Jendela Malam, Pulang ke Dalam

“Di setiap jendela yang kita tatap, selalu ada dua dunia: satu yang terbentang di luar, dan satu lagi yang menunggu berani kita hadapi di dalam diri.”

.

Di balik kaca jendela pesawat, Amir melihat dua hal: kota yang berpendar seperti kalung lampu, dan wajahnya sendiri. Di sela-sela pantulan itu, berkabut guratan kelelahan dan sesuatu yang sejak lama ia kubur: rindu yang tidak pernah diberi izin menyebut nama.

Ia menempelkan dahi pada kaca, membiarkan udara kabin yang dingin menyusupkan sejarahnya sendiri. Jakarta di bawah sana mengeja malam dengan huruf-huruf neon: warung yang masih buka, kantor yang lampunya belum padam, apartemen yang jendelanya memantulkan hidup orang lain. Amir mendesah pelan. Ia baru sadar, setiap perjalanan keluar selalu menuntut perjalanan ke dalam—dan di satu malam yang panjang ini, keduanya bertemu di ketinggian.

Ponselnya bergetar. Satu pesan dari Maktal: “Bro, flight aman? Besok pagi kamu sempat zoom sama klien Singapura?” Amir mengetik nanti kuberi kabar, lalu menghapusnya. Ia menatap notifikasi lain yang tak kalah gemetar: panggilan tak terjawab dari Zubaedah. Nama itu menyala seperti lampu darurat di lorong hotel tempatnya bekerja; senantiasa mengantar tetapi jarang dirawat.

Tiga tahun yang lalu, Amir pergi. Bukan karena kota memusuhinya, melainkan karena ia merasa kecil di hadapan ambisi. Ia membangun karier di dunia perhotelan; menghafal nama tamu, aroma kopi robusta jam lima pagi, bunyi kereta housekeeping mendorong trolinya, layar sistem pemesanan yang kadang beku mendadak. Hidupnya menjadi daftar ceklis dengan jam-jam panjang yang celahnya tak pernah cukup untuk pulang.

Lalu malam ini, pesawat mengarah ke Surabaya. Dari sana, Amir berencana menyeberang ke Madura. Ibunya, Melati, masuk rumah sakit. Kabar itu dikirim Hamza—adik lelakinya—seperti kertas kecil dilipat dua dan diselipkan ke bawah pintu: cepat, ringkas, menolak drama. “Ibu kena serangan, tapi stabil. Bapak jaga malam. Kalau bisa pulang.”

Amir memejamkan mata. Ia mengingat perbincangan terakhirnya dengan Nusir, bapaknya, di teras rumah sempit di Bangkalan bertahun lampau. Di bawah gesekan daun mangga, Nusir berkata tanpa memandangnya, “Pergilah sejauh-jauhnya, Mir, kalau memang itu jalanmu. Tapi tahu arah pulangmu dimana. Jangan menukar kepala dengan langit.”
Kata-kata itu tajam seperti pisau dapur tua; menyayat dalam waktu yang lama, lalu justru menjadi kenyang oleh makna.

Pesawat mendarat halus. Malam Surabaya menyambut dengan bau aspal yang hangat, suara petugas bandara yang tenang, dan di kejauhan—dalam imajinasi Amir—lampu Jembatan Suramadu yang bergoyang pelan seperti nafas. Ia menunggu koper, memesan kendaraan daring, dan keluar melalui pintu kedatangan yang selalu ramai; separuhnya kepulangan, separuhnya perpisahan.

.

Di tol arah jembatan, sopir bernama Jayeng bercerita tentang malam-malam Surabaya yang tak pernah benar-benar tidur. “Kalau lewat sini, saya selalu merasa kota itu seperti mesin besar,” katanya, satu tangan di setir, satu lagi menunjuk deret pabrik, gudang, hotel, dan kafe yang masih menyala. “Orang datang dan pergi, uang keluar dan masuk, tapi kadang-kadang, yang paling mahal justru waktu untuk diam.”

Amir menatap lurus ke depan. Lampu-lampu jembatan memanjang seperti lintasan doa. Air laut di bawahnya hitam, memantulkan bulan yang setengah. Di seberang sana, Madura menunggu dengan aroma sate yang menebal di udara, suara pengajian, dan halaman rumah yang ia tinggalkan ketika mengejar gedung-gedung tinggi.

