Hari yang Tak Bernama

“Hidup itu tidak selalu soal siapa yang paling cepat tiba, melainkan siapa yang paling jujur menempuh jalan.”
“Kesuksesan yang tak menghadirkan makna adalah kebisingan yang terdengar mahal.”
“Yang kamu kejar kadang bukan yang kamu cari. Dengarkan langkahmu.”

.

Kabut tipis menggantung di atas gedung-gedung kaca yang memantulkan fajar samar Jakarta. Dari lantai dua puluh sebuah apartemen di Kuningan, Jayengrana—yang akrab dipanggil Jaya—menatap lajur kendaraan seperti arteri kota yang tak pernah berhenti. Di tangannya, secangkir kopi yang sudah kehilangan hangat. Di mejanya, proposal rebranding untuk sebuah jaringan klinik estetika, lampu laptop masih menyala, dan notifikasi—yang sejak lama seperti belenggu—berkedip memanggil.

Jaya, tiga puluh enam, pernah menjadi manajer strategi di firma konsultan yang sering dipuji media bisnis. Ia pindah ke dunia agensi kreatif yang ia bangun bersama Kelaswara—Kela—sahabatnya sejak kuliah. Mereka menamai studio itu “Latar,” karena ingin setiap brand belajar dari panggung hidupnya sendiri. Di atas kertas, Latar bergerak cepat: menang tender di SCBD, bikin kampanye untuk fintech besar, tampil di beberapa konferensi startup. Tetapi di balik itu, Jaya tidur satu atau dua jam, menumpuk kecemasan seperti tabungan gelap yang bunganya memeras dada.

Di inbox, ada email dengan subjek yang mengiris: We decided to go with another agency. Klien otomotif premium yang berbulan-bulan mereka dekati—hilang seperti debu di kurva tol layang. Badan Jaya terasa seperti lift yang tiba-tiba jatuh bebas; gabungan hampa dan mual.

Malam sebelumnya, Adaninggar—Adan—teman lama yang kini jadi ahli kuantitatif di bank investasi, menelepon sambil tertawa kecil, “Kau ini, Jaya, buktinya jelas. Kinerja naik-turun, arus kas rapuh, pipeline sales bergantung dua klien raksasa. Kau butuh struktur, bukan heroisme.” Adan selalu tajam, seakan angka adalah pedang yang bisa membelah kabut. Jaya mengakui kebenaran itu, tapi kebenaran yang dingin tak selalu menghangatkan.

Pukul delapan lewat sedikit, Kela tiba di kantor. Rambutnya dicepol, mata berkaca-kaca tapi diam, seperti pementas yang tahu perannya. “Aku sudah kirimkan post-mortem,” katanya. “Kita analisis kenapa kalah—bukan untuk menyalahkan, untuk memperbaiki.” Kalimatnya rapi, suaranya tenang, tetapi jemarinya menggenggam cangkir kertas terlalu erat.

Jaya mengangguk, duduk, lalu berdiri lagi. Ada gerak di dalam tubuhnya yang terlalu cepat untuk diikat oleh kursi. “Aku capek menjadi mesin jawaban yang selalu benar, Kel.” Di dinding, mood board kampanye yang batal itu bertuliskan kata-kata seperti timeless, precision, urban elegance—semuanya kini seperti lelucon mahal.

Ia turun ke trotoar Karet—pohon ketapang kencana berbaris, burung-burung kecil melesat, dan kota menyalakan suara siang. Tanpa tujuan, Jaya menyusuri jalur pejalan kaki menuju stasiun MRT. Di bawah tanah, ia berdiri di antara orang-orang yang memegang ponsel seperti kompas digital—orang yang menuju rapat, menuju kelas, menuju pertemuan penting. Ia juga menuju sesuatu, tetapi tak sanggup menamai.

