Kompas di Saku Siti

“Jangan pernah menukar siapa dirimu hanya untuk sekadar disukai. Ketulusan bertahan; pencitraan menguap bersama pagi.”

.

Lampu Kota, Luka Kota

Jakarta dini hari seperti akuarium raksasa. Lampu-lampu menari di dinding gedung kaca, ikan-ikan besi menyusuri jalan layang. Dari lantai 23, Siti menempelkan kening ke jendela. Dari situ ia bisa melihat bayangan dirinya: mata cekung, bibir diikat ragu. Di belakang punggungnya, kantor seperti gurun: kubikel kosong, kursi putar menjadi bukit kecil, monitor sudah tidur. AC tetap bekerja; kedinginan milik semua orang yang lupa mematikan.

Ia baru merampungkan presentasi untuk klien energi—bukan bagiannya, tapi diserahkan Hasan tadi sore: “Siti, tolong, kamu kan cepat.” Kalimat yang selalu diakhiri senyum ringan. Senyum yang seperti kunci ganda: jika kau membuka, kau menutup dirimu sendiri.

Siti ingat ibunya di Depok. Perempuan yang percaya petuah sederhana: “Jadilah anak baik. Jangan bikin orang kecewa.” Kata “baik” menempel seperti label harga yang sulit lepas. Di kantor, label itu menjelma undangan: tolong dong, bisa ya, sejam aja kok. Di rumah, ia menghapus keinginan sendiri. Ia mengiyakan terlalu banyak hal, menunda terlalu banyak diri.

Di kulkas kecil dekat pantry, ada catatan tempel: “Air panas habis, isi lagi ya. Plis.” Siti mengganti galon, mengangkatnya sendiri. Saat punggungnya nyeri, ia tertawa kecil. Menolong memang sedap, tapi kerap menuntut tulang.

.

Angkringan di Matraman

Usai Isya, Siti bertemu Ratna di angkringan Matraman. Warung sederhana itu semerbak sate kerang, nasi kucing, dan kopi hitam yang selalu berlebihan gula. Ratna—sahabat SMA—mengikat rambutnya ke atas, meninggalkan wajah yang pernah sering menangis lantaran pacar, lalu bos, lalu hidup.

“Aku capek, Ti. Capek jadi orang baik,” katanya, merapikan tusuk sate seperti menyusun alasan.
“Kamu baik, Na. Itu bagus.”
Ratna menggeleng. “Baik itu sering berarti mengalah. Aku makin paham, ada bedanya antara baik dan benar.” Ia menatap Siti. “Yang benar menetapkan batas. Yang baik—atau tepatnya, manis—menunda marah sampai membusuk.”

Kata-kata itu menggelegar. Siti teringat kisah Menak yang dulu diceritakan ayahnya di Jember: tentang Amir, pemuda yang ingin menyenangkan semua orang. Amir dihormati karena manis, tetapi tersungkur sebab tak pernah memihak nilai. Dalam versi sang ayah, Amir jatuh bukan oleh musuh, melainkan oleh dirinya sendiri—karena menolak berkata “tidak” saat kesalahan berbisik pelan.

“Kebaikan tanpa pendirian hanyalah gula di hujan,” tulis ayahnya di halaman buku dongeng.
“Benar itu garam: tak memikat semua lidah, tetapi menjaga rasa hidup.”

Siti menggenggam cangkir erat. Di permukaan kopi, ia melihat bulan—bulat, kecil, mengapung di langit palsu kafein.

.

MRT, KRL, dan Jam Tangan

Pagi Jakarta menetas seperti telur mata sapi—matahari dibiaskan polusi, kuning pucat. Siti menyelinap ke MRT Dukuh Atas, bergeser memberi ruang bagi stroller, tas ransel, dan lelah yang tak bisa diletakkan. Ia memandangi iklan-iklan: apartemen baru, dompet digital, kursus bahasa, dan kredit yang selalu ramah kepada yang terburu-buru.

Di layar ponselnya muncul pesan Hasan: “Dek, tolong rapikan angka CAPEX kemarin. Direksi minta konsolidasi yang lebih ‘optimis’.”
Optimis, dalam dialek kantor, kadang berarti memoles luka menjadi riasan.

