Ketika Lilin Bicara pada Matahari

“Di gelap, cahayamu yang kecil mungkin lebih berarti daripada terangku.”

.

Pagi di Jakarta Selatan tidak pernah benar-benar pagi; ia lebih mirip kelanjutan malam yang dibelokkan oleh jam kerja. Di teras kaca sebuah kedai, Panji Damar menatap cangkir putih—tipis, rapuh, mengilap seperti janji-janji yang baru diucapkan. Notifikasi ponsel menyala tanpa jeda: investor utama mundur, pengganti belum jelas, arus kas akan ketat. Ia menahan napas, lalu meneguk kopi yang tiba-tiba terasa lebih pahit.

Sekar—semua teman memanggilnya begitu, tak peduli kartu namanya memamerkan angka pencapaian—datang membawa sisa wangi hujan subuh. Rambut dicepol rapi, jam tangan tipis, jalan kaki yang mantap. Ia duduk tanpa basa-basi, menatap cangkir Panji.

“Investor mundur,” kata Panji datar.

Sekar mengangguk. “Lalu?”

“Lalu kita kehabisan matahari,” Panji berusaha berseloroh; gagal.

Sekar melirik cangkir. “Matahari terlalu tinggi untuk kita pegang. Kalau tidak ada matahari, lilin pun cukup. Ada tempat-tempat yang justru butuh lilin, bukan matahari.”

Panji menarik napas, semacam setuju, semacam menolak. “Kamu dan metafora.”

“Metafora menyelamatkan kita dari kehabisan cara bicara,” Sekar tersenyum tipis. “Nanti siang ikut aku. Aku kenalkan kamu pada seseorang yang menyalakan lilin setiap hari.”

.

Siangnya, Sekar berhenti di depan ruko berpelat besi yang cat kuningnya pudar. Ragil Kuning—Sepatu Tangan Pertama. Aroma kulit, lem, dan kopi hitam menabrak hidung sejak pintu dibuka. Di pojok ruangan, lelaki bertubuh kecil dengan kacamata tebal duduk di depan mesin jahit tua; tangannya bergerak seperti doa yang diulang-ulang.

“Mas Ragil,” sapa Sekar. “Ini Panji—yang bikin aplikasi manajemen shift buat UMKM.”

Ragil menatap Panji sejenak lalu mengulurkan tangan yang kasar, hangat. “Adik saya pakai itu. Katanya sekarang tidak perlu berantem lagi soal jadwal jaga. Lumayan, aku jadi jarang dimintai tolong jadi wasit,” ia terkekeh.

Panji mengangkat alis. “Serius, Mas?”

“Serius,” jawab Ragil, jarinya tetap menuntun jarum, “Kamu membantu orang macam kami, meski dari jauh.”

Sekar duduk sambil memperhatikan sepatu setengah jadi. “Mas, tolong ceritakan lagi—bagaimana dulu mulai.”

Ragil berhenti sebentar, seperti mencari folder memori yang paling utuh. “Aku dulu tukang semir di stasiun. Musim orang mengejar dolar, aku mengejar sol. Kadang semir sepatu mahal, kadang sambung sandal jepit. Dari uang receh itu aku kumpulkan untuk beli mesin jahit bekas. Malam-malam aku belajar dari kesalahan sendiri—jahit ulang, bongkar ulang. Lama-lama orang kembali. Mereka bukan datang karena aku murah, tapi karena sepatu mereka berjalan lebih lama. Tangan bisa lupa wajah orang kaya yang dulu lewat, tapi tangan tidak lupa rasa rapi.”

Kalimat itu masuk ke dada Panji seperti angin sejuk yang membuka pori-pori. Sekar menatap Panji sekilas: Dengar. Kita bukan kehabisan matahari. Kita sedang belajar dari lilin.

“Kalau sedang apes?” tanya Panji. “Kalau pelanggan sepi, barang rusak, atau ada kabar buruk seperti investor menghilang?”

Ragil menunjuk jarum. “Aku periksa jarum dan benang. Selama jarum bisa menembus kulit, aku lanjut. Kalau patah, ya ganti. Aku tidak bisa memaksa orang kembali, tapi aku bisa memaksa tanganku bekerja lebih sabar.”

Mereka pamit di bawah langit yang mulai menyalakan lampu-lampu kota. Sekar menepuk lengan Panji. “Kamu dengar tadi?”

“Skill lebih panjang dari nasib,” Panji mengulang pelan.

“Dan lilin lebih berguna daripada matahari kalau kamu sedang dalam gelap.”

.

