Kebaikan yang Tak Dipentaskan
“Kecerdasan sejati bukanlah kelicikan yang menyilaukan,
melainkan cahaya yang menuntun langkah.
Sebab apa arti kecerdikan bila menelanjangi nurani?
Dan apa arti kepintaran bila jatuh pada lubang yang sama,
seperti keledai yang tak belajar dari luka?”
.
Hujan mengurung Jakarta sejak petang, menumbuk kaca-kaca gedung sampai menyerupai tirai tipis yang gemetar. Dari rooftop hotel tempatnya bekerja, Jayeng menatap lampu-lampu Sudirman yang berkilau seperti serpihan kaca. Kolam renang di ujung dek tampak seperti cermin hitam; sekali-sekali permukaannya koyak oleh buih hujan dan bayang-bayang lampu-lampu kendaraan yang memanjang.
Di layar ponsel, bar notifikasi naik-turun seperti napas orang panik: target, deadline, KPI, impresi, engagement. Kata-kata yang seharusnya netral itu berubah menjadi palu-palu kecil yang memukul tengkoraknya.
“Besok pagi kita rilis,” kata Umar, berdiri di sampingnya, sebatang rokok basah di sela jari. “Video donasi. Pastikan menangisnya ada. Netizen suka air mata kalau terasa tulus—bahkan kalau ditata.”
Jayeng menoleh, menimbang wajah Umar. Orang itu selalu tampak siaga, sinis, dan sedikit terlalu cepat merumuskan jalan pintas. Umar adalah alkemis kota: mengubah segala yang kusam menjadi emas impresi. Namun di balik alkimia itu selalu ada sesuatu yang goyah—semacam lompatan etika yang minta dimaafkan atas nama target.
“Kalau yang kita bantu tidak ingin direkam?” tanya Jayeng.
“Selalu ada yang ingin,” Umar tersenyum tipis. “Kalau tak ada, ya… kita bantu agar ingin.”
Jayeng diam. Kata “bantu” terasa seperti karet—dapat ditarik panjang-panjang. Di benaknya berkelebat wajah Emak di Jember, yang membuka warung kecil di tepi gang sejak almarhum Bapak wafat. Emak tak pernah paham istilah engagement, tapi ia mengerti bahwa memberi tak boleh mempermalukan penerima. “Memberi itu menutup,” kata Emak, “bukan menyingkap.”
Di ruang rapat sore itu, Adanin—perwakilan investor—memaparkan grafik dengan suara halus sekaligus menekan. “Kita perlu terobosan. Kita bukan menjual kamar; kita menjual cerita. Pastikan semua tampak peduli. Kota butuh hiburan yang menyejukkan hati.”
“Kita butuh kebaikan,” sela Jayeng lirih.
“Dan kebaikan,” jawab Adanin, “perlu panggung.”
.
Pagi berikutnya, hujan belum selesai. Di bawah flyover, tim produksi menata lampu, mic, dan tanda X di lantai semen. Seorang ibu paruh baya bernama Muning—nama yang dulu sering Jayeng baca di koran kampus—berdiri dengan payung bening. Ia kini jurnalis dan podcaster. Tatapannya jernih, seolah bisa menembus layar ponsel dan melihat balik panggung.
“Jayeng?” sapa Muning, mendekat pelan. “Sudah lama. Kau masih menulis?”
“Sekarang lebih banyak menata kata-kata orang lain,” jawab Jayeng, mencoba bercanda. “Kau sendiri bagaimana?”
“Masih mengejar suara orang kecil, sebelum suaranya ditutup musik latar,” kata Muning tersenyum. “Aku dengar kalian bikin gerakan donasi. Boleh kuikuti?”
Umar menyelip di antara mereka, menyambut dengan ramah yang terlatih. “Tentu. Semakin banyak mata, semakin jernih pemandangan,” katanya. “Kau bisa ambil sisi human interest-nya.”
Muning mengangguk. “Sisi manusia tidak selalu menarik—tapi selalu penting.”
