Kupu-Kupu dari Api
“Kamu tidak akan pernah menemukan orang yang sama dua kali, bahkan di orang yang sama sekalipun.”
.
Malam itu Surabaya basah oleh sisa hujan yang baru saja reda. Lampu-lampu jalan merefleksikan genangan—seperti serpihan bintang yang jatuh dan lupa pulang. Di lobi hotel tempat Jaya bekerja sebagai manajer malam, bau kopi robusta bercampur wangi karpet basah yang baru disedot vakum. Ia mengusap sisa gerimis di kerah jas. Di sakunya, sebatang korek kayu tersimpan rapi—benda sederhana yang diwariskan gurunya bertahun-tahun lalu: Umar, orang lama yang selalu berkata, “Urip iku urup—hidup itu menyala untuk menerangi.”
Korek itu sebenarnya tak terlalu istimewa. Kepala belerangnya sedikit keabu-abuan. Namun bagi Jaya, benda itu adalah penanda: sekali dinyalakan, api sekejap memberi terang, lalu asapnya membentuk kupu-kupu—begitu dulu Umar berseloroh, “Kalau kamu melihat perubahan, jangan buru-buru cemas. Kupu-kupu memang lahir dari asap. Yang sebentar itulah yang justru mengajari bertahan.”
Umar sudah tiada. Di ranjang rumah sakit kecil dekat Jalan Kertajaya, Umar pamit pada suatu subuh tanpa guntur, tanpa drama. Jaya menyaksikan napasnya meredup seperti lentera diembus angin. Sejak itu, Jaya tak pernah menyalakan korek itu. Ia takut kehilangan sesuatu yang sebetulnya hanyalah sisa-sisa dirinya.
.
Sore tadi, sebelum hujan turun, Kuning—barista di kafe lantai dasar hotel—mengirim pesan pendek: “Mas Jaya, ragil binar sore ini, kopi susu aren dua?” Jaya tersenyum baca chat itu. Kuning memang menulis dengan gaya puitis—ia memanggil dirinya ragil, anak bungsu yang suka menghibur orang. Nama Kuning sebenarnya adaptasi tua dari hikayat yang sering didongengkan neneknya, tokoh perempuan yang setia menunggu kepulangan.
Dalam hidup Jaya, Kuning hadir seperti alinea yang tidak pernah tuntas. Mereka lama berteman, pernah dekat, lalu menjauh, didekatkan lagi oleh ritme kerja yang tak pandai berkompromi dengan perasaan. Di meja bar, Kuning selalu menggambar kupu-kupu kecil dari cokelat cair di atas latte. “Hidupmu perlu sayap,” katanya suatu kali. “Biar kalau jatuh, jatuhnya pelan.”
Namun malam ini Kuning pulang cepat. Ayahnya, kata kabar, kambuh asthma. Ia meninggalkan apron dan daftar persediaan yang belum diperiksa. Jaya membiarkan—karena suatu yang mendesak selalu berhak didahulukan. Ia naik ke kantor kecil di lantai dua, berencana menyelesaikan laporan tamu. Dari jendela, ia melihat Suramadu dalam kabut gerimis—garis cahaya yang seperti doa memanjang.
Telepon internal berdering tiga kali. Resepsionis—namanya Sekar—dengan suara yang selalu tenang, melapor: “Mas, listrik kota katanya akan dipadamkan sementara. Katanya ada gangguan di gardu. Genset siap, tapi beberapa tamu sudah cemas.”
Jaya mengangguk meski Sekar tak bisa melihat. “Kasih informasi satu per satu. Tenangkan. Kalau ada yang butuh lilin, siapin.”
“Lilinnya habis, Mas. Di gudang tinggal korek.”
Jaya membuka saku—korek Umar terasa dingin di telapak. Entah kenapa dadanya mengetat.
“Kalau begitu,” katanya, pelan, “aku turun.”
.
Padamnya listrik datang seperti kalimat yang sengaja dibuat pendek. Klik, lalu gelap. Genset meraung, lampu darurat menyala merah. Lobi mendadak terasa seperti ruang tunggu yang menahan napas. Beberapa tamu menoleh ke kanan-kiri, mencari pegangan antara cemas dan ingin mengerti.