Siti mengetik: “Mas, sesuai data lapangan, angka itu nggak realistis. Kalau dipaksa, risk-nya tinggi.”
Ia menghapus, mengetik ulang: “Mas, kita bahas di kantor ya.”
Ia belajar: kejujuran memerlukan jam tangan yang tepat.

Dalam KRL yang berderit menuju Sudirman, Siti menyangka hidupnya mengalir lurus. Namun di antara pengamen yang menyanyikan “Bento” versi dangdut, ia sadar: rel pun punya persilangan, tempat orang memutuskan berhenti atau memberi jalan.

.

Hasan, Meja Rapat, dan Kata “Tidak”

Siang itu, di meja rapat berlapis kayu yang selalu terlalu dingin, Hasan meletakkan berkas. Garis bibirnya memanjang seperti selokan.

“Kita perlu narasi pertumbuhan lebih agresif. Pak Anom dari Samudra Capital mau lihat ‘skema pembelajaran pasar’, bukan problem. Siti, kamu paling paham. Tolong ya.”

Siti menatap angka. Ia tahu: jika “pertumbuhan agresif” ditulis, konsekuensinya bukan pada kertas, melainkan pada pekerja di lapangan: sopir truk lembur, petugas keamanan menahan kantuk, ibu-ibu menunggu suami pulang. Wajah-wajah itu seperti foto hitam putih di pikirannya.

“Mas Hasan,” suaranya pelan, “kalau narasi terlalu agresif, kita menutupi risiko nyata. Aku usulkan dua skenario: konservatif dan moderat. Biar dewan lihat kompasnya.”

Hasan mengerjap. “Kamu sekarang kok kaku, Ti? Dulu fleksibel.”
“Aku tetap fleksibel, Mas. Tapi ini menyangkut orang—bukan hanya angka.”

Ruang rapat hening. Di luar kaca, langit menahan hujan. Siti baru sadar tangan kirinya gemetar, tapi matanya tenang. Hasan menumpuk berkasnya, mengangguk kecil. “Baik. Siapkan dua skenario.”

Itulah “tidak” yang diucapkannya tanpa memaki. Dan untuk pertama kali, ia pulang lebih awal—bukan karena tugas selesai, melainkan karena ia memutuskan berhenti menjadi keset.

.

Depok, Dapur, dan Doa Baru

Sabtu, Siti pulang ke Depok. Ibunya menghaluskan bumbu lodeh di cobek retak. “Kamu kelihatan beda, Nak,” katanya.
“Beda gimana, Bu?”
“Mata kamu jadi nggak minta izin ke orang lain.”

Siti tertawa. “Aku cuma belajar menolak yang harus ditolak.”
Ibu duduk, menatap jendela. “Dulu Ibumu minta kamu jadi anak baik. Ternyata nasihat itu membuatmu menahan diri terlalu lama. Maafkan Ibu.”

Siti meraih tangan ibunya. Ia ingat almarhum ayah: lelaki ramah yang suka mendongeng Menak Madura—nama-nama yang mudah meleleh di lidah: Amir, Muninggar, Anom, Wigas. Kepada Siti kecil, ayah berpesan, “Jadilah orang baik yang berani.” Barangkali baru sekarang ia paham maksud “yang berani”.

.

Wira dan Musala di Lobi

Senin pagi, Siti bertemu Wira di lobi, lelaki berkacamata dengan kemeja selalu biru muda. Mereka kadang bertukar catatan, kadang saling menelan jam karena rapat tumpang-tindih. Wira dikenal jujur, kadang terlalu.

“Aku baca rancanganmu, Ti. Dua skenario. Bagus.”
“Semoga tidak jadi bumerang,” jawab Siti.

Mereka salat Zuhur di musala kantor; ruangan kecil dengan karpet yang menyimpan aroma sandal basah. Seusai salam, Wira berkata, “Kita sering salah paham dengan kata baik. Kebaikan sejati nggak memaksa kita menyenangkan semua orang. Ia justru memberi ruang bagi orang lain untuk bertanggung jawab.”

