Jarak yang Menulis Ulang Namaku

“Jarak kadang bukan pelarian, melainkan cermin. Di situ, kita melihat kembali siapa diri kita ketika tepuk tangan berhenti, panggung padam, dan kota tak lagi menyebut nama kita.”

.

Malam di Jakarta selalu punya cara merayap ke sela-sela telinga, menyusup sebagai dengung yang tak mau padam. Klakson, sirene, roda menelan jalan yang basah oleh gerimis, iklan elektronik menyambar-nyambar warna ke langit yang tak lagi hitam. Di antara semua itu, aku—Adipati—berdiri di halte di bawah gelagar flyover Slipi, menunggu bus yang terasa lebih panjang dari doa-doa yang lupa kupanjatkan.

Di saku jaketku, selembar amplop cokelat dari HRD masih kucengkram. “Restrukturisasi,” katanya siang tadi di ruang rapat ber-AC dingin. “Rasionalisasi,” tambahnya sambil menyodorkan tangan dan senyum yang serba canggung. Itu adalah cara paling halus sebuah gedung kaca menendang isinya keluar, menyisakan pantulan wajah yang tiba-tiba tak punya tempat di kisi-kisi lift.

Aku naik bus yang datang seperti menyambar nasib. Kaca jendelanya buram, refleksi lampu-lampu terpantul seperti garis-garis listrik di sungai yang bergemuruh. Kursi plastik menelan letih punggungku. Di layar ponsel, pesan masuk: rangkaian kalimat yang sama dari teman kantor—“Stay strong, Dip”, “Nanti ada yang lebih baik”—kalimat yang baik tapi hanya menyentuh permukaan, seperti payung di tengah badai.

Di rumah kontrakan, aku menatap langit-langit, mengingat wajah ibu di Pademawu yang selalu menyisir rambutku sampai tertidur saat aku masih kecil. “Hidup itu seperti laut,” suaranya yang lembut menembus jarak bertahun-tahun, “Kalau capek mengapung, menepilah sebentar. Air bening di tepian sering bisa memberi tahu wajahmu yang sebenarnya.”

Malam itu, aku memutuskan menepi.

.

Pagi berikutnya, aku membeli tiket kereta ke Malang. Bukan karena kota itu punya jawaban, hanya karena aku butuh kota yang bukan Jakarta. Aku menyalin alamat seorang sahabat lama: Wiraraja—aku menyebutnya Wir—kawan kuliah yang memilih menjadi fotografer jalanan. Di bio Instagram-nya tertulis: “Merekam yang luput.” Mungkin dia juga bisa merekamku yang luput melihat diriku sendiri.

Gambir dipenuhi koper yang menggelinding, anak-anak yang berlari mengejar bayangan di lantai marmer, dan suara pengumuman yang bergema seperti mantra pengantar pergi. Ketika kereta melaju, gedung-gedung melukis garis-garis menuju pinggiran: lapangan, pabrik, sawah, lalu sungai-sungai kecil yang memantulkan langit. Aku menempelkan dahi ke jendela. Jakarta mengecil di belakang, sementara sesuatu di dadaku pelan-pelan mengendur seperti simpul yang akhirnya diizinkan longgar.

Di antara bangku-bangku kereta, aku menulis catatan pertama pada buku bersampul abu-abu: “Jika aku bukan jabatan, bukan kartu nama, bukan gaji, lalu siapa aku? Mungkin aku adalah cerita yang belum sempat kutulis.”

.

Malang menyambutku dengan udara yang dingin dan aroma kopi yang keluar dari warung-warung, seolah kota ini apriori mempercayai pagi. Wir menjemputku di Kayutangan Heritage. Rambutnya gondrong, matanya menyipit karena tertawa, kameranya menggantung di leher seperti seekor burung yang siap kapan saja terbang.

“Dip!” serunya, memelukku seperti tidak ada sedih yang layak disimpan sendiri. “Kau akhirnya menepati janji dua belas tahun yang lalu.”

“Janji apa?” tanyaku.

