Hari-Hari Ketika Aku Masih Bertahan
“Kadang kamu kuat seperti kesatria. Kadang kamu hancur seperti reruntuhan. Namun yang paling penting, kamu masih di sini. Bertahan. Dan itu indah.”
.
Langit Jakarta pagi itu seperti wajah seseorang yang menahan tangis. Kelabu, berat, dan diam-diam mengancam akan pecah menjadi hujan.
Drupadi menatap keluar dari jendela apartemen kecilnya di lantai 15. Jalanan di bawahnya sudah mulai ramai oleh suara klakson, deru motor, dan dengung kehidupan kota yang tak pernah benar-benar tidur. Tapi tidak dengan jiwanya. Jiwanya ingin berbaring lebih lama. Menyerah lebih cepat. Hilang lebih dalam.
Namun ia bangkit.
Dengan langkah pelan, ia menuju kamar mandi. Menatap bayangan wajahnya yang lusuh di cermin, bibirnya bergerak lirih, “Hari ini, kamu masih di sini. Itu cukup.”
Rasa Luka yang Tak Terlihat
Sudah tiga bulan sejak hidupnya berubah drastis. Sejak Arjuna—kekasihnya selama enam tahun—pergi begitu saja, meninggalkan pesan singkat seperti ini:
“Maaf, aku nggak bisa terusin hubungan ini. Aku lelah. Jangan cari aku.”
Drupadi membacanya berulang kali di malam pertama ia ditinggal. Ia mencoba menelepon, pesan tidak dibalas. Rumah Arjuna sudah kosong. Dan yang lebih menyakitkan, teman-teman yang selama ini mereka bagi bersama seperti enggan berpihak padanya.
“Mungkin memang bukan jodoh,” kata Srikandi, sahabatnya yang paling netral. Tapi bahkan itu pun terdengar seperti palu yang menghantam harga dirinya.
Ia tidak tahu kapan terakhir kali ia tertawa lepas. Semua rutinitas seperti kehilangan warna. Kerjaan sebagai copywriter di sebuah agensi iklan di Senopati hanya ia jalani dengan autopilot. Menulis slogan untuk klien produk makanan ringan saat hatinya terasa selembek biskuit terendam kopi.
Perjalanan ke Dalam Diri
Satu sore, saat deadline menumpuk dan kepalanya berdenyut, ia nekat pergi ke Bundaran HI. Duduk sendirian di kursi taman kecil yang tak jauh dari air mancur. Orang-orang lalu lalang. Anak-anak tertawa. Ada pasangan yang tertangkap kamera pre-wedding. Tapi Drupadi justru menangis.
“Kenapa aku begini ya? Dulu aku kuat. Aku pejuang. Sekarang kok aku malah kayak rongsokan hidup,” gumamnya.
Tiba-tiba seseorang duduk di sebelahnya. Wajahnya biasa saja, tapi matanya menyimpan sesuatu yang teduh. Namanya Nakula. Ia mengenalkan diri sebagai fotografer jalanan.
“Aku tahu rasanya berjuang sendirian,” katanya tanpa diminta.
Percakapan mereka malam itu menjadi titik awal. Tak banyak solusi. Tak banyak saran. Tapi cukup untuk menyadarkan bahwa ia tidak sendiri dalam gelap. Ada orang-orang lain yang juga menyimpan luka. Tapi tetap berjalan.
Dari Menangis ke Menulis
Drupadi mulai menulis lagi. Bukan untuk klien, tapi untuk dirinya. Ia menulis puisi. Catatan harian. Bahkan surat yang tidak akan ia kirimkan pada Arjuna.
“Terima kasih telah membuatku patah, karena dari serpihan itu, aku belajar menyusun ulang diriku.”
Ia unggah tulisan-tulisannya di Instagram. Tidak ada ekspektasi. Tapi ternyata beberapa orang merespons.
“Mbak, tulisannya bikin aku kuat lagi.” “Aku juga pernah ditinggal tanpa penjelasan. Tapi sekarang aku nggak merasa sendiri.”
Ada kekuatan baru yang tumbuh di dirinya. Bukan karena luka hilang. Tapi karena ia berdamai dengannya.
Hari-Hari yang Campur Aduk
Hidup tidak serta-merta berubah cerah. Ada hari ketika ia kembali menangis hanya karena melihat orang berboncengan motor. Ada malam ketika ia ingin menelepon Arjuna, hanya untuk memastikan ia baik-baik saja.
Tapi di sela-sela itu, ia juga mulai menerima tawaran menulis untuk media online. Menjadi mentor di komunitas kepenulisan. Bahkan bertemu kembali dengan Nakula yang kini menjadi sahabat dekat.
“Kamu tahu, Drau…” kata Nakula suatu sore di Cikini. “Kadang, luka bukan untuk dilupakan. Tapi untuk disulam jadi pelajaran.”
Drupadi tersenyum. Ia tidak perlu jawaban lagi. Ia hanya butuh keyakinan bahwa setiap hari ia mencoba, adalah hari yang layak dirayakan.
Aku Masih Di Sini
Suatu pagi, ketika hujan baru saja reda dan pelangi menggantung malu-malu di langit Jakarta, Drupadi menatap jendela yang sama.
Ia memeluk dirinya sendiri. Lalu menuliskan ini di jurnalnya:
“Hari ini aku tidak menang. Tapi aku tidak kalah juga. Aku hadir. Dan itu, cukup untuk hari ini.”
Yang Indah Itu Bertahan
Dalam hidup, kita tidak harus sempurna. Tidak harus selalu kuat. Tidak harus menang setiap hari. Yang penting, kita tetap berdiri. Dengan atau tanpa air mata. Dengan atau tanpa dukungan orang lain. Asal tetap mencoba.
Karena seperti kata-kata yang kini tertempel di meja kerja Drupadi:
“Beberapa hari, kamu adalah kesatria. Beberapa hari, kamu berantakan. Tapi setiap hari, kamu tetap di sini—berdiri, berjuang, tumbuh. Dan itu indah.”
.
.
.
Jember, 28 Juli 2025
.
.
#CerpenIndonesia #CeritaPatahHati #HealingJourney #SastraJakarta #KompasMingguStyle #SelfGrowth #PerempuanIndonesia #CeritaDrupadi