Di ujung lain, di blok yang lebih tua di Tebet, ada kedai kopi kecil bernama “Umar.” Bukan pahlawan besar, hanya nama yang menandai seseorang yang pernah ada. Umar Madi—yang dipanggil Madi—pemiliknya, mantan teknisi listrik, yang menjual rumah lamanya untuk membuka roastery kecil-kecilan. Bau kopi panggang merambat seperti kenangan dalam selimut. Jaya duduk, menatap bagan cupping di dinding: acidity, body, aftertaste. Madi menyeduh satu pour-over pelan, memegang jam pasir mini seperti seniman mengukur hening.

“Kau terlihat seperti orang yang mencari sunyi di terminal malam,” kata Madi, meletakkan cangkir. Jaya tertawa lemah. “Aku kehilangan klien besar.”
“Banyak yang kehilangan,” jawab Madi. “Tapi hanya beberapa yang menemukan.”
“Menemukan apa?”
“Alasan.”

Kata itu hinggap di udara seperti burung yang ragu. Jaya meneguk kopi perlahan. Rasa citrus halus menari sebentar, diikuti manis sisa yang jinak. Ada sesuatu yang jernih.

Beberapa jam kemudian, Jaya kembali ke kantor. Kela mengajaknya duduk. Mereka menggambar ulang struktur bisnis di papan: jalur pendapatan, biaya tetap, diversifikasi layanan—dari brand strategy ke pelatihan internal, dari kampanye ke playbook implementasi. Mereka menulis tiga kalimat yang terasa seperti kompas baru:

  1. Kita bukan hanya pembuat iklan; kita mendidik organisasi agar bisa bercerita sendiri.

  2. Setiap proyek harus menyehatkan keuangan dan batin.

  3. Satu hari dalam sepekan milik eksplorasi, tanpa target komersial.

Di tengah hari yang tak menentu, perubahan kecil sering memantik bab baru. Telepon masuk—sebuah universitas swasta di Jakarta Timur mengundang Kela mengisi kelas tamu tentang design thinking. Kela menatap Jaya. “Kau aja yang isi. Kau lebih fasih bicara tentang mencari alasan.” Jaya menolak sepersekian detik, lalu mengiyakan. Ia lupa kapan terakhir kali berbicara dengan hati di depan orang, bukan deck di depan klien.

Malam itu, di Kemang, mereka bertemu Adan. Lampu-lampu restoran menyulap keriuhan menjadi bayangan lunak. Adan, dengan analitik yang tak pernah tidur, membuka spreadsheet. “Kalau kalian mau selamat, buat tiga koridor pendapatan: proyek korporasi, unit edukasi, dan lisensi konten. Sisihkan retainer dari klien kecil tapi stabil. Jangan lagi drama all or nothing.”
Kela menimpali, “Kalau edukasi, aku mau bukan seminar motivasi; aku mau lab praktik.”
Jaya mengangguk, “Kita bikin open studio. Orang bisa belajar sambil kerja real case.”
Adan menatap Jaya. “Dan kau, Jaya, berhenti pura-pura kuat. Pasang gaji untuk dirimu yang wajar, bayar tepat waktu, dan tidur.”

Di meja sebelah, sepasang muda-mudi tertawa mengenai rencana liburan dan visa. Dunia lain berjalan normal. Jakarta seperti rumah dengan banyak ruang: di satu ruang ada perayaan, di ruang lain ada orang belajar menerima kegagalan.

.

Hari-hari berubah tanpa nama. Jaya memotong notifikasi, menata ulang jam kerja. Ia bangun lebih pagi, berjalan kaki mengitari Menteng yang masih menyisakan rimbun, lalu naik MRT untuk sekadar ikut arus, membiarkan dirinya diantar pergi dan pulang dari stasiun yang berbeda—seperti random walk untuk pikiran. Ia menulis di buku kecil: Kopiku hari ini lebih sederhana. Aku juga ingin begitu.

Di kelas tamu pertama, dua puluh lima mahasiswa duduk dengan mata yang ingin tahu. Jaya membuka dengan jujur: “Aku tidak datang membawa kemenangan, kawan-kawan. Aku datang membawa kegagalan yang masih hangat.” Tawa pecah, hangat. Ia menggambar tiga lingkaran di papan—meaning, money, mastery. “Kalau kalian hanya mengejar uang—kalian akan lelah. Kalau kalian hanya mengejar makna—kalian akan lapar. Kalau kalian hanya mengejar kepiawaian—kalian akan kesepian. Kita butuh ketiganya berdansa, meski musiknya tidak selalu sama.”

