Jalan Sunyi di Kota yang Tak Pernah Tidur

“Tak ada seorang pun yang bisa melindungimu dari penderitaanmu. Satu-satunya jalan adalah bertahan dan melewatinya.”

.

Luka yang Tak Terucapkan

Hujan gerimis turun malam itu. Bau tanah basah bercampur asap knalpot memenuhi udara. Lampu-lampu kendaraan memantul di aspal, menciptakan cahaya yang berlarian seperti potongan kaca pecah.

Umar berjalan pelan di trotoar kota, langkahnya berat seakan setiap meter yang ia tempuh menyeret beban yang tak terlihat.

Di kepalanya, suara anaknya masih terngiang. “Baba, besok kita main di taman, ya?” Kalimat sederhana yang terakhir kali ia dengar sebelum sebuah tabrakan bodoh merenggut anak itu dari hidupnya.

Sejak saat itu, dunia Umar retak. Rumah yang dulunya riuh dengan tawa kini berubah menjadi museum kesedihan. Mainan plastik masih tergeletak di lantai, buku dongeng masih terbuka di rak, seakan menunggu tangan kecil yang tak akan pernah kembali.

Dewi, istrinya, mencoba bertahan. Mereka saling memeluk setiap malam, saling menguatkan dengan kalimat yang rapuh. Tetapi luka yang terlalu besar membuat mereka perlahan menjauh. Setahun kemudian, Dewi pergi. “Aku tak sanggup, Mar,” katanya sambil mengepak koper. Umar hanya diam. Ia tahu, masing-masing orang punya cara sendiri menghadapi derita.

Namun, dirinya memilih tinggal. Menatap kosong kursi kecil di meja makan, memandangi cat dinding kamar yang dipenuhi coretan tangan anaknya. Penderitaan itu ia peluk erat, seakan itu satu-satunya warisan yang masih tersisa.

.

Kota yang Berisik, Jiwa yang Sepi

Jakarta tidak pernah memberi kesempatan untuk benar-benar berduka. Kota ini selalu berlari: orang-orang berdesakan di kereta pagi, klakson tak henti di jalan Sudirman, pedagang kaki lima yang berseru menjajakan dagangan, dan papan iklan elektronik yang terus berganti wajah-wajah selebritas.

Namun, di tengah riuh itu, Umar merasakan sunyi yang menyesakkan.

Ia sering duduk sendirian di halte Gondangdia. Dari bangku besi yang dingin, ia memandangi arus manusia. Ada yang berlarian mengejar bus, ada yang tertawa sambil berbagi nasi bungkus, ada pula yang melamun sambil mendengarkan musik dari earphone. Semuanya tampak punya tujuan.

Sedangkan dirinya? Kosong.

Di halte itu, ia berkenalan dengan Hasan. Seorang tukang parkir yang dulunya pengamen jalanan. Hasan berkulit legam, rambutnya ikal kusut, tapi matanya jenaka. Ia sering menepuk bahu Umar. “Bang, hidup ini kalau ditahan malah makin sakit. Dilewatin aja. Pelan-pelan.”

Kalimat itu sederhana, tapi Umar merasakan kehangatan dari seseorang yang bahkan tak punya rumah tetap. Hasan hidup dari uang receh parkir, tidur di emperan toko, tapi entah bagaimana ia bisa terdengar lebih tabah daripada Umar.

.

Menangis di Tengah Kota

Suatu malam, Umar memberanikan diri mendatangi masjid kecil di belakang Pasar Senen. Masjid itu sederhana, hanya berlantai keramik kusam dan kipas angin tua yang berdecit. Namun, di sana ada seorang ustaz bernama Amir, yang dikenal karena ceramahnya selalu membumi.

“Manusia ini sering ingin lari dari derita,” ujar Amir malam itu. “Padahal, derita itu seperti bayangan. Mau kamu lari sejauh apapun, ia akan tetap ikut. Satu-satunya cara adalah berhenti, menatapnya, lalu berjalan menembusnya.”

Kata-kata itu menghantam dada Umar. Ia menangis. Tangisan yang ia simpan tiga tahun akhirnya pecah, mengalir deras tanpa bisa ia kendalikan.

Seusai shalat, Amir menghampirinya. “Jangan malu menangis, Mar. Tangisan bukan tanda lemah, tapi tanda kau masih manusia. Tapi ingat, setelah menangis, langkahmu jangan berhenti.”

.

Perjalanan yang Tak Direncanakan

Beberapa bulan kemudian, Umar berhenti dari pekerjaannya. Rekan-rekannya terkejut. “Sayang sekali, kariermu bisa bagus di sini,” kata bosnya. Umar hanya tersenyum. Baginya, karier tak lagi berarti.

Ia menjual apartemennya di Kuningan, pindah ke rumah kontrakan sederhana di pinggiran Bekasi. Dari sana, ia bekerja serabutan. Pagi jadi sopir ojek online, siang mengantar paket, malam kadang membantu Hasan menjaga parkiran.

Orang-orang menganggap ia jatuh. Tapi justru di situlah Umar menemukan kembali makna hidup. Ia mulai bicara dengan orang asing: penumpang yang bercerita tentang utang, ibu rumah tangga yang mengeluh soal harga beras, anak muda yang bermimpi kuliah di luar negeri.

Umar belajar, bahwa penderitaan bukan hanya miliknya. Setiap orang di kota ini membawa luka masing-masing, hanya saja mereka pandai menyembunyikannya.

.

Hasan dan Malam yang Mengajarkan Tabah

Hasan sering bercerita sambil merokok di pinggir jalan. “Aku dulu ditinggal istri, Bang. Dia kabur sama tetangga sebelah. Awalnya marah, tapi lama-lama ya ketawa aja. Hidup ini kalau dipikirin kebanyakan malah gila.”

Umar tersenyum pahit. Ia tahu Hasan menyederhanakan sesuatu yang kompleks. Tapi justru kesederhanaan itulah yang menolongnya.

Suatu malam, ketika hujan deras mengguyur, mereka berteduh bersama di bawah atap warung kopi. Hasan menatap deras hujan dan berkata lirih, “Bang, derita itu bukan musuh. Dia cuma tamu. Kadang lama tinggalnya, tapi akhirnya pergi juga.”

Kalimat itu Umar simpan dalam hati.

.

Jalan Sunyi, Jalan Pulang

Malam itu, Umar berdiri di jembatan penyeberangan Bundaran HI. Lampu-lampu gedung menyala, air mancur menari, mobil-mobil berputar tanpa henti. Kota tampak megah, tapi hatinya tenang.

Ia menarik napas panjang. Luka itu masih ada. Ia tahu akan terus ada. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak ingin lari.

Dalam hati, ia berkata:
“Aku masih di sini. Aku masih hidup. Dan itu cukup.”

.

Epilog

Cerita Umar bukan tentang menang spektakuler atau hidup bahagia selamanya. Ini adalah kisah tentang bertahan. Tentang bagaimana manusia berjalan di jalan sunyi penderitaan, bukan untuk menghapusnya, tapi untuk melewatinya.

Karena benar kata pepatah:
“Tak ada seorangpun yang bisa melindungimu dari penderitaanmu. Satu-satunya jalan adalah bertahan dan melewatinya.”

.

.

.

Jember, 22 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMinggu #KisahInspiratif #Penderitaan #Ketabahan #CerpenKota

Leave a Reply