Ia tiba di rumah sakit sebelum pukul satu. Hamza menyambut dengan peluk singkat. Matanya merah. “Ibu tidur. Dokter bilang butuh istirahat dan obat rutin,” katanya. Amir berdiri di pintu ICU, menatap ibunya yang kecil di antara selang dan angka-angka digital. Ia mengingat punggung Melati ketika membangunkannya subuh-subuh untuk belajar, telapak tangannya yang hangat ketika membelah ketupat saat lebaran, suaranya yang mengajarkan bahwa “sabar bukan diam, sabar adalah cara bergerak tanpa melawan arus.”

Amir ingin menangis, tetapi ia memilih berdiri lebih lama. Ada tangis yang tampak, ada pula tangis yang seperti jarum jam—diam namun membuat waktu tetap berjalan.

.

Pagi datang dengan warna oranye di luar jendela bangsal. Nusir muncul dengan wajah yang separuhnya lelah, separuhnya lega. Garis-garis pada dahinya seperti peta jalan yang rumit. Mereka duduk di kantin rumah sakit, menatap teh manis yang mengepulkan bau gula, menghindari kalimat-kalimat yang bisa membuat mereka berdua goyah.

“Kerja bagaimana?” tanya Nusir akhirnya, menuang sambal ke piring kecil.
“Biasa saja,” jawab Amir. “Hotel ramai. Orang selalu butuh tidur di kasur yang tidak punya kenangan.”
Nusir mengangguk pelan, seperti mengakui kebenaran yang getir. “Ibumu tanya kamu. Katanya, ‘Amir pasti tahu bagaimana menenangkan tamu; semoga ia juga tahu cara menenangkan dirinya sendiri.’”

Amir tertawa pendek. Suara itu pecah dan tidak sepenuhnya miliknya. “Aku pulang, Pak. Itu seharusnya cukup.”
“Pulang?” Nusir menatapnya lama. “Pulang itu bukan alamat, Mir. Pulang itu pekerjaan seumur hidup.”

Mereka diam. Di kaca kantin, Amir melihat pantulannya sendiri bersebelahan dengan wajah bapaknya. Di balik pecahan refleksi, ia membaca garis yang sama pada keduanya: garis keras kepala yang diwariskan turun-temurun, garis cemas yang sering menyamar sebagai marah.

.

Hari-hari berikutnya bergerak seperti adegan film yang lambat. Amir menginap di rumah. Ia bangun lebih pagi dari azan, menyapu halaman, membantu Hamza membeli sarapan, lalu kembali ke rumah sakit. Dari jendela bangsal, kota mengajarinya bahasa yang dulu ia abaikan: bahasa pelancong yang berdoa diam-diam, bahasa pengasuh yang memandikan tubuh rapuh, bahasa aroma antiseptik yang tak sepenuhnya berhasil menutup aroma tubuh manusia.

Di sela-sela itu, Zubaedah mengirim pesan: “Kalau mau, aku bisa bantu carikan perawat pendamping.”
“Itu baik. Terima kasih,” tulis Amir. Jemarinya berhenti di atas layar, seperti menunggu kalimat yang berani.
Zubaedah membalas, “Kapan kamu sempat ketemu?”

Mereka bertemu di kafe kecil dekat alun-alun. Zubaedah datang dengan rambut yang digelung sederhana, tanpa make-up berlebihan, namun matanya bersih seperti halaman yang tidak ingin menutupi bekas apapun. Ia sekarang membuka perpustakaan kecil untuk anak-anak pesisir, katanya, supaya mereka tidak hanya hafal jalur perahu tetapi juga peta dunia.

“Kamu terlihat capek,” ujarnya.
“Capek yang baik,” jawab Amir. “Capek yang mengajarkan.”
“Kamu selalu suka kalimat-kalimat seperti itu.”
“Karena kalimat yang baik kadang satu-satunya yang bisa kita pegang.”

Mereka tertawa kecil, lalu diam. Keduanya tahu, ada sejarah yang masih menggantung di udara—seperti baju basah yang tak kunjung kering. Dulu, mereka berencana menikah setelah Amir stabil. Tapi stabil, di kota yang terus tumbuh, ternyata maknanya berubah-ubah.

Zubaedah memecah sunyi. “Kau tahu, di jendela pesawat kita melihat dunia dan diri kita. Di jendela kota, kadang-kadang kita hanya melihat orang lain. Mungkin itu sebabnya banyak orang betah di ketinggian: akhirnya berani menatap diri sendiri.”
Amir menatap wajahnya. “Kau marah karena aku pergi?”
“Aku tidak marah,” jawab Zubaedah, suaranya pelan. “Aku hanya belajar. Tak semua jalan yang panjang berujung pada rumah yang sama.”

.

