Gunung Es di Dalam Dada

“Pemimpin yang baik tidak selalu menangis di depan orang banyak—tetapi hatinya belajar menampung air mata semua orang.”
— catatan kecil yang tak pernah dikirimkan Yuda pada siapa pun

“Kepemimpinan sejati bukan soal berada paling depan, tapi soal siapa yang paling dalam menanggung beban.”
— Pitutur dari dalam hati yang tak terdengar, namun terasa.

.

Kota yang Tak Pernah Tidur

Jakarta, pukul 04.45. Langit masih menyisakan sisa gelap. Lampu jalan berjajar di Sudirman seperti barisan prajurit yang tak pernah diberhentikan apel. Gedung-gedung kaca belum memantulkan warna, hanya menyimpan sunyi dalam tubuhnya yang dingin. Di kejauhan, suara sirene ambulans sebentar-sebentar menyayat, lalu lenyap, seperti kabar buruk yang orang-orang pura-pura tidak dengar.

Di lantai 17 sebuah apartemen mungil, Yuda menatap jendela yang memantulkan wajahnya sendiri. Secangkir kopi terlupakan, meninggalkan cincin-cincin kecokelatan di piring kecil. Di tangan kirinya, laporan kerugian kuartal empat. Angka-angka itu seperti anak panah yang tidak pernah meleset, menghujam ke tempat yang paling ia jaga.

Di luar, Jakarta mulai hidup—klakson taksi, mesin genset, derak troli sarapan. Di dalam Yuda, matahari seolah tak pernah benar-benar terbit.

Ia menutup mata. Mengingat satu per satu nama yang akhir-akhir ini ia ucapkan lebih sering daripada doa: Laksmi, Tole, Cakra, Ningrum, Segara. Mereka bukan hanya staf; mereka adalah wajah-wajah yang menempel pada setiap keputusan, setiap angka, setiap kalimat “kita baik-baik saja” yang ia ucapkan dengan suara selow—padahal dadanya retak, seperti kaca yang menunggu gempa kecil untuk runtuh.

“Kalau ini adalah perahu,” gumam Yuda, “maka aku bukan kapten pada peta organisasi. Tapi semua orang tetap menoleh padaku saat air masuk lewat celah-celah yang tak kelihatan.”

.

Orang Terakhir yang Bertahan

Yuda bukan CEO. Ia tidak duduk di kursi yang biasanya disorot kamera saat konferensi pers. Tetapi ketika tiga direktur pamit pelan—satu mengundurkan diri, satu pindah, satu mendadak tak muncul—mata-mata di lantai 15 seperti refleks mencari Yuda. Hotel bintang empat tempat ia bekerja ibarat kapal yang kehilangan rasi bintang. Investor asing membatalkan kerja sama pascapandemi; MICE merosot; banquet seperti menunggu resepsi yang tak jadi digelar. Di layar televisi lobi, video promosi tetap berputar: senyum resepsionis, kolam renang kebiruan, sarapan yang tampak hangat. Yang tidak terlihat: listrik yang hendak ditunggak, vendor yang menekan, dan jiwa-jiwa yang letih.

Yuda hafal detak lift menuju lantai operasional, hafal bunyi pelan pintu gudang linen. Ia tahu siapa yang paling rajin, siapa yang menahan tangis di toilet, siapa yang ingin menyerah tapi tetap datang karena cicilan motor. Mengetahui adalah sejenis siksaan bila kau tak punya kuasa penuh untuk menolong.

“Pemimpin yang hebat tidak menyuruh orang berjalan di belakangnya. Ia berjalan bersama, dan kadang di belakang untuk mendorong yang tertinggal.”

Kalimat itu dulu hanya catatan di kepala Yuda, ucapan yang ia simpan untuk hari-hari yang baik. Kini, ia mengucapkannya sambil menatap ruang meeting yang kursinya mengilap tapi sering kosong.

.

Laksmi: Mata yang Melihat Luka Tanpa Kata

Tak ada yang benar-benar tahu isi kepala Yuda—kecuali Laksmi. Ia dulu remaja magang yang suka menaruh sticky note dengan gambar bunga di pojok monitor. Lima tahun berlalu, Laksmi menjadi sekretaris keuangan yang teliti, tajam, dan tak kehilangan kelembutan. Ia tahu kapan Yuda berpura-pura tenang, kapan tangannya gemetar saat menandatangani invoice.