“Janji untuk hidup lebih pelan,” jawabnya sambil mengedip.

Hari-hari berikutnya aku mengikuti langkah Wir. Kami memotret kota bukan sebagai katalog, melainkan sebagai denyut: asongan yang menyeka keringat, ibu-ibu menawar tomat di Pasar Klojen, deru hujan menimpa genting tua di Jalan Semeru. Wir mengajariku berhenti sebelum menekan tombol. “Tunggu sampai kau mendengar napasnya,” katanya. “Setiap sudut punya musik.”

Di sebuah kios buku bekas di Pasar Splendid, aku bertemu Ratna. Rambutnya diikat, jemarinya bercap tinta usang. Dia merekomendasikan buku tanpa ragu, seperti barista yang tahu suhu terbaik untuk mengekstrak pahit kopi menjadi manis. Dari rak yang M-nya hilang, ia menyodorkan sebuah buku berjudul “Catatan Seorang Pengembara yang Lupa Pulang.” Aku tertawa. “Cocok,” kataku. Kami berbincang tentang halaman favorit, tentang penulis yang menikam dengan satu kalimat. Ratna tertawa, matanya memantulkan sinar neon yang redup.

“Perjalanan bukan untuk kabur,” katanya sambil membungkus bukuku dengan koran bekas. “Perjalanan untuk menguji apakah yang kau sebut rumah adalah tempat atau diri.”

Kalimat itu menempel seperti stiker di kaca jendela yang tak terkelupas hujan.

Malamnya aku menginap di kamar kos Wir. Sederhana, tembok putih dengan cat terkelupas sedikit di pojok. “Kau bisa pakai kamar ini sepuasnya,” kata Wir. “Bayarnya nanti kau tuliskan saja dalam kalimat yang panjang.”

Aku membuka laptop, memindahkan catatan dari buku abu-abu. Kuunggah ke sebuah blog gratis—alamat yang lucu, mudah diingat. Kutulis kisah penjual bunga yang tetap tertawa meskipun mawar layu karena hujan deras sore itu. Kutulis seorang sopir angkot yang hafal hafalan Qur’an dan memutarkan ayat pelan-pelan agar para penumpang ikut tenang. Tulisan itu kuberi judul “Jarak”. Kunikmati kesunyian setelah menekan tombol “publish,” seperti menunggu detik-detik setelah hujan menghilang dan aroma tanah naik.

Keesokan paginya, ada dua puluh komentar. Orang-orang tak kukenal menulis: “Terima kasih untuk mengingatkan bahwa hidup bisa dilihat dari dekat.” Seorang pembaca bernama Damar mengirim email: ia supir ojek daring yang sering membaca blog di sela order, katanya tulisan pertamaku mengingatkannya pada bapak yang pernah menjadi kernet bis. Di akhir email, ia menulis: “Kalau ke Surabaya, kabari. Saya ingin traktir soto.”

Pada malam ketiga, pesan ibuku masuk. “Kapan pulang, Nak? Bapak ingin bertanya kenapa kau mendadak resign.” Kata “resign” membuatku menarik napas panjang; betapa mudahnya keluarga mengira kita memilih padahal kita dipilih nasib. Aku membalas pendek: “Nanti, Bu. Aku menenangkan kepala dulu.”

Kepala memang mulai tenang, sampai kabar itu datang: seorang teman kantor yang dulu satu tim, Jingga—perempuan dengan selera humor yang tajam—mengirim foto lobi kantor yang kini memajang poster “Keluarga Besar Mengucapkan Selamat Datang untuk Tim Baru.” Jangkar itu terlepas. Ada rasa kehilangan yang tak bisa kusebutkan dengan kalimat-kalimat efisien. Ternyata bukan gajinya yang kurindu, melainkan ingatan bahwa setiap pagi ada yang memanggil namaku untuk urusan yang tampak penting. Jakartaku yang lama—sekaligus semua suara yang kuanggap sebagai diriku.

