Lampu Kecil di Lobi Kota

“Yang membuat kota ini bernyawa bukan gedungnya, melainkan hati yang bersedia menyapa—meski lelah, meski hujan.”

.

Malam itu, hujan turun seperti lembaran tirai yang tak henti diganti. Jalan Sudirman, yang biasa berkilat oleh lampu iklan dan klakson, berubah menjadi cermin memanjang. Di balik kaca lobi Hotel Srikandhi—bangunan tinggi berbalut panel kaca dan aksen batik kawung di pilar-pilarnya—Jayeng berdiri menatap keluar. Ia merapikan dasinya, menarik napas panjang, dan menempelkan telapak tangan ke dada: satu ketukan kecil sebagai ritualnya mengingatkan diri, urip iku urup—hidup adalah nyala yang membagi terang.

Sejak kecil, Jayeng diajari ibunya satu pitutur yang melekat seperti aroma kopi pahit: ajining diri gumantung ana ing lathi, ajining raga saka busana. Di hotel yang tak pernah tidur ini, lathi—tutur—adalah kompas. Setiap “selamat datang” atau “mohon maaf” adalah batu bata kecil yang menyusun reputasi. Dan malam itu, ia tahu akan ada tamu yang memerlukan lebih dari sekadar check-in.

“Jayeng,” suara Rukmini—supervisor FO yang berambut cepak dan gerak-geriknya cekatan—memecah lamunannya. “Rombongan dari Lamajang delay. Ada satu tamu internasional yang kehilangan tas. Dan—” ia menatap tablet, “—ada komplain soal kolam renang. Tisu mengambang. Katanya bikin risih.”

Jayeng mengangguk. “Baik. Aku yang tangani.”

Ia berjalan melintasi marmer yang memantulkan cahaya temaram. Aroma pandan dari diffuser bercampur bau hujan yang ikut menyelinap saat pintu otomatik membuka. Di sofa dekat jendela, seorang perempuan berkerudung krem—Sulasih—menatap kosong koper mungilnya. Matanya sembab. Tak jauh, seorang pria bertubuh tinggi, kulit gelap, dan tas kamera menggantung—Karna—berdebat pelan dengan petugas keamanan tentang tas ransel yang hilang di taksi daring.

“Selamat malam, Ibu,” Jayeng menyapa Sulasih lebih dulu. “Saya Jayeng. Ada yang bisa saya bantu?”

Sulasih menoleh, suaranya nyaris tenggelam oleh hujan. “Anak saya demam. Kami dari puskesmas keliling… acara ditunda. Kamar kami belum siap, katanya masih dibersihkan. Saya… hanya butuh tempat anak saya rebah.”

Jayeng menyimak napasnya yang tersengal. “Nama pemesanan?”

“Sulasih.”

Ia memeriksa sistem, melihat status kamar “cleaning in progress”. Dengan cepat, Jayeng menekan panggilan internal: housekeeping, expedited. Lalu ia mengambil keputusan yang selalu disimpan untuk keadaan begini—over-ride.

“Kita punya ruang transit di lantai dua. Ada sofa panjang dan air hangat,” katanya. “Silakan ke sana dulu, Ibu. Saya antar.”

Sulasih menatapnya, bimbang. “Tapi—biayanya?”

“Tidak ada. Ini bagian dari layanan kami.”

Di koridor lift, ia menambahkan: “Ibu, kadang rencana hujan. Tapi hati kita tak boleh ikut basah.” Sulasih mengangguk, mengusap mata. Di sela pintu lift yang hampir menutup, Jayeng melihat Karna melambaikan tangan—tanda memanggil.

“Pak, tas saya tertinggal di kendaraan. Driver sudah offline. Semua memori kerja saya ada di situ.”

“Baik,” jawab Jayeng. “Kita mulai dari yang bisa. Boleh saya lihat detail perjalanannya?”

Karna menyerahkan struk e-hailing yang sudah pudar oleh hujan. Jayeng memfoto, mengirimkan ke grup internal lost-and-found beserta ciri-ciri mobil. Ia tahu ini mungkin akan makan waktu, tapi ia juga mengingat kalimat yang pernah dicatatnya dari seorang bijak mancanegara—ditulis besar-besar di ruang briefing: “The two most powerful warriors are patience and time.”