Adegan dimulai. Seseorang menaruh paket sembako di tangan pedagang asongan yang sudah di-brief. Kamera bergerak, cahaya disetel agar wajah si pedagang tampak berkaca-kaca. Jayeng memegang clipboard, membubuhkan tanda cek pada kotak “reaksi tulus.” Di seberang, Umar memberi isyarat agar narasi voice over menyebut “kami” berkali-kali: kami peduli, kami hadir, kami membersamai.
Di antara gerimis, suara knalpot, dan langkah-langkah terburu, Jayeng merasa sesuatu mengganjal, seperti kerikil di sepatu. Ia menoleh pada wajah pedagang itu—matanya tidak menangis. Yang menangis adalah lampu dan lensa. Di leher pedagang itu tergantung kartu nama plastik—tanda bahwa ia kru magang dari vendor. Wajahnya baru, asing. Kota memang penuh tipu daya, tapi apakah mereka harus menambahinya?
“Cut,” seru Umar. “Bagus. Ulang untuk safety.”
Ketika rombongan bubar, seorang bapak pemulung mendekat, tanpa mic, tanpa tanda X, tanpa pengarahan. “Mas, kalau benar bagi-bagi, saya boleh dapat?” tanyanya ragu.
Jayeng terpaku. Umar sudah menariknya ke mobil. “Jangan terlibat yang di luar storyboard,” bisik Umar. “Nanti kacau. Kita selesaikan target dulu.”
Mobil meluncur. Jayeng menatap kaca kabut, menonton bayangan bapak itu menyusut—bayangan paling jujur pada pagi itu.
.
Video rilis meledak: ratusan ribu view, puluhan ribu komentar yang hangat, beberapa brand mengirim direct message. Jayeng menghabiskan malam-malam dengan notifikasi. Di sela semua itu, ada DM dari akun Muning: “Ada yang mengganjal. Boleh bicara?”
Mereka bertemu di warung kopi kecil di bilangan Cikini. Hujan berhenti, meninggalkan bau tanah yang sejuk.
“Aku bisa salah,” kata Muning, menyendok busa cappuccino. “Tapi kukenal satu wajah yang muncul sebagai penerima donasi—dia kru magang vendor. Dia juga muncul di dua kampanye sosial lain bulan lalu.”
“Bisa jadi kebetulan,” elak Jayeng pelan.
“Bisa,” kata Muning. “Atau bisa jadi sistem. Kau orang baik, Jayeng. Tapi orang baik juga bisa tersesat kalau tiap rambu diubah menjadi iklan.”
Kata-kata itu menampar Jayeng dengan lembut. Di kampus dulu, Muning yang memintanya menulis liputan banjir tanpa menyebut merek air mineral yang menyumbang. “Nama orang kecil lebih penting daripada nama brand,” katanya kala itu. Jayeng ingat. Lalu melupakannya, pelan-pelan, satu target ke target berikutnya.
“Seseorang menelpon kantorku,” lanjut Muning. “Katanya vendor kalian belum melunasi pembayaran fotografer lokal. Namanya Umar Madi. Katanya invoice ditahan karena ‘penyesuaian narasi’.”
Jayeng mengepal. Umar lagi. “Aku akan cek.”
“Jangan marah-marah besok,” kata Muning, tersenyum. “Marahlah hari ini, tapi pada dirimu sendiri dulu.”
.
Konfrontasi dengan Umar terjadi di parkiran basement—tempat kota menyembunyikan suara-suara tak sedap. Bau oli, lampu-lampu neon, dan sisa hujan membuat udara seperti film noir.
“Kau menahan pembayaran?” tanya Jayeng, menahan nada.
“Bukan menahan,” jawab Umar. “Mengatur arus kas. Vendor juga harus belajar. Ini kota, Jayeng. Semua orang menyesuaikan.”
“Menyesuaikan sampai memeras?” suara Jayeng retak.
Umar memejamkan mata, lalu menghembus pelan. “Kau pikir aku lahir tanpa luka? Adikku sakit. Biaya jalan, proyek harus aman, investor minta hasil. Kita semua sedang tenggelam, dan aku hanya pandai berenang.”
