Kesepian Bukan Alasan Kembali

“Kesepian bukan alasan untuk kembali pada seseorang yang pernah melukaimu.
Haus akan perhatian bukan pembenaran untuk meneguk racun yang sama.”

“Kesepian itu seperti kopi hitam: pahit jika ditolak, menenangkan jika diterima.
Sunyi yang dinikmati dengan sadar bisa lebih jujur daripada seribu percakapan.”

.

Suara mesin espresso meraung pelan, bercampur dengan denting sendok dan bisik-bisik rapat kecil di sudut ruangan. Jakarta sore itu baru saja turun gerimis. Kaca kafe di bilangan Kuningan penuh titik-titik air, memecah lampu-lampu kendaraan menjadi garis-garis cahaya yang tampak seperti luka-luka tipis di permukaan malam.

Retna menatap cappuccino di depannya yang sudah sejak tadi mendingin. Foam latte art yang tadi berbentuk hati kini tinggal lingkaran tak beraturan. Ia tersenyum miris—bahkan kopi pun tahu, hati tak selalu bisa dijaga bentuknya.

Di meja seberang, dua orang dengan laptop terbuka sedang membahas pitch deck. Di sudut dekat jendela, seorang ibu muda dengan tas branded menenangkan anak balitanya sambil sesekali melirik layar ponsel, mungkin membalas email. Ini Jakarta kelas menengah ke atas: rapat di kafe, cicilan apartemen, promo tiket pesawat, dan kecemasan-kecemasan rapi berbalut gaya hidup.

Ponsel Retna bergetar. Notification WhatsApp muncul di layar: satu nama yang pernah ia hapus, lalu ia pulihkan lagi, lalu ia bisukan, dan kini… entah kenapa, muncul di layar seperti hantu yang sabar menunggu pintu dibuka.

Jayengrana.

“Aku baru landing di Soetta. Boleh ketemu? Cuma mau ngobrol sebentar. Kalau kamu berkenan.”

Kata-kata itu sederhana. Tidak ada panggilan sayang. Tidak ada janji-janji manis. Tapi otaknya langsung memutar ulang adegan-adegan yang terlalu lama ia simpan: tawa di malam minggu, suara pintu dibanting, pesan minta maaf, dan tangis di parkiran basement yang bau knalpot.

Retna menutup mata. Di balik kelopak matanya, wajah Jayengrana seperti film yang tak pernah benar-benar selesai.

.

Setahun lalu, mereka pernah duduk di kafe yang sama. Waktu itu, Retna belum berani menyebut kata “toxic relationship” dengan mantap. Ia hanya tahu, setiap kali bertengkar, Jayengrana akan hilang, mematikan ponsel, dan kembali seolah tak terjadi apa-apa, membawa buket bunga mahal dan kalimat, “Kamu terlalu sensitif.”

Padahal, ia hanya meminta satu: jangan berbohong.

“Semua orang berbohong, Na,” kata Jayengrana suatu malam, ketika ia ketahuan menyembunyikan foto dengan perempuan lain di folder tersembunyi. “Yang penting kan aku pulang ke kamu.”

Saat itu Retna memilih diam, menelan kecurigaan seperti obat pahit yang ia paksa masuk agar hari-harinya bisa lanjut. Ia adalah manajer pemasaran di sebuah perusahaan teknologi pendidikan; terbiasa menjual mimpi tentang masa depan yang cerah—tapi tak pernah benar-benar berani bertanya, masa depan siapa yang sedang ia bangun?

.

“Ret, kok bengong?”

Suara Umar Maya memecah lamunannya. Pria berkemeja putih dengan blazer biru navy itu baru saja duduk di depannya. Umar Maya adalah corporate lawyer di firma hukum yang kantor utamanya ada di lantai 35 gedung kaca di seberang jalan. Dia sahabat sejak kuliah—sosok yang tahu berapa kali Retna memblokir dan membuka blokir nomor yang sama.

