Didirikan oleh Sunyi
“Kadang, cara paling kuat untuk menggerakkan hati orang lain adalah berhenti menggerakkan lidah kita.”
.
Di Jakarta—kota yang menolak tidur, kota yang menukar sabar dengan sinyal—Rengganis belajar bahwa tidak semua hal berharga harus diteriakkan. Beberapa hal justru tumbuh dari diam, dari kemampuan menahan kalimat yang terlalu ingin menang, dari keberanian menatap tanpa menyela.
Pagi-pagi di Antasari, ia membuka ruang konselingnya: dinding putih dengan sedikit lumut di pojok yang tak sempat diperbaiki, rak buku psikologi, CD lawas Chet Baker, dan jendela yang menatap arus kendaraan. Aroma kopi tubruk menguap pelan. Kepada para murid yang datang dengan mata letih dan punggung bungkuk oleh ambisi orang tuanya, Rengganis selalu berkata, “Diam setelah bertanya. Biarkan hati lawan bicara menemukan jawabannya sendiri.”
Pagi itu, pelajaran tentang diam diuji oleh kehidupan sendiri. Ponselnya bergetar. Nama yang muncul: Umar Maya.
Kita harus bicara, Nis. Tentang lahan Kebayoran. Aku butuh persisimu.
Lahan itu bukan sekadar aset keluarga. Itu halaman batin—taneyan—warisan Buyut Singapati, sepetak yang disisakan sengaja di tengah kota, tempat tiga niat berseberangan tumbuh. Umar Maya ingin mendirikan Kebayoran Learning Hub, pusat startup edutech dengan impact metrics yang rapi. Umar Madi, adiknya, ingin menjadikannya test kitchen untuk riset kuliner Nusantara. Rengganis bermimpi membangun Rumah Senja, rumah belajar gratis bagi anak-anak pekerja kota. Tiga impian yang sama-sama ingin berbuat baik, tetapi dengan cara yang saling meniadakan.
.
Mereka bertemu di restoran milik Umar Madi. Ruang privat, lampu temaram, suara trompet lirih dari speaker. Di meja, ada roti sourdough buatan sendiri, butter asin, dan air mineral dalam botol kaca yang belum dibuka.
Umar Maya datang terukur: setelan abu-abu, laptop penuh grafik. “Kita bentuk co-working dengan model yayasan. Lahan jadi equity sosial. Keuntungan dialirkan ke pendidikan masyarakat. Efisien dan elegan.”
Umar Madi, dengan apron hitam, menepuk meja lembut. “Aku ingin sesuatu yang bisa dihirup, bukan diperagakan dalam pitch deck. Dapur riset, ruang fermentasi, kelas memasak untuk dishwasher yang ingin naik kelas.”
Rengganis mendengarkan tanpa menyela. Ia membiarkan kata-kata mencari kursinya sendiri. Lalu ia bertanya pelan, “Apa yang sebenarnya kalian takutkan jika lahan ini jadi tempat belajar anak-anak?”
Delapan detik hening jatuh. Jam dinding memotong sunyi dengan ketukan jujur.
Di detik ketujuh, Maya menarik napas. “Takut proyeknya tak berkelanjutan. Takut semua ini jadi romantisme musiman.”
Madi menatap apron yang bernoda kecap asin. “Takut mimpiku cuma jadi pinggiran dapur.”
Rengganis mengangguk, seperti menala gitar tua. “Kalian kelihatan ragu, tapi sebenarnya sayang. Mari kita pulang dulu ke niat masing-masing, sebelum menegakkan tembok siapa yang benar.”
Di luar, gerimis yang tak jadi-jadi mengambang di udara. Jakarta seperti menahan napas.
.
Pesan keluarga berdering dua hari kemudian. Wirabrata—sepupu tua, pemegang kuasa hukum keluarga—mengundang rapat di rumah marmernya di Bintaro. Ruang tamu luas, karpet Persia, koleksi keris di dinding. Ia menuang teh melati, lalu berkata pelan, “Tanah warisan bukan aset, tapi taneyan. Halaman batin keluarga. Tak boleh dipotong-potong.”
“Taneyan bukan harus kosong,” Rengganis menatapnya. “Taneyan bisa menjadi tempat orang berkumpul. Apa yang membuat Kanda berpikir kami akan memutus napas halaman itu?”
Wirabrata menghela napas. “Karena kalian ingin membangun. Dan membangun sering berarti menutup.”