“Pergi yang baik akan mempertemukanmu dengan jalan yang baik.
Tinggal yang tulus akan mempertemukanmu dengan rumah.”

Kalimat itu ada di poster lama di warung langganan Melati. Tidak jelas siapa penulisnya. Setiap kali Amir duduk di kursi plastik biru, kalimat itu seperti mencondongkan tubuh: menanyakan hal-hal yang menuntut jawaban yang tidak gegabah.

Di hari keempat, dokter memindahkan Melati ke bangsal biasa. Nafasnya mulai teratur. Senyumnya kembali, meski tipis. “Anakku,” katanya pelan ketika Amir menggenggam tangannya. “Jangan takut pada perjalanan. Takutlah pada dirimu ketika berhenti bertanya.”
“Bu,” Amir mencium punggung tangan itu, “apa yang Ibu ingin aku lakukan?”
“Dengarkan yang paling sunyi,” jawab Melati, matanya memejam kepayahan. “Hati selalu lebih dulu tahu.”

Malamnya, Amir berjalan sendirian menyusuri tepi kota. Suramadu menjalar seperti urat nadi. Ia melewati pasar malam yang baru dirapikan, bau bensin yang menempel di udara, mural yang melukis harapan di tembok, dan kios kecil yang menjual pulsa sekaligus harapan lebih panjang untuk percakapan. Ia berhenti di sebuah lapangan kosong, memandang lampu-lampu rumah yang seakan merinding dibelai angin. Di dadanya, sesuatu yang lama ia tekan menyeruak: keinginan menjadi lebih dari sebutan jabatan di kartu nama. Ia ingin menjadi anak yang mampu pulang, kekasih yang mampu tinggal, manusia yang berani menukar cepat dengan benar.

Ia membuka ponsel, menulis e-mail pengunduran diri—lalu menyimpannya di draft. Besok, pikirnya. Keputusan yang baik tak perlu terburu-buru; tapi keputusan yang menunda terlalu lama bisa membusuk.

.

Keesokan paginya, Nusir mendatanginya. “Ayo ikut,” katanya singkat. Mereka berdua naik motor tua melewati jembatan ketika kabut belum sempat gosok matanya. Angin memukul jaket, meninggalkan getar yang bersih. Mereka berhenti di tengah, di jalur pejalan yang jarang dipakai, menatap laut yang menyimpan kapal-kapal kecil seperti anak-anak yang tertidur.

“Aku dulu ingin jadi pilot,” ujar Nusir tiba-tiba.
Amir menoleh, setengah tidak percaya.
“Serius,” lanjut Nusir, “waktu kecil aku suka lihat pesawat di langit dan kukira semua kemauan bisa dikejar dengan kaki. Tapi kaki kita punya tanah. Dan tanah keluarga kita waktu itu retak-retak. Aku belajar menerima. Lalu ketika kamu lahir, aku pikir kamu mungkin bisa terbang untukku.”

“Aku tidak tahu,” Amir berbisik. “Kau tidak pernah cerita.”
“Tidak semua mimpi perlu ditaruh di meja makan,” kata Nusir, senyumnya pahit. “Tapi bukan berarti mimpi itu mati. Ia pindah rumah, tinggal di darah anak-anaknya.”
Mereka kembali diam. Di bawah sana, laut mengulang gerak yang sama dengan sabar yang tidak kita miliki.

“Aku menyesal, Pak,” kata Amir akhirnya. “Menyesal karena begitu lama merasa kota besar bisa menyembuhkan hal-hal yang sebetulnya cuma minta dipeluk.”
Nusir menepuk bahunya. “Jangan menyesali masa lalu. Ia sudah bekerja keras membuatmu jadi begini. Kalau ada yang kamu takutkan, takutlah pada masa depan yang kamu biarkan kosong.”

Amir menahan napas. Kata-kata itu, sekali lagi, terasa seperti pisau dapur—tumpul di ujungnya namun tetap mampu menguliti.

.

Zubaedah menyuruh Amir datang ke perpustakaannya. Di sana, ia memperkenalkan Amir pada anak-anak pesisir yang meminjam buku. Ada yang mengembalikan dengan lipatan-lipatan kecil, ada yang dijadikan bantal saat siang terlalu terik. “Ini bukan hanya buku,” kata Zubaedah, mengelus sampul yang mulai kusam. “Ini jendela. Aku ingin mereka berani menatap dirinya sendiri dari ketinggian.”

Amir membantu memasang rak. Keringatnya menuruni pelipis seperti huruf-huruf yang baru belajar menulis. Ia melihat Zubaedah bercakap dengan anak-anak, menanyakan pelajaran, menertawakan hal remeh, menukar senyum yang bertahan lebih lama daripada nasi bungkus.

