Harmoni dalam Diri
“Jangan paksa dirimu untuk menjadi hanya satu hal. Jadilah lengkap, tidak sempurna. Jadilah manusia.”
.
Sore itu Jakarta sedang murung. Langit kelabu merunduk di balik kaca jendela kantor—lantai 36 sebuah menara yang menghadap ke arah Sudirman. Di meja kerjanya, Wardhana menatap secangkir kopi yang tak lagi mengepul. Ia menyentuh gagangnya, seperti menyapa sahabat lama yang tak sempat ia hangatkan. Suara AC menyatu dengan dengung lift, bercampur dengan notifikasi rapat yang berlompatan di layar—hidup metropolitan yang selalu bergegas dan tak pernah benar-benar berhenti.
Ia teringat hari-hari awal di Gramedia Malang, ketika ia bekerja mengepak buku dan menata rak. Tangannya gemetar menulis angka stok untuk pertama kalinya, takut salah, takut dimarahi. “Kowe kudu wani ngimpi, nanging ojo nganti lali tanggung jawab,” pesan ibunya yang sudah tiada, masih hidup di kepalanya. Waktu itu mimpinya sederhana: menjadi seseorang yang didengar. Dua dekade berlalu, ia kini Direktur Pelatihan di sebuah grup hospitality. Namun, ada ruang kosong yang tak selesai dibahas rapat mana pun: bagaimana menjadi lengkap, bukan cuma benar.
Di kalendernya, rapat strategi digitalisasi menunggu. Di kepalanya, lain lagi: suara-suara yang minta diperdamaikan—tegas sekaligus lembut, cepat sekaligus sabar, kaku sekaligus lentur. “Apa salahnya menjadi keduanya?” batinnya bertanya, seperti anak kecil yang menolak memilih satu es krim dari dua rasa favorit.
.
Antara Strategi dan Empati
Ruang rapat gelap, hanya LCD yang menyala. Slide menampilkan matrix KPIs dan jalur konversi—alur dari awareness sampai loyalty. Suara Wardhana mantap, memberi arah seperti kompas. Namun seusai rapat, Laras, staf muda dengan kartu identitas masih mengilat, mendekat dengan canggung.
“Mas… aku minta maaf, tadi gagap pas ditanya estimasi ROI. Aku masih belajar…”
Wardhana menahan senyum. “Laras, belajar itu bukan kelemahan. Kalau kamu sudah bisa segalanya, kantor ini enggak butuh kamu lagi.” Ia menepuk bahunya pelan. “Tahu kenapa aku masih di sini setelah semua jabatan? Karena aku belum selesai belajar juga.”
Mata Laras berkaca-kaca. Jakarta di luar sana bising oleh klaim dan pencitraan, tapi di ruangan itu ia mendengar kalimat yang ia butuhkan: izin untuk bertumbuh tanpa rasa malu.
.
Visi Besar, Luka Kecil
Pekan berikutnya, Wardhana terbang ke Bali. Ada proyek rebranding hotel butik di Ubud—Project Rengganis, meniru nama legenda yang selalu diucap neneknya dulu. Ia meminta kamar standar, bukan suite. Petugas front office sempat heran.
“Kenapa tidak suite, Pak?—eh, Mas,” ia langsung mengoreksi panggilan formalnya.
“Aku harus merasakan tidur tamu biasa,” jawabnya. “Kalau sabun cairnya keras ditekan atau remote TV lambat, semua tagline kita jadi dusta.”
Malam itu ia mencatat hal-hal kecil: kait gorden yang macet, bau lembap di sudut lemari, jarak antarsaklar. Hal yang sering dilewatkan oleh presentasi memukau. “Visi besar,” tulisnya di catatan, “lahir dari ribuan luka kecil yang kita rawat.”
Di rooftop yang dibasuh angin pegunungan, ia teringat masa mudanya: sekali waktu ia disemprot tamu karena salah informasi. Ia ingin mundur, seketika. Sitompul, manajernya yang keras tapi tulus, menahan.