“Kalau ini akhir kita, Pak… saya siap,” kata Laksmi suatu pagi, menyerahkan print out pengeluaran yang ditandai stabilo. “Tapi jangan Bapak sendiri yang menanggung semua.”

Yuda melirik jendela. Di bawah sana, arus kendaraan mulai merayap dari Senayan. Ia ingin bilang: “Aku bukan pemimpin yang baik.” Tapi bibirnya hanya membentuk senyum tipis. “Kita masih bisa merapikan apa yang bisa dirapikan,” katanya. “Setidaknya, jangan biarkan staf sarapan dengan cemas.”

“Kalau begitu,” ujar Laksmi pelan, “izinkan saya cemas bersama.”

Yuda menoleh. Ada sesuatu yang basah di sudut mata yang segera ia seka. Di kepala Laksmi, hujan turun; di dada Yuda, gunung es retak sedikit—masih jauh dari runtuh, tapi retakannya terdengar oleh yang mau mendengar.

.

Lelaki Bernama Karna

“Aku bukan Arjuna,” Yuda pernah bercanda di ruangannya yang berbau karet penghapus dan kopi basi. “Aku Karna. Sering kalah di cerita, tapi tak berhenti setia.”

Kalimat itu seperti kunci yang membuka pintu paling polos dalam dirinya. Ia tak suka panggung. Ia tak pandai pidato. Tapi ia memerhatikan. Ia mengetahui siapa yang diam-diam memberi uang makan ke resepsionis harian, siapa yang menukar jadwal jaga agar rekannya bisa pulang lebih cepat melihat anaknya demam. Ia menyimpan rahasia orang lain agar mereka tak perlu menaruhnya di tas yang sudah berat.

Seperti gunung es. Orang-orang melihat 10 persen; 90 persennya tenggelam di dada.

.

Retakan yang Tak Terucapkan

Akhir Mei menjadi puncak yang menyakitkan. Staf marketing yang paling vokal mengundurkan diri. Dua tamu penting membatalkan kontrak. Seorang vendor mengirimkan email bernada dingin: “Kami menunggu pembayaran tertunda. Segera.” Dan Yuda… tidak datang.

Pagi itu, WhatsApp grup bergemuruh. Laksmi menelpon; tak diangkat. Cakra, koordinator keamanan yang semua orang panggil “Cakra” saja, mengirim pesan berkode: “Pak Yuda di mana? Kami perlu sign.” Senyap. Segala yang rutin menjadi ganjil saat satu mata air yang biasa mengalir tiba-tiba membeku.

Hanya Laksmi yang tahu ke mana harus mencari. Teluk Jakarta. Tempat yang pernah disebut Yuda sebagai “pemandangan yang jujur” karena laut tidak bisa berpura-pura: ia asin, ia memantulkan langit sebagaimana adanya.

Yuda duduk di dermaga, jaket abu-abu pudar, mata sembab. Ombak memukul tiang-tiang kayu, seperti mengetuk-ngetuk sesuatu di dadanya.

“Yuda,” panggil Laksmi. Ia tidak memanggil “Pak” pagi itu. “Kau tidak perlu seperti ini.”

Tidak ada jawaban. Hanya napas. Hanya angin menabrak rambut Laksmi.

“Kami tidak butuh kau sempurna,” lanjutnya. “Kami hanya perlu tahu bahwa kau manusia.”

Yuda mengembuskan napas. “Kadang aku ingin bukan siapa-siapa, Laksmi,” katanya pelan. “Supaya bisa menangis tanpa membuat orang lain takut.”

“Menangislah,” ucap Laksmi. “Aku bawa dua gelas kertas, kalau-kalau air mata kita perlu wadah.”

Yuda tertawa, tertahan, lalu patah. Ia menundukkan kepala. Laut menyerap suaranya, Jakarta menerima sisa-sisa lelahnya, dan Laksmi berdiri di samping, seperti menara kecil yang diam-diam menjaga kapal.

.

Pulang ke Harapan

Esoknya, Yuda kembali. Tidak dengan senyum palsu, melainkan dengan kejujuran yang selama lima tahun ia penjarakan.

Di ruang rapat oval, lima belas orang berkumpul. Lampu putih yang biasanya terlalu terang hari itu terasa pas. Ada bisik-bisik. Ada tangan yang tak henti meremas tisu.