“Saat kamu pergi dulu,” katanya sore itu, “aku marah pada kota. Kukira kota yang mencurimu. Tapi aku lupa, kita semua punya pintu masing-masing. Kamu memilih yang ke Jakarta. Aku memilih yang ke sini.”
“Aku ingin tinggal,” kata Amir. Kalimat itu akhirnya keluar, pelan tapi bulat.
Zubaedah menatapnya lama. “Tinggal itu kerja seumur hidup, Mir,” ia mengulang kalimat Nusir tanpa sadar. “Kamu siap?”
“Tidak siap,” Amir mengakui. “Tapi aku ingin belajar.”

.

“Rindu yang dipelihara dengan doa
lebih tahan dari duka mana pun.”

Selama dua minggu, Amir merapikan jadwal baru dalam hidupnya. Pagi di rumah sakit, siang membantu Hamza mengurus rumah, sore ke perpustakaan Zubaedah. Malam ia duduk di teras, mendengarkan kota bernapas—suara motor yang merandek, tetangga yang mematikan televisi, penjual bakso lewat dan meninggalkan jejak kuah di udara. Di waktu-waktu tertentu, ia membuka draft e-mail pengunduran diri. Huruf-hurufnya seperti ikan-ikan kecil: mudah lepas, sulit ditangkap. Ia menambahkan satu paragraf: “Saya berterima kasih atas tahun-tahun yang telah memerdekakan dan menaklukkan saya sekaligus. Namun kini, saya memilih memerdekakan diri saya dari ketakutan untuk tidak menjadi siapa-siapa ketika pulang.”

Pada hari keempat belas, Melati boleh pulang. Rumah yang lama terasa sempit tetapi hangat. Dindingnya masih memajang foto Amir memakai jas wisuda. Di bawahnya, potret keluarga yang pucat karena umur. Mereka makan siang sederhana: sayur asem, ikan tongkol, dan sambal terasi yang Nusir buat khusus. Melati, yang duduk di kursi roda, menatap mereka satu per satu seperti hendak menghitung ulang keberuntungan: suami yang setia dengan cara yang kadang membingungkan, anak laki-laki bungsu yang tangguh, dan anak sulung yang akhirnya duduk di meja makan lebih lama dari satu jam.

“Kalau kamu memutuskan apa pun, lakukan dengan halus,” katanya kepada Amir. “Hidup ini keras tanpa perlu kamu keras pada diri sendiri.”

Amir mengangguk. Sore itu juga, di depan jendela yang menghadap halaman, ia menekan Send pada e-mail yang selama ini membuatnya ragu. Ia menutup mata, membayangkan kota besar tempat ia mencari nama, lalu melepasnya dengan ikhlas. Perasaannya tak semata lega; ada juga takut yang jujur, dan justru karena itu terasa benar.

.

Beberapa bulan berlalu. Amir mengirim lamaran ke beberapa hotel di Surabaya dan Jember—kota-kota yang tidak terlalu jauh dari rumah, namun cukup besar untuk menyimpan masa depan. Ia juga membantu Zubaedah merancang program wisata baca untuk anak pesisir: mereka diajak berkunjung ke museum kota, melihat replika kapal di pelabuhan, dan menulis cerita pendek tentang rumah. “Kau belajar menata tamu,” kata Zubaedah, “sekarang ajari anak-anak menata rindu.”

Suatu malam, Maktal menelepon dari Jakarta. Suaranya terdengar berisik, seperti sedang di lobi tempat jam selalu bergerak terburu-buru. “Gila kamu berani banget,” katanya. “Tapi aku paham. Di sini, semua hal besar terasa penting. Sampai suatu saat kita sadar, yang paling besar adalah hal-hal kecil yang kita tunda.”
Amir tertawa. “Jaga dirimu. Kota besar tanpa teman itu seperti hotel tanpa resepsionis.”
“Kalau ke sini, kabari.”
“Kalau ke sini, kamu juga kabari.”

Telepon ditutup. Amir duduk di teras, menatap langit yang lebih gelap dari biasanya. Di kaca jendela, ia melihat pantulan dirinya—lebih kurus, mungkin lebih tua. Namun ada sesuatu yang lain: ketenangan yang dulu sukar ia sebutkan namanya.

.

Suatu subuh, Nusir mengajak Amir kembali ke jembatan. “Aku ingin lihat matahari di sini,” katanya. Mereka sampai ketika cahaya pertama memecah garis laut. Kota Surabaya di kejauhan seperti kapal besar yang diam; Madura di belakang mereka seperti halaman yang baru disapu.

