Jakarta, Kalender, dan Sebuah Pulang

“Kesibukan bukan tanda keberhasilan. Kadang justru cara kita menutupi kekosongan yang tak ingin kita akui.”

.

Jakarta sore itu basah oleh hujan yang turun tanpa jeda sejak siang. Trotoar di kawasan Sudirman memantulkan cahaya lampu mobil, riuh suara klakson berpadu dengan langkah-langkah terburu-buru orang-orang berpayung. Di dalam gedung kaca lantai 32, kantor open space berdenting dengan suara keyboard, dering telepon, dan notifikasi gawai. Semuanya seperti orkestra modern yang memaksa manusia menari di dalamnya. Sembada, seorang manajer tiga puluh lima tahun, duduk menatap layar laptopnya dengan mata letih.

Sticky notes berwarna-warni menempel di sekeliling layar: Meeting investor jam 10, Presentation Singapura jam 13, Dinner networking jam 19. Hidupnya telah lama ditentukan oleh agenda-agenda itu. Kalender digital adalah penguasa tunggal. Ia patuh, ia manut, bahkan ketika jiwanya menjerit.

Namun sebuah pesan singkat dari adiknya, Raras, seolah merobek layar rutinitas itu:

“Mbak, Ibu masuk rumah sakit. Sesak napas lagi. Kalau bisa pulang, Ibu tanya terus kapan dengar suaramu.”

Sembada tertegun. Suara hujan di balik kaca yang biasanya hanya latar kini terdengar jelas, menusuk. Dunia kantor tetap berjalan: Arya menunjuk grafik di layar proyektor, Panji tergelak kecil di telepon, Rengganis sibuk mencatat target. Tetapi waktu untuk Sembada berhenti. Pesan itu lebih penting dari semua agenda. Lebih mendesak daripada semua deadline.

.

Kalender yang Penuh tapi Hampa

Sejak menduduki kursi manajer, Sembada hidup dalam kemewahan kelas menengah urban: apartemen di Kuningan, mobil SUV yang selalu wangi parfum baru, langganan gym di mal, makan siang di kafe hits dengan salad hijau berharga setara dua hari gaji seorang buruh. Instagram-nya berderet foto liburan ke Jepang, perjalanan singkat ke Eropa, dan kopi latte art di kafe Senopati. Caption-nya penuh kutipan motivasi. Ia tampak sempurna.

Namun di balik itu, malam-malamnya kerap kosong. Ia terbangun, menatap langit-langit putih apartemen yang dingin, lalu menyalakan televisi hanya untuk mendengar suara. Kalendarnya penuh, tetapi hatinya hampa. Ia tertawa bersama kolega, tetapi jarang benar-benar tertawa bersama dirinya sendiri.

Ibunya di Yogyakarta, Ken Dedes, sering menelpon. Suaranya pelan, menanyakan kabar sederhana: sudah makan atau belum, tidur cukup atau tidak. Selalu ia jawab singkat: “Iya, Bu, sibuk.” Kalimat pendek yang jadi tembok antara ia dan rumah. Padahal ibunya selalu menutup percakapan dengan pitutur yang sama: “Urip iku urup. Hidup itu menyala. Sing penting ojo mung katon neng luar, nanging kudu nerangi njero.”

.

Pasar Tradisional dan Sepatu Sekolah

Di perjalanan kereta menuju Yogyakarta, pikirannya mundur jauh. Ia ingat masa kecil, pagi-pagi ikut ibunya ke pasar tradisional. Bau tanah basah bercampur amis ikan, teriakan pedagang ayam, dan suara ibu-ibu menawar harga sayur. Ken Dedes menjual jenang dengan senyum yang tak pernah habis. Sembada kecil menggenggam tangan ibunya erat, takut hilang di keramaian.

Pernah suatu kali ia merengek ingin sepatu baru, melihat teman-temannya memakai sepatu putih yang bersih. Ibunya berkata lembut, “Jangan malu kalau hanya punya sepatu satu. Sepatu itu menutup kaki, tapi langkahmu yang menentukan sejauh apa kamu pergi.”

Kata-kata itu membekas, tetapi tertimbun oleh ambisi kota. Kini, duduk di kereta eksekutif, ia baru sadar betapa dalam maknanya.

.

Kota yang Berlari, Hati yang Tertinggal

Hari itu di kantor, rapat demi rapat masih berjalan. Sembada menutup laptop. Arya menoleh dengan kening berkerut.

“Ada rapat lagi jam lima, Mbak?”

“Batal. Ada yang lebih penting,” jawabnya tenang.

Arya heran. “Lebih penting dari presentasi Mr. Kertaraga?”

Sembada menatapnya lurus. “Iya. Aku harus pulang.”

Arya ingin protes, tapi akhirnya hanya menghela napas. “Semoga perjalananmu selamat.”

.