Ucapannya gulir tenang seperti manik tasbih. Siti merasa ada sesuatu menghangat di dada—bukan cinta, mungkin, melainkan kelegaan karena ada yang menyebutkan isi pikirannya dengan kata lebih jernih.

.

Banjir, Ojek, dan Warteg

Hari-hari berlalu, hujan Jakarta mengukur sabar kota. Jalan di depan kantor tergenang; sepatu Siti basah, ia tertawa pada tukang ojek yang menawarinya jas hujan plastik lebih mirip mantel batita. Di warteg langganan, Bu Muninggar—dipanggil Bu Ning—menyajikan sayur asem, tempe orek, dan sambal yang memulihkan iman kepada nasi.

“Kerja itu kayak gulai,” kata Bu Ning sambil mengipas kompor. “Kalau kebanyakan santan, sakit perut. Kalau kebanyakan cabai, orang kabur. Yang pas itu seimbang.”
Siti mengangguk—barangkali warteg adalah universitas yang tak pernah ia daftar.

Di sudut warteg, seorang kurir makan tergesa sambil memegang ponsel yang terus berbunyi. Siti teringat angka “agresif” yang bisa berarti kurir-kurir itu tak punya pulang. Aku ingin bekerja tanpa menyakiti yang tak kukenal, batinnya.

.

Cermin Retak di Ruang Audit

Seminggu setelah draft “dua skenario” disetujui, bagian audit internal memanggil Siti. Ruangan Anis—kepala audit—seluas ruang doa: sederhana, lampunya hangat, dindingnya bersih dari plakat yang memamerkan kemenangan. Di layar, Anis menampilkan dua berkas: satu berjudul moderate_projections_final_Siti.docx, satu lagi aggressive_projection_final_Siti.docx.
“Ini tanda tangan digitalmu,” kata Anis, menunjuk dokumen kedua.
Siti menatap, rasa panas menjalari telinga. “Bukan itu file finalku, Mbak.”
“Portal investor memuat yang agresif,” sambung Anis. “Jejak metadata menunjukkan unggahan dari akun sekretaris proyek, tapi otorisasi melewati akun manajer.”
Hasan duduk gelisah di sudut, mengetuk-ngetuk meja. “Kita butuh kecepatan. Direksi minta kepastian.”
“Kecepatan bukan alasan memalsukan arah,” sahut Siti, pelan, tapi kata-katanya jatuh seperti kunci pada gembok.
Anis menatap Siti lama, lalu mengangguk. “Kami telusuri sampai tuntas. Tolong kirimkan semua versi kerja, termasuk autosave dan email trail.”
Malam itu, Siti duduk di halte busway. Hujan menggurat lampu-lampu kota. Ia mengetik satu kalimat pada catatan gawainya:
“Jangan jadi baik yang diam; jadilah baik yang bersuara.”
Lalu ia pulang, menyiapkan semua bukti. Di antara folder-folder yang diberi nama tergesa, ia menemukan dirinya sendiri—orang yang tak lagi mau dipinjam wajahnya untuk kebohongan.

.

Ombak di Samudra Capital

Ruang rapat di lantai 25 memantulkan mendung. Perwakilan Samudra Capital, pria berambut perak bernama Anom, duduk tegak. “Kami menyukai laju,” katanya, telunjuk mengetuk tabel proyeksi. “Pasar menghargai keberanian.”
Siti menatap Wira sekejap. Ia berdiri, menyelaraskan napas. “Keberanian bukan berarti memalsukan risiko, Pak Anom. Dua skenario kami bukan ragu-ragu, tapi kompas: yang satu menunjukkan angin, yang lain badai.”
Anom menahan senyum, lalu menatap Hasan, kemudian Siti lagi. “Badai bisa mengajari kapal.”
“Benar,” kata Siti, “tapi kapal yang berangkat dengan peta palsu tak sekadar terlambat—ia bisa pecah.”
Hening. Di balik kaca, hujan mulai jatuh.
Anom menutup mapnya. “Kepastian palsu lebih berbahaya dari ketidakpastian yang jujur. Saya ingin peta yang jujur.”
Rapat berakhir tanpa tepuk tangan. Di lift, Hasan berbisik, “Kamu mempermalukan tim.”
Siti menatap angka-angka menyala di panel. “Aku menyelamatkan kita dari mempermalukan manusia di luar ruangan ini.”