Kata-kata itu membuat Jayeng goyah sedetik. Lalu ia ingat bapak pemulung di bawah flyover. Ingat Emak yang menutup rapat telapak tangan setiap memberi sedekah agar tak ada yang tahu—bahkan dirinya sendiri. Ia menatap Umar: “Berenang bukan alasan menenggelamkan yang lain.”
Mereka diam cukup lama untuk membiarkan suara mesin AC menyelesaikan kalimat yang tidak akan diselesaikan.
.
Kota jarang memberi jeda untuk berpikir. Keesokan harinya, video kedua tayang dengan konsep serupa—dan kali ini, warga lokal memotret dari balik layar: kru memberi pengarahan, penerima donasi tertawa sebelum “aksi”, ada naskah yang jatuh ke genangan. Foto-foto itu viral, bersanding dengan video kampanye. Narasi yang ditambal rapi mulai terkelupas.
Komentar bergeser. Dari “terharu” menjadi “tertipu.” Dari “terima kasih” menjadi “ternyata settingan.” Tagar #KebaikanKardus melesat ke trending. Adanin mengundang rapat darurat. Umar hilang sinyal.
“Ini bukan salah kita,” kata Adanin menahan napas. “Ini salah sisi teknis yang bocor. Kita hanya… terlalu rapi.”
Jayeng merasakan sesuatu patah di dalam dadanya—kecil, tapi tegas. “Salah kita,” katanya. “Kita lupa menaruh manusia di tengah. Kebaikan kita bukan kebaikan, melainkan panggung.”
Ia berjalan keluar ruang rapat sebelum ada yang sempat menahannya. Ia masuk lift, memencet rooftop. Langit Jakarta terbuka: awan-awan sisa hujan melayang rendah, seperti handuk terjemur. Di ujung kolam, Jayeng berdiri. Ponselnya berdering: Emak.
“Mas,” suara yang membuat rumah pulang bahkan dari jarak ratusan kilometer. “Jangan sakit. Kalau tak bisa benar di tempatmu, pulang. Warung Emak sempit, tapi masih ada kursi kosong.”
Jayeng mengangguk, meski tahu Emak tak melihat. “Sebentar lagi, Mak.”
.
Konferensi pers diadakan dua hari kemudian. Aula ballroom dilapisi karpet tebal, menyamarkan derap langkah dan kegugupan. Di depan backdrop putih, deretan mic berdiri seperti bunga plastik. Media datang, beberapa dengan tatapan siap menombak.
Adanin membuka dengan kalimat yang dilatih: “Kami mohon maaf jika ada kesalahpahaman.” Bahasa korporat yang rapi, membungkus luka dengan pita.
Ada jeda. Jayeng meminta mic. Tangannya dingin; suaranya pelan namun mengetuk tiap kata. “Saya, Jayeng, bagian dari tim kampanye ini. Kesalahan ini bukan kesalahpahaman. Ini kesalahan kami. Kami membuat panggung dari kesusahan orang, dan menukar kebenaran dengan citra. Tak ada alasan baik untuk itu.”
Ruangan menahan napas. Kamera-kamera mencondongkan tubuh.
“Kami akan membayar vendor yang tertunda, meminta maaf kepada mereka yang kami arahkan menangis, dan menarik seluruh materi. Saya sendiri mengundurkan diri. Saya ingin belajar berjalan tanpa menendang bayangan orang lain.”
Pertanyaan berhamburan. Di sudut, Muning berdiri, tak bertanya apa-apa, hanya menatap dengan campuran lega dan iba. Umar tak hadir. Adanin menatap tajam, rautnya seperti kaca: bening, licin, dan rapuh.
Ketika konferensi selesai, Jayeng menuruni tangga darurat, keluar melalui pintu servis. Di lorong, ia bertemu perempuan cleaning service yang memegang pel—wajahnya adalah wajah semua orang yang jarang masuk frame. Jayeng menunduk hormat. Perempuan itu tersenyum: “Masnya berani. Semoga rezeki bertambah, bukan pengikut.”
.
