Ketika Lelah Menjadi Rumah
“Kadang diam bukan karena kalah, melainkan karena lelah menjelaskan pada telinga yang tak pernah ingin mendengar.”
“Ada orang yang berhenti membela diri bukan karena bersalah, tetapi karena ingin menjaga suasana tetap tenang.”
“Sunyi bisa melukai lebih dalam daripada kata-kata yang paling tajam.”
.
Subuh di Jakarta selalu seperti halaman belakang pabrik—ramai, berkedip, dan berbau oli. Lampu-lampu jalan masih banci warna, setengah kuning setengah padam. Di trotoar yang basah, Adipati berjalan cepat menuju stasiun KRL. Jaket tipisnya menahan angin yang menggigit, sementara ponsel di sakunya bergetar menampilkan pesan yang tidak ia buka.
Di peron, kereta datang dengan gemuruh yang membuat dada bergetar. Orang-orang merapat seperti huruf-huruf yang dipaksakan ke dalam spasi yang terlalu sempit. Adipati berdiri menempel pada pintu, menjepit tas kerja di dada. Di atas kepalanya, iklan-iklan lowongan kerja, pinjaman kilat, hingga promo kopi literan berbaris rapi seperti peluang yang hanya memandang orang lain.
Ia memejamkan mata.
Sejak beberapa bulan terakhir, ia tidak lagi menyusun kalimat pembuka ketika sampai di rumah. Tidak lagi menata alasan-alasan lembur ke dalam paragraf yang meyakinkan. Ratna—perempuan yang dinikahinya lima tahun lalu—tak lagi suka pada cerita-cerita panjangnya. Kata Ratna, cerita itu selalu berakhir pada pembelaan. Kata Adipati, ia hanya butuh ruang untuk mengeluarkan udara. Akhirnya, udara itu ia simpan saja. Ia tahan di paru-paru, sampai rasanya dada menjadi gudang logistik yang penuh.
Kereta berhenti di stasiun kota. Udara pagi berganti bau aspal panas yang sudah dipanaskan ulang oleh matahari. Adipati menyeberang jalan, melewati barisan ojek daring yang berteriak: “Bang, bang! Sekali jalan!” Ia tersenyum kecil, menolak, lalu masuk ke lobi gedung kantor—perusahaan distribusi yang menyalurkan produk kebutuhan harian ke puluhan minimarket di Jakarta dan sekitarnya.
Di lantai tujuh, ruangan kantor berwarna putih dingin. Meja disusun seperti kotak-kotak biskuit, manis dari jauh, melelahkan ketika dimakan. Jayengrana, manajer pemasaran, berdiri di depan papan kaca dengan spidol yang suaranya tajam seperti kapur patah. “Target bulan ini naik sepuluh persen. Kalian tahu sendiri, kompetitor lagi agresif.”
Umar Maya, tim sales yang selalu optimis, mengangkat tangan. “Bisa, Mas—eh.” Ia meralat sendiri panggilan itu, lalu tertawa. Di sebelahnya, Umar Madi—kembarannya, tapi lebih sinis—mendengus, “Optimis boleh, realis lebih perlu.”
Adipati membuka laptop, memeriksa angka. Ia bekerja seperti orang mengikat tali sepatu: cekatan, rapi, tanpa banyak suara. Dulu ia suka bercanda, suka menimpali, suka menghangatkan ruangan. Kini ia lebih sering menjadi pendingin, mematikan potensi api yang tak perlu.
Jam makan siang, ia berjalan ke warteg Rengganis yang selalu penuh pekerja kantoran. Rengganis, pemilik warteg, perempuan berkerudung dengan senyum yang menenangkan, menyapanya, “Seperti biasa, Dip?”
“Seperti biasa.” Segelas teh tawar hangat, sayur asem, tempe orek, dan kepala yang tertunduk.
“Ada apa? Matamu lebih berat dari tutup panci,” ujar Rengganis, setengah bercanda.
Adipati tersenyum tanpa menatap. “Tidak apa-apa, Mbak.” Ia kembali menelan kenyataan bersama nasi, meyakinkan diri bahwa sahabat paling setia manusia adalah piring kosong.
.