.

Sanksi Sunyi

Dua hari kemudian, memo singkat datang: Siti dipindahkan sementara ke proyek internal efisiensi. Kursinya digeser, namanya hilang dari surel rapat eksternal. Tidak ada yang bilang “hukuman”, tapi sunyi selalu punya kamusnya sendiri.
Ratna mengirim pesan: Kalau hatimu berat, kosanku punya ruang baca.
Ibunya menelepon, suaranya lembut seperti kain tipis: “Kalau kamu perlu diam, pulanglah. Dapur selalu menunggu.”
Siti memilih tinggal. Di musala kantor, ia memindahkan laptop ke pojok dekat kipas berdengung. Wira datang membawa termos kecil. “Kopi yang tidak manis,” katanya.
Mereka menyusun kronologi. Bukti-bukti dipilah hingga fajar. “Kebenaran membutuhkan kesabaran,” ucap Wira.
“Dan punggung,” tambah Siti, merasakan pegal yang memanjang sampai ke masa kecilnya.

.

Surat dari Masa Kecil

Di akhir pekan, ia membereskan lemari dan menemukan kotak kayu tua. Di dalamnya, sepucuk surat dari ayah, ditulis saat ia lulus SMA:
“Siti, kelak kau akan tinggal di kota yang menukar senyum dengan kesempatan. Jangan jual senyum itu. Jadilah Siti yang baik—yang berani. Jika kau ditanya, ‘mengapa tidak mengalah?’, katakan: karena aku menghormati hidup.”
Tinta kebiruan sudah pudar, tetapi kalimatnya masih tajam. Siti menempelkan surat itu di kulkas apartemen, di sebelah daftar belanja. Setiap pagi, ia membaca ulang, seperti membaca doa yang paling ia percayai.

.

Demonstran di Bundaran

Senin siang, mahasiswa berorasi di bundaran; poster-poster ditulis dengan spidol terlalu tipis—hurufnya miring, tapi marahnya tegak. Siti berjalan melewati kerumunan, menangkap sebaris kalimat: “Kami bukan angka.”
Di ruang direksi, audit internal memaparkan hasil: metadata menunjukkan perubahan dokumen terjadi dari akun sekretaris proyek, atas perintah lisan, dengan templat tanda tangan digital lama milik Siti. Rekaman telepon menguatkan.
Hasan merapikan dasi. “Saya bertanggung jawab. Saya kira ini untuk jaga kemitraan.”
Tidak ada pekik. Keputusan dibacakan dengan suara rendah: rotasi posisi, sanksi administratif, evaluasi menyeluruh pada tata kelola dokumen.
Siti merasakan campuran lega dan kehilangan yang ganjil. Ia tidak suka melihat siapa pun jatuh, bahkan ketika kejatuhan itu wajar. Tapi untuk pertama kali, ia merasa kantor belajar mengeja kata benar tanpa ragu.

.

Patah dan Pulih

Siti dikembalikan ke pos semula. Ada selamat yang disampaikan setengah suara, ada tatapan yang berhenti di ambang. Malamnya, ia duduk di bangku beton halte. Wira datang membawa dua gelas es kopi susu.
“Kamu kuat,” katanya.
“Aku retak,” jawab Siti.
“Retak itu bukan hancur,” Wira tersenyum. “Itu ruang bagi cahaya.”
Mereka tertawa kecil. Langit memerah sebelum Magrib, kota menarik napas panjang. Siti mengakui pada dirinya: ia masih takut. Tapi takut yang jujur lebih menenangkan daripada berani yang palsu.

.

