Kota yang Belajar Bernapas

“Yang tak terucap sering lebih berisik daripada kata-kata. Dengarkan yang diam, sentuh yang tak kelihatan.”

.

Pagi itu, kota masih memanggul sisa lembab hujan malam. Udara kepagian mengental di sela-sela gedung kaca, juga di mulut jalan yang penuh gerobak sarapan: bubur ayam, lontong sayur, dan kopi sachet yang dibuka dengan gigi. Di persimpangan Jembatan Merdeka, lampu merah tak pernah betul-betul merah; selalu ada satu motor yang merasa hijau lebih dulu. Di atas jembatan, Jayeng menyalakan motor matic tua warisan almarhum pamannya, menatap arus kendaraan bagai menatap pikirannya sendiri: ramai, ingin cepat, tapi terhalang halus oleh sesuatu yang ia tak mau namai.

Ia bekerja sebagai manajer operasional sebuah hotel bisnis bintang tiga setengah—angka setengahnya selalu menjadi bahan gurauan di rapat—yang berdiri di gang besar dekat stasiun. Nama hotelnya Sembara. Dari jendela kamar-kamar menghadap timur, tamu bisa melihat kereta meluncur, seolah-olah kota ini punya urat nadi dari besi. Di lobi, tanaman monstera dibiarkan mengilat, sementara jam dinding besar berwajah hitam selalu tujuh menit lebih cepat, semacam optimisme yang dipasang permanen.

Kota ini tidak pernah benar-benar tidur, dan pagi itu, Sembara pun tak bisa. Ada rombongan delegasi dari sebuah perusahaan teknologi yang akan check-in, ada komplain dari tamu lama yang mengeluh soal AC, dan ada isu yang bergerak seperti arus bawah: seorang staf F&B, Madi, konon berencana pindah karena merasa “tak didengarkan”. Kata itu beredar dari pantry ke smoking area, dari grup WhatsApp internal ke tatapan-tatapan yang saling menghindar di lift.

Jayeng paham, masalah paling sulit di kota sebesar ini sering bukan logistik, melainkan perasaan. Ia ingat sebuah lembaran yang baru minggu lalu di-share temannya, Maya, konsultan HR yang sesekali nongkrong di kafe hotel sambil memantau dunia lewat LinkedIn. Lembaran itu berjudul “Emotional Intelligence: Cheat Sheet for Leaders.” Ada gambar gunung es: yang tampak di permukaan adalah ramah, sopan, tenang; yang di bawah lebih dalam: kepekaan, empati, mengenali apa yang memicu, merawat percakapan batin. Jayeng menyimpannya di galeri ponsel, lalu setiap kali rapat mulai jadi adu keras kepala, ia mengingat kalimat kecil di pojok: Awareness creates connection—kesadaran melahirkan keterhubungan.

Pukul sembilan, rapat pagi dimulai. Tim inti duduk melingkar: Ganis yang memimpin pemasaran dan terlihat seperti selalu baru saja bangun dari ide bagus; Madi yang menyilangkan tangan dan menyandarkan badan ke kursi, memperhatikan jam di dinding yang cepat tujuh menit; Tole dari engineering, berkumis tipis, memegang lembar kerja seperti memegang surat warisan yang tidak jelas; juga Maya yang hari ini kebetulan ada urusan di hotel, menepuk-nepuk buku catatan kecil.

“Agenda singkat saja,” kata Jayeng. “Ada rombongan datang jam sebelas. Kamar sudah oke semua?”

“Housekeeping beres,” jawab Tole. “Tapi AC di kamar 708 dan 512 masih naik turun. Kita bisa pinjam portable AC untuk sementara.”

Madi mengangguk, tapi diam. Ganis memainkan pulpen. Jayeng sempat ingin bertanya, “Semua baik-baik saja?” Namun ia teringat lagi lembaran itu: Instead of ‘I’m fine,’ say ‘I’m processing.’ Ia menahan diri.

