Jejak di Persimpangan

“Beberapa orang singgah seperti halte, beberapa yang lain seperti jalan panjang.
Yang penting bukan seberapa lama mereka tinggal,
tapi seberapa jujur kita mengakui jejak yang mereka tinggalkan di dalam diri.”

.

Retna menempelkan dahinya sebentar ke kaca MRT yang dingin. Malam Jakarta berlari mundur di luar jendela: deretan gedung kaca, billboard raksasa, lampu kendaraan yang memanjang seperti garis-garis neon. Di layar kecil di sudut gerbong, peta rute menyala: Lebak Bulus Grab – Bundaran HI. Jalur yang sudah ia hapal di luar kepala, tetapi malam ini terasa berbeda.

Di pangkuannya, laptop tipis masih menyala, menampilkan presentasi untuk pitch deck klien besok pagi: sebuah startup edutech yang ingin “merevolusi cara anak muda Indonesia belajar investasi properti.” Di pojok kanan atas slide pertama, tercetak logo kecil: Agra&Ning Studio – agensi branding yang ia bangun tiga tahun lalu.

Seorang pria berjaket abu-abu naik di stasiun berikutnya, berdiri tepat di depannya. Retna menoleh sekilas—dan jantungnya seperti tersentak.

“Umar?”

Pria itu mengangkat wajah, ragu sejenak, lalu tersenyum lebar. “Retna Retno Wulan? Serius ini kamu?”

Nama panjang itu sudah lama tidak ia dengar lengkap. Hanya orang-orang dari masa kuliah yang memanggilnya begitu. Retna buru-buru menutup laptop.

“Ya Tuhan… Umar Maya.” Ia ikut berdiri, tangan mereka saling menjabat, canggung tetapi hangat. Gerbong bergoyang pelan, menggeser keseimbangan tubuh dan batas-batas kenangan.

.

Dulu, di kampus ekonomi sebuah universitas ternama di Malang, Umar adalah satu-satunya orang yang berani bilang padanya bahwa IPK bukanlah satu-satunya ukuran hidup.

“Kita ini bukan hanya angka di transkrip, Na,” katanya suatu malam di warung kopi dekat kos, ketika mereka baru saja gagal lomba business plan. “Orang-orang yang kita temui akan jauh lebih menentukan siapa kita nanti.”

Saat itu Retna hanya mengangkat bahu. Ia anak perempuan tunggal dari keluarga PNS yang naik kelas: ayahnya kepala dinas, ibunya dosen. Di rumah, rapat keluarga artinya diskusi tentang beasiswa, S2, peluang kerja BUMN. Stabilitas adalah kata kunci; eksperimen dianggap hobi mahal.

Sekarang, di dalam gerbong MRT yang wangi pendingin udara, Umar berdiri di depannya dengan ransel lusuh tetapi mata yang tetap jernih.

“Kamu di Jakarta sejak kapan?” Retna mencoba mengurai kejanggalan.

“Baru setahun. NGO-ku pindah kantor pusat ke sini.” Umar menatap sekeliling, seolah masih kagum dengan kereta bawah tanah ini. “Kami lagi fokus program inkubasi bisnis untuk UMKM perempuan. Kamu sendiri? Agensi branding, ya? Aku sering lihat namamu di LinkedIn.”

Retna tersenyum tipis. LinkedIn—etalase lain kehidupan kelas menengah perkotaan: foto profil formal, headline keren, rangkaian sertifikat workshop internasional.

“Kita punya klien edutech yang lagi gandeng NGO untuk program literasi keuangan perempuan,” katanya. “Eh… jangan-jangan itu NGO kamu?”

Umar menyebutkan nama lembaga. Retna mengangguk pelan. Dunia, ternyata, sekecil satu garis MRT yang sama-sama mereka naiki malam ini.

.

Gerbong mulai penuh. Suara pengumuman otomatis mengalun. Mereka bergeser ke dekat sambungan gerbong, memegang tiang yang sama.

“Masih suka menulis?” Umar menunjuk laptop yang kini dalam keadaan sleep. “Dulu kamu selalu jadi penulis proposal lomba. Aku cuma bagian ngoceh di depan juri.”

“Aku sekarang menulis copy, tagline, caption… semua yang bisa dijadikan konten dan dibayar,” jawab Retna, separuh bercanda. “Kreativitas yang dikomersialkan.”

“Dan kamu bahagia?” Umar bertanya pelan.

