Diam di Tengah Bising Kota

“Jangan tunjukkan manismu bila tak mau diganggu semut; dan bila semut tetap datang, belajarlah tenang—sebab diam yang jernih sering lebih lantang dari pameran yang riuh.”

.

Langit Jakarta yang pucat itu memantul di kulit kaca perkantoran Sudirman seperti janji lama yang tak pernah ditepati. Dari ketinggian lantai tiga puluh kafe teras, mobil-mobil terlihat sekecil semut menapaki jalanan, merayap menuju jam pulang kantor yang selalu lebih mirip perlombaan lari jarak menengah—tak pernah benar-benar berakhir, hanya pindah lintasan.

Di meja paling ujung, Raden, Bindara, dan Jayeng—tiga sahabat yang dulu berbagi mi instan dan skripsi—kembali duduk satu meja. Kemeja Raden berwarna abu terang, rapi namun tidak mencolok; jam tangannya bukan merek yang mudah disebut, tapi talinya mengilap oleh waktu panjang yang dipakai. Bindara datang membawa wangi parfum kayu manis dan berita besar, sementara Jayeng hadir dengan keteduhan yang melekat—sejenis aura yang tumbuh dari kebiasaan membaca kalimat-kalimat yang mengajari orang menerima nasib tanpa putus asa.

“Proyek gua sudah masuk due diligence,” Bindara membuka, suaranya bayangan orkestra. “Lahan 8 hektare, konsep mixed-use—mal, apartemen, ruang kreatif. Kita bikin ‘Dubai kecil’ di pinggir Jakarta. Lo harus lihat render-nya.” Ia menyodorkan ponsel: deretan kolom-kolom kaca tegak laksana pasukan tentara yang gemar disorot matahari.

Raden merunduk menatap layar, lalu mengembuskan napas. “Keren,” katanya. “Tapi semua keren itu ada cicilannya, Dar.”

“Semua ada cicilannya,” Jayeng ikut menyahut, tenang. “Termasuk hati. Kita mencicil tenang dengan menahan diri.”

Bindara terkekeh, menyandarkan punggung. “Lo berdua masih idealis. Gua dulu low profile, privasi dijaga. Hasilnya? Dibilang nggak mampu, dikerdilkan. Coba sekarang gua pamerin satu-dua, kicep semua. Kadang teori diam itu bikin lo diinjak, bro.”

“Dalam bahasa Sunda,” Raden menatap teh tubruknya, “ada kata papaehan. Mati-rasa pada godaan. Bukan mati hati, tapi menenangkan getar yang bikin kita tergoda pamer. Setelah gua belajar itu, orang-orang yang nempel cuma karena dompet, bubar. Hidup jadi tenang.”

Bindara memutar mata, namun senyumnya tetap lebar. “Tenang itu mahal, Den. Tapi sorotan itu tiket.”

.

Mereka bubar menjelang malam. Di bawah, Jakarta berkedip-kedip seperti linimasa yang tak henti mendorong orang bersaing menjadi tayangan paling menawan. Raden menyetir pulang melewati deretan billboard kosmetik dan launching apartemen. Ia tahu sebagian wajah di papan-papan itu adalah kliennya. Di dashboard, ponsel bergetar—pesan dari istrinya, Wandansari.

“Den, besok rapat orangtua di sekolah Ilalang. Katanya ada wacana ganti kurikulum. Kamu bisa dateng?”

Anak mereka, Ilalang, bersekolah di sekolah internasional dua bahasa, tempat anak-anak mengenakan sepatu putih seperti awan dan membawa lunch box anti-bocor. Di sekolah itu, rapat orangtua terasa seperti RUPS kecil: angka, data, evaluasi, dan—tanpa disadari—ajang mengukur siapa paling siap membayar field trip ke Kyoto musim gugur ini.

“Bisa,” balas Raden. Ia menepi di lampu merah Kuningan, memperhatikan pedagang tisu yang berdiri di bawah lampu. Ada bulan sabit kecil di kaca belakang mobil sedan putih di depannya; stiker cicilan leasing. Di kota ini, pikir Raden, semua yang berkilat sering datang bersama angka-angka yang diam-diam menggulung tidur orang dewasa.