Jaya berdiri di tengah lobi, menyapa satu per satu dengan suara yang menghangatkan: “Mohon tenang, Bapak-Ibu. Pemadaman hanya sebentar. Genset menyala, layanan tetap berjalan.”
Seorang tamu—pria berkemeja putih dengan jam tangan mengilap—mendekat dengan napas pendek-pendek. “Saya ada rapat online penting. Wifi mati? Bagaimana ini?”
Sekar, yang sedari tadi memegang handy talky, mengangguk sinyal ke Jaya. Jaya menjawab lirih: “Silakan pakai ruang pertemuan lantai tiga. Ada ups khusus. Mohon dampingi, Kar.”
Sekar mengantar. Lobi mulai tenang kembali.
Hujan turun lagi. Kali ini lebih deras. Dari pintu kaca, terlihat jalanan depan hotel memantulkan garis lampu mobil yang panjang. Air selokan meluap. Di sudut, seorang security—Kadir—terlihat sibuk mengatur parkir. Kadir lelaki Madura yang lurus. Ucapannya jarang belok, sikapnya tegas. “Kalau bukan karena kebijakan,” katanya suatu kali, “orang itu tetap orang. Hanya saja waktunya tidak sama.” Ia tertawa ketika Jaya menyahut, “Kau sedang mengutip Heraclitus atau budhe-mu?”
“Dua-duanya, Mas,” jawab Kadir, “yang satu Bapak Filsafat, yang satu Bapak Kue Apem.”
Malam itu, saat Jaya turun ke gudang untuk memastikan persediaan, ia mendengar suara ketukan cepat di pintu belakang. Kadir menyembul dari lorong gelap. “Mas, ada mobil mogok di depan. Penumpangnya ibu-ibu sama anak kecil. Air udah setinggi mata kaki.”
Jaya meraih payung besar dan jas hujan. “Ayo,” katanya.
Mereka keluar. Hujan menghantam seperti segenggam pasir dilempar dari langit. Di trotoar, seorang ibu menggigil memeluk anak lelaki yang memegang mainan pesawat. Lampu mobil berkedip lemah seperti mata yang hampir terpejam. Jaya berlari kecil, menyapa, lalu mengajak berlindung ke lobi. Anak itu diam-diam memandangi nyala lampu darurat merah, seolah di situlah konstelasi galaksinya.
Di dalam, Jaya meminta Sekar membawakan selimut dan minuman hangat. Ibu itu menyebut namanya—Sari—dan bercerita, hendak pulang ke Gresik setelah menjenguk saudaranya di RSU dr. Soetomo. Jalan macet, hujan menggila, mobil tua mereka tak tahan. Jaya mendengarkan dengan tubuh condong, tanpa banyak jeda yang tidak perlu. Ada kalanya solusi adalah telinga yang tak berubah jadi ceramah.
“Kalau malam ini menginap di sini, saya akan bantu tarifnya,” kata Jaya.
Sari menatapnya—mata yang mengandung pertanyaan: “Kenapa?”
Jaya tersenyum. “Karena kita tak pernah sama antara sebelum dan sesudah hujan. Biar malam ini jadi jeda yang aman.”
Sari mengangguk, samar-samar lega. Anak lelaki itu—namanya Aji—memegang cangkir cokelat panas yang terlalu besar untuk tangannya.
Di pojok lobi, lampu darurat berkedip-kedip seperti detak jantung yang baru belajar tenang. Sekar menata handuk di kursi, Kadir kembali memeriksa parkir. Jaya—entah didorong apa—mengeluarkan korek Umar. Ia memandang kepala belerangnya yang menunggu. Dalam benaknya, suara Umar lewat: “Api itu lega karena ia tahu akan mati. Maka ia hidup sepenuh-penuhnya pada detik yang dihadiahkan.”
