Keheningan yang Bekerja
“Kadang, keheningan lebih pandai membela kita daripada seribu penjelasan.
Ia bekerja diam-diam, menumbuhkan kepercayaan di tanah yang sempat kering.”
.
Hujan turun rapi seperti barisan lampu lalu lintas. Di Jalan Trunojoyo, deretan kafe minimalis menyalakan huruf neon: “open till late.” Panji, pria empat puluhan dengan kemeja putih yang sengaja tidak disetrika sempurna, berdiri di balik kaca sebuah kafe baru bernama Bayang. Ia menghitung langkah, bukan jumlah pengunjung. Satu, dua, tiga. Ia selalu percaya, langkah paling penting adalah yang terdengar hanya oleh telinganya sendiri.
Di kafe itu terdapat rak kecil berisi buku—sosiologi, manajemen, dan beberapa terbitan indie. Ada majalah arsitektur lokal yang memotret fasad-fasad hotel butik di tepi kota, ada pula album foto bertopik “Jawa yang bergerak.” Barista muda berseragam hitam meliriknya, seolah hendak bertanya, “Apakah kita akan selamat malam ini?”
Panji baru saja berhenti dari posisi yang biasa dibanggakan di pesta-pesta rooftop: partner di sebuah firma investasi rintisan, pemegang saham minoritas di dua restoran, penasihat program beasiswa untuk siswa first-generation. Di Instagram ia tampak seperti katalog: jas biru gelap, sepatu mengilap, senyum yang disetel.
Sampai sebuah rumor menyentuhnya seperti ujung pisau mentega: katanya ia “memainkan” dana inkubator, katanya ia “menghilang” saat laporan bulanan. Katanya, katanya, katanya. Ia memilih diam. Di kota besar, diam sering disangka pengakuan. Tapi Panji tahu—diam yang dipelajari adalah cara berjalan di tengah kerumunan tanpa menyikut siapa pun, namun tetap sampai.
Sekartaji memasuki kafe ketika hujan mereda menjadi desis di talang. Rambutnya diikat rendah, tas kerja kulit dibawa seolah membawa rahasia. Ia arsitek yang menolak ikut lomba-lomba façade digital, lebih memilih memetakan angin di gang sempit dan memasukkan aroma cemara ke dalam ruang kelas. Hidupnya terdiri dari denah yang disederhanakan—garis bersih, bukaan lebar, dan jalan pulang yang logis.
Mereka tidak berpelukan. Mereka duduk saling berhadapan, seperti dua negara yang baru saja sepakat gencatan. Di antara mereka ada cangkir-cangkir kecil, dan tumpukan kertas proposal program Kota Lestari, inisiatif yang ingin menyatukan pelaku kuliner, sekolah kejuruan, dan UMKM penyedia bahan lokal. Mereka telah mengerjakannya tiga tahun. Hampir jadi. Hampir direstui sponsor besar. Lalu gosip datang.
“Bagaimana kabar ibumu?” tanya Sekartaji.
“Masih seperti daun pintu,” jawab Panji. “Bisa menutup, bisa membuka, tapi engselnya berdecit.”
Sekartaji tersenyum miris. “Aku menanyakan kabar, bukan peribahasa.”
“Kabar kami selalu seperti peribahasa,” kata Panji. “Separuh benar, separuh teguran.”
Mereka tertawa pendek. Barista mengantar dua gelas: flat white untuk Panji, teh rosella panas untuk Sekartaji. Di layar ponsel, pesan demi pesan masuk: press lokal menginginkan pernyataan; grup WhatsApp investor menuntut klarifikasi; adik-adik bimbingan menanyakan apakah program Kota Lestari akan bubar. Panji, seperti biasa, tidak membalas malam itu.
.