Ratna menemukan aku murung di kiosnya. “Kau rindu dirimu yang lama,” ujarnya tenang. Aku mengangguk. “Kalau begitu, kenapa tidak mendekati dirimu yang baru?” ia menatapku lekat-lekat. “Kadang, kita harus menyeberang bukan karena di ujung sana lebih indah, tapi karena di sini sudah tidak cukup menampung kita.”

.

Wir mengajakku ke Jember. “Ada pameran foto kecil-kecilan di sebuah ruang komunitas. Aku jadi pembicara,” katanya. Kami naik bus malam. Aku menyukai cara lampu-lampu meregang di kaca, seperti bintang yang ditarik-tarik sampai menjadi garis. Di bangku depan, seorang perempuan menimang bayi; lagu nina bobo dilantunkannya tak putus, menenangkan bahkan untuk orang yang bukan bayinya. Aku menutup mata, mendengar suara mesin, mengizinkan ingatan bekerja pelan.

Jember menyambut dengan udara yang terasa lengang. Pagi-pagi, kami menyusuri sungai kecil yang mengalir di antara gumuk—bukit-bukit kecil yang meliuk seperti punggung kadal tidur. Wir memotret akar-akar beringin yang menempel pada talud, sementara aku menuliskan catatan: “Ada pulang yang bentuknya bukan rumah, melainkan lanskap yang pelan-pelan menenangkan.”

Di ruang komunitas itu aku bertemu Anjas—anak muda yang menjadi relawan baca. Ia membawa motor tua, jaketnya penuh tempelan pin. “Mas Wir sering kirim karya ke sini,” katanya. “Kami butuh cerita yang membuat anak-anak percaya bahwa kota sendiri juga pantas dicintai.” Aku mendengarkan mereka, dan untuk pertama kalinya sejak kehilangan kerja, aku merasa berguna bukan untuk angka, melainkan untuk manusia.

Sore, Anjas mengajakku ke alun-alun. Ada pedagang cilok, ada keluarga yang duduk di tikar sewaan, ada pasangan yang saling memotret di depan huruf-huruf besar nama kota. “Ini bukan kota yang kau cari,” katanya, “tapi mungkin kota yang mencarimu.” Aku tersenyum. “Bagaimana cara kota mencari?”

“Dengan mempertemukanmu pada orang-orang yang membuatmu ingat pada bagian dirimu yang hilang.”

Pada malam penutupan pameran, lampu padam sejenak. Di gelap, suara senter dinyalakan satu-satu, wajah hadirin disiram cahaya putih. Wir memutar slide terakhir—foto seorang perempuan tua penjual nasi jagung yang matanya tetap bersinar meski kakinya pincang. Di bawah foto itu, ia meminjam kalimatku dari blog: “Kita semua adalah kota yang menunggu dinyalakan dari dalam.” Tepuk tangan pelan, bukan riuh, tapi panjang. Dadaku terasa seperti diisi.

Ratna datang menyusul. Ia duduk di baris belakang, mengangkat dua jempol ketika mataku menangkapnya. Seusai acara, kami berjalan ke warung kopi yang menutup pukul sebelas. Ratna bercerita tentang masa kecilnya di Sumenep, tentang bagaimana ayahnya—seorang nelayan yang tak suka gaduh—mengajarinya membaca bintang. “Bintang itu seperti kata-kata,” katanya sambil mengelus cangkir, “kecil, tapi kalau kau membaca dengan sabar, kau akan tahu arah.”

Aku meminjam kalimatnya untuk menulis esai malam itu: “Bintang-Bintang di Kota yang Tak Sepenuhnya Gelap.” Halaman blogku meledak—bukan viral yang hiruk, tapi jumlah kunjungan yang rapih, komentar yang tulus. Ada yang menulis bahwa mereka menangis di angkot karena merasa kalimat yang kubuat seperti menyisir rambut mereka. Ada yang mengaku baru sadar bahwa sesederhana apa pun hidupnya, selalu ada detail yang membuatnya pantas diceritakan.

.