Jaya menggosok korek pada sisi kasarnya. Frrt. Nyala kecil bermekaran. Asap tipis naik, memintal pelan. Dalam imajinasi Jaya—atau mungkin karena lobi yang hangat dan sinar-lampu yang memantul—asap itu terbentuk seperti sayap kupu-kupu yang sebentar mengembang, sebentar menghilang.
Aji menatap terpukau. “Kupu-kupu api,” katanya, nyaris berbisik.
Jaya terkejut mendengar sebutan itu. Ia mematikan korek, meniupnya halus. “Kupu-kupu itu mengingatkan kita untuk jadi orang yang baru setiap hari,” katanya. “Jadi Aji yang berani.”
Aji mengangguk, memeluk pesawat mainannya lebih erat.
.
Di Surabaya, kota ini, setiap perubahan punya bunyinya sendiri. Ada bunyi pedagang batagor yang mengetuk panci, ada bunyi klakson Angkot Joyoboyo yang masih digandrungi sebagian warga, ada bunyi notifikasi ponsel yang membuat orang terjaga di dini hari, dan ada bunyi yang tak terdengar namun terasa: orang-orang yang berubah diam-diam. Jaya tahu dirinya termasuk yang terakhir.
Ia ingat Kuning—barista yang pulang cepat—dan ayahnya yang asthma kambuh. Ia ingin mengirim pesan, tapi genggamannya ragu. Apa kabar? adalah pertanyaan paling sederhana sekaligus paling berat. Sebab jawaban baik sering kali hanya jas hujan yang menutupi badai.
Di balik resepsionis, Sekar menyodorkan rooming list. “Mas, kamar 607 komplain, televisi tidak menyala.”
“Cek trip switch,” jawab Jaya.
“Sudah, tetap mati. Katanya, justru senang karena diam, tapi minta diberikan buku bacaan.”
Jaya tertawa pelan. “Kau kasih buku apa?”
“Orang-Orang Bloomington.”
“Pilihan bagus,” kata Jaya, mengenang kisah-kisah kebisuan suhu kota lain.
Sekar bertugas dengan ritme yang menenangkan. Jaya selalu merasa ada air sumur di mata perempuan itu—hening tapi dalam. Sekar jarang bercerita tentang dirinya, kecuali satu hal: beberapa tahun lalu, ia pulang dari Jakarta setelah gagal mempertahankan rumah tangga yang tergesa dibangun. “Aku hidup,” katanya suatu malam sambil menuang teh, “bukan untuk menjadi kenangan paling hebat, tapi agar tidak berhenti mencoba. Itu saja.”
Di papan jam dinding, jarum panjang melewati angka sepuluh. Hujan masih telaten mengetuk. Pemadaman mereda: satu per satu lampu kembali normal. Genset dimatikan. Kafe di lantai dasar gelap, kursi-kursi ditumpuk, dinding kaca memantulkan jejak lampu kendaraan. Jaya berjalan ke sana, memeriksa kulkas dan mesin espresso. Di sudut, sebuah catatan kecil terselip di bawah toples gula: tulisan Kuning siang tadi.
Jaya, kalau hujan turun, jangan lupa memeluk dirimu yang basah. Kadang payung tak cukup. Kopicinta.
Jaya membacanya sekali, dua kali, lalu menyelipkan kertas itu ke dompet. Di balik catatan itu, ada tiket nonton film lama—tiket sebuah masa yang tidak kembali. Hidup, pikirnya, adalah menemukan cara baru berjalan di jalan yang dulu pernah kita lewati, tapi sudah berubah bentuk.
.
Lalu pagi datang dengan matahari yang malu-malu. Jalanan kembali menggeliat. Di gang belakang hotel, pedagang lontong balap menyusun tahu goreng, lentho, kecambah, dan kuah petis hangat. Kadir sarapan dengan nafsu seorang pekerja yang siap siaga. “Tadi malam seperti perang, Mas,” katanya. “Hujan lebih deras dari kisah cinta di sinetron.”
Jaya tertawa. “Kau nonton sinetron?”
“Mau apalagi? Istri saya ngefans sama tokoh yang selalu sabar meski suaminya kurang ajar,” jawab Kadir, lalu menatap Jaya lama-lama. “Orang memang berubah, tapi film tetap begitu-begitu saja.”