Ragil Kuning tinggal di apartemen 33 lantai yang memandang ke sungai kota yang di malam hari seperti pita logam. Ia adalah food stylist sekaligus ghostwriter untuk akun kuliner yang punya lebih banyak pengikut daripada sebuah kampung. Namanya tidak tercantum di mana pun, honorarium masuk rapi, dan hidupnya terasa seperti kamera: fokus pada objek, ia sendiri kabur.
Ragil Kuning pernah menjadi bagian lingkaran Panji—ia yang menyusun narasi untuk presentasi pendanaan Kota Lestari, ia yang menjahitkan cerita tentang pasar pagi dan kelas memasak di sekolah negeri. Ia percaya program itu punya tulang punggung: kerja nyata, bukan sekadar CSR yang difoto.
Namun ketika rumor soal Panji mulai naik ke permukaan, ia dihubungi orang yang menamakan diri “teman lama.” Pesannya halus: “Tuliskan saja kronik kecil. Apa salahnya? Publik butuh tahu. Yang benar akan menang.” Ragil Kuning menatap pesan itu lama, seperti menatap wajahnya sendiri di sendok sup. Ia ingat ibunya pernah berkata, “Madu yang tercecer tetap manis, tapi semutlah yang menentukan ukurannya.”
Malam itu, ia menghapus pesan. Ia menutup laptop. Ia mengirimkan satu kalimat pada Panji: “Kalau kau masih pegang kemudi, aku tetap menyalakan lampu kabin.”
Panji membalas dengan dua titik dua garis, emoji kapal. Tidak lebih. Namun bagi Ragil Kuning, itu cukup.
.
Adaninggar muncul seperti nada tinggi yang tiba-tiba. Ia manajer portofolio di firma yang dulu menggandeng Panji. Perannya rapi, lisannya dingin. Di acara-acara, ia seperti jam atom—akurat dan tidak terburu-buru. Mereka mempunyai sejarah: kuliah di kampus yang sama, kompetisi debat yang mengikat, dan satu musim hujan di mana mereka pernah menunggu bis kota sambil memakan kacang rebus dari pedagang yang menyelip di bawah flyover.
Di ruangan kaca gedung perkantoran, Adaninggar menyusun rapat yang disebut sebagai “klarifikasi.” Ia memundurkan kursi, menyamakan intonasi, dan mempersilakan Panji duduk. Ada empat orang lain: auditor, perwakilan sponsor, dan dua staf yang matanya seperti lampu malam—nyala, tapi kecil.
“Poin kita sederhana,” Adaninggar membuka. “Tak ada transaksi aneh di laporan. Tapi juga tak ada pernyataan darimu. Di kota, orang lebih percaya yang bicara.”
Panji menatap jendela, di luar langit seperti lembaran baja. “Aku sedang belajar membiarkan orang melihat sisi jahatku,” katanya pelan. “Bukan karena aku ingin. Karena mereka perlu. Manusia butuh bentuk untuk membenci. Biar saja aku yang jadi sketsanya.”
Auditor berdeham. “Itu kalimat puitis, Panji. Namun kami butuh angka.”
Panji menggeser map. Di dalamnya: bukti transfer, kuitansi, email berbalas. Semua baik-baik saja, hanya terlambat terunggah karena asisten keuangannya dirawat intensif—fakta yang tidak ia publikasikan karena menentukan kapan luka seseorang boleh jadi konsumsi umum bukanlah haknya. Ia memilih disalahpahami.
Adaninggar membaca cepat. Ekspresinya tidak berubah, tapi napasnya ringkas. “Kau membuat semuanya lebih sulit,” ujarnya. “Sebuah klarifikasi tiga paragraf di LinkedIn bisa menyelamatkan sebulan stres banyak orang.”
“Aku tahu,” kata Panji. “Tapi aku sedang menguji diri sendiri. Seberapa jauh aku bisa tidak menjadikan kacamata orang lain sebagai cermin.”
Hening yang hadir seperti halaman kosong. Di satu sudut ruangan, jam dinding bekerja dengan kasih sayang yang tidak terlihat.
