yang tak lagi berbuah karena akar-akar tua yang tersumbat beton. Mereka tidak membahas cinta, karena untuk sebagian orang, cinta adalah luka yang terlalu sadar. Mereka membahas tanggung jawab, karena di usia tertentu, itulah satu-satunya bahasa yang tersisa.
.
Ahmad: Anak yang Memeluk Banyak Sisi Hidup
Seminggu kemudian, Ahmad datang. Tubuhnya sudah setinggi pintu, wajahnya tenang namun matanya menyimpan semacam api kecil—bukan amarah, melainkan keinginan untuk mengerti. Ia mengulurkan tangan pada Sahlan; tangan itu digenggam dengan berat oleh jemari yang kehilangan latihan percaya.
“Aku Ahmad,” katanya. “Ibu bilang, kamu tidak perlu kupanggil apa-apa.”
Sahlan menangis. Air mata di usia senja adalah pengakuan paling telanjang.
“Aku tidak menuntut apa pun,” lanjut Ahmad. “Aku hanya ingin tahu: apakah ketakutan memang sebesar itu sampai membuat orang lupa membuka pintu?”
Sahlan menarik napas yang terdengar seperti rintih.
“Ketakutan tumbuh seperti benang-benang laba-laba,” jawabnya. “Awalnya halus, lalu pelan-pelan mengikat. Aku menyangka diam akan melindungimu dari caci orang-orangku. Aku salah. Diam justru menenggelamkan.”
Ahmad memandang Zainab sejenak. Ibu itu mengangguk, seolah berkata: kau sudah cukup dewasa untuk menilai sendiri. Tak ada pengadilan hari itu. Hanya pemahaman bahwa hidup sering memaksa orang-orang menjadi tokoh-tokoh yang tidak mereka pilih, dan kesembuhan berangkat dari keberanian memanggil gelap dengan namanya.
.
Setelah Semua Peran Dilalui
Waktu berikutnya cepat seperti kendaraan di jalur busway. Sahlan membiayai beberapa pemeriksaan kesehatan. Ahmad, yang menerima bantuan tanpa menukar hormat, mengantar dan menunggu. Zainab menjerang air panas, menyiapkan bubur, menulis catatan kecil di kulkas tentang jam minum obat. Di sela-sela itu, mereka saling belajar menjadi keluarga tanpa riuh definisi.
Sahlan meninggal pada sebuah malam hujan yang menghapus jejak langkah di teras. Di tangannya tergenggam surat terakhir—tulisannya bergetar, namun kalimatnya jernih: “Aku tidak menuntut dipanggil ayah. Aku hanya memohon diingat sebagai manusia yang belajar terlambat.”
Ia meninggalkan warisan kecil—sejumlah uang yang tak cukup untuk mengubah nasib, namun cukup untuk memulai sesuatu yang membuat hari-hari punya arah. Zainab dan Ahmad sepakat membuka sebuah warung makan di tepi jalan dekat kampus negeri. Mereka menamai warung itu: DAN.
“Bukan singkatan?” tanya orang.
“Bukan,” jawab Ahmad. “Ini kata sambung. Hidup tidak perlu memutuskan antara satu dan lainnya. Kita bisa jadi pekerja dan anak, tegas dan lembut, ambisius dan berbelas kasih. Warung ini ingin jadi ruang untuk ‘dan’—bukan ‘atau’.”
Warung DAN tak mirip tempat makan lain. Di dinding, menempel kutipan-kutipan yang ditulis tangan:
-
“Kesetiaan adalah kemampuan bertahan ketika alasan pergi tampak lebih meyakinkan.”
-
“Yang benar sering sepi di depan, ramai di belakang.”
-
“Kamu boleh rapuh, tapi jangan berhenti memuliakan.”
Menu mereka sederhana: rawon yang kuahnya hitam karena tekun, soto ayam yang wewangiannya sabar, nasi jagung yang dinanti mereka yang rindu kampung. Ahmad menyiapkan sistem pembayaran nontunai; Zainab menata piring agar yang makan sendirian tidak merasa diadili. Kadang datang pekerja kantoran yang gajinya cukup untuk liburan ke Bali, namun memilih duduk di pojokan membaca buku. Kadang datang pemulung yang meminta air hangat; Zainab menyodorkan teh manis tanpa menanyakan hal-hal yang orang-orang sering tanya ketika mereka ingin merasa berkuasa.