Rapat berjalan seperti biasa—laundry, inventory kopi, pesanan roti gandum—namun suara bawah tanah itu makin jelas: sepi yang tiba-tiba ketika Jayeng meminta saran; persetujuan cepat tanpa pertanyaan, seperti tamu yang mengangguk sambil ragu; percakapan kecil di sudut antara Madi dan Tole tentang jadwal shift. Lima tanda “arus emosi” yang tertulis di lembar cheat sheet seakan menari di hadapannya: hening mendadak, tangan bersilang, cepat setuju, bisik-bisik bertambah, energi turun. Ia merasa seperti berdiri di tepi laut, menatap permukaan yang berkilau tapi merasakan tarikan menuju palung.

Sehabis rapat, Maya menghampiri. “Kamu melihat apa yang aku lihat?” katanya pelan.

“Melihat,” jawab Jayeng. “Tapi belum berani menamai.”

“Kalau begitu, kita coba jembatan empati,” ujar Maya, menyebut bagian lain di lembar itu. “Tiga pertanyaan: Apa yang paling kamu khawatirkan tentang ini? Tolong bantu aku memahami perspektifmu. Seperti apa definisi sukses buatmu?”

Jayeng mengangguk. “Madi duluan.”

.

Madi berasal dari Pamekasan, dengan logat Madura yang makin tebal ketika ia capek. Ia sudah lama jadi tulang punggung F&B—bukan tipe yang banyak bicara, tetapi dapurnya rapi seperti pikiran yang selalu ingin tahu jalan keluar. Belakangan, Madi berubah; matanya tak lagi berbinar saat bicara tentang plating atau kopi single origin. Jayeng memintanya bertemu di rooftop, tempat mereka biasa merokok angin.

“Aku ingin memahami perspektifmu,” kata Jayeng membuka, hati-hati memilih kata. “Apa yang paling kamu khawatirkan dari situasi sekarang?”

Madi menatap langit yang tak biru-biru amat. “Aku khawatir suaraku nggak penting, Jayeng. Banyak ide yang aku bawa, tapi mentah di meja. Orang-orang cepat setuju, tapi habis itu sepi. Di grup, semua oke, di lapangan, semua ‘nanti’.”

Jayeng mengangguk. “Seperti apa definisi sukses buatmu?”

“Sesederhana ini,” kata Madi, “kalau aku ngomong ‘kita coba sediakan opsi sarapan plant-based minimal dua menu,’ ada yang mendengar, mencoba, lalu kita ukur. Nggak harus langsung laku. Tapi dicoba, diukur. Bukan cuma jadi catatan.”

Ada sesuatu di dada Jayeng yang seperti pintu dibuka angin. Ia teringat bagian “kosakata emosi” di lembaran itu: daripada bilang “Kamu salah,” cobalah “Aku melihatnya berbeda.” Daripada “Kamu selalu…,” cobalah “Aku memperhatikan….” Ia memutar ulang kalimat di rapat pagi—bagaimana ia, karena dikejar tenggat, sering memotong: “Udah, gini aja.” Kalimat yang efisien, sekaligus melukai.

“Terima kasih, Mad,” katanya akhirnya. “Aku memperhatikan beberapa kali aku memotong ide kamu. Boleh aku minta maaf?”

Madi menatapnya, lama. “Boleh,” katanya, separuh kikuk, separuh lega.

“Kalau begitu,” lanjut Jayeng, “kita coba ritual empat harian. Pagi, cek perasaan kita dari satu sampai sepuluh. Siang, ambil jeda tiga napas sebelum pindah tugas. Malam, catat apa yang memicu kita hari itu. Minggu, kita lihat pola. Aku tahu ini terdengar seperti guru meditasi yang bosan hidup, tapi kota ini bikin kita lupa bernapas. Aku pun lupa.”