“Kalau kau bisa belajar dari salahmu, kau lebih hebat dari orang yang tak pernah salah.”
Sejak itu ia berjanji: percaya diri tanpa rendah hati hanya penyamaran kesombongan.
.
Struktur dan Fleksibilitas
Kembali ke Jakarta, sesi mentoring Telu Learning & Consulting menunggu. Jokotole—begitu panggilan akrab rekan seniornya, mengambil nama pahlawan Madura yang terkenal dengan kecerdikannya—menggelar diskusi kasus. Seorang peserta dari Sumba bertanya, “Kami sudah bikin SOP lengkap, tapi anak lapangan sering improvisasi. Harusnya dimarahin?”
Wardhana menghela napas ringan, lalu bercerita tentang gempa Yogyakarta 2006. “Manual yang rapi itu fondasi. Tapi yang menyelamatkan hotel waktu itu bukan buku, melainkan keberanian staf bertindak di luar teks.” Ia menyimpulkan, “Struktur itu rumah, fleksibilitas itu pintu darurat. Keduanya harus ada, supaya kita bisa keluar saat dunia tiba-tiba berguncang.”
Jokotole menimpali, “SOP itu seperti jembatan Suramadu—kuat, panjang, indah. Tapi nelayan tetap perlu perahu kecil untuk menepi ketika arus berubah.”
Orang-orang tertawa, lalu mengangguk. Analogi yang sederhana seringkali lebih menggerakkan daripada definisi.
.
Mengejar Hasil, Menjaga Hubungan
Tugas audit membawanya ke sebuah cabang di Surabaya. Revenue naik tajam, grafiknya indah; tapi angka turnover karyawan memanjat lebih cepat. Di balik rapat angka, ada wajah-wajah lelah.
Ia mengajak mereka makan siang di warteg dekat hotel—nasi hangat, sayur lodeh, sambal tomat yang tajam. Pelan-pelan cerita mengalir: shift yang panjang, cuti yang sulit, janji bonus yang tak jelas. Wardhana mendengar, bukan menyela. Selesai makan, ia berkata pelan, “Angka penting, tetapi manusia lebih penting. Jangan sampai grafik naik karena hati jatuh.”
Ia mengusulkan perubahan: bonus berbasis tim, rotasi istirahat, sesi konseling singkat tiap Jumat sore. Tiga bulan kemudian revenue tetap naik, tapi kali ini disertai tawa yang kembali terdengar di pantry. Di dashboardnya, ia menandai indikator baru yang tak ada di KPI tradisional: kualitas napas karyawan.
.
Ambisi dan Keseimbangan
Di usia 45, Wardhana berdiri di puncak menara karier—tapi rumahnya sunyi. Istrinya, Rengganis (nama yang kebetulan sama dengan proyek—sebuah kebetulan yang sering membuatnya tersenyum getir), dan putra semata wayangnya tinggal di Yogyakarta. Dua minggu sekali ia pulang, kadang lebih lama jika jadwalnya serupa simpul gordian.
Suatu malam, pukul 01.07, ia menutup laptop dan memandang bingkai foto kecil. Ada getar yang tak bisa diwakili angka. Keesokan hari ia mengubah ritme: rapat maksimal pukul 18.00, Sabtu-Minggu bebas undangan, dan setiap pagi 15 menit menulis di blog lamanya tentang hidup, kerja, dan makna.
“Ambisi itu bahan bakar,” ia menulis. “Tapi hidup butuh rem dan setir. Tanpa itu, kita hanya ngebut menuju kehampaan.”
.
Otentik, Bukan Seragam
Perusahaan menggagas kampanye “konsistensi brand”. Wardhana mengangguk, namun ia menambahkan catatan: konsistensi yang sehat lahir dari otentisitas. Ia mulai tampil apa adanya: kadang jas abu-abu, kadang batik tua warisan ayah—warna kopi pekat dengan motif parang rusak halus. “Aku bukan produk,” ujarnya pada peserta kelas personal branding. “Aku manusia.”