Malamnya, saat pulang, Jakarta seolah berlatih menjadi pelabuhan; mobil-mobil berlayar di lautan klakson. Di apartemen sederhana mereka—sebuah unit dua kamar di daerah Kalibata—suara TV tetangga menyaingi dengung AC tua. Ratna duduk di meja makan, laptop menyala, telapak tangan menyangga dagu. Ia bekerja paruh waktu sebagai desainer grafis, menumpuk proyek demi proyek demi membayar cicilan yang mereka pilih bersama.
“Kamu pulang lebih malam lagi,” ujar Ratna, tanpa tepi.
Adipati meletakkan kunci di mangkuk kecil dekat pintu. “Macet, dan—”
“Dan Lembur. Dan klien. Dan target. Aku sudah hafal,” potong Ratna.
Dalam kilatan sepersekian detik, Adipati ingin berkata banyak—tentang perubahan sistem distribusi, tentang Jayengrana yang menekan tim, tentang kebijakan baru yang membuat vendor rewel. Tapi lidahnya tertahan oleh bayangan malam-malam sebelumnya: malam ketika penjelasan menjadi bensin untuk api yang lebih besar.
Ia mengangguk saja. “Iya.”
Ratna menghela napas. “Kenapa sih sekarang kamu cuma mengangguk? Dulu kamu paling cerewet.”
Adipati menarik kursi, duduk. “Aku capek.”
“Capek bicara?”
“Capek berdebat.”
Ratna memindahkan pandangan ke layar laptop. “Berarti capek denganku.”
Tidak, katanya dalam hati. Capek melawan keadaan. Capek merasa kalah walau tak ingin menang. Capek karena kata-kata selalu disangka panah, bukan jembatan. Tetapi yang keluar dari mulutnya hanya, “Aku mau mandi dulu.”
Kamar mandi mengepulkan uap. Di cermin, wajahnya tampak seperti kota tanpa reklame: fungsional, tapi tak menarik. Ia menatap matanya sendiri, seperti menatap orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama.
.
Beberapa hari berikutnya berjalan seperti kaset yang diputar ulang. Pagi di kereta, siang di kantor, malam di rumah dengan keheningan yang lebih ramai daripada pasar baru buka.
Suatu sore, Jayengrana memanggilnya ke ruang rapat. “Kamu orang baik, Dip. Tenang. Tapi angka kamu turun. Ada yang bisa kita bicarakan?”
Adipati memilih kata dengan hati-hati. “Banyak vendor mengeluh soal potongan baru. Jadwal kirim juga kacau. Aku coba perbaiki.”
Jayengrana bersandar. “Aku tahu kamu lebih suka menyelesaikan sendiri. Tapi cobalah ngomong. Jangan terlalu diam.”
Ada ironi di sana—di kantor, ia diingatkan untuk bersuara; di rumah, ia diminta untuk lebih hemat kata. Ia berdiri, mengangguk. “Baik.”
Keluar dari ruangan, ia bertemu Kelaswara dari HR, perempuan berambut pendek dengan sorot mata yang seperti mengerti orang walau baru lima menit bertemu. “Kamu kelihatan capek, Dip,” katanya.
“Biasa,” jawabnya.
“Kami akan mengadakan pelatihan komunikasi tim minggu depan. Datang ya.”
Ia mengangguk lagi—keterampilan yang paling mahir ia kuasai.
.
Malam itu, hujan turun deras. Jakarta meneguk air seperti orang yang terlalu lama berpuasa, sekali minum langsung tersedak. Grup WA kompleks apartemen berubah menjadi sirine. Parkir bawah tanah kebanjiran. Lift melambat. Orang berlarian menyelamatkan sandal, karpet, dan nasib.
Adipati merapatkan jaket ketika turun dari ojek, menggigil saat menapaki lobi. Air mengalir di lantai masuk seperti puluhan anak sungai kecil. Ratna berdiri di depan lift, memeluk map berisi desain yang harus ia kirim malam itu juga. “Lift error,” selorohnya tanpa menoleh. “Tangga saja.”
Mereka naik lima belas lantai. Hujan memukul dinding seperti orang yang sedang mengetuk-ngetuk kesabaran. Ratna terengah. Adipati memayungi punggungnya dengan tubuhnya sendiri, menahan angin dari pintu tangga darurat yang kadang terbuka.
Di lantai sepuluh, Ratna meletakkan map di anak tangga, menatap suaminya. “Dip.”
“Ya?”
“Aku takut kalau kita terus begini.” Suaranya kecil, bukan marah, melainkan retak.
Adipati ingin memeluk. Namun ia takut pelukan menjadi tanda menghindar, bukan tanda mendengar. “Kamu capek.”