Madi tertawa pelan; tawa yang jatuhnya seperti sendok ke piring. “Kamu lagi ikut kelas Maya ya?”

“Cuma baca lembaran. Boleh kita mulai dari dapurmu? Aku ingin lihat ide plant-based itu.”

Hari itu, Madi menunjukkan dua menu sederhana: tempe crumble di atas roti panggang dengan saus tomat ceri, dan nasi jagung dengan tumis sayur daun kelor. Ganis, yang dipanggil untuk mencicip, mengangguk-angguk. “Kita bisa bikin story tentang kuliner kampung yang naik kelas. Tambah bendera kecil di piring, tulis ‘Rasa yang memeluk bumi.’”

“Tidak usah terlalu puitis,” kata Tole sambil menyambar potongan tempe. “Yang penting, jangan bikin AC di restoran tambah ngos-ngosan.”

Sore itu, Sembara terasa lebih terang. Tapi perubahan kecil jarang berjalan lurus. Malamnya, rombongan tamu datang, check-in mendekati tengah malam karena pesawat mereka tertunda. Salah satu dari mereka, sosok berkemeja putih dengan rambut licin, marah karena kamar yang diminta connecting belum siap. Di lobi, suara naik, tangan menunjuk-nunjuk, dan gawai menyala merekam. Jayeng mengatur napas—ingat tiga tarikan di siang hari—lalu mendekat.

“Kami mohon maaf,” katanya, menjaga nada. “Kami butuh tujuh menit untuk memastikan kedua kamar steril dan kartu aksesnya aktif. Sambil menunggu, boleh saya siapkan minuman hangat? Ada ginger tea atau wedang jahe.”

Pria itu masih menatap tajam. “Kalian kan hotel, bukan rumah kos. Masa hal begini saja repot?”

Jayeng ingin sekali menjawab, “Bapak datangnya lebih malam dari jadwal, sistem kami juga manusia.” Tapi ia mengingat lembar itu lagi: Words shape relationships—kata-kata membentuk relasi. Ia menahan. “Saya melihatnya begini, Pak,” ujarnya pelan, “kami ingin memastikan Bapak dan tim mendapatkan kamar yang paling tenang dan aman, terutama karena perjalanan Bapak panjang. Tujuh menit terasa lama di tengah lelah, dan itu salah kami. Boleh saya proses sekarang juga?”

Ia memberi isyarat pada Madi, yang tanpa banyak bicara menyiapkan wedang jahe dan banana bread dari dapur. Tamu itu akhirnya duduk, menatap layar ponsel, dan tujuh menit itu, entah bagaimana, lewat juga.

.

Esoknya, kota menutup langit dengan awan tipis. Di kantuk pukul sepuluh, Maya mengajak tim kecil berdiskusi. “Aku ingin mengusulkan satu eksperimen: tempat sampah emosi.” Semua tertawa, tapi Maya melanjutkan, “Serius. Kita sediakan satu sesi mingguan, 30 menit, namanya Ruang Ngarangin. Tujuannya untuk ‘membuang’ hal yang mengganjal tanpa saling menghakimi. Aturan mainnya simple: siapa pun boleh bicara satu menit, yang lain mendengar tanpa menyela. Lalu kita pilih satu hal yang bisa kita ubah minggu itu.”

Ganis langsung menimpali, “Boleh. Tapi apakah kita butuh timer? Kalau tidak, Madi bisa orasi sampai sore.”

Madi memasang wajah pura-pura tersinggung. “Lho, justru kamu yang biasanya orasi pakai rima,” sindirnya lembut.

Jayeng menyetujui. “Kita coba Jumat.”

Hari Jumat datang, Ruang Ngarangin perdana. Tole bersandar di sofa, Ganis duduk di lantai bersila, Madi memegang gelas air, Maya memegang timer di ponsel. Jayeng membuka. “Skala perasaan hari ini: tujuh,” katanya, “cenderung cemas tapi mudah pulih.”