“Kopi kamu dingin banget. Kamu nungguin aku atau nungguin masa lalu?” Umar mengangkat alis.

Retna menghela napas, meletakkan ponsel terbalik di meja, seolah begitu saja bisa mematikan isi pesan.

“Dia WhatsApp,” jawab Retna pendek.

Umar tidak bertanya “dia siapa.” Tak perlu. Nama itu sudah seperti password bersama dalam pertemanan mereka.

“Hm.” Umar menyandarkan punggung, menatap Retna tanpa menghakimi. “Dan kamu?”

“Aku…” Retna menatap hujan di luar. “Aku masih bisa ngerasain perutku mules tiap kali namanya muncul di layar.”

“Sakit mules karena trauma atau karena kangen?” tanya Umar pelan.

“Dua-duanya, mungkin.” Retna tertawa hambar. “Kesepian itu kan suka menggandeng tangan siapa saja yang lewat.”

Umar tersenyum tipis. “Ret, sepi itu bukan sinyal untuk balik ke racun yang sama. Sepi itu kode, kalau kamu perlu ngobrol sama dirimu sendiri.”

.

Kafe itu adalah titik temu mereka bertiga: Retna, Umar, dan Kelaswara. Dari sini, sering kali mereka menyusun rencana hidup sambil bercanda seolah hari tua tidak pernah benar-benar akan datang. Kelaswara, perempuan berambut pendek dengan tato kecil di pergelangan tangan, adalah pemilik coffee roastery kecil yang dalam tiga tahun terakhir berubah menjadi brand kopi lokal yang digandrungi para eksekutif muda.

Sore itu, Kelaswara terlambat datang. Produk baru sedang launching di salah satu marketplace, dan ia harus memantau live shopping yang digelar timnya.

“Maaf, telat!” Kelaswara menjatuhkan tubuhnya ke kursi, napas naik turun. “Diskon 11.11 baru kelar. Dunia retail online itu kejam, teman-teman. Sekejap mengangkat, sekejap menghancurkan.”

Ia menatap wajah Retna, lalu Umar, lalu berpindah ke ponsel di meja.

“Ih, notif dari siapa itu?” Kelaswara menyipitkan mata. “Wajahmu kok kayak thumbnail drama Korea sebelum adegan nangis.”

Retna menarik napas. “Jayengrana. Dia baru landing. Mau ketemu.”

Umar dan Kelaswara saling pandang.

“Dan?” Kelaswara bertanya.

“Aku belum jawab.”

“Bagus,” timpal Umar cepat.

Kelaswara mengaduk es kopi susu miliknya pelan. “Ret, kita ini hidup di kota yang bikin orang gampang banget cari pelarian: dari kafe ke kafe, dari swipe ke swipe. Tapi luka itu nggak sembuh cuma karena diganti wajah baru. Apalagi kalau yang datang, wajah lama yang sama.”

“Kesepian bukan alasan untuk kembali pada seseorang yang pernah melukaimu, Ret,” lanjut Umar pelan, mengulang kalimat yang dulu sering ia kirim lewat chat setiap kali Retna hampir goyah. “Kalau kamu balik karena sepi, kamu cuma numpuk hutang luka.”

Retna menunduk. Di layar ponselnya, pesan Jayengrana masih menunggu: “Boleh ketemu?”

.

Malam itu, di apartemennya di bilangan Jakarta Selatan, Retna duduk di lantai. Lampu ruang tamu dibiarkan temaram. Di meja rendah, secangkir kopi hitam tanpa gula mengepul pelan. Ia baru saja pulang dari sesi konseling keduanya bersama psikolog, setelah berbulan-bulan Umar dan Kelaswara mendorongnya untuk mencari pertolongan profesional, bukan hanya curhat di grup WhatsApp.