Warung DAN menjadi semacam persilangan: tempat orang-orang yang lelah mengadu pada masakan, dan mereka yang kenyang menguji lidah pada cerita. Ada pasangan baru menikah yang diam-diam bertengkar melalui pilihan sambal; ada mahasiswa yang merayakan kelulusan dengan memesan dua porsi rawon karena katanya “hidup baru perlu kuah yang tebal”. Ada seorang driver ojek yang menukar kisah semalaman hujan dengan sepiring soto, dan Zainab mendengarnya seperti mendengar anaknya sendiri bercerita.
.
Di Antara Kenangan dan Keputusan
Suatu sore, perempuan dandan mewah masuk. Bahunya bersampiran shawl sutra, cincin di jemarinya seperti planet-planet kecil. Zainab mengenalinya—perempuan dari rumah besar itu, yang dulu menyarungkan kata-kata seperti pedang. Waktu, rupanya, memutihkan segalanya termasuk denting suara.
“Aku dengar ini warungmu,” katanya perlahan. “Aku datang bukan ingin memerintah, Zainab. Aku ingin membeli minta maaf.”
Zainab tersenyum tipis. “Maaf tidak dijual di sini,” jawabnya. “Tapi kami selalu sediakan kursi.”
Perempuan itu duduk, memesan nasi jagung dan rawon. Ia makan pelan-pelan, seperti menakar ulang sesuatu di dalam dirinya. Di akhir, ia mengeluarkan amplop—kali ini putih, bersih, berisi sejumlah uang.
“Untuk Ahmad,” katanya. “Untuk sekolahnya nanti, kalau ia ingin lanjut.”
Zainab menatap amplop itu lama. Di antara jendela dan hujan rintik, ia menimbang: apakah menerima berarti mengkhianati dirinya yang dulu? Apakah menolak berarti menolak kesempatan anaknya? Ia teringat kalimat yang sering diucapkan Ahmad: “Kita bisa menjadi ‘dan’.”
Ia menerima, kemudian berkata: “Uang ini akan kami catat sebagai pinjaman. Kelak, kami lunasi dalam bentuk lain: memberi makan orang yang tak bisa membayar, membiayai buku untuk perpustakaan RT, membayar listrik masjid kecil di gang. Utang kami kepada kota ini terlalu banyak.”
Perempuan itu mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Aku mendoakan kalian bisa lebih berani daripada kami,” katanya, sebelum pergi.
.
Menyusun Hari-Hari Baru
Ahmad diterima kerja di sebuah firma konsultan yang kantornya berlantai kaca dengan pemandangan Sudirman. Ia masuk pagi, menghabiskan siang dengan membuat presentasi tentang strategi pasar, pulang sore dan langsung mengenakan celemek di Warung DAN. Teman-temannya heran—mengapa ia memilih dua dunia?
“Karena aku ingin memeluk semuanya,” jawab Ahmad. “Aku ingin mengerti tabel dan tatap mata, grafik dan rasa kuah, angka dan napas manusia.”
Ia menata sistem inventori warung: stok cabai, rotasi daging, harga beli beras. Ia membuat daftar supplier kecil dari petani di luar kota—agar uang tidak hanya berputar di lingkaran yang sama. Zainab, yang dulu belajar hidup melalui marmer dan pel, kini belajar menawar harga di pasar pagi tanpa mengurangi hormat pada penjual.
Mereka menempel sebuah kalimat besar di dinding, tepat di atas etalase lauk:
“Kepemimpinan bukan tentang memilih sisi. Tapi tentang berani menjadi keduanya, bahkan semuanya, sekaligus.”
.
Kepulangan yang Tidak Menyerupai Akhir
Pada suatu malam yang lampunya redup, seorang anak laki-laki kira-kira sepuluh tahun berdiri di depan etalase, menatap tumis kangkung seperti menatap laut. Bajunya basah, jarinya menggenggam koin yang terlalu sedikit.