“Kamu juga. Tapi aku takut capek kita saling membunuh.”
Ada lumpur di mata Ratna—bukan air mata, melainkan sesuatu yang menyesakkan tapi keras kepala. Mereka melanjutkan menaiki tangga, menukar kata-kata dengan napas.
Di rumah, listrik padam. Mereka menyalakan lilin. Kota yang masih berisik di luar terdengar seperti radio tua di kejauhan. Ratna duduk di bawah jendela, menatap hujan yang menari di kaca. “Ingat waktu kita pacaran? Kamu menuliskan kalimat-kalimat lucu di tisu kafe.”
“Aku kehabisan tisu,” jawab Adipati pelan. “Dan kamu tak lagi suka kalimat lucu.”
Ratna tidak membalas. Dalam gelap, keheningan mereka bukan lagi senjata, tetapi selimut yang melindungi tubuh dari udara dingin.
.
Pelatihan komunikasi tim yang diadakan kantor diselenggarakan di aula kecil milik kelurahan. Kelaswara berdiri di depan, bersama narasumber seorang konselor komunitas bernama Prabangkara—lelaki berusia empat puluhan dengan cara bicara yang lembut.
“Banyak pasangan mempertengkarkan hal yang sama selama bertahun-tahun,” ucap Prabangkara. “Bukan karena masalahnya tak bisa selesai, tapi karena tak ada yang benar-benar didengarkan.”
Umar Maya bertanya, “Jadi harus bagaimana? Kan tiap orang punya lelah sendiri.”
“Justru karena lelah, kalian butuh ritus mendengar. Buat saja aturan kecil di rumah: satu jam sunyi tapi mendengar. Yang bicara memegang benda—misalnya gelas kayu. Selama gelas di tangannya, yang lain hanya boleh bertanya untuk memahami, bukan untuk membalas.”
Adipati mencatat. Gelas kayu. Satu jam. Mendengar untuk memahami.
Sepulangnya, ia membeli gelas kayu di pasar seni kecil dekat stasiun—murah, dengan serat halus dan bau kayu muda yang menenangkan. Malamnya, ketika menyajikan teh hangat, ia menaruh gelas kayu itu di tengah meja. “Mau coba?”
Ratna menatap heran. “Apa?”
“Ritual mendengar. Aku bicara dulu, lalu kamu. Tidak saling menyanggah. Hanya bertanya untuk paham.”
Ratna memegang gelas itu ragu-ragu, lalu mengangguk. “Baik. Kamu dulu.”
Adipati menarik napas. “Aku… takut. Setiap kali aku menjelaskan hal kecil soal kantor, kamu menganggap itu pembelaan. Pada titik tertentu, aku berhenti bercerita. Bukan karena aku tidak percaya, tapi karena aku ingin kita tenang. Tapi ternyata tenang itu malah membuatmu merasa ditinggalkan.”
Ia menatap mata Ratna hanya sekejap—cukup untuk melihat ada sesuatu yang bergerak di sana.
Ratna bertanya pelan, “Kenapa tidak bilang kamu takut?”
“Karena aku tidak pandai bilang ‘aku takut’. Di kantor, orang yang paling lantang dihargai. Di jalan, yang paling berani menyalip dianggap pemenang. Aku kira rumah harus jadi tempat di mana aku tidak perlu berteriak.”
Gelas kayu berpindah tangan. “Giliranku,” kata Ratna.
“Aku merasa sendirian,” ia mulai. “Aku tahu kamu bekerja keras. Tapi ketika kamu diam, aku merasa tidak diinginkan. Seolah semua tentangku bisa menunggu. Aku pernah—” ia berhenti sejenak, “—aku pernah hamil sebulan, lalu keguguran. Kamu ingat? Sejak itu, suara-suara dalam kepalaku jadi tajam. Aku pikir mungkin—jangan marah, ya—mungkin kamu lega. Mungkin kamu tidak siap.”
Adipati mengangkat kepala. “Aku tidak lega.” Suaranya mati-matian menahan retak. “Aku sedih. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara bersedih yang tidak menambah sedihmu.”
Ratna mendekap gelas kayu lebih erat seakan itu adalah bayi yang sempat mereka bayangkan. “Kalau begitu kita sama-sama tidak tahu caranya.”