Ia naik kereta malam ke Jember. Bogor—Depok—Bekasi—Karawang—Cirebon—Semarang—Surabaya—Probolinggo—Jember. Nama-nama stasiun berbaris seperti lirik yang dilagukan pelan oleh pengeras suara. Di luar, sawah-sawah hitam, jembatan-jembatan baja, warung-warung 24 jam. Kota dan desa terikat rel yang sama: mengantar orang ke tujuan, atau kembali ke asal.
Di kursi seberang, seorang anak kecil memeluk tas sekolah, tidur sambil mengigau: “Jangan dihapus, Bu…” Mungkin mimpinya tentang PR matematika. Mungkin tentang sesuatu yang ingin ia simpan. Jayeng tersenyum. Di layar ponsel, pesan dari Muning masuk: “Kupublikasikan besok. Bukan untuk menjatuhkan. Untuk mengingatkan.”
Jayeng menjawab: “Tulis hal-hal yang tak bisa kubayar dengan iklan.”
Muning: “Kau akhirnya belajar?”
Jayeng: “Ya. Dengan harga yang pantas.”
.
Jember menyambut dengan pagi yang sederhana. Bau kopi dan roti goreng, suara tukang sayur di gang. Warung Emak tetap seperti dulu: panci besar berisi sayur nangka, sambal di mangkuk kecil, kaca etalase yang diberi stiker buram agar matahari tak mencolok. Di pojok, kursi plastik biru menunggu pelanggan.
“Pulang tanpa kabar,” Emak pura-pura cemberut, lalu memeluk. “Tapi Emak tahu kau datang waktu jam-jam begini. Waktu di mana orang butuh sarapan dan seseorang untuk diajak diam.”
Jayeng tertawa kecil. “Maaf, Mak.”
“Tak usah banyak maaf. Makan. Lalu bantu,” kata Emak. “Bantu itu menutup, bukan menyingkap.”
Hari-hari berikutnya, Jayeng mengajar anak-anak gang menulis cerita di balai RW. Mereka datang dengan sandal jepit, membawa pena, menertawakan hal-hal kecil: kucing yang suka mencuri pindang, abang bakso yang selalu lupa kembalian, hujan sore yang sering menggagalkan latihan futsal. Jayeng mengajari mereka memulai dari melihat, bukan from trending.
Ia juga mendatangi fotografer lokal yang pembayaran jasanya tertunda. Namanya Umar Madi, bukan Umar yang itu. Di studio kecilnya, Umar Madi menatap Jayeng, lalu menghela napas panjang. “Aku marah, Mas. Tapi lebih marah pada diriku yang percaya janji. Mungkin karena sering jadi keledai—jatuh di lubang yang sama—aku jadi malas belajar.”
“Kita sama,” kata Jayeng. “Boleh kukembalikan yang jadi milikmu? Dengan bunga yang tidak kau minta, tapi kuberi.”
Mereka berjabat tangan. Di luar studio, hujan turun singkat, seperti salam.
.
Beberapa bulan kemudian, di sebuah acara kecil literasi kota, Muning datang dari Jakarta. Ia membawa buku tipis berisi kumpulan naskah podcast yang ia tulis. Di sampulnya ada gambar meja kayu dan mikrofon yang sederhana. Ia membaca keras-keras satu paragraf yang menyinggung “kebaikan kardus” dan “kejujuran yang mengembalikan rasa”.
Sesudahnya mereka duduk di warung Emak. Lampu bohlam menggantung, nyamuk berdengung malas. Umar—yang dulu bekerja bersama Jayeng—muncul tanpa diundang. Wajahnya lebih tirus. Di tangannya ada amplop.
“Aku datang untuk membayar sisanya,” katanya lirih. “Dan untuk meminta maaf. Adikku sudah lebih baik. Aku… aku tak pandai memulai dari benar, tapi mungkin bisa belajar mulai dari salah.”
Jayeng menerima amplop itu, lalu mendorongnya kembali. “Ambil. Datang lagi minggu depan. Warung ini sedang butuh neon baru dan rak piring. Bayarlah dengan tenaga.”