Seseorang bertanya: “Kalau sudah telanjur salah jurusan?”
“Jurusan hanya pintu. Rumahnya, kalian yang bangun,” jawab Jaya.

Setelah kelas, seorang mahasiswi bernama Retna menghampiri. Ia bekerja paruh waktu di social enterprise yang memberikan beasiswa keterampilan bagi anak-anak pekerja informal. Matanya punya tatapan yang tak mudah menyerah. “Kami butuh modul bercerita untuk peserta didik kami,” katanya. “Tapi kami tak punya dana besar.”
“Kami punya ‘hari eksplorasi’,” balas Jaya. “Bawa tim kalian ke studio. Mari kita bangun modul itu bersama.”

Kela tersenyum ketika mendengar kabar ini. “Kau sudah menemukan caramu belajar lagi,” katanya. Ada hal yang tak bisa dibeli dalam pertemuan manusia: rasa percaya yang lahir dari niat baik.

.

Di studio kecil mereka di bilangan Setiabudi, open studio pertama berlangsung seperti pasar ide: desainer, analis data freelance, barista, content creator, fotografer, guru bimbingan belajar, dan dua siswa penerima beasiswa duduk melingkar. Madi datang membawa biji kopi dari Garut, meletakkan grinder manual dan timbangan kecil.

Jaya memulai sesi dengan permainan: setiap orang bercerita tentang satu keputusan yang sulit, lalu menyeduh kopi sambil menghitung nafas. “Keputusan besar jarang lahir dari pikiran yang bising,” katanya. Kela menempel sticky notes di dinding—gagasan modul mengalir: story arc sederhana, teknik show-don’t-tell, latihan menulis “surat ke diri sendiri lima tahun dari sekarang.”

Retna mempresentasikan riset lapangan: tantangan peserta didik, waktu yang terbatas, akses gawai terbatas. Adan yang tadinya datang hanya ingin menyimak, mendadak ikut menggambar kerangka micro-grant: bagaimana open studio ini bisa berputar tanpa menjadi amal yang mencekik diri. “Kalau kalian bikin lisensi modul sederhana dengan harga sangat terjangkau, banyak sekolah kecil bisa beli. Tapi untuk komunitas seperti Retna, kasih scholarship seat.”
“Dan kopi?” seloroh Madi. “Setiap kelas berarti dua belas cangkir. Aku bisa subsidi setengahnya. Sunyi pun perlu modal.”

Suara tawa menyambung, tapi di balik tawa ada tekad. Mereka pulang larut, membawa lelah yang bersih.

.

Pada sebuah purnama yang tak perlu bernama, Jaya kembali ke kedai Madi. Di dinding, foto-foto kecil perjalanan kopi menempel dengan pin: dari petik hingga cangkir. Ada seorang lelaki berumur lima puluhan duduk sendirian, cahaya jatuh tepat di garis rambutnya yang memutih, membaca buku tipis. Madi memperkenalkan, “Ini Umar Maya. Ia dulu wartawan, sekarang menulis catatan-catatan pendek tentang yang tak terlihat.”

Maya menatap Jaya sejenak, tersenyum. “Kau suka menulis?”
“Dulu. Belakangan, aku menulis untuk menjual.”
“Menjual bukan dosa,” ujar Maya, “asal kau ingat: setiap kalimat punya dua harga—harga pasar dan harga batin.”
“Bagaimana mengukurnya?”
“Kalau setelah menulis, kau merasa lebih ringan—itu batin membayar.”
“Dan kalau berat?”
“Kau sedang menulis hutang orang lain.”

Percakapan itu seperti hujan rintik yang cukup untuk menumbuhkan. Jaya pulang dengan halaman kosong yang tiba-tiba terasa lengang—lengang yang memanggil.

