Dialog yang Tak Pernah Sejajar
“Kadang kita bukan sedang bicara,
tapi sedang berperang tanpa pedang.
Antara ego dewasa yang ingin logis,
ego orang tua yang ingin menang,
dan ego anak yang hanya ingin dipeluk.”
— @namakubrandku
.
Pagi di Jakarta selalu datang dengan dua wajah: sinar matahari yang menabrak kaca jendela apartemen di koridor Sudirman, dan notifikasi rapat yang bangun lebih dulu daripada penghuninya. Rara membuka mata saat cahaya tipis menyeberangi tirai, menyapu daftar to-do yang semalam ia tuliskan di balik kepala. Di layar ponsel: “Townhall 09.00,” “Client deck 11.30,” “Cek naskah kampanye 15.00.” Usia empat puluhan yang rapi dan fokus, ia bekerja sebagai konsultan manajemen komunikasi untuk beberapa perusahaan multinasional—seseorang yang hidup dari kalimat, bernapas lewat data, dan tumbuh di kebun tenggat waktu.
Panji baru menutup pintu beberapa jam sebelumnya—pulang dari bandara setelah seminggu bolak-balik Labuan Bajo. Arsitek yang jaraknya selalu diukur dengan site visit. Pada jam ini, ia masih tergulung letih. Dua anak mereka, Kirana dan Genta, menambat di pulau tidur masing-masing. Apartemen empat kamar, mobil listrik di slot parkir, tiga asisten rumah tangga dengan SOP yang ringkas—peta hidup yang tampak stabil, tenang, dan “berhasil.” Akan tetapi, di sela-sela pencapaian, ada sesuatu yang berderak tanpa suara. Mereka masih bicara, tapi entah sejak kapan berhenti mendengar.
.
Kantor Rara di lantai 38 selalu mengalahkan Jakarta dalam pertarungan jarak pandang. Di sana, langit lebih dulu jatuh ke laut kaca dibanding kota yang sibuk mengejar jam. Hari itu rapat besar: klien energi terbarukan yang hendak memperkenalkan ekosistem mobilitas bersih. Panji hadir sebagai konsultan eksternal desain pengalaman—ironi yang berjalan pelan: di ruang yang dikelola Rara, suaminya menjadi tamu yang dihormati.
Rara membentangkan presentasi. Nada suaranya tenang, ritmis; status ego Dewasa, kata teori Eric Berne, sedang bertugas penuh. Ia berbicara dengan peta perilaku konsumen, perbandingan biaya-manfaat, lintasan brand equity. Slide-nya tak mengejutkan tapi kuat—seperti tembok yang tahu kapan harus memantulkan suara.
Panji menatap layar, mengetuk-ngetuk pulpen, lalu berkomentar; suaranya jernih, sedikit cepat, menyiratkan ketegangan:
“Konsepnya bagus,” katanya, “tapi terlalu teoritis. Klien perlu solusi yang bisa jalan besok pagi. Bukan seminar dua semester.”
Ruang rapat menoleh ke dua poros yang mendadak bertabrakan. Rara menahan napas yang ingin naik, lalu meletakkannya kembali. “Masukan diterima,” ujarnya. “Tetapi data menunjukkan konsumen kita justru responsif ketika diberi konteks edukasi. Implementasinya bisa paralel.”
Ada tawa menetes dari pojok—kecil, sopan, seperti bunyi sendok pada gelas. Panji mengangguk, namun ketegangan di garis rahangnya tak surut. Sesi berakhir profesional, tetapi udara yang mereka bawa pulang tak lagi netral. Di lift, pantulan wajah mereka di kaca saling menghindar. Yang tersisa adalah pertanyaan kecil yang tajam: di antara kami, siapa yang lebih didengar?
.
Di meja makan malam, sup bayam mengepul. Kirana bercerita tentang lomba sains; ia berhasil membuat miniatur turbin sederhana dari kardus dan magnet kecil. Genta memutar-mutar sendok, menggambarkan ulang drama kejar-kejaran di lapangan sekolah yang baginya adalah film aksi terbaik minggu ini. Rara memberi ocehan pendek—“hebat, Nak”—sementara Panji menyisipkan gurau. Namun ada celah di tengah meja: tatapan yang tidak bersinggungan.