“Mungkin kami ingin membuka,” ujar Maya. “Bukan menutup halaman, tapi mengisinya dengan hidup. Kita bentuk yayasan, tak dijual, tak disewakan, dirawat.”
“Dan pusatnya tetap pohon sawo,” timpal Madi. “Lambang sabar Buyut. Tak boleh ditebang, tak boleh dipindah.”
Wirabrata tersenyum samar. “Kalau begitu, foto Buyut jangan dipasang tinggi. Biarkan anak-anak menatap matanya sejajar.” Ia berdiri, membuka jendela. “Kau tahu, sunyi yang benar bukan meniadakan suara, tapi memberi tempat.”
Keputusan keluarga besar untuk pertama kalinya diambil dalam keheningan damai. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada sorak. Hanya nafas yang melandai, dan rasa yang mengendap seperti kopi dibiarkan settling.
.
Arsitek Jati Kencana—teman lama Rengganis—melangkah ke lahan Kebayoran pada suatu pagi yang memayungi awan putih. Jalan kecil, pagar besi tua, bau tanah basah. Ia menyentuh dinding bata yang retak. “Jangan disemen yang ini,” katanya. “Luka sejarah harus terlihat. Ia mengingatkan kita berdiri di atas ketidaksempurnaan.”
Garis-garis mulai ditarik. Learning hub di sisi timur, test kitchen di barat, dan Rumah Senja memeluk pohon sawo di tengah. Tidak megah, tapi berjiwa. Mural di salah satu dinding hanya garis tipis: siluet tangan saling menahan, bukan saling menuding.
Sore-sore, anak-anak datang membawa buku, wajan, gitar, dan harapan. Bagas, putra sopir ride-hailing, memperlihatkan trik Rubik yang ia pelajari dari kanal gratis. Naya, anak penjual nasi uduk, menggambar gedung-gedung masa depan dengan jendela lebar untuk cahaya. Alim, remaja yang sempat bekerja di dark kitchen, belajar mengiris bawang tanpa menangis—atau ia belajar menyembunyikan tangis di antara irisan tipis.
Di papan tulis besar yang menempel di dinding, Rengganis menulis: “Kalimat yang Menguatkanmu Minggu Ini.” Seorang anak menulis di bawahnya: Aku boleh salah, tapi aku tidak sendiri.
Madi meletakkan sebotol kecil kultur kombucha di rak. “Untuk perut yang sering menahan,” ujarnya. Maya menambahkan papan jadwal kelas coding, “Untuk kepala yang sering kebingungan.”
Sunyi merambat seperti ivy: bukan untuk menutup, melainkan untuk memegang dinding agar berdiri.
.
Suatu siang terik, surat dari sebuah developer besar datang. Kop surat tebal, bahasa rapi, nada sopan. Lahan diusulkan untuk pelebaran jalan. “Kami ajak bermitra,” demikian mereka mengakhiri.
Pertemuan diadakan. Perwakilan perusahaan, seorang perempuan muda bernama Laila, datang dengan map biru. “Ini demi kepentingan umum,” katanya, suaranya stabil seperti garis lurus. “Akses lebih cepat bagi warga, logistik lancar, ekonomi bergerak.”
Rengganis menatap ke jendela, menimbang, lalu bertanya, “Apa yang membuatmu—sebagai Laila, bukan sebagai perusahaan—ingin jalan itu lewat sini?”
Delapan detik hening. Laila menurunkan bahu yang sejak tadi tegak. “Saya anak kos. Jalan lebih lebar berarti waktu pulang lebih cepat. Saya sering rindu rumah.”
“Rindu,” ulang Rengganis, memberi label yang tak banyak orang berani mengucap di ruang negosiasi. “Dan lelah.”
Laila hampir tertawa kecil. “Ya. Rindu dan lelah. Tapi rumah tidak selalu soal dekat jarak.”
Percakapan berubah arah. Mereka tidak lagi berdebat tentang meter persegi, tetapi tentang ruang yang memulangkan. Jati menunjukkan alternatif trase di peta, Maya memaparkan dampak sosial, Madi menawarkan program katering sehat untuk pekerja proyek, dan Rengganis—di tengah semua—menjaga jeda. Mengizinkan setiap kalimat merunduk pada hati yang membawanya.
Seminggu kemudian, keputusan datang. Trase dipindah dua blok. Developer memberikan hibah kecil untuk program minuman probiotik anak-anak Rumah Senja. Surat itu ditutup dengan kalimat yang tak biasa: “Kami belajar satu hal: diam setelah bertanya memberi tempat bagi jawaban yang manusiawi.”