Ia menulis malam itu juga, di meja yang biasanya penuh angka. Bukan brief, bukan rencana. Ia menulis tentang ayahnya yang dulu suka menanam cabe di halaman kecil kontrakan mereka, tentang bagaimana tangan ayahnya beraroma tanah, tentang tawa yang bertahan meski gaji mepet. Ia menulis, dan dadanya memang lebih ringan. Besoknya, ia membaca tulisan itu untuk Kela. Kela menatapnya lama-lama. “Inilah alasan. Kita mendirikan Latar agar orang mengingat panggung hidupnya.”

.

Gerak perubahan sering tidak dramatis. Ia masuk seperti cahaya lewat celah tirai. Satu klien kecil dari sektor pendidikan, satu perusahaan keluarga yang ingin transisi ke generasi baru, satu kafe buku yang butuh identitas. Kela menolak dua proyek yang “uangnya besar tapi napsunya salah.” Adan membantu menata retainer dan arus kas, menunda nafsu membeli peralatan mahal, dan outsourcing bagian yang bisa disubkontrakkan.

Jaya mengisi kelas lagi. Ia belajar menyiapkan sesi tanpa menipu harapan—tak ada resep ajaib, hanya latihan. Ia menutup setiap sesi dengan tiga kalimat yang menjadi semacam doa kerja:

“Kerja baik itu bukan kerja keras tanpa arah, melainkan kerja jujur dengan kompas.”
“Rezeki juga punya etika; ia datang kepada yang siap mengelola.”
“Kalau rencana gagal, duduklah dulu—nafasmu adalah rumah.”

Hubungan rumah tangga Jaya sendiri sudah lama gersang—keduanya dewasa, saling menghargai, lalu memilih berpisah dengan diam. Tak ada adegan pecah piring, tak ada sumpah serapah. Di berkas perpisahan, ada tanda tangan rapi dan tanggal. Kesendirian menakutkan sebentar, lalu menjadi ruang yang bisa ditata.

Suatu sore, Retna mengirim kabar: salah satu anak beasiswa, Satria, menjuarai lomba presentasi cerita hidupnya. Ia menutup presentasi dengan kalimat yang mereka latih di open studio: “Saya tidak pintar semua hal. Tapi saya bisa belajar hal yang saya butuhkan, hari ini.” Jaya membaca pesan itu di dalam MRT yang penuh. Mendadak air matanya menyeberang juga, pelan-pelan, lalu diseka dengan punggung telapak tangan. Di jendela, pantulan wajahnya sendiri terlihat seperti orang yang sedikit lebih muda, sedikit lebih ringan.

.

Kabar tak semua manis. Agen pajak menyurati studio, meminta klarifikasi atas biaya-biaya yang belum sempat dirapikan. Kela panik sebentar, lalu menelpon kenalannya—seorang konsultan pajak yang bersedia membantu dengan harga sahabat. Adan membuka spreadsheet lain, memeriksa bukti transaksi, menyusun akun. Malam itu, studio menjadi ruang bedah yang lembut: dokumen dibentangkan, cash flow ditata ulang, timeline kewajiban ditulis jelas. Mereka belajar sesuatu yang tampak tidak puitik, tapi justru menyelamatkan puisi lain: disiplin.

Jaya bercanda, “Jadi beginilah caranya mempertahankan sunyi,” sambil menandatangani laporan arus kas. Kela menatapnya, “Sunyi tidak selalu lembut. Kadang ia tegas.”

.

Gerimis menggantung di atas Bundaran HI ketika Jaya berjalan sendiri. Reklame menari, suara kota menyatu seperti paduan suara yang tak pernah lelah. Ia berhenti di trotoar baru yang lebar, menatap air mancur yang berubah-ubah. Ponselnya bergetar—nomor yang tidak dikenal. Suara di seberang memperkenalkan diri singkat: “Saya Kelaswara juga, tapi orang-orang memanggil saya Sawa. Saya mengajar arsitektur di kampus negeri. Saya membaca modul open studio kalian. Saya ingin bertukar cara.”