“Pak Karna, sambil menunggu respons, mari kita amankan hal yang paling mungkin: saya akan blok card access kamar agar tak bisa digunakan orang tidak berkepentingan. Jika tas Bapak berisi dokumen penting, kita siapkan lembar laporan untuk kepolisian. Dan jika Bapak butuh jaket kering, saya pinjami.”

Karna memelototinya sejenak, lalu bahunya mengendur. “Mas… terima kasih. Banyak hotel tak punya anak seusiamu yang bicara seperti orang tua.”

Jayeng tersenyum kecil. “Saya sering diceramahi Rukmini di counter sana. Daya tahan kami diuji bukan saat ramai, tapi saat kacau.”

Malam merayap. Hujan menyisakan aliran halus di kaca-kaca tinggi. Lobi menghangat oleh lampu kuning yang menetes dari plafon motif ukir parang. Para tamu datang pergi; koper berlalu-lalang bagaikan ritme mesin kota. Di sela itu, Jayeng masih menunggu jawaban dari grup lost-and-found. Tak ada kabar. Ia berdiri sejenak di pojok, menutup mata, mengingat satu pitutur: sapa sing temen bakal tinemu—yang jujur akan menemukan jalan.

.

Di lantai dua, Sulasih menjaga anak lelakinya yang terbaring. Wajah anak itu merah dan pucat sekaligus. Rukmini—yang selalu tampak tenang meski dunia meledak—datang membawa termos air hangat dan teh jahe.

“Bu, maaf menunggu. Kami sedang siapkan kamar. Ini air hangat untuk kompres. Ada bubur nanti, Ibu mau?”

Sulasih mengangguk, kali ini dengan mata yang agak berbinar. “Saya kira di kota besar orang-orangnya keras. Ternyata ada yang lembut.”

Rukmini menatapnya ramah. “Kota itu seperti kopi, Bu. Pahit dan harum. Yang menentukan rasanya adalah cara kita menyeduh.”

Di sudut ruangan, poster kecil bertuliskan “Respect is free, professionalism is priceless”—disusun oleh tim HR—berdiri di atas rak buku. Rukmini menatap poster itu dengan senyum lelah, lalu pikirannya melayang pada rapat pagi tadi: anggaran dipotong, target pemesanan naik, dan gaji lembur yang tertunda. Namun ia memilih menyimpan penatnya, sebab ada pekerjaan yang lebih besar dari dirinya—membuat tamu merasa aman, meski hanya satu malam.

.

Di lobi, Jayeng merapat ke bar kopi. Di sana, Wirawangsa—barista yang dikagumi pelanggan karena kebaikan khasnya—mengaduk kopi herbal untuk tamu-tamu yang datang basah kuyup.

“Bau hujan selalu bikin orang lapar,” kata Wirawangsa. “Kamu sudah makan?”

“Belum. Tapi aku merasa kekenyangan oleh masalah.”

Wirawangsa tertawa. “Masalah di hotel itu seperti bus malam. Kalau bukan satu yang datang, yang lain menyusul. Tapi lihat, ketika kau atasi satu, penumpang lain ikut tertib.”

Jayeng tertawa kecil. Ponselnya bergetar—balasan dari grup lost-and-found. Ada yang melihat mobil serupa terparkir di minimarket tiga blok dari hotel. Tanpa menunggu, ia menatap Rukmini yang baru turun dari lift.

“Min, aku ke minimarket. Ada petunjuk tas Pak Karna.”

“Jangan sendiri,” jawab Rukmini. “Aku ikut. Sekalian beli tisu non-perfume untuk kolam. Besok siang ada acara anak-anak sekolah. Kita tak boleh ulang kesalahan hari ini.”