Pertanyaan itu menggantung di udara seperti garis di tengah jalan—membagi dunia menjadi dua sisi.

Retna menghela napas. “Aku… hidup dengan cukup,” ujarnya akhirnya. “Apartemen kecil di Kuningan, cicilan mobil, tabungan reksa dana, sedikit saham blue chip, sesekali liburan ke luar negeri. Standar kelas menengah mapan. Tapi bahagia atau tidak… mungkin aku belum sempat berhenti buat mengecek.”

Umar tertawa pendek, lalu menunduk. “Aku tidak punya apartemen. Kontrakan di Rawajati yang temboknya tipis. Gajiku di NGO tidak seberapa, tapi aku bangun sekolah informal di kampung sebelah. Upahku sejauh ini cuma lihat anak-anak itu berani bermimpi lebih besar dari gang sempit mereka.”

Retna menatapnya lama. Pada Umar, waktu seperti tidak menua, hanya mengeraskan garis di sekeliling mata yang dulu sering begadang membaca laporan keuangan perusahaan fiktif.

“Kamu masih idealis,” katanya lirih.

“Kalau tidak idealis, untuk apa dulu kita ikut lomba-lomba itu, Na?” Umar mengangkat bahu. “Cuma supaya CV kita kelihatan keren di mata HRD?”

Kalimat itu menampar bagian diri Retna yang selama ini ia bungkus rapi dengan blazer mahal dan jam tangan branded. Ia teringat pada Jaya, mantan kekasih sekaligus mantan bosnya di sebuah perusahaan e-commerce besar empat tahun lalu—orang yang mengubah jalannya, lalu pergi tanpa pamit layak.

.

Retna bertemu Jaya di lantai 40 sebuah gedung perkantoran di Sudirman. Ia waktu itu baru saja resign dari agensi internasional pertamanya; burnout, katanya, walau sebenarnya ia lebih lelah jadi figuran mimpi orang lain. Jaya, founder yang karismatik, mengajaknya bergabung sebagai Head of Brand dengan saham kecil di perusahaan.

“Kalau mau main di level atas, kamu perlu dua hal,” ujar Jaya saat pertama kali mereka makan siang di restoran Jepang di SCBD. “Keberanian mengambil risiko, dan orang-orang yang tepat untuk kamu ajak naik bareng.”

Retna percaya. Pada mimpinya, pada visi Jaya, pada intensitas tatapan yang membuatnya merasa bukan sekadar karyawan. Mereka mulai menjalin hubungan yang tak pernah resmi diumumkan; kombinasi diskusi strategi growth dan film indie di bioskop-bioskop kecil.

Namun, ketika perusahaan mendapat suntikan dana besar dari investor asing, Jaya berubah. Lebih dingin, lebih perhitungan. Semua diukur dalam angka: valuasi, jumlah pengguna aktif, return on investment. Hubungan mereka perlahan bergeser jadi soal jam meeting dan laporan mingguan.

Suatu malam, setelah tiga bulan penuh lembur untuk kampanye besar, Jaya mengirim pesan singkat: “Aku pikir kita perlu jeda. Untuk kebaikan perusahaan dan tim.” Hanya itu. Retna membaca berkali-kali, mencoba menemukan sisipan kata maaf atau penjelasan, tetapi tak ada.

Keesokan paginya, ia datang ke kantor membawa tas kosong. Tanpa dramatis, ia menyerahkan surat resign. Jaya menerima tanpa banyak kata, hanya “Terima kasih atas semua kontribusimu, Retna. Kamu selalu punya tempat di sini.” Tempat yang baru ia penuhi dengan orang lain.

Di hari yang sama, ia duduk di kedai kopi dekat kantor lama, menatap peta Jakarta di ponselnya. Rasanya seperti seseorang baru saja mengubah rute hidupnya secara sepihak. Tapi dari titik itulah ia memutuskan membangun Agra&Ning Studio, bermitra dengan sahabat kuliahnya, Ninggar—yang lebih tenang tetapi tajam dalam strategi.

Dari hubungan yang patah, lahir sebuah usaha. Dari seseorang yang pergi tanpa penjelasan, lahir keberanian baru.

“Tidak semua yang meninggalkanmu adalah musuh; kadang mereka cuma alat semesta untuk memindahkanmu ke jalur yang seharusnya.”

Quote itu ia tulis di jurnal harian, lalu lupa. Sampai malam ini, bertemu Umar di kereta, ia teringat lagi.

.