Di siang hari, ketika lobi agak lengang, Kuning datang. Wajahnya kuyu, tapi matanya masih menyimpan jenaka.
“Bagaimana ayahmu?” tanya Jaya.
“Stabil,” jawab Kuning. “Terima kasih sudah mengizinkan aku pulang mendadak.”
“Tidak usah terima kasih. Keluarga selalu lebih dulu.”
Kuning memegang apron, menimbang-nimbang. “Mas, pernah merasa bahwa orang yang paling kamu sayangi berubah menjadi orang lain yang tak kamu kenal?”
Jaya menatapnya. Pertanyaan itu tidak meminta jawaban, lebih seperti cermin ditodongkan ke wajah. “Pernah,” katanya. “Tapi aku juga sering lupa bahwa akulah yang berubah duluan.”
Kuning tersenyum pahit. “Ayah dulu marah kalau aku begadang, sekarang marah kalau aku tidak di rumah. Ia takut sendirian. Aku juga takut—takut suatu hari aku sibuk menua mengejar yang fana, lalu lupa menua bersama yang semestinya.”
Jaya ingin mengucapkan sesuatu yang bisa merangkul, bukan sekadar menepuk bahu dengan kata-kata. Namun sebelum sempat, seorang sales datang menawarkan paket kopi—jenis single origin, catatan rasa jeruk dan cokelat. Kuning kembali ke bar; gerak tangannya mengambil pitcher, menyusun gelas, seperti orang yang tahu betul arti keterampilan: menata dunia dari hal-hal kecil yang bisa ia kendalikan.
Sore itu, Sekar menyodorkan selembar kertas—daftar wawancara kerja untuk posisi staf baru. “Kita dapat banyak pelamar,” katanya. “Kota ini memang penuh orang yang mau berubah nasib.”
“Satu-satu kita dengarkan,” kata Jaya.
Di ruang wawancara, orang-orang datang membawa kisah yang bervariasi: driver ojek yang ingin jam kerja pasti, ibu muda yang butuh penghasilan setelah suami kena PHK, mahasiswa semester akhir yang ingin belajar front office. Mereka duduk di kursi plastik, menyusun keberanian. Setiap kali, Jaya mendengar lebih banyak daripada CV. Ia tahu ada detak yang hanya teraba ketika orang menceritakan mimpi.
Seorang pemuda bernama Jaya Lengkara—kebetulan namanya mirip Jaya—menceritakan bagaimana ia pernah bekerja sebagai bellboy di hotel kecil dekat stasiun. “Saya suka membantu orang,” katanya. “Di kampung, orang bilang terlalu baik itu celaka. Tapi saya percaya, baik itu investasi yang tumbuh di tanah yang tak kita sangka.”
“Benih yang baik tak memilih tanah,” gumam Jaya, mengutip pitutur yang selalu ia simpan.
Pemuda itu menoleh, gemetar kecil, lalu tersenyum seolah mendapat restu.
.
Minggu berganti. Di kota, sesuatu yang berat menuruni langit. Bukan hujan, melainkan kabar. Teman lama Jaya—Jayeng—yang dulu menjadi kepala restoran sebelah, meninggal mendadak karena serangan jantung. Usianya belum lima puluh. Kabar itu seperti batu kecil yang dilempar ke kolam—riakan memanjang sampai ke sisi-sisi yang tak kita duga.
Di pemakaman, Jaya berdiri di antara orang-orang yang pernah tertawa bersama Jayeng. Seorang anak perempuan memeluk ibunya; seorang lelaki muda menunduk menelan tangis; beberapa pekerja restoran melepas topi seragam. Di atas tanah basah, doa mengalun. Jaya baru sadar, tak ada yang siap menjadi yang tertinggal. Kita belajar mengucapkan selamat tinggal, tetapi tidak pernah kursus menjadi yang ditinggalkan.
Sepulangnya, Jaya berjalan kaki melewati trotoar Basuki Rahmat yang ramah. Lampu toko berpendar. Orang-orang antri es krim dan martabak manis. Dunia tidak menunggu siapa pun. Change is the only constant, kata seorang filsuf tua dari seberang masa. Jaya merogoh saku, menyentuh kepala korek: rasanya sama, tapi tidak lagi sama.