Mereka berdua melesat menembus bau aspal basah. Jalanan menciut, motor-motor seperti ikan yang berenang lincah menghindari lubang. Minimarket itu menyala bagai perahu kecil di samudra gelap. Di parkiran, mobil abu-abu jenis hatchback berdiri dengan wiper terangkat. Seorang laki-laki kurus dengan topi buluk sedang menunggu hujan reda.

“Pak, maaf,” sapa Jayeng sopan. “Apakah Bapak menjemput tamu bernama Karna malam ini? Ada tasnya tertinggal.”

Pria itu menghela napas. “Iya, Mas. Aku panik tadi. Tasnya kupikir punya penumpang setelahnya. Sudah aku titipkan di kasir.”

Rukmini melirik Jayeng—mata mereka berbicara: jangan menghakimi, dengarkan dulu. Mereka masuk. Di bawah kamera CCTV, kasir menyerahkan tas cokelat dengan resleting patah. Di dalamnya ada kamera, dompet, dan hard disk kecil.

Jayeng menatap supir itu. “Terima kasih sudah jujur. Boleh kami antar Bapak kembali ke hotel? Supaya prosesnya resmi dan aman.”

Supir itu menunduk. “Aku takut rating-ku jatuh, Mas.”

“Kejujuran bukan untuk jatuh,” kata Rukmini pelan, “tapi untuk berdiri. Ayo.”

.

Kembali ke hotel, Karna berdiri dan memeluk tasnya dengan mata berkaca. “Saya—saya tidak tahu harus bilang apa. Semua footage kerja saya di kota-kota kecil ada di sini. Tanpa ini, proyek saya selesai.”

Jayeng menepuk bahunya. “Kadang yang hilang bukan benda, melainkan rasa percaya bahwa orang lain bisa berubah jadi penolong.”

Karna menatap supir yang tadi menunduk. Ia mengulurkan tangan. “Terima kasih, Pak. Saya akan memberi ulasan baik. Bukan untuk menutupi kesalahan, tapi untuk menghargai kejujuran.”

Supir itu mengejap. Rukmini tersenyum samar. Ada momen kecil di lobi itu ketika dunia seperti punya peluang kedua.

.

Esok paginya, matahari baru meniti gedung ketika kota mulai menggeliat. Jemur kain tampak di balkon-balkon sempit, pedagang nasi uduk berteriak lirih, dan suara azan subuh masih tertinggal di udara. Di ruang rapat lantai tiga, manajemen Hotel Srikandhi berkumpul. Di layar, angka-angka merangkak: okupansi 78%, ulasan rata-rata 4,2. Ada sorot tajam pada kolom biaya: air, listrik, pelayanan.

General manager sementara—Purbaya—menatap ruangan. Wajahnya seperti peta yang mencatat medan berat: garis tegas, mata berkabut. “Kita harus memangkas biaya 8% bulan ini. Tapi ulasan tak boleh turun.”

Rukmini mengangkat tangan. “Ulasan jelek kemarin karena kolam. Kami sudah jadwalkan deep cleaning dan mengganti skimmer. Saya minta satu hal: jangan kurangi staf malam. Malam adalah jam paling rapuh.”

Purbaya menghela napas. “Saya tahu. Tapi—”

“Pak, kalau kita kurangi orang,” sela Jayeng, “kita mengurangi waktu untuk menyapa. Sedangkan menyapa itu inti hotel. Boleh kita ganti beberapa item amenities dengan bulk ramah lingkungan? Mengurangi plastik bisa menjawab dua hal sekaligus.”

Purbaya terpaku sejenak, lalu mengangguk. “Baik. Coba kamu rumuskan programnya. Nama program?”

Jayeng melirik Rukmini. Mereka hampir bersamaan mengucap, “Pure Comfort, Pure Courtesy.”

Rapat bubar dengan rasa sedikit lega. Di luar, arus kendaraan menjahit jalanan. Jayeng kembali ke lobi. Ia menyusun set display kecil: botol bulk sabun batik motif kawung, tent card yang menjelaskan komitmen ramah lingkungan, dan sebuah kalimat kutipan: “Class is the ability to make others feel comfortable in your presence.”