“Kamu tahu, Ret,” ujar psikolognya, seorang perempuan berwajah lembut bernama Nadira, “kadang yang membuat orang sulit move on bukan hanya karena cintanya terlalu dalam, tapi karena rasa bersalah yang ia bawa. Seolah jika ia meninggalkan hubungan itu, semua usaha, semua pengorbanan, semua air mata… jadi sia-sia.”

“Kalau aku pergi, berarti semua sabar dan maafku selama ini cuma kesia-siaan?” tanya Retna saat sesi sebelumnya.

“Tidak,” jawab Nadira lembut. “Justru ketika kamu pergi, kamu sedang memberi makna pada semua itu. Kamu bilang pada dirimu: ‘Aku sudah mencoba, aku sudah belajar. Sekarang saatnya aku menjaga diriku.’”

Retna memikirkan itu sambil menatap kopi hitam di depannya. Kesepian menempel di dinding-dinding apartemen seperti bayangan. Kadang ia hanya ingin ada seseorang yang duduk di sebelahnya, menyalakan film, dan berkata, “Aku di sini.”

Tapi ia juga ingat malam-malam ketika seseorang itu ada di sebelahnya, dan ia malah merasa paling sendirian di dunia.

Ia mengangkat cangkir, menghirup aroma kopi yang pekat.

“Kesepian itu seperti kopi hitam,” gumamnya pelan, mengulang kalimat yang ia tulis di jurnal. “Pahit, tapi menenangkan jika dinikmati dengan kesadaran. Sunyi yang dihadapi, bukan dihindari.”

Ponselnya bergetar lagi. Jayengrana.

“Aku di sekitar SCBD. Kalau kamu nggak mau ketemu di kafe rame, kita bisa ngobrol di parkiran aja, lima belas menit saja. Aku nggak akan maksa apa-apa.”

Retna menatap layar lama-lama. Kali ini, alih-alih jantungnya berdegup kencang, ia justru merasa… lelah.

Di kepalanya, muncul adegan parkiran lain, setahun lalu, ketika ia menangis sambil menyandarkan kepala di setir, setelah Jayengrana meninggikan suara hanya karena ia keberatan pacarnya menghabiskan malam dengan “teman-teman kerja” tanpa kabar.

“Kamu tuh terlalu drama!” teriak Jayengrana waktu itu. “Aku capek sama kecurigaanmu!”

Padahal yang ia minta hanyalah pesan singkat: “Aku pulang terlambat.”

.

Besok paginya, Jakarta berawan. Retna berangkat kerja dengan KRL, memilih turun di stasiun terdekat lalu berjalan kaki. Gedung-gedung perkantoran tumbuh seperti tanaman logam yang dirawat oleh aspirasi kelas menengah. Di dalam kantor, rekan-rekannya membicarakan target kuartal, rencana ekspansi ke kota-kota kedua, dan workshop dengan kampus-kampus ternama.

Di sela presentasi, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, pesan bukan dari Jayengrana, tapi dari orang tuanya di grup keluarga: foto-foto halaman rumah di Malang yang baru di-cat ulang, disertai pertanyaan sederhana, “Kapan pulang?”

Dalam hentakan hidup metropolitan, pertanyaan paling sederhana kadang terdengar paling kompleks. Pulang ke mana? Pada siapa?

Saat jam makan siang, Retna turun ke lobby untuk menarik napas. Di sana, secara tak sengaja, ia berpapasan dengan seseorang yang sudah lama tidak ia temui.

“Retna?”

Ia menoleh. Di hadapannya berdiri Rengganis, teman SMA yang dulu selalu duduk di bangku paling depan, otaknya tajam, nilai matematika sempurna. Kini ia mengenakan ID card rumah sakit swasta ternama—ternyata ia menjadi psikiater.

“Rengganis? Ya ampun! Berapa tahun kita nggak ketemu?”

Mereka tertawa, saling bertukar cerita kilat. Di sela obrolan, Retna mengakui kalau belakangan ia sedang rajin konseling.