Cinta yang Tidak Meminta Maaf

Hubungan Siti dan Wira tumbuh dari kerja, bukan pengakuan. Mereka bertukar template dan tautan paper, tertawa pada printer yang kehabisan toner, mengantar laporan ke lantai yang selalu lebih dingin daripada yang diperlukan.
Suatu malam, mereka makan bubur ayam di tepi kali yang dicekik beton.
“Kamu ingin apa dari hidup?” tanya Wira.
“Damai.”
“Damai itu apa?”
“Bisa tidur tanpa merasa berkhianat.”
Wira tertawa pelan. “Kupikir kamu akan bilang rumah dengan kebun rosemary.”
“Jakarta susah menumbuhkan rosemary,” Siti menyendok buburnya. “Tapi mungkin kita bisa menumbuhkan kejujuran.”
Di ulang tahun Siti, Wira menghadiahi kompas kecil berwarna perak. Di belakangnya terukir: “Untuk mencari timur, bukan tepuk tangan.”
Siti memegangnya lama. Ada air yang hendak jatuh, tapi ia tahan. “Terima kasih,” katanya. “Ini peta yang tidak akan aku jual.”

.

Pilihan

Tawaran datang: kepala divisi di perusahaan pesaing, gaji lebih tinggi, tim lebih besar. Kartu nama yang lebih panjang.
Sore hari, Siti mengajak Wira ke rooftop gedung. Jakarta memaku langit dengan garis-garis listrik.
“Kalau aku pindah, kamu marah?”
“Kenapa aku harus marah?”
“Kamu akan kehilangan rekan terbaikmu,” gurau Siti.
Wira tersenyum tipis. “Aku akan kehilangan orang yang kusayangi di jam kerja. Tapi dunia lebih perlu kamu daripada egoku.”
“Aku takut jadi orang yang mengejar gelar, bukan makna.”
“Makna tak bersembunyi di kartu nama,” ucap Wira. “Makna ada di keputusan kecil yang kita ulang setiap hari.”
Siti menolak tawaran itu. Bukan karena kecil hati, tetapi karena ia memilih menyelesaikan janji yang sedang ia rintis: program pelatihan integritas praktis, studi kasus warteg Bu Ning, dan riset kecil tentang beban kerja di rantai logistik.

.

Rumah Rembulan

Setahun kemudian, Rumah Rembulan berdiri di gang kecil Cikini: ruang belajar mungil dengan rak buku bekas, papan tulis yang masih menyisakan angka-angka rapat, dan karpet tipis yang bersuara ketika diinjak. Ratna mengurus komunikasi, Bu Ning menjadi katering resmi—menu “siang jujur”: sayur asem tanpa micin, tahu bacem tak terlalu manis.
Di kelas perdana, Siti menulis di papan: “Baik ≠ Manis.”
“Baik itu jujur, menetapkan batas, melindungi energi, dan tidak kompromi pada nilai,” katanya. “Manis membuatmu disukai—sebentar. Baik membuatmu dihormati—lebih lama.”
Seusai kelas, seorang peserta mendekat—kurir yang kuliah malam. “Mbak, saya dibilang galak karena menolak order di atas jam kerja. Dengar kelas Mbak, saya tenang. Ternyata saya bukan malas. Saya cuma ingin pulang.”
Siti tersenyum dan menepuk bahunya. “Pulang juga bagian dari kebaikan.”

.

Perusahaan Retak, Kota Retak

Krisis merayap lewat notifikasi; pelanggan menunda pembayaran, biaya logistik naik. Rapat darurat digelar. Usul penghematan datang berderet: memotong asuransi sopir, membekukan lembur, memindahkan risiko ke vendor kecil.
“Kalau kita tidak potong, kita tenggelam,” kata seorang direktur.
“Kalau kita memotong dari yang paling lemah,” jawab Siti, “kita tetap tenggelam—hanya saja lebih dulu sebagai manusia.”
Ia mengajukan rencana lain: menutup proyek bermargin negatif, menegosiasikan ulang payment term dengan investor, memangkas fasilitas manajer yang tak esensial, mempertahankan asuransi dan lembur sesuai hukum. Angka-angka disusun seperti jembatan yang tidak indah, tapi kuat.
Keputusan lolos tipis. Di lorong, seorang manajer berbisik: “Kamu bikin orang atas nggak nyaman.”
Siti tersenyum letih. “Ketidaknyamanan kecil bisa menyelamatkan banyak tidur.”

.