“Yang palsu akan selalu rentan,” ia menambahkan. “Yang asli mungkin tidak selalu menawan di awal, tapi ia bertahan.”
.
Lahir dari Dua Dunia
Saat kembali ke Malang untuk memantau pembukaan properti baru, Wardhana menyempatkan mampir ke toko buku lama tempat ia dulu bekerja. Rak yang dulu ia tata kini ditata orang lain. Ia tersenyum. Hidup memang seperti itu: kita membangun, orang lain meneruskan.
Ia mengingat lagi di mana ia memulai—anak kampung dari pinggiran Jombang, menolak memilih antara impian dan realitas. Di belakang toko, ia melihat anak muda menyusun buku dengan tangan gemetar seperti dirinya dulu. Ia mendekat.
“Pertama kali ya?” tanyanya.
Anak itu mengangguk. “Takut jatuh.”
“Jatuh itu hak semua orang yang ingin berjalan,” jawab Wardhana. “Yang penting kamu tidak tinggal di tanah.”
Dua dunia yang ia hidupi—desa dan kota, tradisi dan modern, strategi dan empati—tidak lagi berkonflik; mereka saling menyapa seperti dua tetangga yang saling berbagi pagar.
.
Konflik di Dalam Tim
Jakarta kembali menyambutnya dengan hujan tipis pada sore yang macet. Di meja kerjanya menunggu email panjang: perselisihan antara Anggalarang (kepala sales) dan Mandaraka (kepala operasional)—dua nama panggilan projek yang mereka pakai di internal, mengambil tokoh-tokoh dari cerita menak yang dulu sering kakeknya bacakan.
Anggalarang mengejar angka agresif; Mandaraka menuntut standar operasional yang tak bisa dinegosiasikan. “Tim kami tidak bisa berubah terus sesuai target harian,” tulis Mandaraka. “Tanpa target harian, tim saya kehilangan fokus,” balas Anggalarang.
Wardhana mengundang mereka ke ruang kecil berpanorama kota. Ia menggambar dua lingkaran yang saling beririsan di whiteboard. “Di sini target, di sana standar. Area irisannya adalah mutu hidup tim.” Ia meminta Anggalarang menyusun target mingguan yang realistis, dan Mandaraka menyiapkan tiga skenario adaptasi SOP jika terjadi lonjakan tamu. Mereka pulang dengan wajah lebih terang; bukan karena menang, tetapi karena menemukan bahasa yang sama.
.
Saat Pasar Berubah
Satu pagi di Bandung, Wardhana memimpin pelatihan “Revenue in Uncertain Times”. Ia mengingatkan: pasar bukan musuh, ia gelombang. “Kalau laut berubah, jangan marahi airnya. Ganti layar, atur kemudi.” Ia mendorong tim untuk melakukan micro-testing: paket weekday untuk digital nomad, diskon bundling dengan coworking, kelas masak tradisional bagi tamu long stay. Hasilnya tak selalu manis, tapi setiap percobaan menghasilkan data—bahan bakar keputusan berikutnya.
Seorang peserta muda bertanya, “Mas, aku sering takut tampil karena merasa belum cukup sempurna. Tipsnya?”
“Jangan jadi sempurna,” jawab Wardhana. “Jadilah lengkap. Lengkap itu tahu kamu bisa salah, bisa jatuh, tapi tetap mau bangkit dan belajar. Dunia enggak butuh pemimpin yang selalu benar, dunia butuh pemimpin yang tahu caranya meminta maaf.”
.
Telepon dari Jember
Sore hari, telepon dari resepsionis: tamu komplain karena sabun diganti merek komersial, dan ranjang “queen” ternyata Hollywood twin. Wardhana tidak defensif. “Sampaikan permintaan maaf kita. Jelaskan sabun merek hotel sedang dalam proses pengadaan, pengganti ini sementara. Soal ranjang, arahkan ke blog kita tentang terminologi tempat tidur; minta maaf karena belum menjelaskan sejak check-in. Tambahkan complimentary dessert di makan malam.” Ia lalu menulis pengingat: jelaskan detail sejak awal. Kepercayaan tamu sering tumbuh dari kejelasan, bukan dari kejutan.