“Stasiun berikutnya Dukuh Atas,” suara pengumuman terdengar.

“Aku turun di sini,” kata Umar. “Besok pagi harus ke kantor cepat, ada pitching program ke kementerian.”

Retna mengangguk. “Aku juga turun. Mau lanjut jalan kaki ke coworking space, masih harus revisi presentasi.”

Mereka turun bersama, langkah menyatu dalam aliran manusia yang terburu-buru. Di atas, jembatan penghubung bergemuruh oleh suara koper beroda, sepatu hak, sneaker kantor. Lampu-lampu kota berkilau di antara kaca gedung.

“Na,” panggil Umar ketika mereka berhenti di bawah lampu jalan. “Kamu pernah kepikiran nggak, kalau semua orang yang lewat dalam hidupmu itu kayak stasiun?”

Retna menoleh. “Maksudnya?”

“Sebagian cuma kamu lewati. Sebagian lagi kamu singgahi sebentar. Ada yang kamu tinggali terlalu lama sampai lupa bergerak. Tapi kereta hidupmu kan tetap jalan, mau tidak mau.”

Retna terdiam. Di belakang Umar, ia melihat pantulan dirinya di dinding kaca gedung perkantoran: perempuan awal 30-an dengan blazer hitam, kemeja putih, tas kerja bermerek, dan mata yang sedikit lelah.

“Jaya itu salah satu stasiunku,” ia berkata pelan, heran sendiri karena spontan. “Aku sempat mengira dia tujuan akhirnya.”

Umar menatapnya hati-hati. “Dan sekarang?”

“Sekarang aku sadar, dia cuma lokomotif yang mengajakku keluar dari peron lama,” jawab Retna. “Tanpa dia, mungkin aku masih jadi karyawan yang mengeluh di Twitter setiap Senin pagi.”

Umar tertawa lirih. “Kita semua punya ‘lokomotif-lokomotif’ begitu. Ada yang manis, ada yang menyakitkan.”

Mereka berjalan pelan ke arah pelican crossing. Di seberang jalan, terlihat logo sebuah coworking space tempat Retna sering menghabiskan malam. Di sisi lain, lampu kantor kementerian menyala kuning pucat.

“Besok kamu presentasi apa ke kementerian?” tanya Retna, mencoba mengalihkan emosi yang menggenang.

“Program pembinaan UMKM perempuan di kota-kota satelit—Bekasi, Depok, Tangerang Selatan,” jawab Umar. “Banyak ibu rumah tangga kelas menengah yang sebenarnya punya modal skill baking, desain, content creation. Tapi mereka nggak punya akses jaringan dan pengetahuan manajemen keuangan. Kami ingin bikin ekosistem pendampingan, bukan cuma bagi-bagi modal.”

Retna mengangguk antusias. “Seandainya mereka mau menggandeng agensi seperti kami, aku ingin bantu storytelling-nya. Biar bukan sekadar program CSR, tapi betul-betul mengangkat martabat.”

Umar menatapnya lekat. “Aku bisa rekomendasikan kamu jadi konsultan komunikasi program kalau kamu mau. Tapi sebelum itu, kamu sendiri harus yakin dulu mau menaruh jiwamu di sana, bukan cuma logomu.”

Kalimat itu terasa seperti pintu lain yang terbuka.

.

Malam itu, di coworking space yang tak terlalu ramai, Retna duduk di dekat jendela besar. Dari lantai atas, ia bisa melihat persimpangan jalan: kendaraan berseliweran, lampu merah berganti hijau, manusia menyeberang dengan langkah tergesa.

Slide presentasi di layar bukan lagi sekadar angka dan diagram funnel. Di kepala Retna, cerita-cerita kecil mulai tumbuh: ibu-ibu muda yang mengelola bisnis kue dari dapur apartemen 36 meter persegi di pinggiran kota; mantan karyawan bank yang banting setir buka usaha konsultasi pajak UMKM; mahasiswa yang kuliah sambil mengurus toko online preloved branded goods.

Mereka semua bagian dari wajah baru kelas menengah Indonesia: generasi yang terbiasa pakai kartu kredit, investasi reksadana dari aplikasi ponsel, tetapi juga hidup di tengah tekanan cicilan dan tuntutan “sukses sebelum usia 35.”

Retna menulis sebuah kalimat pembuka untuk slide pertama:

“Setiap orang yang kita temui membawa satu kapita selekta pelajaran tentang keberanian, kegagalan, dan cara baru memaknai kata ‘cukup’.”