Malam itu mereka bicara tanpa menyelesaikan apa pun, tapi sesuatu yang lama membeku mulai mencair. Kadang Ratna menunduk lama, kadang Adipati menatap jendela, namun air di antara mereka mulai mencari alirannya sendiri.
.
Beberapa minggu berlalu. Mereka menerapkan jam mendengar dua kali sepekan—selasa dan sabtu—sebagai eksperimen kecil. Jakarta tetap bising, tetapi di unit kecil lantai lima belas, ada yang sunyi dengan maksud baik.
Sesekali mereka masih bertengkar. Bagian dari hidup adalah sudut meja yang selalu tersenggol ketika kita tidak hati-hati melewatinya. Tapi kini, amarah punya kursi, tidak lagi berdiri di meja makan.
Suatu malam, Ratna pulang membawa kabar dari Renggani—tetangga sebelah, ibu muda yang suaminya baru saja dirumahkan. “Renggani minta tolong didesainkan poster jualan pastel. Katanya kalau laku, ia bisa bantu bayar sewa bulan depan.”
Adipati menatap kalender di dinding. “Aku bisa bantu antar ke kantor-kantor kecil di cluster sebelah. Banyak yang suka jajan sore.” Ia melakukannya bukan untuk menjadi pahlawan di mata Ratna, melainkan untuk menyelamatkan bagian dirinya yang ingin bekerja tidak hanya untuk angka di spreadsheet.
Keesokan harinya, ia menitipkan pastel Renggani di warteg Rengganis. “Kalau laku, titip tambah,” katanya. Rengganis mengangkat alis, “Satu kotak untukku, Dip.”
Di jalan pulang, Adipati merasa sesuatu yang lama ia lupakan—perasaan berguna—kembali merekah seperti daun kecil di ujung tangkai.
.
Di kantor, skema baru diluncurkan lagi. Jayengrana membagi tim menjadi dua klaster: ofensif dan pemeliharaan. Umar Maya memimpin ofensif; Umar Madi memegang pemeliharaan. Adipati diminta menjadi jembatan—memadukan strategi agresif dengan perawatan relasi vendor.
“Kenapa aku?” tanya Adipati.
“Karena kamu tenang,” kata Jayengrana. “Dan karena kamu mengerti orang sama baiknya dengan mengerti angka.”
Kata-kata itu seperti hujan di pertengahan kemarau. Adipati mengangguk—kali ini bukan sebagai perisai, melainkan sebagai janji.
Ia menelpon Ratna saat jam makan siang. “Doakan aku, ya. Aku lagi dipercaya hal baru.”
Ratna menghela napas di seberang sana, melelehkan ketegangan yang sempat membeku. “Selamat, Dip. Nanti pulang aku masak sup jamur.”
Pembicaraan singkat itu seperti menyalakan lampu kecil di lorong panjang.
.
Namun hidup tidak suka menjadi terlalu rapi. Di penghujung bulan, kesalahan distribusi menyebabkan keterlambatan kirim ke dua puluh gerai minimarket. Vendor mengamuk, manajemen siaga. Jayengrana memanggil semua orang ke ruang rapat. “Siapa pegang area selatan?”
“Adipati,” jawab Umar Madi.
“Baik,” kata Jayengrana. “Kamu jelaskan.”
Semua mata mengarah pada Adipati. Dulu, tatapan seperti itu membuatnya ingin bersembunyi di dalam kantongnya sendiri. Kini ia menarik napas, menaruh kedua telapak tangan di meja, lalu berbicara pelan namun jelas. Ia menjelaskan jalur yang tergenang banjir, truk yang tertahan portal, gerai yang operatornya izin karena anak sakit. Ia tidak mencari alasan, tapi memberi peta masalah.
“Tindakanmu?” tanya Jayengrana.
“Kami memecah pengiriman, menyewa empat kendaraan kecil, memotong rute. Besok pagi selesai. Aku sudah minta vendor pengganti untuk dua item yang stoknya habis.”
Hening menetes seperti air AC. Lalu Kelaswara—yang ikut rapat sebagai HR—mengangguk bangga. “Baik.”
Sepulang kerja, Adipati duduk di bangku halte, mengirim pesan ke Ratna: Aku janji tidak akan menjatuhkan kita ke dalam diam yang menyiksa lagi. Ia menatap kalimat itu lama-lama, lalu menghapus. Ia mengganti dengan: Pulang sedikit malam. Besok sarapan bubur? Aku antri.