Saat anak-anak tidur, mereka berdua akhirnya duduk sejajar—setidaknya secara geografis. Panji mendahului:
“Aku cuma mau bantu, Ra. Jangan bawa ego kantor ke rumah.”
Rara menatapnya lama. “Aku tidak bawa ego,” ucapnya pelan. “Aku cuma ingin dihargai sebagai profesional. Bukan hanya sebagai istri yang pantas dimaklumi.”
Kata-kata itu berjalan sendiri, membiarkan keheningan mematangkan diri. Tidak ada yang menang. Tetapi ada sesuatu yang samar-samar kalah: kemampuan untuk saling menjadi manusia.
.
Minggu berikutnya, Rara mendatangi sesi coaching di sebuah rumah tua di Menteng. Halaman kecil dengan pohon ketapang yang sabar. Ruangannya terang, bau buku-buku yang lama hidup. Wiraraja—begitu nama lelaki paruh baya yang menjadi coach—menyambutnya dengan senyum yang lebih muda dari rambutnya.
“Kamu tahu teori Eric Berne?” tanya Wiraraja.
Rara mengangguk. “Dewasa, Orang Tua, Anak.”
“Bagus,” katanya. “Masalah komunikasi kerap lahir ketika status ego tidak sejajar. Orang bicara dari Orang Tua—menghakimi—lalu pasangannya menjawab sebagai Anak—membela diri, melawan. Keduanya lupa bertemu sebagai sesama Dewasa.”
Rara terdiam. Ia seperti sedang menonton ulang hidupnya: memperbaiki deck klien dengan rapi, namun membiarkan dialog rumah tercecer di lantai.
“Coba ini,” kata Wiraraja. “Alihkan ‘kamu selalu’ menjadi ‘aku merasa’. Ganti menilai dengan mengamati. Dan buat ritual lima belas menit tanpa gawai setiap malam. Bicara. Bukan untuk benar, melainkan untuk bertemu.”
Rara mencatat. Tapi di hatinya, catatan yang lebih tua kembali terbaca: adegan bertahun-tahun lalu ketika Panji melamar dengan cincin yang kebesaran setengah nomor; mereka tertawa, dunia sederhana dan murah. Sejak kapan tawa itu keluar dari rapat-rapat penting dan enggan pulang?
.
Panji, pada saat yang sama, bekerja di pinggir Depok merancang sekolah alam. Tanah yang ia injak adalah halaman masa kecilnya yang lain—tajuk-tajuk pohon, suara tukang, bau semen basah, dan garis-garis yang di kepalanya berubah jadi ruang. Di sana, kalimatnya lebih singkat, jawaban datang dalam bentuk paku dan meteran. Ia merasa didengar karena kejelasan terlihat—dinding berdiri, atap menutup, hujan pertama menepuknya seperti selamat datang.
Namun setiap sore, saat matahari menggeser warna keemasan di atas bukit, ada rasa yang ditarik ke apartemen kota. Rasanya seperti memanggil nama yang sama berkali-kali dan mendapat jawaban yang berbeda-beda. Rara sibuk. Ia juga sibuk. Mereka sibuk bersama—tanpa bersama.
Tiap kali gawai berbunyi, notifikasi yang muncul kerap berupa hal-hal logistik: “Makan malam di meja.” “Jangan lupa obat alergi.” “Kirana ada latihan.” “Genta bawa baju ganti.”
Kalimat-kalimat kurir yang cekatan, tetapi tak lagi punya ruang bagi pelukan.
Ia membuka galeri foto: Bali, Amed. Panji—kemeja linen, Rara—topi jerami, langit—warna yang tak bisa dilabeli. Di foto itu, suara mereka satu nada. Ia merindukan seseorang yang masih ada.