Kabar buruk datang seperti tamu yang tak mengetuk: ayahku jatuh saat sedang memperbaiki jaring kapal, kepalanya menghantam tepi perahu. Ibu menelpon dengan suara yang ditahan-tahan. “Pulanglah kalau bisa,” katanya, “Bapak ingin mendengarmu bercerita.” Aku langsung berkemas.

Perjalanan menuju Pamekasan seperti menempuh bayi dari tidur panjang. Di bus dari Jember ke Surabaya, dari Surabaya ke Bangkalan, lalu menyeberangi Suramadu, aku menatap pilar-pilar yang memantul di permukaan air. Laut seperti lembaran logam, dingin memantulkan bulan. Aku teringat masa kecil: menunggu bapak kembali dari laut, menghitung ombak agar waktu terasa bergerak, dan selalu percaya bahwa suara mesin perahu adalah semacam doa yang dibisikkan kepada malam.

Di rumah, bapak terbaring dengan dahi berplester. Matanya jernih. “Adipati,” katanya pelan. Aku menggenggam tangannya yang kasar. “Maaf, Pak,” ucapku tanpa tahu apa yang sesungguhnya kumintakan: maaf karena tak bisa menjadi laki-laki yang mengabarkan kenaikan gaji, maaf karena memilih peta yang tak bergambar jelas.

Bapak tersenyum. “Kau ingat dulu aku pernah melarangmu main ke pelabuhan saat badai?” Aku mengangguk. “Larangan itu bukan agar kau tak melihat badai, tapi agar kau tahu kapan menepi.” Ia menarik napas. “Kau menepi sekarang, kan?” Air mataku jatuh dengan bebas—bukan karena sedih saja, tapi karena kalimatnya seperti memeluk, tidak menghakimi. “Iya, Pak,” jawabku.

Selama bapak memulihkan diri, aku membantu ibu di dapur, menimba air, berbelanja di pasar pagi. Pada suatu subuh, kami duduk bertiga di teras, langit menguning seperti kunyit larut. Bapak bercerita tentang nelayan yang selamat karena memilih memutar haluan satu mil sebelum badai. “Keberanian bukan selalu melawan, kadang keberanian adalah berhenti.” Ibu menambahkan, “Dan kadang, menulis adalah cara berhenti yang tetap berjalan.”

Aku tidur di kamar lamaku yang catnya kini hijau pudar. Di dinding masih bergantung peta Jawa yang pernah kubeli di toko buku bekas. Malam itu, aku menarik garis dari Jakarta ke Malang, ke Jember, dan ke Pamekasan. Garis itu seperti jahitan yang menautkan kulit-kulit yang terkelupas. Aku tersadar: mungkin perjalanan bukan mengubahku menjadi orang lain, melainkan memulihkan diriku yang tercecer.

Sebelum kembali ke Jawa, bapak berkata, “Kalau sudah kuat, kembalilah ke kotamu. Hidupmu memang di sana. Tapi ingat, jangan lagi mecari panggung. Cari cahaya yang membuatmu bisa melihat orang lain.”

.

Aku kembali ke Jakarta dengan kereta malam. Stasiun Pasar Senen subuh-subuh seperti bangun lebih dulu daripada matahari. Kupanggil taksi daring; supirnya bernama Damar—ya, Damar yang pernah mengirim email. Ia mengenaliku dari foto profil. “Mas Adipati, ya? Wah, saya bacanya tiap malam!” Ia menawari sarapan soto di Cikini. Kami makan sambil bertukar kisah: tentang penumpang yang menyalakan lagu dangdut pukul dua pagi, tentang kota yang bisa membuat orang merasa sendirian di tengah keramaian.

Damar menurunkanku di kos lama. Di kamar itu, aku menyetrika baju, tak ada lagi kemeja lengan panjang untuk meeting; kebanyakan kaos untuk berburu cerita. Aku mulai menulis lebih runtut, menyusun rangkaian “Poros” di blog: Poros Pasar, Poros Jalan, Poros Hujan. Setiap minggu kuunggah satu tulisan. Aku juga membuat lembar kerja—ya, sisi mantan pekerja kantoran ternyata tak sepenuhnya mati—untuk mengukur konsistensi, bukan mengejar angka semata, tapi memastikan aku bersungguh-sungguh.