Ratna membalas: Aku simpan tempat duduk paling dekat jendela.
Pesan pendek, makna panjang.
.
Suatu siang minggu, mereka menjemput udara di Taman Lapangan Banteng. Di panggung kecil, komunitas teater membacakan monolog. Seorang tokoh membaca naskah Serat Menak yang diolah bebas: tentang Amir yang mengembara, Jayengrana yang mengejar kehormatan, Umar Maya dan Umar Madi yang menjadi penyeimbang. Ratna berbisik, “Nama-nama itu lucu. Seperti tetangga kita.”
“Tetangga kita lebih dramatis,” jawab Adipati, membuat Ratna tertawa kecil.
Mereka duduk saling bersandar. Anak-anak bermain air mancur. Sepasang lanjut usia berjalan pelan sambil berpegangan tangan, seperti dua titik koma yang menolak diganti titik. “Aku ingin kita seperti mereka nanti,” kata Ratna.
“Kalau begitu kita harus rajin menabung sabar,” sahut Adipati. “Sabar untuk bicara, sabar untuk diam, sabar untuk mendengar.”
Ratna menatapnya lama. “Terima kasih sudah membawa gelas kayu itu ke rumah.”
Adipati mengangguk. “Terima kasih sudah mau memegangnya.”
.
Malam harinya, di jalan pulang, motor yang mereka tumpangi berhenti mendadak karena ban bocor. Mereka berjalan kaki menyusuri trotoar, melewati ruko-ruko yang pintunya separuh tertutup. Seorang anak penjual tisu menyodorkan dagangannya. Ratna membeli dua, menyelipkannya di tas. “Buat catatanmu nanti,” ujarnya.
“Catatan?” tanya Adipati.
Ratna tersenyum samar. “Dulu kamu menulis di tisu kafe. Kamu boleh menulis lagi, Dip.”
Di rumah, Adipati duduk di meja kerja kecilnya. Ia mengambil salah satu tisu, lalu menulis: ‘Jangan diam bila hatimu ingin bicara; jangan bicara bila hatimu hanya ingin menang.’ Ia letakkan tisu itu di samping gelas kayu—dua benda sederhana yang menjaga rumah kecil mereka dari badai.
.
Waktu bergerak seperti jam dinding di kelas tua—kadang tergesa, kadang tersendat. Hubungan mereka tidak tiba-tiba menjadi suci dari silang kata. Ada hari ketika Ratna masih menuntut lebih banyak kehadiran, ada malam ketika Adipati ingin pulang dan menemukan rumah tanpa tuntutan. Tapi ada juga pagi ketika Ratna meletakkan bekal di tas suaminya, dan siang ketika Adipati mengirim foto langit dari jendela kantor: “Awan ini mirip lilin.”
“Kenapa lilin?” tanya Ratna di balasan.
“Karena tetap memberi cahaya walau tubuhnya sendiri pelan-pelan habis.”
Ratna terdiam membaca. Ia mendudukkan diri di kursi, mengingat malam ketika listrik mati dan mereka berbagi gulita. Ia mengetik: “Kalau begitu mari kita bergantian menjadi lilin.”
.
Suatu Jumat sore, Jayengrana mengumumkan perubahan besar: perusahaan akan melakukan restrukturisasi. Beberapa posisi dihapus, beberapa orang dipindahkan. Ada potensi pemotongan gaji sementara. Suasana kantor menegang. Umar Maya memasang wajah tetap optimis, Umar Madi menggerutu, Kelaswara mempersiapkan dokumen.
Di kereta pulang, Adipati berdiri dekat pintu. Ia bisa memilih diam dan menyimpan kekuatiran sendiri. Atau ia pulang membawa kabar buruk dan membuka peluang pertengkaran. Ia mengingat gelas kayu, mengingat ritus yang mereka bangun. Ia memutuskan untuk pulang dan membagikan kabar, bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai rencana bersama.
Ratna mendengar dengan saksama. “Kalau gajimu dipotong, kita bisa kurangi langganan yang tidak perlu. Dan kalau proyekku cukup, kita aman beberapa bulan.”
Adipati mengangguk, merasa lebih ringan. “Aku tidak ingin menjadi pemberi kabar buruk.”
“Kamu bukan pemberi kabar buruk,” jawab Ratna. “Kamu partner yang mengajak merencanakan.”