Di rumah, percakapan berikutnya pecah seperti hujan yang tak disangka-sangka. Panji pulang lebih cepat. Rara masih menatap layar, headphone menekan telinga, alisnya membentuk fokus. Panji menunggu di meja makan, menyeduh kopi, menutup ponsel. Jam bergerak, suara kota mendekat.
“Kita seperti dua profesional yang lupa jadi manusia,” katanya, tepat ketika Rara melepas headphone. Kalimat yang sudah ia latih sepanjang perjalanan tol.
Rara memutar kursi, menanggalkan kacamata. “Aku capek,” ujarnya, “capek menjelaskan dengan data saat yang kubutuhkan hanya dipeluk.”
“Dan aku capek,” jawab Panji, “capek merasa selalu salah ketika aku hanya ingin didengar.”
Keheningan yang lahir setelah itu bukan kosong; ia semacam jeda yang menghadirkan ruang. Rara berdiri, berjalan mendekat, duduk di samping Panji, menaruh kepala di bahunya. Ada sensasi yang akrab sekaligus baru: menyerah pada kelembutan.
“Aku takut,” bisik Rara.
“Takut apa?”
“Takut kalau kita habis.”
“Kalau habis,” kata Panji, “kita isi lagi. Dari awal.”
Ia mengangkat tangan, hati-hati, memeluknya. Di momen itu, dua orang dewasa kembali jadi anak: jujur, rapuh, asli tanpa peran. Bukan untuk menang, tetapi untuk pulang.
.
Ritual lima belas menit itu dimulai malam berikutnya. Mereka menamainya “Duduk Lurus”—sebuah lelucon kecil karena kebiasaan Panji yang selalu bersandar miring di sofa. Aturannya sederhana: tanpa gawai, tanpa solusi. Hanya kalimat dengan format “Aku merasa…” disusul satu kalimat harapan, lalu satu kalimat syukur.
Malam pertama, kalimat-kalimat tertatih:
“Aku merasa lelah.”
“Aku berharap kamu menatap mataku ketika aku bercerita.”
“Aku bersyukur kita masih di sini.”
Malam kedua, lebih lancar. Malam ketiga, mereka tertawa pada hal-hal kecil—Genta yang menyembunyikan kunci mobil di kotak Lego, Kirana yang ketagihan drama Korea dan mengarang ulang dialog untuk karya tulis. Pada malam keempat, Panji mengaku takut dimarahi dunia, sehingga kadang tanpa sadar ia menjadi Orang Tua yang kritis agar tak sempat dimarahi Rara lebih dahulu. Pada malam kelima, giliran Rara bercerita bagaimana ia ingin menang bukan karena arogan, melainkan karena lama hidup sebagai anak perempuan yang dituntut sempurna—kemenangan baginya adalah jaminan bahwa ia pantas.
Di tengah minggu, mereka memutuskan membuat “safe word”—kata sandi untuk memutus transaksi silang sebelum membara. Kata itu: “Wiraraja.” Setiap kali salah satu mulai menghakimi, yang lain akan berbisik “Wiraraja”—sebagaimana menyalakan lampu hazard di jalanan macet. Mereka juga mulai menandai kalender: Minggu pertama setiap bulan, kencan tanpa rencana; Minggu ketiga, sarapan dengan anak-anak di tempat yang belum pernah dicoba; setiap Jumat, berdoa masing-masing, lalu menceritakan apa yang diminta tanpa menilai isi permintaan.
Pelan-pelan, hal yang semula seperti genteng retak mulai tertutup lumut yang baik—hijau, menenangkan, memeluk rapuhnya rumah.
.
Suatu pagi, Kirana pulang membawa piagam perak dari lomba sains. Ia menulis di jurnalnya—tugas sekolah yang menuntut rutinitas menulis perasaan: “Mama dan Papa malam ini ketawa bareng. Mereka debat, tapi abis itu pelukan. Kayaknya itu namanya dewasa.”
Genta, di halaman belakang apartemen—yang sebenarnya hanya balkon panjang—mencoba menumbuhkan tomat ceri dari biji yang ia selamatkan dari salad makan malam. “Biar kayak sekolah alam Ayah,” katanya, dan Panji mengajarinya membasuh biji hingga bersih.