“Baik,” kata Adaninggar akhirnya. “Kalau demikian, kita sampaikan bersama. Bukan untuk memulihkan wibawamu, tapi untuk menjaga kesinambungan program.”
Di situlah, mereka berhenti menjadi pihak berseberangan. Mereka kembali menjadi dua orang yang dulu memakan kacang rebus di bawah flyover.
.
Klana mengelola restoran warisan keluarganya di pojok kota, bangunan lama yang diubah menjadi ruang makan dengan dinding bata ekspos. Dengan modal pinjaman bank dan kepiawaian costing, Klana menyusun menu yang mengawinkan tempe flambé dengan sambal nanas, serta kopi tebu dingin yang diberi nama “Selasar.” Ia percaya pada kerja yang membumi: kasir yang jujur, vendor yang dibayar tepat waktu, dan gaji yang dinaikkan sebelum karyawan meminta.
Saat rumor tentang Panji mengental, beberapa pemasok menunda pengiriman bahan untuk kelas-kelas Kota Lestari. “Takut uangnya nyangkut,” kata seorang, separuh minta maaf. Klana menahan panas di dada. “Kalau begitu, anggap saja aku penjamin,” ujarnya. “Kirim seperti biasa. Kalau gagal, tagih aku.”
Ia menandatangani kertas kecil, bukan perjanjian notarial—selembar kepercayaan. Malam itu ia menutup restoran sedikit lebih lambat, memeriksa satu per satu kursi, dan membayangkan barisan murid SMK yang menunggu belajar memotong bawang tanpa menangis.
.
Program Kota Lestari bermula dari sore tahun-tahun sebelumnya ketika Panji dan Sekartaji duduk di tribun stadion kecil, menyaksikan pertandingan bola antarkelurahan. Di belakang mereka, seorang ibu berjualan lontong sayur sambil menidurkan bayi dengan kaki. “Andai ada kelas yang mengajarkan cara mengemas makanan dengan teliti,” kata Panji waktu itu. “Bukan kelas mahal. Kelas yang mendekatkan rasa ke peluang.”
Sekartaji menambahkan: “Dan ruang yang tidak cuma menutup hujan, tapi merawat harga diri.”
Mereka mencatat ide itu di belakang tiket masuk. Orang lain mencatat skor; mereka mencatat pintu.
Ketika program berjalan, mereka menyusun modul: basic food safety, storytelling untuk pedagang kecil, financial literacy sederhana, dan kelas arsitektur murah-meriah—bagaimana membuka jendela, memperlakukan sinar, dan menyiasati gerah tanpa AC. Ragil Kuning menulis naskah video pendek, Klana menyediakan dapur uji. Adaninggar, dari kejauhan, menyambungkan ke sponsor.
Satu per satu kota kecil ikut: Bantaran, Warungbuah, Menjangan. Kelas diadakan Minggu pagi saat anak-anak masih mengantuk dan bapak-bapak baru selesai jogging. Di akhir kelas, mereka menonton video berisi potongan dokumentasi yang disunting seperti film pendek: wajah-wajah yang tertawa, tangan yang cekatan, dan papan tulis bertuliskan harga pokok produksi. Panji tidak pernah tampil lebih dari tiga detik. Ia percaya kamera harus memihak yang belajar, bukan yang memfasilitasi.
.
Namun kota selalu punya lingkaran-lingkaran tak terlihat—tempat orang menukar kabar, menyetel prestise, dan menakar siapa masih boleh diajak duduk. Di sebuah pesta ulang tahun butik di atas gedung, Panji mendengar namanya jadi bahan small talk. “Dia itu—” kata seseorang, suara setengah hati. “Pintar, sih. Tapi kamu tahu, kan? Rumor.”