Di malam yang sama, Jakarta diguyur hujan lebat. Pohon sawo di Kebayoran meneteskan air seperti menandai halaman baru.
.
Musim sakit datang tanpa undangan. Ibu Maya dan Madi—yang dulu menanam sawo pertama—dirawat di rumah sakit. Ruang putih, selimut tipis, mesin berdesis. Madi duduk di kursi plastik, menatap tetes infus. “Aku bisa membuat resep serumit apa pun,” katanya, “tapi tak bisa menyembuhkan ibuku.”
“Apa yang membuatmu belum memasakkan sup ayam kesukaannya?” tanya Rengganis.
“Takut tak cukup,” jawab Madi, lirih.
“Takut tak cukup?” Rengganis mengulang, seperti memantulkan kata ke dinding agar terasa bentuknya.
“Takut kedewasaanku hanya pura-pura,” kata Madi.
Malam itu, di dapur kecil rumah sakit, Madi memasak sup ayam kampung. Ia berdiri tegak di bawah lampu neon, membiarkan uap menyentuh wajahnya. Aroma jahe, bawang putih, dan lada menyeberangi lorong. Perawat menghentikan kaki sejenak, menghirup, lalu tersenyum tanpa kata. Ketika sendok pertama menyentuh bibir ibunya, perempuan itu menatap ke mata Madi. “Cukup,” katanya. Dua suku kata yang menutup pintu rasa bersalah yang sudah terlalu lama terbuka.
Di luar, lampu-lampu jalan memantul di genangan. Jakarta, untuk sekali ini, terasa pelan.
.
Kebayoran Learning Hub menggelar kelas malam. Naya membacakan puisinya: Kota bukan musuhku, ia hanya tempat aku belajar menunggu. Anak-anak Rumah Senja belajar mengetik sepuluh jari tanpa melihat keyboard. Di dapur, Madi mengajari menggoreng tempe tanpa suara letupan minyak berlebihan—dengan suhu terukur, dengan kesabaran.
Maya pulang paling terakhir malam itu. Ia menatap papan tulis besar. Ada kalimat baru: “Berhenti berdebat dengan orang yang kau cintai; cobalah menunggu hingga yang dicintai berani jujur.” Tertulis miring, mungkin oleh Bagas. Maya mengabadikannya dengan kamera ponsel, lalu mengirim ke grup keluarga.
Wirabrata menanggapi pendek: “Sunyi yang baik itu seperti napas yang tak kita sadari, tetapi menyelamatkan.”
Rengganis mengirim emotikon daun sawo.
.
Kabar buruk datang dari tempat lain: ayah Rengganis, yang tinggal sendirian di apartemen lama di Kuningan, jatuh di kamar mandi. Tidak parah, tapi cukup untuk mengembalikan sejarah ke pangkuannya. Mereka bertiga—Rengganis, Maya, Madi—bergantian menemaninya fisioterapi. Di sela-sela itu, ayah bercerita tentang Buyut Singapati yang menolak menjual lahan pada pedagang asing. “Bukan karena uangnya kurang,” katanya. “Karena ia ingin punya tempat untuk pulang meski tak lagi muda.”
“Tanena’”—Rengganis mengingat kata itu dari cerita-cerita lama Menak Madura—“halaman yang menyambung napas.” Ayah mengangguk, mata yang letih menjadi cerah sebentar. “Kalian sedang membangunkan halaman yang tertidur.”
Malamnya, Rengganis berjalan kaki dari rumah sakit ke halte. Hujan tipis. Lampu-lampu gedung memantulkan diri di jalan basah. Di kepalanya, kalimat-kalimat yang selama ini ia pinjam dari buku orang lain berhenti bersuara. Sunyi mengisi tempatnya, tidak menakutkan, tidak menyiksa—justru menenteramkan. Mungkin inilah doa tanpa kata.
.
Setahun berlalu. Taneyan Kebayoran itu berubah menjadi tempat hidup yang lembut. Anak-anak membaca puisi di bawah pohon sawo, para fellow startup mengajar coding, aroma sup dan roti menyatu dengan tawa senja. Di ujung barat, Madi menempelkan daftar menu “gizi ramah dompet”: sop sayur 8K, telur orak-arik 6K, teh hangat gratis untuk yang sedang cemas. Di sisi timur, Maya memasang papan “Jam Sunyi”: pukul 17.00–17.15, semua orang di halaman berhenti bicara, hanya mendengar—azannya masjid, denting sendok, langkah pulang, juga suara kecil di dalam dada yang biasa kita abaikan.