Malam-malam sesudahnya, ia mulai menulis catatan kecil di notes ponsel. Bukan puisi, bukan pula khotbah, melainkan pengingat sederhana:
-
“Aja gumunan, aja getunan—jangan mudah takjub lalu mudah menyesal. Sebab perubahan memang seperti jalan raya: ramai, bising, tetapi menyediakan jalur pulang.”
-
“Kalau tak mampu mengubah situasi, ubah sudut pandang. Kadang hanya itu yang membuat kita bertahan tanpa harus berkhianat pada diri.”
-
“Hidup adalah menyala, bukan membakar. Bedanya di niat.”
Ia menaruh catatan itu sebagai widget—muncul di layar utama setiap kali ponsel menyala.
.
Suatu malam, Kuning mengajak Jaya ke rumah ayahnya di kampung pinggiran Kenjeran. “Ia ingin bertemu,” katanya singkat. Sepanjang perjalanan, mereka diam. Jalanan berbelok melewati warung-warung yang setia buka sampai larut, lalu menurun ke gang kecil bernama Karang Anyar. Rumah itu sederhana—pintu dari papan, jendela warna biru pudar, di halaman ada sepeda butut dan pot daun sirih gading.
Ayah Kuning, Umar—nama yang membuat Jaya tercekat—menyambut di teras. Wajahnya keriput seperti peta sungai tua. Batuknya kecil-kecil, tapi matanya langsung nyala ketika melihat anaknya.
“Ini Jaya?” tanyanya.
“Iya, Yah.”
Umar mengangguk. “Terima kasih sudah mengizinkan Kuning pulang cepat waktu itu. Orang tua tak punya banyak. Yang ada hanya anak-anaknya.”
Di ruang tamu sempit, mereka minum teh. Di dinding tergantung kalender warung lama, jam bulat yang jalannya lebih lambat satu menit dari dunia. Umar bercerita—tentang masa mudanya menjadi operator telepon di kantor kecamatan, tentang ibunda Kuning yang meninggal karena demam berdarah, tentang rasa bersalah karena waktu itu ia cari uang di luar kota dan telat pulang.
“Aku sejak itu menganggap waktu seperti korek,” kata Umar, menatap cangkir. “Sekali dinyalakan, kita harus segera memanaskan air, membuat kopi, menghangatkan hati. Kalau tidak, nyala habis—dan yang kita miliki hanya asap.”
Jaya merasakan sesuatu bergerak di dadanya. Ia merogoh saku dan mengeluarkan korek warisan Umar yang lain—Umar yang gurunya—lalu meletakkannya di meja. “Boleh saya nyalakan, Pak?”
Umar mengangguk.
Jaya menggosok kepala korek, nyala kecil sukses. Asap naik, berpintal, setipis benang. Kuning menatap, seolah ingin menangkap kupu-kupu bayangan itu. Mereka hening beberapa detik, merayakan sesuatu yang mungkin hanya bisa dirayakan oleh orang-orang yang pernah kehilangan: kebahagiaan kecil yang tak akan sama kedua kalinya.
“Jangan menilai masa depan hanya dari abu yang tertinggal,” kata Umar pelan, barangkali mengutip sisa-sisa khotbah hidupnya. “Api yang baru selalu mungkin.”
Jaya memadamkan korek. Di matanya, Kuning terlihat berbeda—bukan karena malam itu, melainkan karena hari-hari yang memperhalus caranya menghadapi. Ia ingin memegang tangan Kuning, tetapi menahan. Kadang keberanian yang paling sopan adalah menunggu.
.
Musim berganti—dan kota selalu punya cara mengumumkan pergantian itu: daun trembesi bertabur di halaman hotel, event musik di Taman Bungkul penuh, penjual petasan mulai menawar harga. Hotel Jaya semakin ramai. Di lobi, Sekar mendirikan sudut baca—book exchange kecil. “Orang-orang butuh jeda yang tenang,” katanya. “Buku adalah payung yang bisa dipakai di dalam hati.”