Perpisahan yang Benar

Pagi gerimis, Wira datang dengan koper kecil. “Aku diminta memimpin cabang Surabaya. Dua tahun.”
Siti mengangguk, menahan gelombang yang naik dari dadanya. “Kamu harus pergi.”
“Kamu marah?”
“Aku sedih. Tapi ini benar.”
Mereka berdiri di halte. Bus berhenti, pintu mendesah. “Jangan jadi baik yang berbohong padaku,” kata Siti. “Kalau lelah, bilang lelah. Kalau jatuh, bilang jatuh.”
Wira tersenyum. “Dan kalau kamu rindu, telepon. Jangan menunggu cuaca.”
Bus menutup pintu. Siti melambaikan tangan. Hujan menghapus jejak di trotoar, bukan arah.

.

Surat Terbuka untuk Amir

Malamnya, Siti menulis surat untuk Amir—tokoh dalam kisah ayah.
“Amir, aku tahu rasanya ingin disukai semua orang. Kau dan aku hidup di tempat yang memuja ramah-tamah sambil melupakan tulang punggung. Tetapi aku belajar: lebih mulia kehilangan tepuk tangan daripada kehilangan muka saat menatap cermin. Jika kelak aku tergoda menjadi manis yang membius, ingatkan aku bahwa gula juga penyebab penyakit.”
Ia unggah di laman Rumah Rembulan. Balasan datang seperti lampu-lampu kecil: cerita pegawai yang menolak lembur ilegal; ibu yang pulang tepat waktu; sopir yang menepi ketika kantuk menyambar; manajer yang meminta maaf karena memaksa target. Siti membaca satu per satu. Kota, pikirnya, tidak hanya diisi gedung; ia hidup dari keputusan-keputusan kecil yang tidak masuk berita.

.

Malam Rembulan

Malam itu, Siti kembali ke rooftop gedung lama. Rembulan menggantung, bulat, dililit tipis awan. Telepon berdering. Wira.
“Aku baru mendarat,” katanya. “Surabaya panas. Tapi langitnya jujur.”
“Jakarta juga mulai jujur,” Siti tertawa. “Kelas penuh. Aku tak lagi takut dibilang galak.”
Hening yang hangat merambat di antara frekuensi. Apakah rindu juga bisa berjalan di kabel? pikir Siti.
“Ti,” suara Wira kembali, “kalau suatu hari kompasmu goyah, ingatlah timur ada bahkan ketika fajar tertutup gedung.”
“Dan kalau aku lupa, kamu ingatkan,” sahut Siti.
“Selalu.”

.

Epilog

Pagi selalu datang dengan cara yang sama: pelan, lalu terang. Kota besar tidak menjanjikan bahagia; ia menawarkan pilihan, beribu setiap hari, yang menggoda kita melepas diri demi disukai.
Siti belajar bahwa kebaikan bukan tiket tepuk tangan. Ia adalah keberanian untuk hidup dengan mata terbuka. Di kelas Rumah Rembulan, di warteg Bu Ning, di musala kecil yang karpetnya tak pernah benar-benar kering, Siti bertemu banyak orang: pegawai yang menjaga batas, sopir yang pulang tepat waktu, manajer yang berani mengakui salah, mahasiswa yang mencari arah.
Pada papan tulis, ia menulis kalimat yang selalu ia ulang—diambil dari angkringan Matraman, dari kisah Menak ayahnya, dari rapat-rapat yang membeku, dari malam-malam yang menahankan air mata, dari kompas kecil di sakunya:

“Jangan tukar siapa dirimu hanya supaya disukai. Niceness boleh menang tepuk tangan; kebaikan yang benar membangun hormat—dan itulah yang bertahan.”

Rembulan turun perlahan di balik gedung kaca. Siti menutup pintu kelas, mematikan lampu, dan pulang. Di saku jaket, kompas bergetar halus, seolah-olah dunia berbisik: timur menunggu, teruslah berjalan.

.

.

.

Jember, 6 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #SastraKompasMinggu #KehidupanKota #Integritas #KebaikanSejati #MenakMadura #JeffreyWibisonoV #RembulanDiBalikGedungKaca

Leave a Reply