Panji lalu memutuskan untuk berhenti hadir di lingkaran-lingkaran itu. Ia mengganti jam-jamnya di tempat pesta dengan menemani kelas tambahan di sebuah sekolah yang ventilasinya buruk. Ia membiarkan “sisi jahatnya” beredar tanpa bantahan, seolah meminjam wajah penjahat agar orang lain punya katarsis.
Ini bukan soal martyrdom, tulisnya di buku catatan. Ini latihan untuk melihat berapa banyak yang tetap bekerja meski tepuk tangan hilang. Ia menguji apakah program berdiri karena ide, atau karena nama.
Di suatu pagi yang jernih setelah banyak malam yang keruh, Ragil Kuning mengajaknya ke pasar. “Aku ingin foto seri sayur daun,” katanya. Mereka berjalan sambil memotret bayangan-bayangan yang jatuh di atas kol hijau. Seorang pedagang menyapa: “Mas Panji, kelasnya kapan lagi?” Panji tersenyum, memberi tanggal, lalu bertanya, “Bagaimana jualannya?”
“Lebih rapi,” jawab pedagang itu. “Anak saya sekarang bisa bantu hitung. Tidak rugi lagi.”
Kalimat itu, seperti lampu yang menyalak dalam ruang sempit. Panji menahan keinginan untuk menuliskannya di media sosial. Ia memilih mengingatnya diam-diam, seperti orang menyimpan foto kecil di dompet.
.
Titik baliknya datang bukan dalam bentuk klarifikasi panjang, melainkan sebuah audit independen yang diserahkan sponsor kepada media. Dalam ringkasannya, tak ditemukan pelanggaran. Yang ada hanyalah ketertinggalan administrasi karena faktor manusia: sakit, perawatan, perlambatan. Media menulis judul datar, tidak clickbait: “Audit: Tak Ada Penyimpangan di Program Kota Lestari.”
Reaksi publik tidak meledak. Kota tidak mendadak memeluknya. Orang-orang yang mungkin percaya rumor tetap memilih diam, karena diam pun bisa menjadi kebiasaan. Tapi ada beberapa perubahan kecil: dua pemasok yang sempat menunda mengirimkan bahan tanpa lagi mewajibkan uang muka; seorang influencer yang dulu memberi isyarat sarkastik kini mengundang mewawancarai peserta kelas—bukan Panji.
Adaninggar datang ke kafe Bayang pada sore yang keemasan. “Kau menang,” katanya setengah mencibir.
“Tidak ada yang menang,” kata Panji. “Kita selamat saja.”
“Mungkin itu kemenangan,” ujar Adaninggar. “Selamat adalah kemenangan paling sepi.”
Mereka tertawa. Panji menyajikan kopi tanpa disuruh, seperti kala-kala lama. Sekartaji menyusul, membawa gulungan denah renovasi pasar tradisional: bukaan udara diperbesar, kios-kios disusun ulang, jalur evakuasi jelas. Mereka membicarakan bagaimana kelas berikutnya akan mengajarkan pedagang memotret menu sendiri dengan ponsel. Ragil Kuning menambah catatan: “Ajaran terang: lighting dari jendela, bukan flash.”
Di sudut kafe, Klana mengirim pesan: “Bahan datang. Aku titip dua kaleng bumbu ke ruang uji, ya.” Hati kota bergerak seperti gardan yang baru diminyaki.
.
Meski audit usai, gosip tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya berganti kulit. Suatu malam, sebuah akun menulis: “Kalau memang bersih, kenapa diam?” Komentar itu mendapat belasan like. Panji membacanya pelan, lalu menutup ponsel. Ia teringat lagi kalimat yang ditulis di buku catatannya: Seberapa jauh aku bisa tak menjadikan kacamata orang lain sebagai cermin?