“Siap tampilkan di semua kamar VIP,” kata Wirawangsa yang kebetulan lewat. “Aku juga buat resep minuman baru: Wedang Seruni. Hangatnya menenangkan, seperti pelukan yang tidak berlebihan.”

.

Sore itu, aula hotel dipenuhi panitia “Festival Kota Bertutur”—sebuah program kota yang menggabungkan literasi, seni, dan tur jalan kaki. Jayeng menjadi koordinator logistik; Rukmini mengatur akomodasi pembicara; Wirawangsa membuka pop-up kopi di pojok aula. Di panggung, mural berwarna menampilkan kota dengan kanal-kanal kecil dan deretan rumah penduduk. Ada jamu, ada batik, ada sepeda onthel.

Karna hadir sebagai salah satu narasumber. Ia memutar cuplikan dokumenternya tentang penjual rujak cingur yang berjuang menyekolahkan anaknya, tentang tukang becak yang menabung untuk perjalanan haji, tentang gadis bernama Ratna Ayu—seorang guide tur sejarah yang menyelipkan pitutur Jawa di setiap pemberhentian.

Ketika lampu redup, Jayeng merasakan tenggorokannya mengetat. Sulasih dan anaknya duduk di baris belakang. Anak itu sudah pulih, pipinya kini bersemu. Sulasih menatap panggung dengan mata yang bersyukur.

Di sesi tanya jawab, seorang pemuda berdiri—wajahnya murung namun ingin mengerti. “Mas Karna, di kota ini semua serba cepat. Kadang aku merasa jadi robot yang digerakkan target. Bagaimana menjaga hati di tengah kerja?”

Karna terdiam sejenak, lalu menyapu ruangan dengan tatapan. “Saya juga hampir jadi robot ketika tas saya hilang. Saya pikir seluruh kerja saya musnah. Tapi ada orang-orang yang tak saya kenal, peduli. Menurut saya, hati dijaga dengan dua hal: dipercaya dan mempercayai.” Ia menoleh pada Jayeng dan Rukmini. “Dan malam itu, saya belajar: kepercayaan mungkin tak bisa dibeli, tapi bisa dihadirkan dengan pilihan-pilihan kecil.”

Riuh tepuk tangan. Jayeng menunduk—bukan karena malu, tapi agar air di mata tak menjadi berita. Di layar, muncul kalimat dari Dalai Lama: “Our prime purpose in this life is to help others. And if you can’t help them, at least don’t hurt them.”

Sore mendekati malam. Festival berlanjut dengan tur kota. Ratna Ayu memimpin rombongan keluar dari hotel, menyusuri trotoar yang baru diperbaiki, melewati mural-mural kampung, berhenti di jembatan kecil yang menghadap kali. Lampu-lampu kota mulai menyalakan bintangnya.

“Di tempat ini,” kata Ratna Ayu, “kakek saya biasa bercerita. Katanya, saat kita berjalan di kota, jangan hanya menatap gedung tinggi. Lihatlah warung kecil, gang sempit, dan jendela yang terbuka. Di sanalah rasa kota bersembunyi.”

Ia menoleh pada Jayeng yang ikut di belakang. “Mas, mau cerita tentang pitutur yang Mas pegang?”

Jayeng terkejut, lalu tertawa. “Saya cuma pegawai hotel. Pitutur saya sederhana: ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Datang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan. Mungkin karena saya sering menang jadi pasien komplain.”

Rombongan tertawa. Tapi di ujung tawa, ada getar haru.

.

Malam kembali mendekap. Hujan tak turun, tapi angin membawa sisa dingin. Di lobi, Jayeng duduk di kursi rotan, menuliskan laporan program Pure Comfort, Pure Courtesy. Ia menandai tiga hal: training kesopanan 8 jam untuk tim, bulk amenities di 60 kamar, dan SOP khusus menangani tamu rentan (lansia, anak sakit, penyandang disabilitas). Di sisi kanan layar, ia menyelipkan kalimat pembuka: “Respect is free; responsibility is a choice.”

Tiba-tiba, seorang pria paruh baya mendekat. Wajahnya berbayang penat dan kecewa. “Mas… saya tamu kamar 1107. Saya pesan set breakfast halal. Ternyata terlambat datang, dan telur terlalu matang. Saya kecewa.”