Kereta Malam dan Refleksi

Kereta meninggalkan Gambir. Lampu-lampu kota berlari di jendela, mengecil lalu hilang. Sembada menyesap kopi panas, membuka kembali buku tua yang dulu ia abaikan: First Things First. Kalimat Covey menyala di halaman yang ia buka: “The key is not to prioritize what’s on your schedule, but to schedule your priorities.”

Ia menutup mata. Bayangan kantor, tumpukan laporan, suara dering telepon, semua berkelebatan. Tapi suara ibunya lebih jelas: “Urip iku urup. Nek mung dadi abu, kowe ora nerangi opo-opo.”

Pria muda di sampingnya melirik catatannya. “Teori manajemen, ya, Mbak?”

Sembada tersenyum lelah. “Iya. Baru nyadar sekarang.”

Pria itu mengangguk. “Saya juga. Dulu sibuk kerja sampai bapak meninggal, nggak sempat pulang. Kadang hidup keras dulu, baru kita belajar.”

Percakapan itu singkat, tapi menusuk. Malam itu kereta bukan hanya membawa tubuh Sembada pulang, melainkan juga nuraninya.

.

Pertemuan di Ruang Putih

Rumah sakit di Kotagede berbau klorin dan obat. Raras menunggu di depan pintu, mata sembab. “Mbak, akhirnya datang.”

“Raras, maaf. Aku terlalu sering telat.”

Adiknya memeluk erat. “Sekarang saja cukup.”

Sembada masuk. Ken Dedes terbaring dengan oksigen. Wajahnya pucat, tapi senyumnya masih sama. Sembada menggenggam tangannya.

“Bu, aku pulang.”

Mata ibunya berkaca. “Wis wayahe. Ojo lali mangan.”

Kalimat sederhana, tapi menampar lebih keras daripada semua teguran bos di kantor. Malam itu, di kursi kecil ruang rawat, ia berjaga. Raras berbisik, “Kalau terlalu capek di Jakarta, pulang saja. Rumah ini selalu ada.”

.

Kembali ke Jakarta, Kembali Jadi Manusia

Beberapa hari kemudian, Sembada kembali ke kantor. Gedung-gedung tetap berdiri. Rapat tetap berputar. Tapi dirinya sudah lain.

Rengganis menyapanya dengan senyum sinis. “Akhirnya muncul. Kupikir sudah pindah kerja.”

Sembada menjawab tenang, “Aku nggak pindah. Aku baru belajar pulang.”

Sejak itu ia mulai menolak rapat yang bisa diwakilkan, menutup telepon saat makan malam bersama ibunya lewat video call, dan sesekali pulang cepat. Awalnya orang mencibir. Lama-lama, mereka melihat hasilnya: Sembada lebih jernih, lebih fokus, lebih manusiawi.

.

Membagi Kesadaran

Setiap Sabtu pagi, ia mengajak anak-anak magang dan kolega ke pantry. Bukan rapat, hanya obrolan. Ia bercerita tentang prioritas, tentang pitutur ibunya. “Kalender boleh penuh,” katanya, “tapi kalau hati kosong, semua itu percuma.”

Suasana hening. Lalu Jaka, anak magang, angkat bicara. “Mbak, boleh saya pulang kampung minggu depan? Dua tahun nggak ketemu bapak-ibu.”

Sembada tersenyum. “Itu prioritas. Jangan tunggu kalender yang izinkan.”

Semua tertawa kecil, beberapa berkaca. Obrolan sederhana, tapi seperti lilin yang menyala di ruang ber-AC dingin.

.

Kenangan Masa Kecil: Jajan di Warung Sekolah

Pernah ia ceritakan juga, bagaimana dulu iri pada teman yang jajan bakso setiap hari, sementara ia hanya membawa bekal tempe goreng. Bagaimana ia mengayuh sepeda butut berkarat ke sekolah. “Dulu aku malu,” katanya, “tapi sekarang aku sadar: dari situ aku belajar. Mana keinginan, mana kebutuhan.”

Arya yang biasanya serius mengangguk. “Cerita itu lebih kena daripada presentasi manapun.”

.

Jakarta Tak Berubah, Kita yang Harus Berubah

Jakarta tetap sama: tol macet, MRT penuh, email berdenting dini hari. Tapi Sembada kini tahu: ia tidak wajib berlari secepat itu. Ia boleh berhenti, menarik napas, memilih.

Malam itu di apartemen Kuningan, ia memandang lampu kota. Jakarta seolah berbisik: “Ingatlah yang penting, sebelum semuanya tinggal penyesalan.”

Ia menutup mata, mendengar kembali suara ibunya: “Urip iku urup.” Dan malam itu, untuk pertama kalinya, ia tidur nyenyak tanpa rasa bersalah.

“Hidup yang baik bukan diukur dari berapa target tercapai, tapi dari berapa sering kita berani menunda target demi mendengar panggilan hati.”

.

.

.

Jember, 28 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenUrban #PrioritasHidup #PituturJawa #ArswendoStyle #KompasMinggu #JakartaLife #CerpenSastra

Leave a Reply