“Lima,” kata Madi. “Capek tapi bisa ketawa.”

“Delapan,” ujar Ganis. “Banyak ide liar.”

“Enam,” kata Tole. “Banyak AC manja.”

Maya mencatat. Lalu mereka bergiliran bicara. Jayeng mengaku sering refleks merapikan hal-hal yang belum sempat dikelola, sehingga terlihat seperti memotong ide. Ganis mengakui kadang ia membuat semua terlihat indah padahal realitas patah-patah. Madi jujur bahwa ia takut suaranya hanya dianggap suara tukang masak. Tole… Tole mendesah. “Saya ini anak bengkel,” katanya. “Dari kecil jarang diminta cerita perasaan. Tapi kayaknya, tiap kali rapat, ketika ada suara meninggi, saya… ngeloyor di dalam.”

Semua diam. Kejujuran Tole seperti payung yang tak sengaja ditemukan saat gerimis. Maya memecah sunyi. “Terima kasih. Minggu ini, apa satu hal yang kita ubah?”

“Bahasa,” kata Jayeng. “Mari kita coba ganti kalimat-kalimat kita. Bukan ‘salahmu’, tapi ‘aku melihatnya begini.’ Bukan ‘kamu selalu telat’, tapi ‘aku memperhatikan minggu ini dua kali kamu datang lewat lima menit, ada yang sedang terjadi?’”

Madi mengangguk. “Dan aku minta tolong, kalau ada yang menyilang tangan dan menyandar ke belakang, anggap itu sinyal. Bukan ngambek. Boleh diajak bicara baik-baik.”

Tole tersenyum. “Siap. Kalau saya menyilang tangan, artinya saya lagi kedinginan. AC manja lagi.”

Mereka tertawa. Ruang Ngarangin pertama itu tidak mengubah kota, tentu saja, tapi mengubah cara mereka berjalan di dalam kota: lebih lambat, lebih menyalakan lampu temaram di kepala.

.

Beberapa minggu berlalu. Menu plant-based Madi mulai punya penggemar, terutama anak-anak muda yang gemar merekam sarapan. Ganis membuat kampanye kecil “Sarapan yang Menjaga Bumi,” menggandeng komunitas sepeda. Tole berhasil menaklukkan dua AC manja, meski ada satu yang memutuskan pensiun dini. Jayeng merasa Sembara menyusun napas bersama, pelan dan terdengar.

Sampai suatu malam, sebuah kejadian yang merobek ritme datang.

Di lantai delapan, sekitar pukul sembilan, seorang tamu pingsan di koridor. Tamu lain panik; pegawai berlarian; ambulans dihubungi. Dalam keributan itu, muncul seseorang dari rombongan perusahaan teknologi yang dulu marah soal connecting room—rupanya ia lagi berada di kota untuk proyek lain dan memilih menginap di Sembara lagi, entah karena harga, entah karena wedang jahe. Ia memegang bahu temannya yang pingsan, berusaha tenang, tapi matanya berair. “Dia baru dapat kabar buruk dari rumah,” katanya terbata. “Aku takut.”

Jayeng mendekat, memberi ruang pada tim medis yang dipanggil. “Kita di sini,” ucapnya. Ia mengingat “jembatan empati”: Help me understand your perspective—bantu saya memahami perspektifmu. “Apa yang kamu khawatirkan?”

“Dia tinggal sendiri di apartemen. Kalau dia harus dirawat, siapa yang menemani? Dia baru pindah ke kota ini. Dan besok ada presentasi besar, dia yang memegang data. Tanpa dia, tim kami…” ia tidak melanjutkan.

Jayeng menaruh tangan di punggung orang itu, sebatas yang pantas. “Yang paling penting sekarang keselamatannya,” katanya. “Soal presentasi, kita bisa pikirkan. Tim kami bisa bantu koordinasi. Kamu tidak sendirian.”