Ia berjalan ke balkon kafe yang menghadap pepohonan. Di sana, suara sepeda motor seperti ombak kecil. Ia mengingat masa kecil—menang lomba menggambar tingkat kecamatan, takut tampil di panggung, dan pertama kali jatuh cinta pada seorang teman kelas yang kemudian pindah kota tanpa pamit. Dari semua itu, ia belajar bahwa yang paling menyakitkan adalah kehilangan kesempatan mengucapkan versi terbaik dari diri sendiri.
Tetapi barangkali orang tidak selalu berhak atas panggung untuk menjelaskan. Terkadang, tugas hidup hanyalah menjaga kompas tetap menunjuk utara.
“Biarkan mereka melihat sisi jahatmu,” gumamnya, mengulang kalimat pembuka yang sempat ia kirim sebagai caption singkat suatu hari. “Tidak perlu mengingatkan bahwa kau pernah baik pada mereka. Keheningan akan bekerja diam-diam.”
Di belakangnya, Sekartaji berdiri membawa dua gelas air. “Kalau keheningan bekerja, kerja kita apa?”
“Menjaga pintu tetap terbuka,” kata Panji. “Agar orang yang berubah pikiran punya jalan untuk kembali.”
Sekartaji menghela napas, separuh lega. “Kau selalu menyisakan ruang dramatis.”
“Bukan dramatis,” kata Panji. “Arsitektural.”
Mereka tertawa kecil; hujan di talang kembali menyanyi. Dalam jeda itu, Panji merasa hidupnya menemukan ritme baru: bukan ritme di panggung peluncuran startup, bukan tepuk tangan di ruang konferensi, melainkan ritme kursi-kursi plastik yang disusun sebelum kelas dimulai, catatan-catatan yang ditulis dengan huruf besar karena spidol menjerit, dan wajah-wajah yang pulang membawa sedikit kebanggaan.
.
Minggu pagi, kelas Kota Lestari kembali dibuka di aula kelurahan. Lampu neon masih berkedip, lantai licin, bau karbol bercampur aroma sambal yang dibawa seorang ibu di tupperware besar. Ada dua puluh peserta: pedagang nasi uduk, peracik kopi keliling, siswa SMK jurusan tata boga, serta seorang bapak yang hendak mengubah garasi jadi cloud kitchen. Di papan, tertulis: Modul 4—Foto Produk dengan Cahaya Alami dan Harga Pokok Produksi.
Ragil Kuning memulai: “Cahaya terbaik itu gratis, datang dari jendela. Pahami arah jatuhnya, dan minta makanan bicara sendiri.” Di meja, sepiring tahu petis jadi model, sebuah kain putih jadi reflektor. Orang-orang tertawa saat melihat before-after sederhana di layar monitor yang dipinjam dari sekolah.
Klana menyusul dengan costing: “Jangan takut menulis angka. Harga bukan musuh. Harga adalah cara kita menghormati waktu kita sendiri.” Ia membagikan lembar kerja: bahan-bahan, timbangan, ongkos gas, waktu cuci piring. “Masukkan margin untuk lelah,” katanya. “Karena lelah pun butuh diakui.”
Sekartaji menutup sesi dengan layout lapak: “Bukaan, sirkulasi, tempat cuci tangan, dan orientasi meja. Kalau bisa, sudut dagang menghadap matahari pagi, agar kita mendapat berkah cahaya dan kebiasaan bangun lebih awal.” Ia menyodorkan sketsa mudah dipahami.
Panji tidak mengajar hari itu. Ia mengatur kursi, menyalakan speaker, dan memastikan mic bekerja. Seseorang memanggilnya “Mas Panji” dengan intonasi yang menaruh hormat tanpa mengagungkan. Itu cukup. Di akhir kelas, semua berdiri bersama untuk foto, tapi ia mundur setengah langkah, memastikan yang tertangkap kamera adalah wajah belajar—bukan wajah yang sudah sering terlihat di thumbnail.