Malam itu, di kantor start-up yang bertempat di lantai dua rumah toko, Panji menuliskan tiga kata di papan tulis: Lepas—Latih—Nyala. Lepas untuk meletakkan rencana yang retak; Latih untuk menumpuk skill; Nyala untuk mengingat siapa yang benar-benar terbantu oleh produk mereka. Tim kecil mengurangi fitur yang jarang dipakai, memperkuat manajemen shift. Marketing melepas konten penuh jargon; menggantinya dengan video tangan-tangan bekerja di bengkel, dapur katering, kios jahit. Finance menata napas arus kas seperti pelari maraton yang tahu kapan menahan dan kapan menambah langkah.

Seminggu kemudian, Panji mengajak Sekar ke sebuah sekolah malam di Tebet: kelas keterampilan digital bagi pekerja malam dan ibu pekerja harian. Ruangan kecil, pendingin udara menua, 18 peserta. Seorang ibu dengan kuku merah mengangkat tangan, suaranya ragu, “Mas, saya takut salah pencet. Teknologi seperti bukan untuk saya.”

“Teknologi hanya alat,” jawab Panji, “Kalian yang menyalakan atau memadamkannya. Aplikasi kami bukan matahari. Anggap saja lilin—cukup untuk membaca slip gaji atau jadwal kerja dengan jelas.”

Sekar memperhatikan kerut di dahi peserta saat mencoba, lalu senyum kecil ketika berhasil. Ada sesuatu yang matematik tidak bisa hitung: rasa percaya diri yang tumbuh pelan. Saat keluar kelas, angin trotoar menepuk rambut Sekar. “Kamu benar. Ada ruang-ruang yang tidak butuh matahari. Lilin lebih manusiawi.”

“Investor ingin mentari dan langit biru,” Panji tertawa, “Padahal banyak gang sempit yang baru bisa dilalui setelah lampu 5 watt dinyalakan.”

.

Kota mengajar orang mendengar detik lewat bunyi. Di bengkel Ragil, bunyinya gigitan jarum pada kulit. Di kantor Panji, bunyinya keyboard dan notifikasi. Di kepala Sekar, bunyinya langkah kaki ibu di koridor rumah sakit ketika panggilan telepon mengatakan pinggul sang ibu retak. Sekar pulang ke Surabaya. Hotel dipesan, rapat dipindah daring, hidup berpindah ke kamar rawat yang wangi karbol.

Panji menyusul dua hari kemudian. Di kantin rumah sakit, bau soto bertabrakan dengan suara roda brankar.

“Aku tidak kuat,” Sekar mengaku, suara pecah halus. “Teori meletakkan cangkir di rak mudah ketika itu bukan cangkirmu.”

“Kamu tidak harus kuat sendirian,” Panji menjawab. Ia menggeser laptop, memperbaiki jadwal rapat Sekar, mengirim email delegation. “Bagianmu sekarang adalah menyalakan lilin di kamar ibumu. Sisanya biar aku bantu sebisanya.”

Malam itu Panji berdiri di balkon, memandang kota Surabaya yang menghampar seperti gugus bintang yang lupa pola. Di saku jaketnya ada cangkir silikon lipat—hadiah ulang tahun dari Sekar. Ia memencet-pencet lipatannya. Lentur itu bukan tanda lemah, pikirnya. Sering justru cara paling kokoh untuk bertahan.

.

Ibu Sekar pulih perlahan. Saat ia mulai belajar berjalan dengan tongkat, Sekar kembali ke Jakarta untuk memimpin rapat merger klien—ruang rapat berkarpet tebal, proyektor yang lebih terang dari siang. Di ujung meja, duduk investor yang setahun lalu menutup pintu untuk start-up Panji. Mereka saling menyapa ringkas. Rapat mengalir. Pada jeda kopi, investor mendekati Sekar.

“Aku mengikuti akun kalian,” katanya. “Aku kira kalian akan padam setelah kami pergi. Ternyata tidak.”

“Kami berhenti mengejar matahari,” jawab Sekar, menatap cair, “Kami menyalakan lilin; satu-satu. Di banyak tempat, itu justru yang dicari.”

Investor mengangguk lambat. “Mungkin suatu saat….”

“Datanglah sebagai orang yang bawa korek,” Sekar memotong dengan senyum yang tidak menghardik, “Bukan sebagai orang yang menuntut langit cerah.”

.