Ambulans datang. Malam menelan bunyi sirene ke dalam perutnya. Di lobi, setelah semua mereda, pria itu duduk, memegang cangkir wedang jahe yang lagi-lagi dibuat Madi. Jayeng duduk di sampingnya; mereka diam sama-sama. Dunia terasa lebih pelan ketika dua manusia memutuskan tidak mengisi sunyi dengan apa-apa.

“Terima kasih,” katanya akhirnya. “Dulu aku marah-marah di sini, ingat?”

“Orang yang lelah biasanya mengira marah adalah kompas. Padahal itu alarm,” jawab Jayeng. “Aku sering begitu.”

Ia tertawa kecil. “Kau bisa jadi penulis buku motivasi.”

“Tidak usah,” kata Jayeng. “Buku-buku itu membuatku ingin tidur.”

Mereka tertawa lagi. Dan di tawa kedua, rasa syukur diam-diam menyelinap. Bukan karena semuanya baik-baik saja, tapi karena yang tak baik-baik saja ternyata bisa dihadapi bersama.

.

Namun hidup, sebagaimana kota, selalu menabur rintik bagi siapa pun yang mengira sudah menguasai cuaca. Di minggu keempat Ruang Ngarangin, giliran Ganis yang meletus dengan cara yang jarang terjadi: menutup buku catatan, matanya merah, kalimatnya pendek-pendek.

“Aku capek jadi mesin ide,” katanya. “Semua minta copywriting manis, semua ingin kampanye cantik, semua suka kutipan puitis. Tapi data? Budget? Kalau aku minta angka, jawabannya ‘besok’. Besoknya jadi minggu depan. Minggu depannya jadi ‘kan kita kerja bareng.’ Kalau kampanye jalan dan berhasil, semua bilang ‘kita hebat’. Kalau sepi, aku yang dicolek. Aku tahu pekerjaanku memang begitu, tapi… ya, aku capek.”

Jayeng merasakan sesuatu di tengkuknya. Ia ingin sekali buru-buru minta maaf, langsung memberi solusi—refleks manajer yang ingin mengembalikan dunia ke rel. Tapi ia menahan diri, mengingat jembatan: pertanyaan, bukan nasihat. “Apa yang kamu paling khawatirkan dari situasi ini?” ia bertanya.

“Bahwa aku ini cuma penjual kata,” jawab Ganis cepat. “Bahwa aku hanya pandai membuat kemasan untuk sesuatu yang tidak benar-benar digarap bersama.”

“Seperti apa definisi sukses untukmu?”

“Kalau ideku diverifikasi. Kalau kita punya angka yang jujur. Kalau aku boleh bilang ‘tidak’ ketika janji berlebihan.”

Tole mengangkat tangan. “Aku setuju dia boleh bilang ‘tidak,’” katanya mantap. “Dan kalau butuh angka, aku siap bantu hitung biaya listrik AC manja.”

Maya tersenyum. “Bagus. Jembatan empati kita sudah berdiri. Sekarang, apa satu perubahan kecil yang bisa kita lakukan minggu ini?”

Ganis menarik napas. “Setiap proposal kampanye, kita harus punya satu halaman: anggaran dan indikator. Kita sepakati sebelum unggah. Dan aku minta jam kerja malamku dibatasi. Aku bukan lampu neon.”

Jayeng mengangguk. “Kita sahkan sekarang. Dan aku minta maaf karena beberapa kali menuntut hasil tanpa memberi angka. Minggu ini kita perbaiki.”

Malam itu, Ganis pulang lebih cepat dari biasanya. Di grup internal, ia mengirim gambar langit: awan yang membentuk sesuatu mirip sayap. “Terima kasih,” tulisnya. “Aku belajar bernapas.”

.