Pertemuan diatur di sebuah perpustakaan komunitas dekat Cikini. Sawa datang dengan tote bag kain, membawa buku-buku tipis yang anehnya terasa ringan dipandang. Mereka berbincang tentang ruang kota, tentang orang-orang yang tak terlihat di bawah flyover, tentang kelas menengah yang bisa jadi jembatan kalau mau, bukan menara gading.

“Kenapa Anda peduli?” tanya Jaya.
“Karena saya pernah menjadi siswi yang hampir berhenti sekolah,” jawab Sawa. “Di Jakarta, jarak antara menyerah dan bertahan kadang selebar satu percakapan yang tepat.”

Percakapan itu memanjang menjadi rencana: mengadakan city walk yang bukan wisata, melainkan belajar membaca kota—membaca warung kecil, membaca trotoar, membaca cara orang menunggu. Mereka sepakat: hasilnya bukan viral, tapi berguna. “Kita buat dokumentasinya terbuka,” kata Sawa. “Siapa pun boleh pakai.”

Jaya pulang dengan langkah pelan yang mantap. Di kepalanya, kalimat melintas: kota ini lelah tapi murah hati.

.

Pada pertemuan open studio berikutnya, Sawa datang. Ada juga Retna, Adan, Kela, Madi, dan beberapa peserta baru: seorang analis kebijakan publik, seorang guru TK yang malamnya kuliah, seorang programmer freelance yang sedang mencoba mendirikan usaha kecil penyewaan perangkat streaming. Mereka membahas satu tema: bagaimana kelas menengah ke atas bisa belajar menjadi penopang yang bukan pamer, menjadi pelaku yang bukan pelayar. Rumusnya sederhana tapi tidak mudah: transparansi, konsistensi, dan rasa cukup.

Madi menambahkan, “Dan jangan lupa: seduh dulu kopimu. Nikmati. Supaya keputusanmu tidak kepaitan.”

Mereka tertawa. Tawa yang bukan pelarian, melainkan ruang bernapas.

.

Beberapa bulan tanpa nama berlalu. Studio tidak meledak menjadi raksasa, tapi menjadi rumah dengan pintu yang buka-tutup seperlunya. Ada hari untung besar, ada hari tipis. Tetapi kini mereka punya cadangan, punya ritme, punya cara menolak yang sopan. Jaya menemukan pola tidur. Gurat di wajahnya tetap ada—tanda hidup, bukan tanda kalah.

Suatu malam yang jernih, Jaya kembali ke apartemen, menatap kota seperti halaman yang tidak habis-habis. Ia menulis catatan di buku kecilnya:

  • Jangan marah kepada hari yang tidak menuruti maumu. Mungkin ia sedang mengajarimu musik lain.

  • Ubahlah arah, bukan harga dirimu.

  • Di persimpangan, kecilkan volume dunia, besarkan suara nurani.

  • Periksa angkamu, rapikan niatmu.

  • Ketika ragu, ajak orang lain belajar bersama.

Ia menutup buku. Sunyi datang. Sunyi yang bukan kosong, melainkan penuh.

.

Di city walk pertama, mereka berkumpul di trotoar Cikini—dua belas orang, ada yang membawa anak kecil, ada yang membawa kamera analog. Sawa memulai dengan kalimat yang menancap: “Kita berjalan untuk belajar melihat, bukan untuk dinilai sedang apa.” Mereka menyusuri koridor bayangan di bawah pohon, berhenti di kios buku bekas, singgah sebentar di warung mi ayam yang tak punya QRIS tapi punya cabai iris yang sabar.

Seorang lelaki paruh baya bercerita tentang usahanya yang turun-naik. Seorang ibu bercerita tentang anaknya yang mengaji sekaligus kursus coding. Seorang pemilik kios fotokopi bercerita tentang pindahnya pelanggan ke aplikasi scan.

“Setiap orang sedang belajar bertahan,” kata Sawa.
“Dan setiap bertahan butuh ruang,” sambung Jaya.

Mereka menutup rute di perempatan yang ramai, bertepuk tangan kecil. Bukan tepuk tangan untuk pementasan, melainkan salam untuk diri sendiri: terima kasih sudah meluangkan waktu untuk belajar.