Bindara pulang ke apartemennya di SCBD yang dindingnya memajang foto safari Afrika dan lomba marathon—kenangan yang sekaligus kartu nama. Di atas meja makan kaca, beberapa amplop terbuka menampakkan serangkaian angka tajam dari bank dan investor. Ia duduk, menyalakan lampu gantung, lalu membuka laptop.

“Maaf, cashflow agak seret, minggu depan cair…”

Ia mengetik, lalu menghapus. Mengetik lagi, menghapus lagi. Di layar, notifikasi media sosial mengalir seperti madu: “Masyaallah bang, panutan!” “Mimpin banget!” “Goalsss!” Di DM, ada undangan untuk mengisi podcast bertema “Badai Pasti Berlalu” dan “Mindset Sultan.”

Bindara tertawa kecil, sebuah suara hampa yang memantul di dinding. “Badai belum berlalu,” katanya pada dirinya sendiri. “Badai malah baru menata barisan.”

Ia menyandarkan kepala, menatap langit-langit. Tepat di bawah lampu gantung, ada retakan tipis—seperti janji. Ia memejamkan mata dan mengingat masa kuliah: tiga anak kosan di Depok, berbagi nasi kucing yang pedasnya mengajar tanggung jawab pada lidah, bukan pada citra. “Gua harus menang,” bisiknya. “Kalau nggak, mereka akan bilang gua cuma omong doang.”

.

Sementara itu, Jayeng—yang tinggal di rumah tua dengan halaman kamboja dan rak buku yang tampak seperti hutan rimbun kertas—menyelesaikan penilaiannya untuk tugas mahasiswa. Di layar, ia membaca esai tentang “Etika Gawai” dan “Gengsi Digital”. Banyak tulisan cerdas, tetapi di sela kecerdasan selalu ada kalimat-kalimat yang letih, seperti suara mahasiswa yang diam-diam dikejar cicilan kartu kredit kampus yang “bisa dicicil kok, tinggal KTP”.

Ia teringat mahasiswi bernama Siti, yang pernah cerita di jam konsultasi: “Pak, di lingkungan saya, kalau kelihatan miskin dibully. Jadi, harus tampak tajir biar setara. Saya kerja part-time buat cicil handphone terbaru. Biar nggak… ya, biar nggak dikecilin.”

Jayeng tak menghakimi. Ia hanya menjawab, “Ada banyak cara untuk terlihat setara, Sit. Tapi lebih berat mencari cara untuk tetap utuh.”

.

Kelas Menengah Atas, Kerapian yang Sering Darurat

Rapat orangtua di sekolah Ilalang, seperti biasa, diadakan di aula ber-AC yang baunya perpaduan kopi kapsul dan parfum antipeluh. Kursi empuk berderet. Di depan, projector menyinari slide berisikan daftar program: field trip, kelas kolaborasi dengan startup teknologi, program literasi keuangan untuk anak, dan rencana charity ke panti jompo.

Wandansari mengangkat tangan. “Saya dukung, Bu. Tapi kalau boleh usul, charity bukan hanya datang memberi, melainkan juga belajar mendengar. Anak-anak bisa diajak mendengar cerita-cerita para opa oma; menulis kembali dengan cara mereka.”

Ketua paguyuban, Roro, tersenyum. Roro dikenal sebagai ratu arisan kompleks—tangannya lincah mengatur vendor dekorasi, catering, dan photobooth. “Idenya bagus sekali, Mbak Wandan. Nanti saya masukkan.”

Raden duduk memperhatikan. Ia melihat bagaimana para ayah saling menimbang jam tangan satu sama lain, sementara para ibu bertukar kontak party planner. Dari jendela, lapangan hijau tampak sejuk. Di pojok aula, seorang cleaning service merapikan tumpahan jus jambu. Semua bergerak seolah sebuah mesin raksasa bernama Kerapian.

Sepulang rapat, Wandansari melirik suaminya. “Kayaknya Ilalang pengin ikut field trip Kyoto.”

Raden tersenyum. “Kalau tabungan education fund masih sesuai jalur, kenapa tidak? Tapi, aku juga pengin dia belajar cara bikin rencana perjalanan, bukan cuma tinggal berangkat.”

Wandansari mengangguk. “Di rumah, biar dia yang presentasi. Bikin slide sendiri.”

