Kesabaran yang Tak Pernah Tampil di Panggung
“Tak ada kesabaran yang sia-sia. Hanya ada waktu yang belum tiba untuk membuktikan bahwa diam pun mampu mengubah dunia.”
Di Jakarta, kota yang berdiri dari ambisi dan kenangan, waktu adalah barang langka yang diburu semua orang. Di tengah gedung-gedung tinggi dan iklan digital menyala di mana-mana, hidup seorang lelaki muda bernama Abim, penulis lepas yang memilih untuk tidak tergesa dalam dunia yang melaju seperti peluru.
Abim, nama pendek dari Abimanyu—warisan nama besar dari kisah klasik Bharatayuda. Tapi tak seperti pendahulunya yang gugur dalam pertempuran sengit, Abim memilih jalan sunyi: menulis, merenung, dan berharap kata-katanya bisa menjangkau jiwa-jiwa yang tersesat dalam riuh algoritma.
Larut Dalam Waktu
Abim bukan siapa-siapa di dunia maya. Akun media sosialnya sepi. Blognya nyaris tak ada pembaca. Tapi setiap pagi ia menyeduh kopi sendiri, membuka laptop tua peninggalan kuliah, dan mulai menulis. Bukan untuk viral. Tapi untuk menyelamatkan dirinya dari kekosongan.
“Kalau kamu terus begini, kamu akan ditinggal zaman,” ujar Utara, teman lamanya yang kini jadi content strategist di startup unicorn.
Abim hanya tersenyum. Ia tak ingin jadi bintang lima detik yang redup di detik keenam. Ia ingin menjadi api kecil yang tak padam meski tak terlihat.
Di Antara Pilihan dan Kesabaran
Di sebuah kamar sempit di daerah Tebet, Abim tinggal bersama buku-buku tua dan tanaman-tanaman kecil yang ia rawat seperti anak sendiri. Ia menolak tawaran kerja tetap karena tahu jiwanya akan habis jika harus berpura-pura ramah pada klien yang hanya ingin hasil cepat.
“Abim, kamu terlalu idealis,” ujar Sena, sepupunya yang bekerja di bank.
“Bukan idealis. Aku hanya tak ingin kehilangan diriku sendiri,” jawabnya pelan.
Abim percaya bahwa setiap pilihan adalah medan perang. Dan ia memilih bertahan dengan pena, bukan pedang. Setiap tulisan yang ia hasilkan adalah anak panah yang mungkin tak langsung mengenai sasaran, tapi suatu hari akan tiba di tempatnya.
Kesabaran yang Dipermainkan
Abim pernah sekali mencoba menjual dirinya ke dunia konten cepat. Ia membuat video 60 detik tentang filosofi hidup. Tapi hatinya hampa. Ia merasa jadi badut digital. Komentarnya ramai, tapi tak satu pun menyentuh isi pikirannya.
“Ini bukan aku,” bisiknya sambil menghapus semua jejak.
Ia kembali ke blognya yang sepi. Menulis esai panjang tentang kesunyian, tentang perjuangan tak terlihat, tentang orang-orang yang memilih hidup biasa tapi berarti. Tak ada like. Tak ada share. Tapi ia tahu, satu-dua orang membaca dengan air mata.
Lelah yang Dipangku Waktu
Tahun ketiga jadi penulis lepas, Abim hampir menyerah. Ibunya di kampung sakit. Tagihan menumpuk. Laptopnya mati total.
“Tuhan, aku sudah sabar. Tapi apa Kau lupa padaku?” gumamnya di malam yang gerimis, di trotoar depan warnet murah.
Namun justru di titik terendah itu, kabar baik datang. Sebuah email dari penerbit independen di Jepang. Mereka menemukan terjemahan blog Abim di forum sastra daring.
“We would like to publish your work.”
Air matanya jatuh. Bukan karena bahagia semata. Tapi karena akhirnya ada yang melihatnya bukan dari popularitas, tapi dari kedalaman kata.
Panggung yang Tidak Perlu Ramai
Dua tahun setelah buku pertamanya terbit, Abim diundang jadi pembicara di Universitas Indonesia. Ia tampil dengan kemeja sederhana dan sepatu lusuh. Tapi suaranya tenang. Bicaranya lambat. Dan semua yang hadir diam mendengarkan.
“Aku menulis bukan untuk jadi terkenal. Tapi agar kalian tahu, bahwa diam bukan berarti kalah. Bahwa sabar bukan tanda menyerah.”
Ia menutup sesi itu dengan kalimat, “Kesabaran bukan soal menunggu tanpa protes. Tapi tentang percaya bahwa sesuatu sedang tumbuh, meski belum tampak.”
Abim di Jakarta yang Tak Berhenti
Hari ini, Abim masih tinggal di kamar kos yang sama. Tapi kini dengan rak buku yang lebih padat dan laptop baru hasil royalti. Ia masih menulis tiap pagi, masih menyiram tanaman, masih menyeduh kopi tubruk.
Di luar, Jakarta tetap sibuk. Dunia tetap bising. Tapi di dalam kamar itu, kata-kata terus tumbuh seperti semak di sela beton.
Karena Abim tahu, di dunia yang mencintai hal cepat, ia adalah lambat yang berakar.
.
.
.
Jember, 27 Juli 2025
.
.
#CerpenKompas #FilosofiUrban #AbimDiJakarta #KesabaranDigital #CeritaHidup #SastraKota #SlowLiving #MenulisDalamDiam