Panji pulang ke Bandung suatu akhir pekan untuk membantu orang tuanya mengepak rumah lama. Di gudang, ia menemukan kardus berisi cangkir-cangkir retak yang dikumpulkan ibunya dari pasar loak. Setiap retakan adalah peta. Ia mengambil satu—retaknya membentuk seperti senyum yang ditahan. Di kursi rotan, ibunya bercerita, “Ibu suka cangkir retak. Hidup jarang mulus. Retak membuat kita minum lebih pelan.”

Panji membawa cangkir itu ke Jakarta, meletakkannya di rak kantor. Setiap kali marah atau takut, ia melihat retaknya dan ingat untuk melambat.

Suatu malam, pesan dari Ragil masuk: Mas, lihat ini. Video amatir: seorang anak menyemir sepatu sekolah peninggalan ayahnya yang wafat saat pandemi; di dalam sepatu ada label Ragil Kuning. Teksnya sederhana: “Tangan ayah mengajari sabar. Sekarang giliran tanganku.” Panji mengunggah ulang dengan keterangan pendek. Video itu menembus algoritma secepat rasa rindu menembus logika. Notifikasi datang dari kota-kota kecil: kursus diperbanyak? Bisa beli jarum yang dipakai Ragil? Bisa magang?

Ia menulis ke Sekar: Lilin kecil bisa terlihat jauh.
Sekar membalas: Karena ia menyala di tengah gelap yang benar.

.

Mereka memutuskan mengadakan workshop gratis: Merek Kecil, Nafas Panjang. Tempatnya ruang pertemuan pinjaman di Kemang; proyektornya panas, kursinya tidak seragam. Peserta 40 orang: pemilik laundri, pengrajin tempe, designer lepas, manajer kafe, dua siswa SMK. Ragil menjadi pembicara tamu.

“Saya tidak paham bahasa pemasaran,” Ragil membuka, “Saya hanya paham rasa malu kalau hasil jahitan saya jelek. Jadi saya jahit ulang. Lama-lama, orang datang bukan karena harga, tapi karena percaya jarum saya.” Orang-orang tertawa, menulis cepat. Sekar bicara soal arus kas dan kesalahan umum UMKM—pakai bahasa warung, bukan kamus bank. “Kalau punya Rp100 buat promosi,” katanya, “pakai Rp70 untuk melatih diri dan kru. Ceritakan latihan itu dengan Rp30. Orang bosan sama iklan, tapi jarang bosan lihat proses.”

Panji menutup workshop sambil mengeluarkan tiga benda: cangkir retak, sepasang sepatu, dan lilin. “Tiga benda ini peta kami,” katanya. “Cangkir mengajarkan melepaskan; sepatu mengajarkan bertahan lewat keterampilan; lilin mengajarkan bahwa nilai hadir ketika kita menerangi sekitar, meski kecil.”

Seorang siswa SMK bertanya, “Kalau saya belum punya apa-apa?”

“Mulai dari hal yang bisa kamu ulang,” jawab Panji. “Ulangi sampai tanganmu lebih pintar dari rencanamu.”

Mata anak itu berbinar, seperti baru menemukan pintu rahasia menuju kamar masa depan.

.

Tentu hidup tidak hanya memberi angin buritan. Satu pagi, server diserang. Sistem tidak bisa diakses enam jam; telepon masuk seperti hujan batu. Panji memutihkan matanya sebentar, lalu mengambil headset.

“Terima kasih sudah telepon, kami minta maaf,” suaranya serendah mungkin. “Estimasi dua jam; sementara kami kirimkan template Excel agar gaji tetap bisa dihitung.” Ia menulis panduan cepat, mengirim ke puluhan klien. Di meja, ia menyalakan lilin kecil beraroma vanila—bukan romantis, tetapi penanda: Tetap tenang; satu-satu.

Jam kelima, sistem pulih. Tim bersorak tanpa tenaga. Sebelum pulang, sebuah pesan masuk dari manajer kafe langganan: Kami panik. Tapi timeline kalian jujur, terbuka, cepat. Hari ini kami belajar lebih banyak tentang kalian daripada saat sistem lancar. Panji menutup mata, membiarkan kalimat itu turun pelan, menenangkan.

Malamnya ia menulis thread: “Tidak ada sistem kebal retak. Bedanya pada kecepatan menerima, memperbaiki, dan belajar. Terima kasih untuk semua yang tidak meninggalkan kami saat gelap.” Orang-orang menanggapi dengan cerita masing-masing. Ada yang marah; ada yang memaafkan; kebanyakan memahami. Kepercayaan, anehnya, justru bertambah.

.