Malamnya, Ilalang mempresentasikan rencana perjalanan dengan font yang kadang terlalu besar, gambar shinkansen yang sedikit melebar, dan semangat yang tak bisa ditakar. “Aku ingin lihat daun merah, Ayah. Dan ke museum samurai. Boleh?”

“Boleh,” jawab Raden. “Dengan satu syarat: kamu juga bikin anggaran. Tulis mana yang mau kamu kurangi kalau anggarannya kurang.”

Ilalang meringis, lalu tertawa. “Baik, CFO!”

Di ruang tamu yang berpenerangan hangat itu, papaehan bukan berarti mematikan keinginan; hanya menata jaraknya agar tidak menelan jiwa.

.

Bindara dan Panggung yang Meminta Nyawa

Undangan podcast akhirnya diterima. Bindara muncul dengan jaket krem tailor-made, sepatu bersinar, dan kisah-kisah tentang “bangkrut bangkit lagi”, “disayang semesta”, serta “menarik rezeki dengan affirmation pagi”. Rating meledak. Komentar-netizen seperti kembang api. Di balik mic, penyiar memuji, “Bang, cerita lo powerful banget. Bisa kasih tips ringkas?”

Bindara tersenyum dengan bibir kaku: “Jangan takut tunjukkan hasil kerja lo. Orang baru menghargai kalau mereka lihat bukti.”

Kalimat itu mengantar ribuan share. Di rumah, notifikasi menyalak. Ia seperti jagoan di atas punggung kuda yang berlari di padang sosial. Namun malamnya, email dari bank mendarat: “Segera lakukan penyelesaian kewajiban sesuai jadwal.” Tangan Bindara gemetar. Ia menutup layar.

Di balkon, kota berkilauan. Senyum-senyum di timeline adalah langit-langit palsu. Lalu tiba-tiba, perutnya sesak. Ia menahan dada, jatuh setengah terduduk. Dunia menciut menjadi bunyi napas barang rongsokan yang dipaksa jadi supercar. Tetangga menemukan, ambulans datang, sirene memotong malam.

Di IG story pagi harinya, admin tim menulis, “Bang Bindara sedang istirahat untuk healing. Keep him in your prayer.” Emoji tangan terkatup meletup-letup.

Raden dan Jayeng bergantian berjaga. Di kamar rumah sakit yang putih, Bidan elektrokardiogram bekerja seperti jam dinding. “Gua capek,” kata Bindara pelan. “Capek jadi yang paling gagah di aula.”

Jayeng menatapnya. “Kalau sebuah aula menuntut kita menggadaikan nyawa, barangkali itu aula yang salah.”

Bindara menoleh pada Raden. “Lo pernah kangen pamer, Den?”

Raden tersenyum kecil. “Pernah. Tapi setiap kangen datang, gua ingat satu adegan: waktu gua berhenti pamer, teman ‘lengket’ hilang. Qadarullah, hidup gua jadi lega. Papaehan bukan mati cara merasa; hanya mengatur volume.”

Bindara tertawa, suara yang kali ini punya daging. “Lo berdua bener-bener, ya.”

.

Roro dan Arisan yang Memantulkan Rahasia

Di kompleks rumah mereka, arisan bulanan adalah peragaan busana tanpa panggung. Di group chat, Roro mengirim design undangan dengan tema “White & Wicker”: baju putih, picnic basket, dan acoustic session. Di kolom komentar, para ibu memuji—sambil diam-diam membuka lemari: “Ada baju putih yang belum pernah difoto?”

Siang itu, di lapangan hijau tengah kompleks, para ibu tertawa, anak-anak berlarian, dan drone kecil milik panitia berdengung merekam “kebersamaan”. Di meja kudapan, label “Halal Certified” berdiri tegak di samping cheese platter.

Roro menghampiri Wandansari. “Mbak, gimana kabar Bang Bindara? Kemarin sempat ramai, ya. Ngeri, lho. Katanya karena stres.”

“Semoga lekas pulih,” jawab Wandansari. “Kita kadang lupa, yang kuat pun rapuh kalau disuruh berdiri di atas pujian terlalu lama.”