Jayeng berdiri. “Terima kasih sudah menyampaikan, Pak. Izinkan saya minta maaf. Ini kesalahan kami. Bapak punya waktu lima menit? Saya akan hadirkan menu baru langsung dari dapur.”

Pria itu menghela napas. “Saya benci menunggu. Tapi… baiklah.”

Jayeng berlari ke dapur, menemui juru masak: Kerta—pendiam, tidak suka bicara tetapi tangannya berbicara fasih. “Kerta, kita perlu recovery. Buatkan comfort food halal cepat—nasi jagung, sayur bening, dada ayam panggang ringan, dan wedang seruni buatan Wirawangsa. Tiga menit.”

Kerta mengangguk. Tangan-tangan bekerja seperti orkestra: wajan panas, sendok menari, uap naik, bumbu menebarkan semangat. Dalam empat menit, Jayeng melangkah kembali ke lobi dengan baki: seporsi kehangatan dan niat baik.

“Pak,” katanya sambil meletakkan set itu. “Makanan ini gratis. Kami tak bisa mengulang waktu, tapi bisa memperbaiki rasa.”

Pria itu menatap mangkuk sayur bening yang menyebarkan aroma kemangi. Ia menghela napas yang tampak lebih ringan. “Kalau dari awal begini, saya tidak komplain.”

Jayeng tersenyum. “Maners, morals, respect—kadang cukup tiga kata. Tapi intinya satu: nguwongke—memanusiakan.”

.

Beberapa hari kemudian, angka-angka di dashboard perlahan berubah. Skor kebersihan kolam naik. Ulasan menyinggung kesopanan staf; nama Jayeng, Rukmini, Wirawangsa, dan Kerta disebut berulang. Program Pure Comfort, Pure Courtesy membuat biaya plastik turun 18%. Bahkan ada tamu yang menulis: “Saya datang untuk urusan kerja, pulang membawa pelajaran hidup.”

Di sela keberhasilan kecil itu, datang kabar mengejutkan: Purbaya akan digantikan, manajemen memutuskan mencari pemimpin baru yang lebih “kompetitif”. Desas-desus membuat udara kantor terasa dingin. Rukmini menenangkan tim: “Kita tetap bekerja, bukan pada siapa, melainkan untuk apa.”

Malam terakhir Purbaya, hotel mengadakan staff gathering sederhana. Di panggung kecil lobi, Wirawangsa memainkan gitar; Kerta menghidangkan kudapan. Purbaya berdiri, suaranya getas.

“Saya bukan pemimpin hebat,” katanya. “Tapi saya bersyukur melihat kalian bekerja dengan hati. Ingat, becik ketitik, ala ketara. Di sini, yang ketitik adalah kerja baik kalian. Terapkan satu aturan: integritas saat tak ada yang melihat.

Jayeng merasakan dadanya sesak. Ia teringat ayahnya yang meninggal saat ia remaja: sopir bus antarkota yang selalu pulang dengan tangan bau solar dan sepotong pitutur, alon-alon asal kelakon. “Kalau kamu kerja tergesa,” kata ayahnya, “kamu akan menabrak hati orang lain.”

Malam itu, mereka berfoto di depan mural kecil di lobi: siluet kota dengan langit berpendar. Ada tawa, ada mata yang basah. Mereka mengucapkan selamat jalan. Dan seperti kota yang selalu menemukan pagi, mereka tahu harus melangkah lagi.

.

Musim berganti. Festival kota berhasil menarik wisatawan yang ingin merasakan “jalan kaki berpitutur”—paket tur yang merangkai kisah dengan makanan rumahan di warung pinggir gang. Hotel Srikandhi menjadi titik kumpul. Ratna Ayu mematri rute: pasar tua, gang melati, jembatan kecil, dan rumah batik yang memadukan kain lama dan desain modern.