Selesai kegiatan, seorang anak SMK menghampiri. “Pak—eh, Mas,” katanya gugup. “Kalau nanti saya magang, apakah boleh di kafe situ?” Ia menunjuk ke arah Bayang.
“Boleh,” jawab Panji. “Asal kamu siapkan satu cerita. Tentang siapa pun yang kamu cinta, dan bagaimana cinta itu membuatmu lebih rapi dalam bekerja.”
Anak itu tertawa. “Berarti saya harus belajar dulu mencintai.”
“Justru bekerja kadang mengajari caranya.”
Mereka berjabat tangan. Di luar, matahari sudah tinggi, dan bayangan-bayangan yang tadi panjang mulai pendek. Kota terlihat seperti seseorang yang baru bangun, mengucek mata, siap untuk sebuah hari yang jujur.
.
Sore hari, Panji menulis surat elektronik yang tidak akan ia kirimkan ke mana-mana, kecuali kepada dirinya sendiri—kebiasaan lama yang mengajarinya memilah perasaan. Subjeknya: Tentang Menjadi yang Salah di Waktu yang Tepat.
Ia menulis:
Ada musim ketika kita perlu menjadi tokoh antagonis di panggung orang lain agar kisahnya menemukan tensi. Kita tidak mati oleh cerita itu; kita dilatih. Kita belajar tidak mencari ganti rugi dari pengertian orang, melainkan dari pekerjaan yang menambah nilai. Kita tidak memaksa pintu opini terbuka, kita membuka pintu-pintu lain: kelas, dapur, denah, dan kesempatan.
Ketika keheningan selesai bekerja, kalau pun ada yang datang meminta maaf, kita sambut tanpa menagih. Sebab yang paling mahal di kota ini bukan reputasi bersih di linimasa, melainkan kemampuan menjaga ritme: bangun tepat waktu, membayar tepat waktu, mengajar tepat waktu, memaafkan di waktu yang tidak harus tepat.
Ia menutup surat itu. Ia tidak mengirimkannya. Ia menaruhnya di folder bernama “Lampu Kabin.”
Di luar, hujan sudah reda. Kafe Bayang menyalakan lampu-lampu kecil di atas meja kayu. Adaninggar duduk sebentar, menyeruput kopi; Sekartaji menggulung kertas denah; Ragil Kuning menyerahkan hard disk berisi video dokumenter dua belas menit tentang “Harga Pokok Produksi sebagai Ilmu Cinta”; Klana menaruh bumbu di rak belakang, berjanji mengajari peserta membuat saus sederhana minggu depan.
Malam itu, kota tidak bertepuk tangan. Tapi di sepasang mata seseorang—barista yang baru dua minggu bekerja—ada cahaya kecil yang menyalak. Mungkin ia merasa berada di tempat yang tidak hanya membayar gaji, tetapi juga meminjamkan makna.
Dan kadang-kadang, untuk menemukan makna, seseorang memang perlu membiarkan orang lain melihat sisi jahatnya, agar keheningan punya kesempatan bekerja. Agar yang tersisa pada akhirnya bukan gosip, melainkan kursi-kursi yang kembali ditata, dapur yang tetap berapi, dan sebuah kota yang pelan-pelan belajar menjadi dewasa.
.
.
.
Malang, 24 Oktober 2025
.
.
#CerpenKota #KompasMingguStyle #MenakJawaModern #UrbanStory #UMKMKuliner #ArsitekturSosial #Reputasi #Keheningan #PendidikanVokasi #EtikaKerja
.
Kutipan untuk jeda bab kecil
-
“Reputasi adalah bayangan di dinding; kerja adalah tubuh yang memantulkannya.”
-
“Jangan menuntut orang mengingat jasamu; latih dirimu agar tidak lupa pada prosesmu.”
-
“Harga bukan musuh: ia cermin kejujuran menghitung waktu.”
-
“Keheningan yang benar bukan pelarian, melainkan cara kerja yang menolak tepuk tangan.”