Tiba-tiba seorang ibu muda, Kencana, menyelutuk. “Tapi ya, Mbak, di lingkungan saya, kalau keliatan miskin malah dibully. Saya dulu tampil sederhana, dianggap nggak mampu. Sekarang saya rias sedikit, beli tas, upgrade mobil, aman deh. Memang kenyataannya, harus tampak tajir biar setara.”

Beberapa kepala mengangguk, beberapa wajah memerah, beberapa mata menatap rumput. Roro mendecak pelan, “Iya, sih. Dunia kadang kejam.”

Wandansari meminum teh, lalu berkata, “Saya ingat pesan almarhum bapak saya: ‘Kaya itu bukan apa yang kamu pamerkan, tapi apa yang kamu tahan untuk tidak kau pamerkan.’ Saya belajar pelan-pelan. Bukan mudah. Tapi damai itu ada di situ.”

Hening kecil jatuh, seperti daun.

.

Jayeng, Kelas, dan Anak-anak yang Bertanya

Di kampus, Jayeng membuka diskusi: “Apakah kalian setuju bahwa privacy adalah kemewahan baru?” Mahasiswa-mehasiswi mengangkat tangan. Seorang Mahapati berkata, “Setuju, Pak. Tapi kalau kita nggak di media, kita tak terlihat. Lalu kesempatan lewat.”

Jayeng menulis di papan: Terlihat ≠ Bernilai. “Kalian tahu—ada pameran yang membuat orang lain diam bukan karena kagum, tapi karena luka mereka disiram garam. Ada pameran yang mengundang semut, membuat kita digerogoti pelan. Ada pula sebaliknya: cerita yang disampaikan dengan jernih, bukan riuh. Kalian, pilih jadi yang mana?”

Siti, yang bekerja part-time sebagai admin di boutique hotel, angkat tangan. “Pak, saya kadang merasa, kerumunan memaksa saya pakai topeng. Tapi ketika saya melepasnya, saya diserang. Jadi saya belajar ‘papaehan’ versi saya: mematikan notifikasi, memaksa diri tidur. Apakah itu pengecut?”

“Tidak,” kata Jayeng. “Itu penyelamatan diri.”

.

Tata Malam: Saat Kota Memeluk

Bindara pulang dari rumah sakit dengan daftar pantang, obat harian, dan sebuah catatan yang ia tulis sendiri: ‘Hidup bukan panggung, melainkan ruang tamu.’ Di ruang tamu, orang datang duduk, ngobrol, makan, lalu pulang. Tak semua harus kagum.

Ia memulai pagi dengan berlari pelan di treadmill. Ia tak lagi mengunggah video latihan. Ia menghapus beberapa foto pamer lamanya. Dia menelepon investor satu per satu, menata ulang skema: lebih kecil, lebih realistis, lebih manusiawi. Ada yang pergi. Ada yang bertahan. Ada yang, tanpa diduga, mengirim pesan, “Bang, baru kali ini lo ngomong apa adanya. Gue percaya sekarang.”

Raden, di kantornya yang tak mewah namun terjaga, kembali menolak tawaran endorsement jam tangan. Ia memilih menulis newsletter kecil untuk klien: tips menyusun emergency fund, menyekolahkan anak tanpa perlu memamerkan baju wisuda sebagai ukuran harga diri, dan cara menolak ajakan bisnis yang “terlalu manis”. Ia menutup tulisan dengan kalimat, “Jangan tunjukkan manismu bila tak mau diganggu semut. Bila harus manis, letakkan di cangkir—bukan di dahi.

Wandansari sibuk memfasilitasi program charity di panti jompo. Anak-anak menulis kisah-kisah para opa oma; Ilalang menulis tentang Oma Sulastri yang dulu penjual jamu gendong. “Aku belajar,” katanya pada ayahnya, “bahwa kuat itu bukan selalu suara besar. Kuat itu kadang saat kita menahan cerita paling sedih supaya tidak menjadikan orang lain beban.”

Di kampus, Jayeng menggelar kelas di luar ruangan—di taman kampus yang disapu matahari sore. “Hari ini,” katanya, “kita belajar memandang tanpa menginginkan. Melihat tanpa menilai. Menimbang tanpa menimbang berat-berat.” Mereka duduk melingkar, mengizinkan angin menyejukkan dahi. Siti tersenyum. Sejenak, kota ini bukan lagi lomba, melainkan halaman.