Karna kembali, kali ini sebagai mitra dokumenter. Ia mengajak tim hotel membuat video pendek: “Kota yang Menyala karena Sapa”. Di layar kamera, Jayeng tak lagi hanya pegawai lobi; ia adalah pemandu senyap yang menyalakan banyak lampu.

Suatu sore, ketika rombongan tur melewati lorong dengan lampu neon berkedip, segerombolan remaja nongkrong memandangi mereka. Seorang remaja—Wali—melontarkan cemooh, “Wisata apa ini? Jalan kaki di gang sempit?”

Ratna Ayu tersenyum. “Wisata yang mengingatkan kita bahwa kota bukan cuma mal. Ia juga suara ibu-ibu yang menjemur sarung, bau gorengan, dan cat yang mengelupas. Semuanya punya cerita.”

Wali mendesah. “Cerita tak bikin perut kenyang.”

Jayeng mendekat. “Kadang, cerita mengajari kita cara mencari makan dengan jujur,” katanya. “Mau ikut kerja paruh waktu di hotel? Housekeeping butuh tenaga untuk deep cleaning akhir pekan. Bayarannya tak banyak, tapi cukup untuk beli buku latihan gitar.”

Wali melongo. “Kok tahu saya main gitar?”

“Punggungmu bercerita,” Jayeng menunjuk gitar lusuh yang menempel di punggungnya. “Dan mata yang menatap dunia dengan sedikit marah itu biasanya milik orang yang menyimpan melodi.”

Wali menoleh pada teman-temannya. Ada yang tertawa, ada yang menantang, ada yang pura-pura tak peduli. Tapi keesokan harinya, Wali datang dengan kaus bersih dan raut masih bingung. Ia belajar memeras pel, mengganti sprei, dan—yang terpenting—mengucap “permisi” setiap kali mengetuk pintu.

Seminggu kemudian, Wali memetik gitar di lobi pada jam santai. Lagu yang ia mainkan tak sempurna, tapi ada cahaya baru di jemarinya. Jayeng duduk di kursi rotan, mengangguk mengikuti tempo. Urip iku urup—hidup menyala ketika diberi kesempatan.

.

Pada suatu malam hujan lagi, Jayeng pulang larut. Kota terlihat seperti ladang kaca. Ia menepi di jembatan kecil yang biasa dilalui tur. Air kali mengalir tenang, memantulkan cermin lampu jalan. Di sakunya, ponsel bergetar—sebuah pesan dari ibunya di kampung: “Le, ojo lali mangan. Wong urip kudu nguwongke liyan, nanging awake dhewe aja dadi lali.”

Ia mengetik balasan sederhana: “Inggih, Mak.” Lalu menatap kota yang tak pernah benar-benar tidur. Di sana, ada ribuan hotel yang berusaha bertahan, ribuan tamu yang datang dengan hati yang rapuh, dan ratusan pekerja yang mengeringkan peluhnya dengan tawa.

Ia mengingat sebuah kalimat yang ditempel Rukmini di papan pengumuman staf: “Tidak semua yang berkilau adalah emas, tetapi setiap kebaikan punya sinarnya sendiri.” Dan ia tahu, apapun yang terjadi—manajemen berganti, anggaran naik turun, tamu datang pergi—ia akan tetap berdiri di lobi, menyalakan lampu kecil dari tutur yang baik, dari kesabaran yang tak terlihat, dari integritas yang tak bertanda tangan.

“Yang membuat kota ini bernyawa bukan gedungnya,” ia bergumam, mengulang kutipan yang ia tulis di awal laporan program, “melainkan hati yang bersedia menyapa—meski lelah, meski hujan.”

Hujan rintik kembali turun. Jayeng merapatkan jaketnya. Di bawah langit yang memantulkan lampu-lampu kota, ia melangkah pulang. Di belakangnya, Hotel Srikandhi tetap menyala—bukan hanya oleh listrik, melainkan oleh orang-orang yang memilih menyalakan kebaikan.

.

.

.

Jember, 24 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#PituturJawa #HospitalityIndonesia #PariwisataBerkelanjutan #ServiceExcellence #Integritas #CeritaKota #LokalBertutur #PureComfortPureCourtesy

Leave a Reply