“Saya tidak punya semua jawaban,” kata Yuda. Suaranya datar tetapi bulat, seperti batu sungai. “Tapi saya percaya pada kalian.”

Hening. Laksmi mengangkat kepala. Abim—staf F&B yang biasanya cuek—menundukkan wajah. Ayu, kepala housekeeping, mengusap mata. Cakra merapikan topi yang sebenarnya tak perlu dirapikan. Ada yang menitikkan air mata, entah siapa. Hari itu, bukan angka yang membangunkan kantor. Satu kalimat jujurlah yang memanggil orang-orang untuk berdiri.

.

Buka Hati, Tutup Angka

Minggu berikutnya, Yuda menggagas forum 15 menit tiap pagi: “Buka Hati, Tutup Angka.” Slogannya lahir dari candaan Tole, teknisi muda yang semua memanggilnya “Tole”—nama yang mengingatkan Yuda pada kisah-kisah Madura tentang Jokotole yang cerdik. “Kalau angka bikin pusing, buka hati dulu, Pak,” katanya saat AC lantai 12 mati. “Setelah hati dingin, baru AC bisa dingin.”

Dalam forum itu, angka diletakkan di luar pintu sebentar. Orang masuk membawa diri. Ayu berkata, “Housekeeping bukan hanya menyapu debu. Kadang kami membersihkan air mata di balik bantal.” Ningrum, staf HR yang ramah, bercerita tentang resepsionis yang tetap tersenyum meski semalam begadang menjaga ibunya. Cakra mengaku takut: “Saya orang yang harus bikin orang lain merasa aman. Tapi belakangan, saya yang bangun malam karena mimpi buruk.”

Yuda mendengar, menulis, dan sesekali tersenyum. Ia tidak merebut panggung; ia memfasilitasi. Ia janji percaya pada timnya, dan ia buktikan dengan memberi ruang bagi suara-suara yang selama ini kalah oleh target.

“Menjadi kuat bukan berarti tak pernah goyah—melainkan tahu di mana boleh bersandar.”

.

Jakarta yang Filmis & Faktual

Hidup tidak tiba-tiba membaik. Tapi Jakarta menyodorkan ritme yang bisa diikuti: pukul 05.20, MRT meluncur dari Lebak Bulus; 06.45, tukang koran menyodorkan berita ekonomi; 07.00, vendor sayur untuk breakfast datang di loading dock; 09.00, rapat operasional; 12.15, suara adzan dari mushola belakang lobi; 15.00, group check-in dari Surabaya; 18.30, lampu-lampu kota menyala seperti bintang yang diturunkan ke jalan raya.

Di sela itu, manusia menguatkan manusia. Tole menambal pipa bocor sambil mengajari anak magang bernama Segara cara menggenggam kunci L dengan “rasa”: “Pegang begini, Gar. Dengar bunyinya. Jangan melawan baut, ajak kompromi.” Kalimat sederhana itu membekas di Yuda. Kepemimpinan, pikirnya, mungkin tentang mengajak kompromi—bukan menyerah, melainkan bijak pada kenyataan.

Email vendor masih datang. Beberapa tamu tetap komplain. Tetapi forum 15 menit membuat orang-orang berani saling menatap lebih lama, mengenalkan namanya sendiri dengan jujur, dan bila perlu menanyakan: “Malam ini kau makan apa? Jangan-jangan kau pulang dan tidur tanpa makan.”

“Di kota yang menuntut cepat, pelukan paling panjang adalah kalimat: ‘Aku dengar kamu.’”

.

Lima Tahun yang Terlambat

Tiga bulan setelah “Buka Hati, Tutup Angka,” sesuatu yang tidak direncanakan terjadi. Tulisan singkat Ningrum di media sosial—tentang budaya saling jaga di hotel—menjadi viral. Bukan karena foto estetikanya, tetapi karena kalimatnya membasuh: “Kami bukan hanya membersihkan kamar, kami membersihkan takut.” Media menulis, “Sebuah hotel di Jakarta selatan mempraktikkan transformasi SDM berbasis empati.” Undangan konferensi datang: Bali, lalu Singapura. Yuda diminta bicara.

“Saya datang kalau boleh membawa tim saya,” kata Yuda. “Kalau harus sendiri, saya mundur.”