.

Luka, Garam, dan Jalan Pulang

Suatu malam, Raden menerima telepon dari Kerta—teman lama yang kini berjualan kopi gerobak di trotoar. Mereka bertemu di bawah jembatan layang. Kerta menyuguhkan kopi hitam dengan gula aren.

“Gua dulu main motor besar, ikut gathering penuh lampu strobo, Den. Rasanya gagah. Tapi utang gua lebih gagah,” Kerta tertawa. “Sekarang, gua ngopi tiap malam sama orang yang pulang lembur. Kami saling cerita. Rasanya… gua kembali jadi manusia.”

Raden menatap jalur busway yang sepi. “Papaehan itu bukan memutus teman, Ker. Itu memutus tali yang mengikat kita pada versi diri yang menipu.”

“Dan setelah putus,” sahut Kerta, “kita baru tahu, tali itu sebenarnya mengikat di leher.”

Mereka tertawa. Kopi jadi hangat lebih lama.

.

Hari Saat Bindara Bicara Jujur

Beberapa bulan berlalu. Bindara mengundang Raden dan Jayeng ke kantor barunya—lebih kecil, lebih hangat, dengan rak buku yang mulai terisi bukan karena display, tapi karena dibaca. Di ruang rapat, ia mempresentasikan ulang proyeknya: tak lagi “Dubai kecil”, melainkan rusun menengah dengan ruang komunal, co-working sederhana, dan taman bermain.

“Market-nya jelas,” ia berkata. “Angsuran realistis. Gua nggak mau lagi jualan fatamorgana.”

Jayeng tersenyum. “Bahkan fatamorgana yang indah pun tak pernah bisa diminum.”

Raden mengangguk. “Selamat datang kembali, Dar.”

Mereka berpelukan—pelukan orang-orang yang berani memundurkan langkah agar kaki tidak patah. Setelahnya, mereka makan di warung tahu gejrot pinggir jalan. Bindara memotret, tapi tidak mengunggah. Ia hanya mengirim foto pada group kecil mereka bertiga. “Ini bahagia yang bisa dibayar kontan,” tulisnya.

.

Papaehan Kota

Kota ini akan terus bersinar seperti cincin tunangan—menggoda, gemetar, mengajak. Ia akan terus menjanjikan panggung lebih terang, sorotan lebih lama, tepuk tangan lebih deras. Tak apa. Kota memang begitu. Ia diciptakan untuk ramai.

Namun di antara ramai itu, selalu ada ruang kecil yang bisa kita klaim: ruang tamu pribadi, tempat kita menata kursi, menyajikan teh, dan berbicara jujur. Kita boleh kaya, boleh ambisius, boleh berkarier sampai puncak. Tapi biarlah manis tetap di cangkir—bukan di dahi.

Raden, Bindara, Jayeng, Wandansari, Ilalang, Siti, Kerta, Roro—mereka berjalan dalam ritme masing-masing. Ada hari pamer, ada hari diam. Ada sorot, ada teduh. Ada luka, ada garam, lalu ada sembuh.

Dan pada akhirnya, papaehan bukan berarti mematikan rasa, melainkan mematikan kebisingan yang menggelapkan rasa. Kita hanya perlu menutup satu jendela: jendela yang membuat kita lupa bahwa kita tak butuh rumput tetangga untuk menidurkan anak sendiri.

.

.

.

Jember, 4 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#PapaehanKota #CerpenKompas #KehidupanPerkotaan #KelasMenengah #GengsiSosial #SastraIndonesia #JeffreyWibisonoV #CeritaFilmis #UrbanLifeID

.

Kutipan-Kutipan sejalan dengan isi cerpen

  1. “Jangan tunjukkan manismu bila tak mau diganggu semut; letakkan manis di cangkir, bukan di dahi.”

  2. “Kaya bukan apa yang kau pamerkan, melainkan apa yang kau tahan untuk tidak kau pamerkan.”

  3. “Fatamorgana paling indah pun tak pernah bisa diminum.”

  4. “Papaehan: bukan mematikan rasa, melainkan mengecilkan volume bising di dada.”

  5. “Damai itu sering hadir ketika kita berani mundur sejengkal dari panggung.”

Leave a Reply