Suatu hari, pesan masuk dari seorang editor majalah. “Kami menyukai cara Anda menulis tentang kota. Bisakah menulis esai bulanan?” Aku mengiyakan. Dunia yang dulu memecatku, kini memintaku kembali—bukan sebagai pegawai, melainkan sebagai suara.

Jingga, teman kantor lamaku, mengajakku bertemu. Kami duduk di sebuah kedai di bilangan Setiabudi. “Aku minta maaf,” katanya, “Kirim fotoku kemarin membuatmu sedih, ya?” Aku tertawa, memaafkannya—bukan karena aku suci, tetapi karena sedih sudah menemukan tempatnya dan tak perlu lagi mencari orang untuk disalahkan. “Bagaimana pekerjaanmu?” tanyaku. Jingga menoleh ke jendela. “Aku bertahan, tapi lelah. Kadang kurasa aku seperti sedang menanggung tubuh yang tak kupilih.” Aku menatapnya: ternyata kota memberi setiap orang beban-beban yang rapi dibungkus. Malam itu, kami tertawa tanpa rasa saling menguji. Kami berpisah dengan ringan.

Di agenda berikutnya, aku mengorganisir tur kecil bertajuk “Membaca Kota” bersama Wir dan Ratna. Kami memilih rute sederhana: mulai dari Jatinegara—melihat pasar burung dan pertukaran aksen—lalu berjalan menyusuri Ciliwung hingga memotret mural-mural yang diusahakan warga. Di akhir rute, kami berdiri di bawah jembatan layang, merasakan gemuruh kereta lewat. Wir memotret, Ratna membacakan potongan kalimat yang kami pilih setiap orang: kalimat yang menemukan kami, bukan yang kami cari.

Tak kusangka, antusiasme hadir. Peserta datang dari berbagai kota; ada guru, ada perawat, ada mahasiswa, ada karyawan yang ingin rehat dari spreadsheet. Mereka bilang ingin belajar memotret, menulis, tapi yang sesungguhnya kami lakukan adalah belajar merawat perhatian. Dan di situ, aku menemukan jawaban paling sepi namun paling terang: aku ternyata dibutuhkan, bukan karena gelarku, melainkan karena caraku hadir.

.

Di sela kegiatan itu, hidup—seperti biasa—menguji. Kontrak menulis sempat tertunda karena redaksi memangkas rubrik. Uang tabungan menipis. Aku menolak beberapa tawaran menulis iklan yang tidak kupercaya, dan malam-malam berikutnya menjadi panjang. Ada minggu ketika makan siangku hanya ketupat kecil plus kerupuk. Ada hari ketika aku meminta Wir meminjamkan sedikit untuk ongkos. Namun, ada juga keajaiban kecil: Ratna menaruh amplop di bawah buku yang kupinjam, dan ketika kutanya, ia menjawab, “Kau bisa bayar dengan cerita nanti.”

Pada suatu Sabtu hujan, ketika aku sedang menuliskan Poros Hujan jilid ketiga, sebuah pesan masuk dari nomor yang tak tersimpan: “Saya Rangga dari komunitas film. Kami membaca blog Anda dan ingin mengadaptasi esai ‘Bintang-Bintang di Kota yang Tak Sepenuhnya Gelap’ menjadi film pendek. Bisakah kita bertemu?” Rangga (yang belakangan kuketahui namanya Ranggalawe—aku memanggilnya Rangga) mengajakku bertemu di Pos Bloc, bekas kantor pos yang sekarang menjadi ruang publik. Kami duduk di meja kayu yang bekasnya seperti gurat geografis.