Sekitar sebulan setelah lembaran itu pertama kali dibaca Jayeng, kota tiba-tiba mengalami pemadaman listrik bergilir. Sembara menjadi cermin besar untuk panik bersorak: AC mati, lift mengeluh, tamu bersungut. Tole berlarian bersama timnya, memeriksa genset yang sesekali batuk. Madi menyalakan kompor portable, membuat cold brew darurat dengan es batu yang tersisa. Ganis menenangkan tamu lewat announcement di speaker lobi, suaranya tenang seperti pembawa acara radio malam.

Di tengah semua, Jayeng ingat “membaca ruangan”—bahwa yang tak diucapkan sering lebih penting daripada pengumuman. Ia berjalan pelan dari meja ke meja, memperhatikan bahu yang menegang, bibir yang mengerucut, tatapan yang mencari-cari. Kepada yang terlihat memerah karena gerah, ia menawarkan kipas kertas—Maya tadi membagikannya dari gudang properti, entah sejak kapan hotel punya kipas-kipas promosi acara wedding tiga tahun lalu. Kepada seorang anak kecil yang merengek karena tak bisa menonton kartun, ia memberikan lembar kertas bergambar peta kota dan set box krayon, entah dari mana. Kepada seorang kakek yang tampak kebingungan, ia duduk sebentar, mendengarkan kisah masa mudanya di stasiun sebelah. Dan pada saat itu, entah bagaimana, listrik kembali menyala. Tamu bersorak; seseorang bertepuk tangan; Madi mengangkat wajan seperti trofi.

Malamnya, ketika hotel kembali tenang, Jayeng duduk sendiri di lobi. Jam dinding tetap tujuh menit lebih cepat. Di kaca, ia melihat bayangan dirinya—lelaki yang setahun terakhir bisa tidur lebih nyenyak. Ia membayangkan gunung es dari lembaran itu; bagian bawahnya mungkin masih gelap, tapi tidak lagi menakutkan. Rasanya seperti menyelami kolam renang malam-malam: airnya dingin, tapi ada lampu biru di dasar yang membuat semuanya terlihat mungkin.

Ia membuka ponsel, menulis pesan di grup kecil: “Besok pagi jam delapan, kalau sempat, kumpul sebentar. Aku ingin mengucapkan terima kasih.”

Esoknya mereka berkumpul: Madi dengan apron yang belum sempat dilepas, Ganis dengan rambut dikuncir seadanya, Tole dengan oli menempel di siku, Maya dengan senyum yang tidak pernah tergesa. Jayeng berdiri, mengais kata.

“Terima kasih,” katanya. “Kita tidak menjadi sempurna. Kita tidak tiba-tiba berubah menjadi hotel paling hebat. Tapi kita mulai tahu cara bernapas. Kota ini keras, dan terkadang kita keras pada diri sendiri, juga satu sama lain. Kita belajar mengganti beberapa kalimat, menambah beberapa napas, menahan beberapa dorongan. Kita belajar bahwa ‘maaf’ bukan ancaman, ‘tolong’ bukan kelemahan, ‘aku belum bisa menjawab’ bukan kegagalan. Dan yang paling aku syukuri, kita belajar mendengarkan diam.”

Maya mengacungkan jempol. “Kalau suatu hari kalian lupa, ingatlah lembar kecil itu,” katanya. “Atau, kalau lebih sederhana, ingat tiga hal: tanya dulu, tarik napas, dan ucapkan makna.”

Madi memotong. “Dan jangan lupa makan,” tambahnya. “Orang lapar gampang marah.”

Semua tertawa.

Di akhir pertemuan, Jayeng memperhatikan mereka satu per satu: Ganis yang semakin berani menolak tenggat yang tidak wajar, Madi yang matanya kembali berbinar saat bercerita tentang rasa, Tole yang pelan-pelan belajar menyebutkan perasaan sekaligus memperbaiki mesin, Maya yang mengingatkan—dalam dunia yang ingin cepat, ada seni menunda dengan sadar.