Jaya berdiri sedikit di belakang, menatap semua yang pulang ke arah yang berbeda. Di sudut matanya, ia menangkap seorang pemuda yang sejak tadi mengikuti mereka dari jarak aman. Pemuda itu ragu-ragu, lalu mendekat. “Mas, saya Seno. Saya pengantar makanan, baru putus sekolah. Tapi saya suka foto. Boleh ikut belajar?”

Jaya mengangguk. “Boleh. Datanglah ke studio hari eksplorasi.” Ia mengulurkan kartu nama, bukan sebagai formalitas, tapi sebagai jembatan kecil. Di wajah Seno ada senyum yang belum percaya penuh, namun itu cukup untuk sekarang.

Malam turun. lampu-lampu kota menyalakan bintang buatan. Di dada Jaya, ada bintang lain yang tak perlu listrik.

.

Beberapa minggu kemudian, Seno memamerkan lima foto di studio—trotoar yang retak namun tetap dilalui, tangan tua yang membungkus nasi dengan cekatan, refleksi lampu neon di genangan hujan, sepeda motor yang bersandar di bawah baliho lowongan kerja, wajah anak kecil yang menatap langit di sela gedung.

Kela menatap foto-foto itu lama. “Kau punya mata yang jujur,” katanya.
Adan menambahkan, “Kalau kau mau, aku bantu buka akun crowdfunding kecil untuk zine pertamamu.”
Madi tertawa, “Dan kopi untuk launching-nya, tentu, aku sediakan.”

Seno menunduk. “Saya… terima kasih.” Suaranya serak. Di sudut, Retna menatap dengan mata yang menyimpan air.

Jaya mengingat malam sunyi bersama Maya: harga pasar, harga batin. Ia mengerti kini, betapa dua harga itu bisa bertemu, bukan berperang. Ia mengerti, jalan hidup tidak perlu dramatis untuk mengubah peta. Ia mengerti, krisis bukan musuh—ia guru yang tidak sopan tapi jujur.

Krisis kariernya tidak menghilang seperti petir yang tiba-tiba selesai. Namun ia berubah bentuk: dari musuh menjadi peta, dari peta menjadi kompas, dari kompas menjadi laku.

.

Di sebuah pagi yang jernih, Jaya menulis satu paragraf yang menjadi penutup bagi catatan-catatan kecilnya—semacam kesimpulan yang tidak menutup, semacam rambu yang tidak memaksa:

“Hidup kota mengajarkanku bahwa makna bukanlah piala di panggung akhir. Makna adalah air yang kita temukan di perjalanan—kadang di cangkir kopi murah, kadang di buku tipis, kadang di langkah orang asing yang kemudian jadi kawan. Aku tidak ingin lagi menjadi orang yang selalu benar. Aku hanya ingin menjadi orang yang belajar tepat.”

Ia menutup buku. Dari jendela, Jakarta bergerak seperti orkestra. Ada bagian yang fals, ada yang melodius. Tetapi selama ada yang mau mendengarkan, musik akan selalu menemukan telinga.

Jaya tersenyum. Ia mengenakan sepatu, mengambil tote bag, lalu keluar. Di lift, ia bertemu seorang perempuan yang memeluk map besar berisi sketsa. “Arsitek?” tanya Jaya.
Perempuan itu mengangguk. “Belajar jadi.”
“Selamat belajar,” kata Jaya, menahan pintu. Pintu menutup pelan, mengantar mereka ke lobi. Di luar, pagi yang ramai terasa seperti lembar baru yang tidak putih—sudah ada noda, sudah ada garis—namun justru karena itu, bisa ditulis dengan jujur.

Dan Jaya melangkah.

.

“Ubah arah tanpa mengkhianati nurani.”
“Keberhasilan paling tenang adalah ketika kau tak perlu membuktikannya pada siapa pun.”
“Belajar tak memilih usia—hanya memilih keberanian.”

.

Malang, 20 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#KrisisKarier #MaknaHidup #JakartaUrban #KelasMenengah #BisnisKreatif #Edukasi #Storytelling #OpenStudio #PersonalGrowth #Mentorship #RefleksiHidup

Leave a Reply