“Kami ingin menangkap kota dari sudut yang tidak sedang mengiklankan sesuatu,” kata Rangga, “Kami butuh narasi yang jujur.” Ia menyodorkan sketsa adegan: kamera menyusuri lorong-lorong sempit, anak-anak bermain dengan ban bekas, kakek-kakek menjemur surat kabar lama di pagar. Aku merasa tubuhku merinding: adegan-adegan itu adalah potongan hari yang sering kupandangi.

“Aku tak punya ilmu sinema,” kataku.

“Justru,” jawab Rangga, “kami punya kamera, kau punya perhatian. Film akan bertemu di titik itu.”

Kami mulai bekerja. Wir bergabung sebagai penata gambar, Ratna sebagai pengarah naskah—ia menajamkan kalimat, memotong kata-kata yang berlebihan, menyisakan daging tanpa kehilangan rasa. Damar membantu logistik, menjemput kru, menyediakan kopi. Jingga menyalurkan teman-teman kantornya yang ingin jadi relawan. Kecil, namun erat. Jakarta, yang dulu menjadi panggung tempat aku tersesat, kini menjadi studio tempat kami menautkan diri.

Proses syuting membawaku pada banyak pintu: pintu gang yang mengecat ulang tanggal kemerdekaan agar selalu tampak baru, pintu mushola kecil yang meminjamkan mukena untuk siapa saja, pintu toko sepatu yang mengizinkan anak-anak berlindung saat hujan lebat. Setiap pintu mengajarkan bumi yang berbeda-beda, dan di sela-sela itu, aku menyadari: aku tak lagi berjalan untuk mencari diriku—aku berjalan untuk berbagi cara melihat.

Film pendek kami selesai dalam empat bulan. Judulnya tetap kami pertahankan, “Bintang-Bintang di Kota yang Tak Sepenuhnya Gelap.” Pada pemutaran perdana di sebuah komunitas kecil di Tebet, aku berdiri di belakang ruangan. Ketika layar menjadi putih dan nama-nama tampil, aku melihat orang-orang tetap duduk, bukan karena mereka menyukai kredit title yang panjang, tetapi karena mereka seperti sedang memeluk heningnya masing-masing. Seorang ibu paruh baya memegang tangan anaknya erat-erat. Seorang pria muda menghapus air mata dengan punggung telapak.

Setelah pemutaran, seorang gadis mendekatiku. “Mas,” katanya gugup, “Aku bekerja di call center. Selama ini kurasa pekerjaanku menjemukan dan tak berguna. Tapi setelah menonton, aku merasa suaraku bisa menjadi bagian dari cahaya kecil itu.” Aku menatapnya. “Jaga suaramu,” kataku, “Dunia selalu butuh yang mengangkat telepon.”

Malam itu, aku pulang berjalan kaki. Jakarta terasa ramah untuk pertama kalinya dalam waktu sangat lama. Di depan sebuah toko yang sudah tutup, dindingnya bergrafiti sepi, aku berhenti. Aku menuliskan satu kalimat pendek di buku abu-abu, kalimat yang selama ini baru berani berputar-putar di kepala: “Aku baik-baik saja.”

.

Suatu pagi, ibu mengirim foto: bapak sudah turun ke perahu, membawa jaring kecil sekadar menenangkan tangan. Ia tersenyum ke arah kamera. “Kau lihat,” tulis ibu, “Ayahmu tidak bisa jauh-jauh dari laut. Seperti kamu tidak bisa jauh-jauh dari kata-kata.” Aku menjawab dengan gambar poster film kami, menceritakan bahwa hidup aneh: pintu yang tertutup sering memperkenalkan jendela yang tak pernah kita lihat sebelumnya.

Blogku berkembang menjadi ruang berbagi. Bukan platform besar; aku sengaja menolak iklan agar halaman tetap tenang. Namun setiap pekan, kotak masukku dipenuhi surat. Ada dari seorang perawat di Depok yang pulang jam dua pagi; katanya ia membaca tulisanku untuk memastikan hatinya tetap manusia. Ada dari tukang parkir di Bandung yang menanyakan cara membeli kamera bekas yang bagus. Ada pula dari seorang anak SMA di Makassar yang ingin membuka klub baca di pos satpam sekolahnya. Pada tiap surat, aku menjawab semampuku, karena aku percaya: perhatian beranak perhatian.