“Boleh aku usul satu kalimat untuk ditulis di notice board staf?” tanya Ganis.

“Apa?”

“‘Yang tak terucap sering lebih berisik daripada kata-kata. Dengarkan yang diam, sentuh yang tak kelihatan.’”

Jayeng mengangguk. “Tulis, dan gunakan huruf yang bisa dibaca tanpa kacamata.”

.

Kota tetaplah kota. Jalanan kembali macet, grup pelanggan tetap memesan yang itu-itu saja, ada review satu bintang karena tamu salah tanggal dan menyalahkan sistem. Ada malam-malam ketika Jayeng ingin mengembalikan semua pada bunyi sederhana: bunyi sendok bertemu cangkir, bunyi napas yang menemukan ritme. Dalam malam-malam itu, ia berjalan ke rooftop, memandangi kereta yang melintas seperti kalimat panjang tanpa titik. Ia memikirkan cerita-cerita lama yang dibacakan ibunya waktu kecil—kisah-kisah Menak yang penuh nama-nama samar: Jayengrana, Umarmaya, Umarmadi, Rengganis, Jokotole. Di kota modern ini, mereka seperti menjelma: Jayeng yang tak punya gelar apa-apa, Madi yang setia pada api, Ganis yang merangkai warna, Maya yang mengantar dari seberang, Tole yang mengerti mesin seperti mengerti cuaca.

“Tidak ada pahlawan,” gumamnya, “yang ada, orang-orang yang mau belajar menjadi peka.”

Dan pada akhirnya, ia percaya, hotel hanyalah alasan untuk membuat manusia bertemu manusia: yang satu membawa lelah, yang lain membawa air. Kadang berganti peran. Kadang keduanya lelah, dan airnya habis. Pada saat-saat begitu, yang menyelamatkan adalah hal-hal kecil yang nyaris sepele: tiga napas di antara rapat, kata-kata yang dibersihkan dari tudingan, tanya yang membuka jembatan. Juga wedang jahe.

Suatu hari, seorang tamu meninggalkan catatan di meja resepsionis: “Saya datang ke kota ini untuk rapat yang saya tak suka. Saya pulang dengan hati sedikit lebih ringan. Terima kasih karena kalian tidak sekadar menjalankan hotel; kalian menjaga kemanusiaan tetap menyala.” Jayeng membaca catatan itu berulang, seperti membaca doa yang tidak perlu dikembalikan ke langit.

Di luar, hujan turun. Kota wangi tanah basah. Dari jendela kaca besar, Sembara memantulkan lampu-lampu jalan yang berlari kecil. Ada sesuatu yang bergerak perlahan di dalamnya—bukan tamu yang keluar-masuk, bukan pegawai yang menekan tombol lift, bukan juga detik jam yang berlari tujuh menit lebih cepat. Sesuatu itu adalah kemampuan untuk berhenti sebentar, lalu mendengar: suara sepi, suara takut, suara ingin dimengerti. Suara yang, ketika didengar, mengubah cara kita memandang diri sendiri dan dunia yang tergesa.

Pada malam seperti itu, Jayeng menulis satu kalimat di buku kecilnya—semacam kompas yang ia pilih sendiri: “Pemimpin yang baik bukan yang selalu tepat, melainkan yang berani menamai perasaannya dan memberi tempat bagi perasaan orang lain.” Ia menutup buku, mematikan lampu lobi, dan membiarkan kota tidur dengan lampu-lampu yang tak pernah benar-benar padam.

.

Beberapa bulan kemudian, Sembara mendapat undangan menjadi tempat penyelenggaraan workshop kecil tentang kepemimpinan. Maya menjadi pembicara, Ganis menyiapkan materi visual sederhana, Madi mengatur menu yang hangat dan ramah perut, Tole memastikan mikrofon tidak mendehem di tengah presentasi. Di depan para peserta—sebagian manajer ritel, sebagian kepala ruangan puskesmas, sebagian lagi owner kafe—Maya menunjukkan lembaran yang dulu ia kirim: gunung es, jembatan empati, kosakata baru, ritual harian, cara membaca ruangan.