Investor heran, tapi setuju. Maka berdirilah nama-nama yang biasanya terbenam di footnote: Laksmi, Tole, Cakra, Ayu, Segara. Mereka bercerita, bergantian, tentang hal-hal kecil yang dilatih jadi kebiasaan: memanggil nama, memintal ulang jadwal agar ibu tunggal bisa menjemput anak, menaruh air hangat di loker untuk yang sedang flu. Orang-orang tepuk tangan. Bukan berlebihan, melainkan panjang—tepuk tangan yang mengerti betapa mahalnya perbuatan kecil dilakukan konsisten.

“Kadang dunia tak butuh pahlawan baru. Dunia hanya butuh orang-orang biasa yang berani melakukan kasih sayang yang sama setiap hari.”

.

Gunung Es yang Mencair, Bukan Meleleh

Lima tahun berlalu. Perputaran kepemilikan terjadi, seperti siklus kota yang tak pernah lelah menukar kulit. Yuda memutuskan undur pelan. Ia menolak pesta perpisahan besar. “Kalau mau,” katanya, “kita makan soto di warung dekat mushola. Yang kuahnya ringan, tapi hangatnya lama.”

Ia membeli sebidang tanah di pinggiran Bogor. Di situ, ia membangun Rumah Singgah untuk Profesional yang Ingin Diam Dulu. Nama yang terlalu panjang, tetapi orang-orang cepat akrab menyebut “Rumah Dulu.” Aturannya sederhana: tak ada sinyal kuat, tak ada rapat, tak ada presentasi. Hanya ada beranda, suara tonggeret, secangkir teh, dan buku catatan kosong. Kadang Yuda duduk di tangga, memandangi pepohonan, menulis kalimat-kalimat yang tidak ia kirimkan kepada siapa pun.

“Kepemimpinan adalah menahan beban orang lain sambil mengizinkan orang lain menahanmu juga.”

Orang-orang datang, diam, lalu pulang dengan dada yang entah bagaimana terasa lebih lapang. Tidak ada mukjizat. Hanya ruang untuk menarik napas dan diizinkan menjadi manusia tanpa KPI.

.

Surat-Surat yang Tak Pernah Dikirim

Ada malam-malam ketika Yuda menulis surat imajiner—untuk dirinya sendiri yang berusia 30, untuk Laksmi yang pertama kali melihatnya menangis, untuk Tole yang memperkenalkannya pada kompromi dengan baut. Surat-surat itu dibiarkan menumpuk, diikat dengan tali rami. Bukan untuk dibaca kelak, melainkan untuk memberi tahu dirinya: “Sudah, kau pernah berusaha.”

“Jangan menukar dirimu dengan tepuk tangan. Karena tepuk tangan berhenti. Hanya hati yang terus berdebar.”

Ia terkadang turun ke Jakarta, menumpang KRL, berdiri di dekat pintu sambil mengamati orang-orang memainkan ponsel. Ia mengenali hotelnya dari jauh—lampu-lampu kamar seperti kisi-kisi napas. Di lobi, ia melihat Cakra menepuk bahu seorang tamu yang kehilangan dompet. Di restoran, Abim meminjamkan charger pada lansia yang kebingungan. Di front office, Segara—kini menjadi supervisor—menyebut nama tamu dengan tepat, membuat mata orang itu berbinar: “Terima kasih sudah mengingat saya.”

Yuda berdiri beberapa menit, lalu keluar. Jakarta menelannya kembali: riuh, panas, jujur.

.

Dalam Diam Ada Jawaban

Kisah Yuda menyebar bukan sebagai materi presentasi motivasi, melainkan sebagai kabar baik yang bergerak dari meja makan ke meja makan lain: “Ada hotel yang serius dengan empati.” Ada yang meniru, ada yang sinis. Tapi yang meniru tak kalah banyak dari yang mengejek. Dunia tidak tiba-tiba baik, tetapi ada sudut-sudut yang bertambah hangat.

Laksmi sesekali datang ke “Rumah Dulu”, membawa roti pisang. Mereka duduk, tak selalu bicara tentang pekerjaan. “Kau pernah menyesal?” tanya Laksmi suatu sore.

“Sering,” jawab Yuda. “Tapi menyesal tidak sama dengan ingin kembali. Menyesal mengajariku cara melangkah lebih pelan.”

“Kalau begitu,” kata Laksmi, “terima kasih sudah mengajari kami cara berjalan pelan di kota yang suka lari.”