Sementara itu, Ratna pindah ke Jakarta. Ia membuka kios buku kecil di seberang stasiun KRL. Kios itu kami desain bersama: rak-rak kayu bekas, lampu kuning, kusen jendela yang dicat biru laut. Di dinding paling dalam kami tulis sebuah kalimat: “Buku adalah kota yang bisa kau bawa ke mana saja.” Kios itu menjadi tempat kami mengadakan kelas menulis, diskusi film, dan mendengar cerita orang-orang yang singgah. Ada hari ketika kios ramai, ada hari ketika sepi, tapi kami selalu menyalakan jarum jam hati kami: terus bergerak tanpa terburu-buru.

Tentang Ratna, aku tidak pandai menceritakannya tanpa terdengar seperti puisi yang kebanyakan rempah. Ia tidak bertanya apakah aku mencintainya; ia hanya memastikan aku minum cukup air. Ia tidak memujiku di media sosial; ia menyimpan kliping setiap kali tulisanku dimuat di koran. Pada malam-malam paling sunyi, ketika aku meragukan kalimatku sendiri, ia duduk di sampingku dan berkata, “Kau bisa diam sebentar. Kata-kata akan menyusul.”

Aku tidak tahu apakah itu cinta yang diinginkan semua orang. Bagiku, itu adalah bentuk paling wajar dari pulang: tempat di mana kalimat yang patah tidak langsung dibenarkan, melainkan dibiarkan mencari sendinya sendiri.

.

Tahun berganti. Film kami berkeliling beberapa ruang komunitas. Tak ada piala, tak ada karpet merah, tapi ada panggilan dari kampus-kampus dan kelompok remaja untuk berbincang. Di salah satu acara di Surabaya, kami sempat mampir ke rumah seorang kawan lama: Wulan—teman sekelas kuliah yang dulu menjadi tempat kami menitipkan tawa. Wulan kini single mom; ia mengelola kedai kopi kecil di rungkut, menamai tempat itu “Anjasmara” untuk mengingatkan dirinya bahwa segala yang dikerjakan dengan rasa akan bertahan.

Di kedai Wulan, orang-orang datang bukan hanya untuk minum, tetapi untuk menunda pulang. Di dinding, tertulis: “Kopi hanya alasan. Yang kaucari adalah meja yang memaafkan.” Wulan memeluk kami satu-satu, matanya bercerita lebih panjang dari bibirnya. Kami duduk hingga malam, menyimak bagaimana ia mengajari anaknya membaca. Di tengah-tengah cerita, Wulan berkata, “Hidupku berubah. Tapi aku memilih mengubahnya mulai dari jendela.” Aku bertanya apa maksudnya. “Kalau kau tak bisa mengganti pintu,” ia tersenyum, “bukalah jendela lebih sering.”

Kalimatnya kami pinjam untuk naskah esai berikutnya.

Ketika kembali ke Jakarta, aku mengerti: perjalanan mengembalikan padaku hak untuk memilih kalimat. Dulu, aku terlalu sibuk memoles presentasi, mengejar deadline yang bahkan tidak sempat kukenali. Kini, deadline itu berasal dari hidup: kapan harus mendengarkan lebih lama, kapan harus menepi, kapan harus bilang tidak. Aku mengurangi jam bermain media sosial—ironis bagi seorang penulis yang hidup dari perhatian—karena kusadari perhatian yang paling mahal adalah yang kuberikan kepada diriku sendiri dan orang-orang terdekat.

.