“Semua ini tampak sederhana,” katanya, “tetapi justru karena sederhana, kita sering melewatinya.”

Seorang peserta mengangkat tangan. “Bagaimana kalau orang-orang di tim kita tidak mau diajak begini? Mereka enakan marah, cepat, langsung.”

Maya tersenyum. “Jangan memaksa. Mulai dari diri. Tunjukkan hasil. Orang-orang ikut pada yang dirasa memberi ruang bernapas.”

Jayeng duduk di belakang, memperhatikan. Ia bukan pembicara hari itu, dan entah kenapa bahagia sekali. Ia memperhatikan dua peserta yang duduk menyilangkan tangan dan menyandar, lalu tersenyum sendiri: arus bawah sedang bergerak. Sesudah sesi selesai, ia menghampiri mereka, menawarkan wedang jahe. Percakapan mengalir, pelan dan sungguh-sungguh, tanpa paksaan.

Di ujung acara, Ganis menempel satu poster kecil di papan pengumuman hotel: “Ruang Ngarangin setiap Jumat, 16.30—terbuka bagi semua karyawan.” Hurufnya jelas, dengan gambar kipas kertas di pojok. Sebuah undangan untuk apa yang selama ini paling sukar: kejujuran yang lembut. Dan tiap Jumat sore, bahkan ketika hujan, ada saja dua-tiga orang baru yang duduk, diam sebentar, lalu mulai bercerita.

Kota di bawah sana tetap keras. Tapi di dalam Sembara, ada cara baru menghadapi keras: tidak dengan semakin keras, melainkan dengan empati yang tekun. Dengan keberanian memeriksa diri sebelum menunjuk orang lain. Dengan mengganti “Selalu kamu…” menjadi “Aku memperhatikan…” Dengan mengajukan “Apa yang kamu khawatirkan?” sebelum “Kenapa kamu begitu?” Dengan tiga tarikan napas yang tak terlihat, namun mengubah arah.

Suatu malam, setelah semua selesai, Jayeng berjalan keluar sendiri. Udara kota mengandung sisa-sisa asap dan wangi pohon hujan. Ia membayangkan ibu-ibu pemilik warung di ujung gang, pedagang asongan di stasiun, supir ojek yang menunggu order, satpam yang mengantuk. Masing-masing membawa cerita yang, kalau dibuka, bisa memenuhi satu novel. Ia meletakkan telapak tangan di dada, merasakan detak jantungnya. “Aku sedang memproses,” katanya dalam hati—kalimat baru yang ia pinjam dari lembaran itu. Rasanya sederhana, sekaligus menenangkan.

Kota tidak berubah drastis malam itu. Tidak ada kembang api, tidak ada lagu pahlawan, tidak ada headline. Yang ada, seorang manusia yang memutuskan untuk tetap peka, di mana pun ia berdiri: di lobi hotel, di rooftop, di koridor yang terlalu terang, di dalam lift yang bergerak lambat. Seorang manusia yang percaya, seperti kalimat yang ia tempel di notice board, bahwa yang tak terucap bisa sangat berisik—dan karena itu, harus didengarkan.

Dan di situlah, barangkali, letak kemenangan kecil yang paling kita nanti-nanti: bukan di angka yang melesat, bukan di plakat penghargaan yang berdebu, melainkan di momen ketika seseorang merasa dilihat. Kota bisa keras sesuka hati; manusia—jika mau—tetap bisa lembut.

.

.

.

Jember, 25 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#KecerdasanEmosional #Empati #Leadership #Hospitality #KotaIndonesia #RuangNgarangin #KomunikasiBaik #WorkplaceWellbeing #Storytelling

Leave a Reply