“Aku bangga padamu,” ucap Nusir, menatap matahari tanpa berkedip.
“Karena aku pulang?” Amir mencoba bercanda.
“Karena kamu berani memilih pelan.”
“Pelan kadang membuat orang lain meninggalkan kita.”
“Biarkan. Kalau mereka benar-benar milikmu, mereka akan menemukan trotoar yang sama.”

Amir memikirkan Zubaedah. Ia memikirkan anak-anak di perpustakaan yang tertawa ketika buku-buku baru datang. Ia memikirkan ibunya yang mulai belajar berjalan lagi dengan tongkat. Hidup memang tidak dramatis setiap hari. Ia bekerja dari pagi hingga sore, dibayar cukup, pulang sebelum lampu neon menyala. Tapi pada malam-malam tertentu, ketika sedang menata meja, ia merasa seolah baru menemukan definisi baru dari kata “cukup”—bukan sebagai sisa, melainkan sebagai keutuhan yang pas di tangan.

.

“Bahagia tidak selalu berisik. Kadang-kadang ia datang sebagai jam dinding yang akhirnya berdetak pada ritme yang kita pilih.”

Musim hujan tiba. Jalan-jalan kota berkilau basah, warung memasang terpal, suara hujan menutup lubang-lubang kecil di percakapan. Amir menerima kabar bahwa lamaran kerjanya di sebuah hotel menengah di Surabaya diterima. Ia menyebutnya pada keluarganya saat makan malam. Nusir mengangguk pelan, Hamza menepuk bahunya, Melati mengusap matanya yang tiba-tiba berkaca.

Malam itu, Amir berjalan ke perpustakaan Zubaedah yang tutup lebih awal karena hujan. Ia mengetuk pintu. Zubaedah membukanya, menatap Amir dengan mata yang bertanya. Amir tersenyum. “Aku dapat pekerjaan di seberang,” katanya, menunjuk ke arah kota yang lampunya berkelip di balik tirai air. “Tidak jauh. Cukup untuk pulang setiap malam, atau setiap rindu.”

Zubaedah tersenyum, yang kali ini bertahan lebih lama dari sesiapa. “Selamat datang,” katanya. “Di tempat di mana kau bisa menjadi dua hal sekaligus: yang mengejar langit, dan yang merawat tanah.”

Mereka berdiri di ambang, menyaksikan hujan menghubungkan atap ke tanah. Di wajah Amir, jendela itu kembali hadir: bukan lagi kaca pesawat, melainkan jendela kecil perpustakaan yang memantulkan dua orang yang merasa cukup untuk tidak menaklukkan dunia—cukuplah jika mereka tidak kalah dari diri mereka sendiri.

.

Beberapa bulan kemudian, Amir harus kembali terbang ke Jakarta untuk pelatihan singkat. Di bandara, ia duduk di dekat jendela besar yang menghadap landasan. Matahari sore memercikkan cahaya ke kaca, dan sekali lagi ia melihat dua hal: pesawat yang bersiap mengudara, dan wajahnya yang memantul. Ia mengeluarkan ponsel, menulis pesan ke Zubaedah: “Lucu ya, dari jendela, orang bisa takut pada ketinggian, tapi yang paling menakutkan sebenarnya adalah kedalaman diri sendiri.”
Zubaedah membalas: “Tenang saja. Kau sudah belajar berenang.”

Di pesawat, ketika kota kembali menjadi susunan lampu yang bersahabat, Amir menempelkan dahi pada kaca. Ia melihat kilau Suramadu yang seperti kalung di leher malam. Kali ini, tidak ada perasaan dikejar ambisi. Yang ada hanya rasa ingin lekas pulang—bukan ke alamat, melainkan ke orang-orang yang menaruh kursi kosong untuknya di meja makan.

Ketika pesawat pecah landasan udara, Amir memejamkan mata dan meletakkan telapak tangan di dada. Ada jam yang berdetak. Ada doa yang berjalan. Ada kota yang menunggu untuk dipeluk tanpa gagah-gagahan.

Ia tersenyum pada wajahnya sendiri di kaca—wajah yang dulu asing, kini bersahabat. Dunia di luar bergerak, tapi di dalam, ia sudah sampai.

.

.

.

Jember, 5 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenUrban #SastraIndonesia #KompasMingguStyle #PerjalananBatin #Pulang #Surabaya #Madura #Suramadu #Keluarga #Refleksi

Leave a Reply