Angin mengibaskan daun jati. Cahaya sore menipis, tetapi tidak dingin. Yuda menutup mata. Dalam gelap yang ia ciptakan sendiri, ia melihat wajah-wajah yang pernah memercayainya—tidak karena ia paling benar, melainkan karena ia berani bilang, “Aku tidak tahu, tapi kita cari bersama.”

“Pemimpin bukan orang yang selalu di depan. Ia orang yang diam-diam memegang punggungmu agar kau tak jatuh.”

.

Jakarta, Pukul 04.45 Lagi

Suatu pagi, bertahun kemudian, Yuda kembali bangun di pukul 04.45. Bukan di apartemen lantai 17, melainkan di kamar kayu dengan jendela berbingkai. Ia menatap luar. Kabut lembut bergelung. Seekor burung melintas pendek, lalu hilang di balik daun.

Ia berdiri, merapikan alas tidur, menjerang air. Di atas meja, buku catatan terbuka. Halaman terakhir berisi satu kalimat, ditulis dengan tinta yang sedikit melebar karena kelembaban malam:

“Kau boleh retak, asalkan retakmu menjadi cahaya.”

Ia menutup buku, mengangkat cangkir. Dalam kepalanya, ia mendengar kembali suara Laksmi, Cakra, Ayu, Tole, Segara. Mereka seperti berdiri di beranda, tersenyum dengan lelah yang jujur—lelah yang baru. Yuda mengangguk pada sesuatu yang tak terlihat, mungkin pada dirinya yang lama, mungkin pada anak-anak yang suatu saat akan bekerja di kota yang tak pernah tidur.

Dan di dada, gunung es itu tidak meleleh, tidak pula pecah. Ia mencair pelan, menjelma sungai kecil yang mencari jalannya sendiri. Mengalir menuju laut yang sama, tempat di mana dulu Yuda belajar menangis tanpa menakuti siapa pun.

.

Jalan Pulang

Cerita ini bukan tentang perhitungan occupancy, bukan tentang laba bersih, bukan pula tentang panggung konferensi. Ini cerita tentang kerelaan untuk mundur setengah langkah agar orang lain maju satu langkah. Tentang memanggil nama orang lain lebih sering daripada memanggil nama sendiri. Tentang melatih tangan untuk menepuk bahu, bukan menunjuk.

“Jika kau lelah menjadi kuat, cobalah menjadi lembut. Kadang kelembutan lebih berani daripada kekuatan.”

Kita semua pernah dipaksa kuat. Pernah takut terlihat lemah. Pernah tenggelam dalam gunung es yang kita bangun sendiri. Tapi selalu ada jalan pulang. Jalan itu bernama kejujuran yang diucapkan dengan suara serak: “Saya tidak punya semua jawaban. Tapi saya percaya pada kalian.”

Dan seperti cahaya yang semula titik, lalu perlahan membesar, kalimat itu menyebar. Tidak menggelegar, tetapi merembes. Menemukan celah pada dinding-dinding kantor, meja-meja kerja, dan hati-hati yang siap menghangat.

Karena pada akhirnya, kota yang tak pernah tidur bukan musuh yang harus dikalahkan. Ia adalah panggung tempat kita belajar mengatur napas—agar ketika lampu-lampu menyala dan musik diputar, kita bisa menari dengan langkah yang tak saling menginjak.

Dan bila suatu hari kita harus berhenti, kita berhenti bukan karena kalah, melainkan karena sudah cukup jauh mengantar orang-orang itu pulang.

.

.

.

Jember, 29 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#KepemimpinanEmpatik #CerpenIndonesia #Jakarta #Hospitality #CeritaMengharukan #BudayaKerja #EmpatiDiTempatKerja #KompasMingguStyle #TransformasiSDM #KisahInspiratif

.

Kutipan-kutipan terkait isi & pesan cerpen

  • “Menjadi pemimpin bukan perkara maju paling dulu, tetapi berani berhenti paling akhir.”

  • “Di kota yang menuntut cepat, pelukan paling panjang adalah kalimat: ‘Aku dengar kamu.’”

  • “Jangan menukar dirimu dengan tepuk tangan. Karena tepuk tangan berhenti. Hanya hati yang terus berdebar.”

  • “Kau boleh retak, asalkan retakmu menjadi cahaya.”

  • “Menjadi kuat bukan berarti tak pernah goyah—melainkan tahu di mana boleh bersandar.”

Leave a Reply