Umar tertawa—suara yang asing dan tulus. “Aku bisa. Aku punya dua tangan.”
Malam itu mereka memasang neon, memilih rak di toko bahan bangunan, lalu makan mi instan di bangku trotoar. Kota kecil mengajar mereka bahwa yang dibutuhkan seringkali sederhana: terang, tempat meletakkan piring, dan teman yang tidak merekam ketika kau menangis.
.
Kabar dari Jakarta masih sesekali tiba. Adanin pindah ke perusahaan lain. Hotel tempat Jayeng dulu bekerja memulai program baru—lebih sunyi, lebih kecil, lebih sulit viral—bermitra dengan komunitas warga untuk menata ruang baca di gang-gang. Tidak ada kamera, tidak ada press release. Umar bekerja di balik layar proyek itu, sesekali mengirim pesan ke Jayeng: foto jendela yang diperbaiki, kursi kecil hasil tukang las kampung. Ia belajar menata tanpa menyetel lensa.
Suatu sore, di balai RW, anak-anak membaca karya mereka. Ada yang menulis tentang bapaknya yang tukang parkir, tentang ibu yang membuat kue talam untuk dititip di warung, tentang “hujan yang tidak disukai wiper becak”. Jayeng duduk di pojok, mendengar. Di meja, kue cucur yang Emak buat habis lebih cepat dari cerita-cerita rampung dibacakan. Itu tanda baik: di tempat lapar, kata-kata dan gula aren bisa berteman.
“Mas,” seorang anak mendekat, membawa kertas kusut. “Judulku: Jangan Dua Kali. Tentang aku yang suka lupa membawa kunci rumah. Boleh kubaca?”
“Tentu,” kata Jayeng.
Anak itu membaca, suaranya goyah lalu stabil—seperti orang yang baru belajar jujur pada dirinya sendiri. Di ujung cerita, ia menulis: “Aku ingin jadi orang cerdas yang baik, bukan yang cerdik yang pandai menipu. Aku ingin menjadi orang bodoh yang berhenti bodoh, tidak jatuh lagi ke lubang yang sama.”
Jayeng menahan napas. Di langit, burung-burung kecil berputar sebelum pulang ke atap seng. Sore menutup. Lampu neon yang Umar pasang menyala untuk pertama kali, bukan demi frame, melainkan demi mata-mata yang ingin belajar.
.
Di perjalanan pulang, Jayeng berjalan sendirian melewati gang yang sempit. Di salah satu tembok, ada tulisan cat yang mulai pudar: “Jalan sunyi bukan jalan sepi.” Ia berhenti. Mengusap pelan huruf-hurufnya dengan telapak tangan. Tak ada kamera. Tak ada mic. Tak ada target.
Di ponsel, sebuah pesan baru dari Muning: “Kau bahagia?”
Jayeng mengetik: “Aku tenang.”
Muning membalas: “Itu lebih mahal.”
Hujan turun lagi—ringan kali ini, seperti bisik-bisik yang mengajarkan cara mengucap terima kasih tanpa menyebut nama sendiri. Jayeng menengadah. Di bawah lampu neon yang baru, wajahnya basah oleh sesuatu yang akhirnya tidak perlu disetel: air yang jatuh dari langit, dan air yang tumbuh dari mata.
.
Di kota yang menuntut kita cerdik, sering kali kita lupa menakar kebaikan dan integritas. Kita menukar manusia dengan konsep, mengganti nurani dengan metrik. Namun kota juga memberi jalan pulang: kepada warung yang sederhana, anak-anak yang ingin didengar, dan teman-teman yang belajar memulai dari salah. Di sana, kecerdasan menemukan rumahnya—bukan sebagai tipu daya, melainkan sebagai terang yang tidak menyilaukan.
.
.
.
Jember, 3 September 2025
.
.
#CerpenSastra #KompasMingguStyle #UrbanIndonesia #Integritas #KebaikanHati #Kecerdasan #Kecerdikan #EtikaKerja #Jember #Jakarta #Literasi #Redemption