Setahun berlalu sejak investor pergi. Angka di layar proyektor perayaan kecil di kantor menunjukkan pelanggan bertambah tiga kali lipat; kelas malam bertambah; churn mengecil. Ragil maju ke depan membawa kotak kain. “Untuk Panji,” katanya. Di dalamnya: sepasang sepatu kulit hitam, sederhana, jahitan halus yang sepi tapi yakin.

“Dari kain apa lidah sepatunya?” tanya Panji curiga.

Ragil terkekeh. “Dari kain pembungkus cangkir retak di rak kantormu. Aku minta diam-diam ke Sekar.”

Ruangan meledak tawa. Panji mengangkat sepatu itu, memandang pada retak-retak halus yang tak terlihat. Ada bagian hidup yang tidak perlu dirapi-rapikan, pikirnya. Cukup dipakai berjalan.

Sekar mengambil mikrofon. “Setahun ini kami belajar: melepaskan yang musti dilepas, melatih yang bisa dilatih, menyalakan yang mampu dinyalakan. Tiga hal itu membuat kami cukup, bukan sempurna, tapi cukup.”

Ia berhenti. Tepuk tangan mengalun. Bukan gemuruh, melainkan selimut tipis yang menutup malam.

Usai acara, mereka berjalan di trotoar Kemang. Lampu-lampu restoran memantulkan diri di genangan. Panji menatap Sekar. “Kalau berat, turunkan yang tidak perlu.”

Sekar tersenyum. “Kalau ringan, bagikan.”

“Kalau gelap?” tanya Panji.

“Nyala yang kita punya,” jawab Sekar.

Mereka berpisah di ujung jalan. Panji menenteng sepatu baru, Sekar menyalakan ponsel untuk menanyakan kondisi ibu. Kota tetap ribut, tetapi ada sesuatu yang damai di sela kebisingan: semacam pengetahuan sunyi bahwa manusia bertahan bukan karena menjadi matahari sepanjang waktu, melainkan karena bersedia menjadi lilin di saat yang tepat.

.

Waktu, seperti kain yang dijahit, memanjang. Di ruang kerja yang kini lebih lapang, Panji menaruh cangkir retak di rak yang lebih tinggi. Sepatu hadiah Ragil ia pakai saat presentasi penting dan saat mengajar di kelas malam. Lilin kecil masih tersimpan di laci; sesekali dinyalakan pada malam-malam rapuh ketika pikiran meliar.

Suatu dini hari, setelah menyelesaikan modul baru untuk aplikasi, Panji berdiri di jendela. Kota tampak seperti lautan bintang yang menolak padam. Ia mengingat perjalanannya—investor yang pergi, kelas malam, rumah sakit, server runtuh, workshop yang membuat orang-orang menemu dirinya. Ia mengirim pesan pada Sekar: Aku tidak lagi ingin menjadi matahari. Aku hanya ingin memastikan di tempatku berdiri, ada orang yang tidak tersandung.

Sekar membalas: Itu sebabnya cahaya kecilmu terlihat jauh. Matahari terbit dan tenggelam; lilin menyala ketika manusia saling mendekat.

Di luar, kokok ayam dari kampung yang tersisa di balik gedung menyela. Panji mematikan lampu ruang kerja. Gelap merayap, manis, tenang. Ia menyalakan satu lilin—kecil, wangi vanila. Di gelap itu, lilin seolah berkata kepada matahari yang tinggal kenangan siang:

Biarkan aku, kecil sebagaimana adanya. Karena di jam-jam begini, cahayaku yang sederhana cukup membuat manusia menemukan jalan ke dapur, ke meja belajar, ke tempat tidur, ke pangkuan doa—tempat di mana hari esok selalu bisa dirakit ulang.

Dan malam pun menutup dengan tidak tergesa, seperti buku yang selesai bukan karena semua jawaban ditemukan, melainkan karena pembaca memilih untuk percaya: satu lilin sungguh dapat bicara pada matahari.

.

.

.

Malang, 13 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#KetikaLilinBicaraPadaMatahari #CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #KisahUrban #UMKM #SkillOverLuck #MindfulLiving #StorytellingID #MotivasiHidup #BelajarMelepas

.

Quotes dari cerpen

  • “Yang rapuh jangan digenggam terlalu erat; ia mengajarkan seni melepaskan.”

  • “Skill adalah kendaraan paling setia; nasib hanya penumpang yang turun naik.”

  • “Di saat gelap, cahaya kecil cukup untuk tidak tersandung.”

  • “Jadilah lilin di jam yang tepat; tidak semua ruang menunggu matahari.”

Leave a Reply