.
Pelajaran dari Rumah
Malamnya, video call singkat dengan Rengganis. Putra mereka, Sagara, memamerkan miniatur kapal layar—tugas sekolah minggu ini. “Ayah, ini bisa belok sendiri!” Sagara menggerakkan kemudi kecil di buritan.
“Bagus sekali,” kata Wardhana, menahan rindu. Setelah panggilan terputus, ia menatap lampu kota yang bersinar seperti bintang di rak rendah. Di dalam dirinya, sesuatu jatuh ke tempatnya: hidup adalah pelayaran. Kita perlu peta (strategi), kompas (nilai), layar (ambisi), dan kemudi (kontrol diri). Dan sesekali, perlu menepi.
.
Harmoni dalam Diri
Pagi Jakarta yang abu-abu, atap gedung di Sudirman basah oleh sisa hujan. Wardhana duduk sendirian, menatap ufuk yang malu-malu terang. Di dalam dirinya, ia mendengar orkestra kecil: strategi berdampingan dengan empati, struktur berpelukan dengan spontanitas, percaya diri berjalan sejajar dengan rendah hati. Ia bukan satu sisi saja—ia utuh.
Ia tersenyum pada kopi yang kembali ia hangatkan. Ia tahu yang tersulit bukan memilih satu peran, melainkan merangkul semuanya. Membiarkan mereka saling mengimbangi, saling mengingatkan. Seperti orkestra yang tak meminta satu alat musik bermain paling keras, tetapi meminta semua mencari nada yang pas.
Ia mengetik satu kalimat untuk menutup tulisan blognya hari itu:
“Jangan paksa dirimu memilih hanya satu jalan, bila jiwamu dilahirkan untuk menyeberangi banyak samudera.”
Dan ia menambahkan satu lagi, untuk dirinya sendiri:
“Yang kita cari bukan kemenangan atas hidup, melainkan harmoni di dalamnya.”
.
Catatan Solutif (untuk yang sedang berlayar)
-
Rangkul paradoks. Buat dua daftar: hal yang harus kamu pegang (nilai), dan hal yang boleh berubah (cara).
-
Ukur yang manusiawi. Selain revenue, ukur retensi tim, waktu istirahat, dan senyum yang kembali.
-
Berbahasa satu sama lain. Target dan standar bertemu di ruang negosiasi. Cari irisan, bukan jurang.
-
Kejelasan mengalahkan kejutan. Jelaskan detail sejak awal; trust tumbuh dari transparansi.
-
Jeda adalah strategi. Jadwalkan waktu hening—bukan sisa waktu, melainkan waktu utama—agar kamu ingat pulang.
Di layar kota yang padat, Wardhana menutup laptopnya sebelum senja. Hujan turun satu-satu, seperti metronom yang menandai ritme baru. Jakarta tetap bising, pasar tetap cair, target tetap menuntut. Tapi langkahnya hari itu lebih ringan. Di dalam dirinya, musik sudah menemukan nada dasar.
.
.
.
Jember 5 Agustus 2025
.
.
#Cerpen #SastraKota #KompasMingguVibes #Leadership #Hospitality #Empati #PersonalBranding #MenakMadura #Jokotole #Rengganis #HarmoniDalamDiri
.
Kutipan Kunci
“Jangan paksa dirimu untuk menjadi hanya satu hal. Jadilah lengkap, tidak sempurna. Jadilah manusia.”
“Angka penting, tetapi manusia lebih penting. Jangan sampai grafik naik karena hati jatuh.”
“Struktur itu rumah, fleksibilitas itu pintu darurat.”
“Ambisi itu bahan bakar; hidup butuh rem dan setir.”
“Yang kita cari bukan kemenangan atas hidup, melainkan harmoni di dalamnya.”