Pada suatu sore, Laila muncul, tanpa map biru. Di tangannya, kue lapis legit. “Untuk anak-anak,” katanya, malu-malu. “Saya pindah kos lebih dekat. Tidak perlu jalan besar untuk pulang lebih cepat.” Ia tertawa kecil. “Kadang cepat itu tidak di jalan, tapi di hati.”
Mereka duduk di bangku kayu. Rengganis memejamkan mata delapan detik, membiarkan semuanya mendarat. Ketika membuka mata, ia melihat Alim mengajari Bagas memotret dengan kamera pinjaman. “Tangkap jeda, bukan hanya objek,” kata Alim. “Jeda itu nyawa foto.”
Malamnya, di papan tulis besar, seseorang menulis: Diam setelah bertanya. Biar yang dicintai merasa aman untuk menjawab. Tulisan itu miring, mungkin terburu-buru, tapi terasa seperti kunci yang pas pada lubangnya.
Rengganis memotret tulisan itu dan mengirimkannya ke grup keluarga. Pesannya singkat: Kita berhasil bukan karena berbicara lebih keras, tetapi karena belajar mendengar lebih dalam. Kini, segalanya telah didirikan oleh sunyi.
.
Beberapa hari kemudian, Rumah Senja kedatangan tamu: Wirabrata membawa album foto tua. Di halaman pertama, ada foto Buyut Singapati berdiri di bawah pohon sawo yang jauh lebih kecil dari sekarang. Wajahnya tidak serius, malah nyaris tersenyum.
“Lihat letaknya,” kata Wirabrata. “Dulu foto buyut digantung paling tinggi di rumah. Sekarang kita taruh di rak yang sejajar dengan mata anak-anak.”
“Supaya mereka bisa menatap balik,” ujar Maya.
“Supaya buyut pun belajar dari mereka,” tambah Madi.
Rengganis membolak-balik halaman. Di antara foto-foto itu, ia menyelipkan kertas kecil yang ditulisnya oleh tangan: “Setiap keputusan besar seharusnya lahir dari jeda, bukan dari tergesa.” Ia menutup album, menepuknya pelan. Album itu bukan sekadar kenangan. Ia menjadi kompas.
.
Malam purnama, halaman Kebayoran menggelar pembacaan puisi. Orang tua, tetangga, relawan, pejalan kaki yang mampir. Lampu-lampu bohlam bertaut di udara seperti bintang yang turun. Naya membacakan “Kota yang Menguji Diam.” Bagas memainkan Rubik sampai selesai tepat saat kalimat terakhir jatuh. Alim menayangkan foto-foto: dinding retak yang tidak ditambal, tangan-tangan yang saling menahan, hujan yang memantul di aspal dan membuat garis-garis tak bernama.
Ketika semua selesai, sunyi turun sendiri, tanpa diminta. Bukan sepi yang menyayat, melainkan sunyi yang memeluk—sunyi yang membuat orang berani berkata jujur, memaafkan, dan pulang ke niat awal.
Rengganis berdiri, menatap semua. Ia merasakan sesuatu yang tidak ia temukan di buku mana pun: ketenangan tidak lahir dari kemenangan, melainkan dari kesediaan berhenti mendorong. Ia memejamkan mata delapan detik, menghadiahkan diri sendiri sebuah jeda yang tidak menyakiti.
Ketika membuka mata, ia melihat pohon sawo berdiri seperti doa yang sudah dikabulkan. Taneyan itu telah hidup, bukan karena mereka fasih bicara, melainkan karena mereka belajar menahan kalimat pada tempatnya.
Dan malam itu, Jakarta terasa bukan lagi kota yang menolak tidur, melainkan kota yang akhirnya tahu cara berbaring sebentar—di halaman kecil yang didirikan oleh sunyi.
.
.
.
Malang, 8 Oktober 2025
.
.
Quotes yang Selaras dengan Cerita
-
“Yang kuat bukan yang berteriak, tapi yang tenang dalam badai.”
-
“Sunyi adalah cara hati berdoa tanpa suara.”
-
“Setiap keputusan besar seharusnya lahir dari jeda, bukan dari tergesa.”
-
“Empati adalah arsitek tak terlihat yang mendirikan hubungan.”
-
“Kadang kita hanya perlu diam agar cinta menemukan jalan.”
-
“Jeda bukan kekosongan; ia ruang di mana kejujuran tumbuh.”