“Aku bangga kamu cari pertolongan,” kata Rengganis. “Di kota seperti ini, orang punya uang untuk ngopi artisan, traveling ke luar negeri, ngambil S2, tapi nggak punya keberanian buat mengobati luka batinnya sendiri.”

Kalimat itu menempel di benak Retna lama setelah mereka berpisah.

.

Malam itu, hujan deras. Dari lantai 20 apartemennya, Retna menatap lampu-lampu kecil di apartemen lain. Di satu jendela, ia melihat siluet sepasang suami istri yang tampak sedang bertengkar—gestur tangan yang cepat, tubuh yang berbalik pergi. Di jendela lain, seorang pria muda duduk sendirian di depan laptop dengan headphone menempel di telinga, ditemani sepotong pizza.

Kota ini penuh dengan orang-orang yang sama-sama berusaha terlihat baik-baik saja.

Ponselnya kembali bergetar.

Jayengrana: “Aku tahu aku salah. Aku cuma pengen minta maaf, Ret. Sekali ini saja. Setelah itu, kalau kamu mau aku hilang, aku akan hilang. Tapi tolong, jangan buat aku ngomong sama tembok.”

Tangannya gemetar. Ada bagian dari dirinya yang masih ingin percaya bahwa maaf bisa mengembalikan segalanya seperti dulu. Bahwa risiko kembali terluka sepadan dengan rasanya tidak lagi sendirian.

Di saat bersamaan, pesan lain masuk.

Umar: “Kamu di rumah? Hujan deras. Jangan buka pintu pada siapapun kecuali ojol yang bawa makanan.”

Detik berikutnya:

Kelaswara: “Ret, aku baru roasting biji kopi baru. Nanti aku kirim buat kamu. Biar kalau kamu sepi, kamu bisa ngobrol sama aroma kopi, bukan sama bayangan masa lalu.”

Retna tertawa pelan di tengah air matanya. Hidupnya tidak sepenuhnya kosong. Ia punya sahabat, pekerjaan yang ia cintai, orang tua yang menunggu kabar, dan dirinya sendiri yang mulai ia pelajari dengan lebih jujur.

Ia menatap dua chat di layar: satu dari masa lalu yang mengundang kembali ke pola lama, satu dari masa kini yang mengingatkan bahwa ia pantas mendapatkan yang lebih sehat.

Sunyi merayap pelan, tapi kali ini tidak menakutkan. Hanya ruang kosong yang menunggu diisi.

Dengan napas panjang, Retna mengetik balasan.

Retna: “Terima kasih sudah minta maaf, Jay. Aku mengapresiasi itu. Maaf juga untuk semua kata-kata yang dulu mungkin menyakitimu. Tapi kita tidak perlu bertemu. Aku sedang belajar berdamai dengan diriku, tanpa kembali ke cerita lama. Semoga kamu juga bisa berdamai dengan hidupmu.”

Ia menekan tombol kirim, lalu menaruh ponsel di meja.

Hening. Tidak ada bunyi balasan. Tidak ada ledakan drama. Hanya detik jam dinding yang terdengar lebih jelas.

Retna mengambil biji kopi yang tadi siang dikirim kurir—kiriman Kelaswara. Ia menimbang, menggiling, menyeduh. Aroma kopi memenuhi apartemen kecil itu dengan kehangatan.

Ia duduk di lantai, bersandar pada sofa, menatap jendela yang dipenuhi titik-titik air.

Untuk pertama kalinya, kesepian tidak terasa seperti jurang; lebih seperti ruang kosong di dalam diri yang akhirnya ia duduki tanpa lari.

.