Suatu hari, manajemen pusat mengirim audit mendadak. Seorang auditor muda bernama Ragil—dengan kacamata kotak dan sepatu yang belum terlalu akrab dengan debu—mencermati laporan satu per satu. “Anda banyak memberikan diskon kamar untuk emergency,” katanya pada Jaya. “Apakah ini kebijakan?”
Jaya menatap Ragil. Di wajahnya ada kenekatan yang belum tahu betul bagaimana dunia bekerja. “Itu kebijakan hati,” kata Jaya. “Bapak bisa memberi catatan.”
Ragil diam sejenak. Kata itu—hati—bukan mata uang yang selalu berlaku di laporan. Namun pada malam yang sama, ketika ragil (r huruf kecil) langit memerah—mau hujan atau mau malam—ada kecelakaan kecil di depan hotel. Seorang pengendara motor terpeleset, kakinya terkilir. Kadir sigap menolong, Sekar menelepon ambulans. Ragil auditor, yang kebetulan baru turun dari kamar, berdiri terpaku lima detik lalu berlari membantu mengangkat. Di UGD, setelah semua beres, ia mendekati Jaya. “Saya paham tadi,” katanya. “Ada mata kuliah yang tidak pernah saya ambil.”
“Namanya?” tanya Jaya.
“Tepa selira.” Ragil tersenyum. “Besok tidak ada catatan.”
Jaya mengangguk. Kota ini, pikirnya, seperti sekolah yang tak pernah libur. Guru-gurunya berjalan di jalanan, menyeberang trotoar, dan mengantre bakso.
.
Suatu senja, Kuning mengabari: “Mas, aku mau resign bulan depan. Ayah butuh ditemani. Aku mau buka kedai kecil di rumah—kopi cilik, roti selai awal-awal.”
Jaya diam beberapa menit di depan layar ponsel. Ia tahu setiap perpisahan adalah jembatan yang harus diseberangi dua orang. “Kalau kau butuh mesin espresso bekas, bilang,” balasnya akhirnya. “Satu mesin yang ada di gudang jarang dipakai.”
“Takutnya nanti dianggap konflik kepentingan.”
“Kalau hidup selalu ditakar lab, kita tak akan pernah minum kopi panas. Biar kusesuaikan prosedurnya.”
Kuning mengirim emoji kupu-kupu.
Seminggu sebelum Kuning resmi alih jalan, mereka duduk di tepi pantai Kenjeran, di bawah menara jembatan yang menyala macam gelang raksasa. Air laut sore itu tenang. Di kejauhan, kapal nelayan pulang—lampu-lampunya seperti doa yang berjalan.
“Mas,” kata Kuning, “aku bimbang. Kalau aku pergi, hidupku berubah. Kalau bertahan, aku takut menyesal.”
Jaya memandang kegelapan yang lambat-lambat datang. “Orang tidak pernah benar-benar bertahan, Kuning. Kita semua berjalan. Yang berbeda hanya ke mana. Change is the only constant. Kata orang bijak jauh sebelum ponsel pintar ada. Tapi di Jawa, orang tua kita menambah satu kalimat penting: ajining diri saka lathi—harga diri itu dari tutur. Kita bisa berubah arah, tapi jangan berubah cara memperlakukan orang.”
Kuning menatapnya lama. “Lalu kita?”
Jaya tidak punya jawaban yang rapi. “Kita berubah tanpa berkhianat,” katanya. “Kita saling mendoakan.”
Kuning tersenyum, mata berkaca-kaca. Malam itu, sebelum pulang, Jaya mengeluarkan korek—ia nyalakan sekali lagi. Asapnya naik, menggambar kupu-kupu yang entah betulan atau hanya harapannya. Ia yakin Umar—keduanya Umar—akan mengangguk.
.