Lalu ia berhenti, menatap kata-kata itu lama-lama. Ingatannya melayang kepada tiga sosok yang paling kuat mengubah jalur hidupnya.

Ayah, yang pernah berkata, “Pensiun itu bukan akhir; itu cuma bab baru yang lebih sepi, kalau kamu tidak menyiapkan isi ceritanya.” Dari ayah, Retna belajar pentingnya persiapan finansial—dan bahwa stabilitas bisa goyah jika terlalu bergantung pada satu sumber penghasilan.

Ninggar, sahabat yang tenang, yang memilih tetap mengajar di kampus sambil mengelola agensi bersama Retna. “Aku ingin kedua kakiku berada di dua dunia,” kata Ninggar. “Dunia teori dan dunia praktik.” Dari Ninggar, ia belajar bahwa diversifikasi karier bukan bentuk ketidaksetiaan, tapi cara menjaga akal sehat di tengah dunia kerja yang rapuh.

Dan Jaya, meski perih, mengajarkannya bahwa mencampuradukkan cinta dan hierarki kantor tanpa batas yang jelas adalah jalan pintas menuju luka tak bernama. Dari Jaya, ia belajar berkata tidak, dan berani memilih jalannya sendiri.

Sekarang, Umar muncul lagi, seperti bab yang belum selesai ditulis. Lelaki yang dulu mengajaknya melihat bahwa IPK bukan segalanya, kini mengulurkan tangan untuk mengajak menyusun program yang berorientasi dampak, bukan hanya angka.

“Di setiap persimpangan, hidup menawarkan peran baru. Terkadang, orang-orang yang pernah kamu temui datang lagi hanya untuk memastikan kamu siap memerankannya.”

Ia menambahkan kalimat itu sebagai catatan kecil di pojok slide, hanya untuk dirinya sendiri.

.

Jam menunjukkan hampir tengah malam ketika Retna menutup laptop. Tinggal beberapa revisi estetika yang bisa ia selesaikan besok pagi. Di luar jendela, lalu lintas mulai berkurang, tetapi lampu gedung apartemen di kejauhan masih menyala acak—tanda penghuni perkotaan yang belum usai bernegosiasi dengan hari.

Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari nomor yang baru saja ia simpan: Umar M.

“Na, malam ini menyenangkan. Terima kasih sudah mendengarkan aku ngoceh soal program. Kalau kamu jadi mau terlibat, aku kirimkan TOR lengkapnya besok pagi.”

Retna menatap layar itu sebentar, lalu mengetik jawaban:

“Umar, terima kasih sudah mengingatkanku kenapa dulu kita sama-sama jatuh cinta pada kata ‘perubahan’. Kirimkan saja TOR-nya. Kalau cocok, aku ingin Agra&Ning Studio ikut dari awal. Bukan sekadar vendor.”

Ia ragu sejenak, lalu menambahkan satu kalimat lagi:

“Mungkin kamu salah satu persimpangan yang perlu aku singgahi lebih lama, bukan cuma lewati.”

Tombol send ditekan. Ada rasa lega aneh yang mengalir, seperti menemukan rute baru di aplikasi navigasi ketika jalan utama macet total.

.

Dalam perjalanan pulang dengan ojek online, angin malam menyapu wajahnya. Jakarta terlihat berbeda dari atas motor: lebih dekat, lebih manusiawi. Di tepi jalan, pedagang nasi goreng, angkringan hipster, dan minimarket 24 jam menyatu jadi lanskap yang akrab.

Retna memeluk tas kerjanya, tetapi yang benar-benar ia gendong malam itu adalah kesadarannya sendiri.

Ia teringat satu sesi mentoring yang pernah ia isi untuk mahasiswa sebuah kampus swasta. Seorang mahasiswi bertanya, “Kak, gimana kalau orang-orang yang kita percaya justru yang paling menyakiti kita di dunia kerja? Dosen, atasan, bahkan partner bisnis?”

Saat itu, Retna menjawab sekenanya. “Kamu perlu boundaries, perlu prioritas diri.” Jawaban textbook. Malam ini, ia ingin mengubah jawabannya.

Ia merogoh ponsel, membuka aplikasi catatan, dan menulis:

“Kalau suatu hari ada yang bertanya lagi, aku akan menjawab:
Orang-orang yang menyakitimu mungkin tidak bisa kamu pilih.
Tapi kamu selalu bisa memilih:
Apakah kamu mau menjadikan mereka alasan berhenti,
atau alasan untuk belajar mendirikan dinding yang lebih sehat dan jendela yang lebih lebar.”