“Kamu lapar?” tanya Zainab.
Anak itu mengangguk.
“Duduklah. Makan dulu. Bayarnya nanti kalau sudah besar.”
Anak itu terkejut—seolah ada hukum baru di warung ini, hukum yang mengizinkan seseorang untuk pertama kali tidak malu. Ahmad memandang ibunya; mereka tidak saling bicara, tapi mengerti: semua keputusan penting lahir dari kebiasaan kecil yang dilakukan tepat.
Hujan turun. Di luar, Jakarta terus menambah gedung, menambah lajur, menambah cara agar orang bisa sampai lebih cepat ke tempat yang mungkin tidak mereka inginkan. Di Warung DAN, orang-orang menunda pergi: menghabiskan kuah, mengulang cerita, menunggu hati selesai berbicara. Di pojok ruangan, Zainab menulis sesuatu pada secarik kertas, lalu menempelkan di papan kayu:
“Bahagia bukan tentang di mana kamu berada, tapi dengan siapa kamu dianggap ada.”
Ia menatap ke luar jendela. Kota, dengan segala keras dan lembutnya, seperti melambai. Zainab menarik napas, merasakan paru-parunya dipenuhi sesuatu yang luas. Pulang, pikirnya, tidak selalu alamat; kadang-kadang pulang adalah kemampuan untuk menaruh gelas pada tempatnya setelah minum terakhir—dan membiarkan sisa hangatnya menyebar ke telapak tangan.
.
Rumah Kenanga, Cikini, dan Diri yang Saling Mengizinkan
Beberapa bulan kemudian, bougenville di Rumah Kenanga berbuah warna lebih banyak. Saudara-saudara, yang dulu sangat sibuk menjelaskan apa itu martabat keluarga, pelan-pelan belajar mampir ke Warung DAN. Mereka memesan makanan, lalu mencatat sesuatu dalam hati: bahwa martabat mungkin tak pernah diselamatkan oleh garis marga, melainkan oleh kemampuan mengakui lupa.
Zainab kadang berjalan ke Cikini, semata untuk mengingat betapa panjangnya jalan yang sudah dilalui. Ia duduk di warung kopi sachet yang sama, menatap televisi kecil yang menayangkan berita besar. Ia tersenyum: hidupnya tidak menjadi berita, tetapi menjadi kisah—dan kisah selalu lebih tahan lama daripada headline.
Di rumah kontrakan yang sekarang lebih lapang, Zainab menyimpan amplop cokelat tulis tangan Sahlan di laci, bersama foto lama Ahmad dan sehelai kain batik dari Bangkalan. Ia tidak memaafkan dengan gegabah, juga tidak menunda dengan dendam. Ia memilih versi yang lebih sulit: memeluk semuanya.
Di malam-malam tertentu, ketika lampu-lampu kota mengubah langit menjadi museum kecil, ia berdoa: semoga siapa pun yang takut membuka pintu, diberi keberanian untuk memutar gagang sekali lagi. Semoga siapa pun yang pernah menutup jendela, diberi alasan untuk menyingkap gorden. Semoga siapa pun yang diusir dari rumah besar, mengerti bahwa sering kali sebuah warung kecil cukup menjadi alamat untuk pulang.
.
.
.
Jember, 4 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #UrbanStory #MaduraJakarta #KepemimpinanUtuh #MemelukSemuanya #WarungDAN #StorytellingFilmis #JeffreyWibisonoV
.
Quote-quote terkait dalam cerita
-
“Kesetiaan adalah kemampuan bertahan ketika alasan pergi tampak lebih meyakinkan.”
-
“Yang benar sering sepi di depan, ramai di belakang.”
-
“Kamu boleh rapuh, tapi jangan berhenti memuliakan.”
-
“Bahagia bukan tentang di mana kamu berada, tapi dengan siapa kamu dianggap ada.”
-
“Kepemimpinan bukan tentang memilih sisi. Tapi tentang berani menjadi keduanya, bahkan semuanya, sekaligus.”