Rara mengantar Panji ke proyek Depok pada hari Sabtu yang lembut. Di lokasi, ia duduk di kursi lipat, menatap bangunan kayu yang makin nyata. “Aku baru mengerti,” ujarnya, “kenapa kamu selalu menuntut praktikal. Di sini, teori memang harus berubah jadi paku.”
Panji tertawa. “Dan aku juga belajar, bahwa paku yang salah bisa bikin seluruh struktur miring. Seperti data yang salah baca bisa menyesatkan keputusan.”
Mereka saling menatap, lalu menertawakan keberanian kecil untuk mengakui hal-hal yang dulu terasa seperti kekalahan.
.
Namun hidup bukan hanya rangkaian sore yang jinak. Pada satu rapat besar berikutnya—masih dengan klien energi—perbedaan kembali memercik. Panji merasa kampanye terlalu lambat; Rara bersikeras edukasi publik harus diukir konsisten. Suara mereka mulai naik; transaksi silang mengintip. Rara sempat menyentil: “Sudah lihat riset terbaru atau hanya feeling?”
Panji menggertak nafas, siap menembakkan balik: “Kamu ini—”
Wiraraja.
Kata itu melintas di ruang rapat seperti angin yang memadamkan sumbu. Panji menahan kalimatnya. Rara menutup laptop perlahan. Mereka berhenti seperti pengemudi yang baru menyadari lampu merah sudah lama menyala.
“Adjourn lima menit,” kata Rara pada tim.
Di pantry, di antara mesin kopi dan kulkas berdesis, mereka bercakap dengan format yang dilatih:
“Aku merasa terancam dianggap tidak kompeten,” kata Panji, “waktu kamu bilang ‘hanya feeling’.”
“Aku merasa diabaikan,” balas Rara, “ketika kamu menyebut pekerjaanku ‘seminar’. Itu menyentil sejarahku.”
Panji mengangguk. “Kalau begitu, apa harapanmu?”
“Aku ingin kamu bertanya dulu sebelum menyimpulkan. Tanyakan apa dasar keputusanku.”
“Aku juga,” kata Panji, “ingin kamu percaya bahwa kecepatanku bukan musuh ketelitianmu.”
Mereka kembali ke ruang rapat. Suara menurun, isi menguat. Tim menatap ke depan—bukan lagi ke dua orang yang bertanding, melainkan ke satu gagasan yang bertambah sehat.
.
Minggu-minggu berikutnya, hidup tidak menjadi mudah; ia menjadi mungkin. Mereka masih kelelahan oleh kota, oleh rapat, oleh tugas orang tua yang lebih ribet dari project timeline mana pun. Tetapi di sela-sela, selalu ada hal kecil yang menyelematkan: Kirana yang menempelkan sticky note di kulkas—“Terima kasih sudah berusaha saling dengar”—atau Genta yang menulis di kertas bergaris, “Ma, Pa, kalau berantem ingat tomatku ya. Disiram dikit-dikit tiap hari.”
Pada suatu malam yang hujan, petir memukuli jendela. Lampu redup, internet ngadat, kota memeram suara. Rara membacakan Kirana bab dari novel favoritnya. Panji dan Genta bermain ular tangga, tertawa pada kekalahan. Setelah anak-anak tidur, Panji memutar musik lembut yang mereka sukai sejak masa kuliah. Rara bertanya, “Kamu bahagia, Mas?”
Panji menatapnya. “Aku sedang belajar,” katanya, “dan itu rasanya mirip bahagia.”
Rara menyandarkan kepala di pundaknya. “Aku juga.”
.
Bulan bergeser. Pagi Jakarta tetap sinis. Malamnya tetap sulit. Tetapi yang berubah adalah cara mereka menaruh diri di dalamnya. Mereka memisahkan ruang kerja dari ruang pelukan, memindahkan beberapa proyek agar tak lagi tumpang-tindih. Rara menolak dua klien karena ingin pulang lebih cepat. Panji menambah seorang arsitek muda di timnya agar beban gambar terbagi.