Di luar jendela, malam jatuh pelan seperti selimut yang dijatuhkan dari balkon. Mereka menatapnya tidak sebagai kegelapan yang menakutkan, melainkan sebagai ruang untuk beristirahat.
.
Beberapa bulan kemudian, hidup tidak menjadi lebih mudah, tapi menjadi lebih bisa ditanggung. Mereka masih mempraktikkan jam mendengar. Kadang-kadang, ketika hari terlalu berat, mereka hanya duduk berdua sambil memegang gelas kayu bergantian tanpa berkata apa-apa. Diam yang ini bukan benteng, melainkan jembatan.
Di sebuah Sabtu pagi, mereka menghadiri pameran kecil karya komunitas di Pasar Santa. Ada stan yang menjual kerajinan kayu. Ratna menunjuk sebuah papan dengan ukiran kalimat: ‘Rumah adalah tempat kita belajar mendengar sampai hati selesai bicara’. Ia membeli papan itu, menempelkannya di atas meja makan.
“Jadi kita sudah sampai di mana?” tanya Ratna suatu malam, setelah membuat mie goreng yang baunya menandai larut dan nyaman.
“Di tengah,” kata Adipati.
“Di tengah mana?”
“Di tengah perjalanan yang akan kita ulangi berkali-kali—lelah, mendengar, memperbaiki, lelah lagi, mendengar lagi.”
Ratna mencium keningnya. “Tidak apa-apa. Yang penting kita tahu jalan pulang.”
.
Suatu hari, Ratna mengirim pesan: Aku hamil.
Pesan itu singkat seperti gelegar petir di atas kota; menghentak, membuat jendela hati bergetar. Adipati tidak membalas dengan kata-kata banyak. Ia pulang cepat, membeli martabak kesukaan Ratna, dan sebuah baju bayi mungil bertuliskan “Pendengar Kecil”. Di rumah, mereka tidak melompat-lompat kegirangan. Mereka duduk berdua, memegang gelas kayu seolah memegang masa depan yang masih rapuh.
“Maukah kamu tetap berbicara ketika kamu takut?” tanya Ratna.
“Maukah kamu tetap mendengar ketika kamu marah?” tanya Adipati.
Mereka mengangguk, tertawa, lalu terdiam. Sunyi turun seperti hujan tipis yang hanya terdengar jika kita mau menegakkan telinga.
Kota di luar jendela tetap sibuk. Tetapi di unit kecil lantai lima belas itu, lelah bukan lagi penguasa, melainkan tamu yang sesekali datang dan tahu diri ketika harus pamit.
.
Di hari kelahiran anak mereka—seorang perempuan mungil yang rambutnya setipis garis pensil—Adipati menulis di selembar tisu rumah sakit:
“Tidak semua diam berarti kalah. Ada diam yang lahir dari cinta, dari keinginan menjaga, dan dari lelah yang enggan menambah luka.”
Ia menempelkannya di samping papan ukiran kayu di rumah. Di bawahnya, ia menaruh gelas kayu itu, kini sedikit berubah warna karena sering tersentuh tangan. Benda-benda kecil yang menyelamatkan dua manusia dari tenggelam di kota yang selalu tergesa-gesa.
Malam itu, ketika bayi mereka akhirnya tertidur, Ratna duduk di lantai, menyandarkan kepala pada lutut suaminya. “Terima kasih,” katanya.
“Untuk apa?”
“Untuk bertahan. Untuk diam yang tidak membunuh, dan kata-kata yang membangun.”
Adipati menatap lampu malam yang memantul di jendela. “Terima kasih sudah mau mendengar diamku, dan mengajariku bicara.”
Di kejauhan, suara kereta malam terdengar seperti napas panjang kota. Mereka tidak lagi takut pada suara itu. Di dalam rumah, di dalam hati, mereka menemukan ritus kecil yang membuat lelah tidak lagi menjadi musuh, melainkan alasan untuk saling mendekat.
Dan seperti kota yang selalu bangun lagi setiap dini hari, mereka pun bangun—dengan cara yang lebih pelan, lebih penuh, lebih mendengar.
.
“Ketika lelah menguasai hati, diam sering tampak paling aman. Tetapi yang menyelamatkan bukan diamnya, melainkan orang yang sudi mendengarnya.”
.
.
.
Jember, 18 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #CeritaKota #DiamDanLelah #SastraModern #ArswendoVibes #SeratMenak #KisahEmosional #CerpenMengharubiru