Beberapa tahun kemudian, kota tetap riuh, tetapi Jaya merasa ritmenya sudah lain. Hotel berganti brand, lobi direnovasi, Kadir dipromosikan menjadi kepala keamanan, Sekar menikah dengan seorang jurnalis yang sabar, Ragil auditor membuka kelas volunteer tentang akuntabilitas di sekolah kejuruan. Jaya sendiri bergeser posisi: dari manajer malam menjadi trainer internal—mengajar frontliner baru.
Satu pagi, ia diundang memberikan pelatihan bertema “Urip Iku Urup: Menyala Tanpa Membakar”. Di slide pertama, ia memajang foto korek kayu—bukan koreknya, melainkan gambar yang ia unduh sah dari pustaka bebas. Ia menulis kutipan besar: “Kamu tidak akan pernah menemukan orang yang sama dua kali, bahkan di orang yang sama sekalipun.”
Di kelas, anak-anak muda duduk rapi. Wajah-wajah yang menunggu dunia membuka pintu. Jaya memulai dengan cerita tentang malam pemadaman listrik, tentang anak kecil bernama Aji, tentang barista bernama Kuning, tentang bapak tua bernama Umar, tentang auditor bernama Ragil. Ia tidak menonjolkan dirinya; ia menonjolkan momen-momen ketika orang biasa menjadi luar biasa karena memilih memanusiakan.
“Kalau kalian harus memilih antara prosedur dan hati,” katanya, “jangan salah paham. Prosedur itu pagar, hati itu jalan. Nama pagar tidak pernah mengantar kalian ke rumah. Yang bisa mengantar adalah jalan. Tapi jangan lupakan pagar: ia menjaga agar jalan tidak ditelan sawah tetangga.”
Kelas tertawa, kemudian hening, kemudian mencatat.
Seusai pelatihan, seorang peserta perempuan mendekat. “Pak, saya punya ibu sakit. Saya sering terlambat. Tadi Bapak bilang keluarga prioritas. Tapi atasan saya….”
Jaya menatapnya dengan perhatian yang sedari dulu ingin ia terima dari dunia. “Bawa atasanmu ke ruangan saya. Biar kita bicarakan jalan tengah. Tirakati, titeni, enteni, pateni—asah niatmu, teliti langkahmu, sabari waktumu, akhiri keraguanmu. Ada solusi kalau niatnya baik.”
Perempuan itu menunduk—entah lega, entah masih takut. Jaya mengerti: orang-orang tidak hanya butuh jawaban, melainkan teman berjalan.
Di perjalanan pulang, Jaya melewati pojok gang tempat Kuning dulu menulis catatan. Di status media sosialnya, Kuning kerap mengunggah gambar-gambar kedai kecilnya—ia memberi nama “Kopicinta,” sesuai coretan lama. Dalam salah satu unggahan, Jaya melihat Aji—anak kecil dengan pesawat mainan—kini duduk di bangku warung sambil mengerjakan PR matematika. Umar duduk di kursi rotan di teras, terlihat lebih kurus namun senyumnya tak surut. Pada caption, Kuning menulis: “Hidup yang bahagia itu tidak selalu baru; kadang, ia adalah kebiasaan baik yang kita jaga setiap hari.”
Jaya menekan like, menambahkan komentar: “Salam kupu-kupu api.”
Kuning membalas: “Kita tak lagi sama, kan?”
Jaya menuliskan: “Syukurlah.”
Tiba-tiba ia merasa langkahnya ringan. Ia berhenti di ujung jembatan penyeberangan, memandang Suramadu yang memerangkap cahaya senja. Di saku jasnya, korek Umar masih setia menunggu. Ia tidak menyalakannya. Kini ia tahu: beberapa api tak perlu dinyalakan lagi untuk tetap menyalakan kita dari dalam.
Ia berjalan menyusuri kota yang selalu baru. Dalam benaknya, suara Umar membeku sebagai doa: “Hidup itu menyala untuk menerangi.” Dan di dadanya, seekor kupu-kupu dari asap menetap tanpa perlu asap—sayapnya kini dari keberanian yang tumbuh, bukan dari kebetulan yang lewat.
.
.
.
Jember, 21 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #FilosofiJawa #UripIkuUrup #CeritaKota #MotivasiHidup #Empati #Hospitality #ArswendoStyle