Pada sebuah acara sekolah, Kirana menerima piala emas. Ia berdiri di panggung, menatap ke kursi penonton. Dua sosok yang dicintainya duduk berdampingan, saling menoleh, saling mengangguk kecil. Usai acara, Kirana menunjukkan jurnalnya pada Rara dan Panji. Di halaman itu ia menulis: “Dialog di rumah kami sekarang sejajar. Kadang, tetap tidak sejajar. Tapi selalu kembali diluruskan.”
Rara menatap kalimat anaknya. Ia merasakan sesuatu yang mirip dengan hari pertama ia menatap cincin yang kebesaran itu: harapan yang mengembang, canggung tetapi jujur. Tiba-tiba ia ingat sesi awal bersama Wiraraja—bahwa menjadi Dewasa adalah keberanian untuk menurunkan suara saat ego ingin meninggi, dan mengulurkan tangan saat gengsi mendorong untuk pergi.
.
Suatu Minggu sore, mereka mengunjungi Museum Nasional yang baru sebagian area dibuka kembali. Panji menunjuk arca-arca tua, menceritakan ulang kisah-kisah Menak yang melegenda dari tanah Madura yang keras namun hangat: Jayengrana yang kukuh, Retna Kencana yang cerdas, Wiraraga yang sabar. Rara menimpali dengan tafsir modern: betapa kisah-kisah itu sebenarnya juga tentang transaksi status ego—tentang orang dewasa yang nyaris kalah oleh anak kecil di dalam dirinya sendiri.
Di halaman museum, angin bergerak perlahan seperti penjelasan yang tidak memaksa. Mereka duduk bertiga; Genta berlari-lari mengejar bayangan, Kirana memfoto langit. Rara menoleh pada Panji.
“Kita tidak lebih pandai dari kisah-kisah lama,” katanya. “Tapi kita bisa lebih sadar.”
Panji mengangguk. “Sadar untuk mendengar.”
“Sadar untuk meletakkan pedang.”
“Sadar untuk memeluk.”
Mereka tertawa, pelan. Kota berisik, tetapi hati seperti ruang yang baru dipel.
.
Bertahun kemudian, ketika proyek Depok telah menjadi sekolah yang ramai oleh tawa, dan kampanye energi terbarukan berhasil melambungkan perilaku hijau di kota, Rara menulis sebuah esai singkat berjudul “Transaksi Sejajar” untuk majalah internal klien. Di paragraf terakhir, ia menulis:
“Dalam setiap hubungan—di rumah, di kantor, di jalan—kita sebenarnya sedang berbicara dengan bagian diri yang ingin didengar. Dewasa, Orang Tua, atau Anak. Ketika suara-suara itu saling menumpuk, ingatlah: turunkan nada, sebutkan rasa, tanyakan harap, dan akhiri dengan syukur. Tidak ada yang lebih profesional daripada keberanian untuk menjadi manusia.”
Panji membacanya di teras, kopi mendingin. Ia menulis pesan pendek: “Esaimu menepuk punggungku.”
Rara membalas: “Pelukanku lebih ahli.”
Panji tersenyum, meletakkan ponsel, dan masuk ke ruang tamu. Ia memeluknya—bukan untuk selesai, tetapi untuk terus.
.
Pesan Moral:
Cinta tidak otomatis menjadikan kita mahir berdialog. Tetapi latihan kecil, konsisten, dan penuh kesadaran—mengakui rasa, memeriksa ego, memberi jeda—mampu menata ulang cara kita saling hadir. Menjadi dewasa bukan soal menang berargumen, melainkan kemampuan merendahkan pedang di saat suara ingin meninggi, lalu menadahkan telapak agar hati sempat pulang.
.
.
.
Malang, 24 Oktober 2025
.
.
#DialogYangTakPernahSejajar #KomunikasiSejajar #KeluargaUrban #TransactionalAnalysis #EricBerne #MenakMadura #KisahKelasMenengah #JakartaLife #CerpenIndonesia #RelationshipSkills