Beberapa bulan berlalu. Hidup tidak berubah menjadi film yang semuanya rapi. Retna masih harus mengejar deadline, menghadapi klien yang menunda pembayaran, meredam kecemasan ketika mendengar kabar PHK di industri teknologi. Tapi ada hal-hal kecil yang berubah:

Ia tidak lagi mengecek status terakhir online Jayengrana.
Ia mulai ikut kelas yoga di studio kecil dekat apartemennya.
Ia menulis jurnal setiap malam, menuliskan tiga hal yang ia syukuri hari itu.

Suatu Sabtu sore, ia duduk di kafe yang sama—kafe tempat semuanya bermula dan berulang kali berputar. Kali ini, ia datang sendirian, benar-benar sendirian. Umar masih di kantor mengerjakan kasus, Kelaswara sedang dinas ke Surabaya membuka cabang baru.

Retna memesan kopi hitam. Tanpa gula, tanpa cream.

Barista—seorang mahasiswa komunikasi yang sedang magang—menatapnya. “Mbak yakin? Kopi kita lumayan strong, loh.”

Retna tersenyum. “Justru itu yang aku cari.”

Ia membawa cangkir ke meja dekat jendela. Di luar, langit sore memerah di antara gedung-gedung tinggi. Orang-orang berlalu-lalang dengan langkah terburu-buru, mengejar waktu yang seolah tak pernah mau menunggu.

Ia mengangkat cangkir, meniup permukaan kopi, dan menyesap perlahan. Pahit menyentuh lidahnya, pekat, nyata. Tidak semua orang suka rasa ini. Dulu pun ia selalu menambahkan gula dan susu, menolak pahit apa adanya.

Kali ini, ia memilih untuk tidak menutupinya.

Dalam kepalanya, muncul kalimat yang nanti akan ia tulis dalam jurnal malam ini:

“Aku akhirnya mengerti,
bahwa kesepian bukan musuh yang harus dimusnahkan,
tapi tamu yang perlu disambut, diajak duduk, dan ditanya pelan:
‘Apa yang ingin kau ajarkan padaku hari ini?’”

Ponselnya bergetar. Notifikasi email masuk. Sebuah universitas swasta ternama di Jakarta mengundangnya menjadi pembicara tamu di kelas kewirausahaan digital, berbagi tentang pengalaman mengembangkan platform edukasi online.

Retna tersenyum. Hidup pelan-pelan seperti merapikan diri. Bukan karena ia tidak lagi kesepian, tapi karena ia tidak lagi menjadikan kesepian sebagai alasan untuk merusak dirinya sendiri.

Kelaswara mengirim pesan foto rak kopi di outlet barunya; Umar mengirim stiker kucing memakai jas dengan caption, “Lawyer but make it cute.”

Dan di sela semua itu, ada momen-momen ketika ia berada di tengah keramaian namun tetap merasakan sepi. Perbedaannya, sekarang ia tidak buru-buru menambal sepi itu dengan kehadiran yang salah.

Ia menatap bayangannya di kaca kafe. Seorang perempuan dengan mata yang sedikit lelah, tapi lebih jernih.

Jakarta di luar masih bising, lalu lintas masih padat, cicilan masih berjalan, target kerja masih menunggu. Tapi di dalam dirinya, ada satu ruang kecil yang perlahan menjadi rumah: ruang di mana ia bisa duduk sendiri, minum kopi hitam, dan merasa cukup.

Ia mengeluarkan ponsel, membuka catatan, dan menulis satu kalimat pendek:

“Aku tidak lagi meneguk racun hanya karena haus perhatian.”

Di luar, senja pelan-pelan turun di antara gedung tinggi. Di dalam, Retna meneguk kopi pahit sampai habis.

Dan untuk pertama kalinya, pahit itu terasa menenangkan.

.

.

.

Malang, 22 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KesepianBukanAlasan #SelfHealingJourney #KopiDanSunyi #HidupDiKota #ToxicRelationship #BelajarBerpisah #PerempuanMandiri #CerpenKompasStyle #NamakuBrandkuStyle

Leave a Reply