Catatan itu ia beri judul: Jejak di Antara Persimpangan.

.

Beberapa bulan kemudian, program pendampingan UMKM perempuan hasil kolaborasi NGO Umar dan studio milik Retna berjalan di empat kota. Di satu ruang serbaguna kompleks perumahan kelas menengah Depok, Retna berdiri di depan puluhan peserta: ibu-ibu muda, pekerja kantoran yang punya usaha sampingan, mahasiswi semester akhir yang ingin jadi content creator sambil jualan thrift fashion.

Slide di layar menampilkan kalimat pembuka yang dulu ia tulis sendirian di coworking space malam itu. Kini kalimat itu bukan lagi milik pribadinya; sudah jadi pintu masuk diskusi, tawa, dan kadang air mata.

“Teman-teman,” katanya, suaranya mantap tetapi lembut, “sepanjang hidup, kita akan bertemu banyak orang. Ada yang datang sebagai klien, bos, partner, murid, bahkan haters di kolom komentar. Kita nggak selalu bisa memilih siapa yang masuk ke hidup kita. Tapi kita selalu bisa memilih pelajaran apa yang mau kita simpan dari pertemuan itu.”

Di baris kedua, Umar duduk, mencatat sesuatu di buku kecilnya. Di sebelahnya, Ninggar mengamati dinamika kelas, sesekali memberi kode ke Retna jika ada peserta yang ingin bicara.

Retna melanjutkan, “Saya pernah belajar dari seorang founder yang membuat saya merasa tidak cukup baik, sampai saya berhenti dan memilih jalan lain. Dari situ, saya mendirikan usaha sendiri. Saya pernah belajar dari sahabat yang mengajarkan keberanian untuk berada di dua dunia sekaligus—dunia akademik dan dunia bisnis. Dan saya belajar lagi dari teman lama yang malam itu naik MRT dan mengingatkan saya bahwa idealisme tidak harus mati di tangan cicilan.”

Para peserta tertawa kecil. Ada yang mengangguk pelan.

“Jadi, kalau hari ini kalian datang dengan luka—dari atasan yang tidak menghargai, pelanggan yang seenaknya, atau keluarga yang tidak percaya—coba tanya lagi ke diri sendiri:
Luka ini mau saya jadikan alasan berhenti, atau alasan untuk naik kelas?

Sekilas, mata Retna dan Umar bertemu. Di balik semua program, laporan ke donor, dan strategi branding, ada rasa syukur yang diam-diam tumbuh: bahwa mereka pernah dipertemukan, berpisah, lalu dipertemukan lagi di jalur hidup yang berbeda.

Setelah sesi selesai, seorang peserta menghampiri Retna. Namanya Jaya—perempuan, pemilik bisnis bakery rumahan di Bekasi.

“Kak Retna,” katanya sambil merapikan jilbab, “tadi Kakak bilang belajar dari ‘Jaya’ yang bikin Kakak resign. Saya jadi ingat, saya pun resign dari kantor karena atasan saya seperti itu. Nama beliau juga Jaya.” Ia terkekeh malu. “Tapi sekarang, saya punya usaha sendiri. Mungkin benar, beberapa orang memang diciptakan untuk mendorong kita keluar dari pintu yang salah.”

Retna tertawa pelan. “Dulu saya benci nama itu,” akunya. “Sekarang, saya bisa tersenyum tiap kali mendengarnya. Artinya, saya sudah berdamai dengan jalannya.”

Di luar gedung, matahari condong ke barat. Jalanan mulai padat. Di seberang, halte TransJakarta penuh orang menunggu. Hidup kembali menyiapkan persimpangannya.

Retna memandang kerumunan itu dengan hati yang sedikit lebih lapang.

“Setiap orang yang datang dan pergi adalah anak panah yang mengarahkanku ke versi terbaik diriku—kalau aku berani membaca arah terbangnya.”

Kali ini, ia tahu, ia tidak lagi takut pada orang-orang yang akan datang maupun pergi. Sebab ia sudah belajar memilih apa yang ingin ia ambil dari setiap pertemuan.

Dan itu cukup.

.

.

.

Malang, 11 Desember 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KisahPerkotaan #KelasMenengah #PertemuanDanPerpisahan #CerpenEmosional #Reflektif #KarierDanBisnis #CeritaMengharubiru #PelajaranHidup

Leave a Reply