Pada suatu dini hari, aku turun dari KRL terakhir. Langit Jakarta masih meminjam bintang dari luar kota. Kuterima pesan dari editor: tulisanku akan dimuat esok. Aku berjalan melewati kios Ratna yang sudah kaca jendelanya ditutup tirai. Di atas pegangan pintu, ia menempel secarik kertas: “Kunci di bawah pot.” Aku meraba pot, menemukan kunci, membuka pintu. Di dalam, aroma buku menampar lembut. Aku duduk, menulis catatan singkat di halaman paling belakang buku abu-abu:

“Perjalanan mengubahku bukan karena jauh atau dekat, melainkan karena aku berani melihat diriku sendiri ketika tak ada yang menyebut namaku. Jarak memberiku halaman kosong. Sisanya adalah keberanian menulisnya.”

Aku merobek halaman itu, menempelnya di dinding kios, tepat di samping kalimat “Buku adalah kota yang bisa kau bawa ke mana saja.” Pukul dua lewat tiga menit, aku mematikan lampu, meninggalkan ruangan dengan langkah yang tak perlu berlari.

Di luar, suara kota menyusut menjadi dengung. Aku berjalan pulang dengan perasaan seperti menutup buku setelah membaca bab yang panjang. Bukan tamat, tentu saja. Kita tidak pernah benar-benar tamat sebelum menutup mata untuk selamanya. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku menyebut namaku dalam hati, dan terdengar bulat: Adipati. Tanpa gelar, tanpa jabatan. Hanya seorang manusia yang sedang belajar menulis ulang dirinya—dan, entah bagaimana, itu cukup.

.

Sisipan Quote yang Menggema di Sepanjang Perjalanan

  1. “Kadang kita perlu menjauh, bukan untuk menghilang, melainkan untuk mendengar nama sendiri dipanggil dari dalam.”

  2. “Jarak bukan tembok. Ia jendela yang mengajar kita memilih apa yang pantas dilihat.”

  3. “Kota tak pernah sepenuhnya gelap jika ada satu orang saja yang mau menyalakan lampu kecil dari dada.”

  4. “Pulih tidak selalu keras. Kadang ia datang setenang kopi dingin yang disesap pelan hingga habis.”

  5. “Ketika panggung padam, barulah kita tahu: yang disebut rumah adalah tempat kita berani jujur.”

.

Pada pemutaran film kami yang ke-12, di sebuah aula kecil di pinggir Bekasi, seorang remaja bertanya, “Mas, kalau hidup memberi kita halaman kosong, tapi tangan kita gemetar, apa yang harus kita lakukan?” Aku menatapnya dan berkata, “Tulis nama orang yang kau sayang pertama-tama. Lalu tulis satu hal kecil yang bisa kau lakukan untuknya besok pagi. Halaman itu akan terisi sendiri.”

Ia menunduk, menulis sesuatu di catatan ponsel. Saat pulang, ia menyalami kami satu-satu. Di matanya ada cahaya seperti lampu jalan yang baru diganti bohlam.

Ketika keluar dari aula, hujan turun rapi. Damar menawari tumpangan. Kami naik mobilnya, menyusuri jalan tol. Radio memutar lagu lama yang liriknya kukenal. Aku menoleh ke jendela: titik-titik air mengalir, menari di kaca, membuat lampu-lampu kota menjadi bunga-bunga aneh yang mekar lalu memudar.

“Mas,” kata Damar, “Menurut Mas, kapan perjalanan selesai?”

Aku tersenyum. “Mungkin ketika kita berani menyebut ‘terima kasih’ pada kota kita sendiri.”

Di jok belakang, Ratna tertidur, kepalanya miring ke kanan, napasnya halus. Wir sedang menatap foto mentah di kamera, jempolnya bergerak-gerak seperti pemain piano. Rangga menggumamkan ide. Dan aku—aku menuliskan satu kalimat lagi di ponsel sebelum lampu merah berubah hijau:

“Perjalanan selesai setiap kali kita berani memulai lagi, dengan nama yang sama tapi hati yang lebih jernih.”

Mobil melaju. Kota membuka halaman berikutnya.

.

.

.

Jember, 6 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenSastra #KompasMingguStyle #CerpenUrban #PerjalananBatin #JarakDanPulang #JakartaMalangJember #SelfDiscovery #JeffreyWibisonoV

Leave a Reply