Di Tahun Aku Memeluk Tenang

“Kadang, dengan kehilangan orang lain, kita akhirnya menemukan diri sendiri.
Kedamaian bukan hadiah tahun baru; ia adalah keputusan yang diulang setiap hari.”

.

Hujan turun pelan di atas Jakarta, sore itu. Dari jendela apartemen lantai dua puluh tiga, Raden Arga memandang ke bawah: lampu-lampu mobil menjalar di ruas jalan seperti aliran darah di tubuh raksasa yang kelelahan, tapi tetap dipaksa berlari. Asap tipis dari gelas kopi hitam di genggamannya naik perlahan, seolah menirukan helaan napasnya.

Apartemen itu rapi, dingin, nyaris terlalu bersih. Di rak buku, berjejer rapat laporan keuangan, buku-buku manajemen, dan jurnal bisnis. Di sisi lain, terselip beberapa buku sastra yang jarang tersentuh, hadiah dari seseorang yang pernah mengisi ruang itu—Raras.

Arga menatap punggung buku-buku itu lama, seolah di sana tersimpan jawaban mengapa tahun ini terasa begitu bising sekaligus sunyi.

Ini adalah tahun di mana ia kehilangan beberapa orang, tapi untuk pertama kalinya, ia menemukan kedamaian.

.

Arga lahir di Malang, dari keluarga keturunan Menak Malangan yang sejak dulu dikenal sebagai pengusaha tanah, kopi, dan properti. Kakeknya, Panji Kusumantara, membangun imperium bisnis dengan disiplin keras. Ayahnya, Raden Panji Anom, membawa bisnis keluarga masuk ke era modern, menambah portofolio hotel butik, katering korporat, dan sekolah vokasi pariwisata.

Dari kecil Arga diajarkan bahwa hidup adalah ajang pembuktian. Nilai rapor tak boleh turun, ranking harus terjaga, dan target-target hidup dibicarakan seperti KPI perusahaan.

Saat teman-teman SMA sibuk memilih jurusan dengan rasa ragu, Arga sudah “dipetakan”: S1 di luar negeri, S2 manajemen, lalu kembali menjadi konsultan yang nantinya akan menggarap ekspansi bisnis keluarga. Gagal bukan pilihan; ragu adalah kemewahan yang tidak dia miliki.

Ia berangkat kuliah ke Singapura, lalu melanjutkan ke Melbourne. Di sana, ia belajar bahwa dunia lebih luas dari angka-angka. Ia berkenalan dengan fotografi, ikut komunitas diskusi film, dan menulis jurnal kecil tentang perasaan-perasaan yang tak bisa dijelaskan lewat Excel. Tapi setiap kali ia hampir menuruti dorongan hati itu, terngiang suara ayahnya di telepon:

“Ingat, Ga. Keluarga kita tidak bisa hidup dari hobi. Tugasmu adalah meneruskan apa yang sudah dibangun.”

Arga mengemas mimpinya dalam rapi, menyimpannya di laci terdalam, lalu pulang.

.

Di Jakarta, ia bekerja di sebuah firma konsultan bergengsi. Gajinya besar, kartu namanya berkilau, dan jadwalnya padat. Kliennya adalah konglomerat properti, jaringan hotel internasional, dan start-up yang sedang mengejar valuasi. Di ruang-ruang rapat berpendingin udara dingin, Arga membahas strategi, menawar angka, dan mempresentasikan grafik pertumbuhan.

Di satu pertemuan, ia bertemu Raras Kusumawicitra, perempuan Yogyakarta yang juga berasal dari keluarga Menak Jawa. Raras mendirikan sekolah kreatif untuk anak-anak, menggabungkan seni, teknologi, dan kearifan lokal. Di tengah generasi yang dikejar ranking, Raras ingin menghadirkan ruang belajar yang memeluk keunikan anak.

Mereka bertemu ketika firma Arga diminta menyusun roadmap bisnis sekolah Raras yang sedang berkembang. Percakapan pertama mereka terjadi di sebuah kafe dekat Tugu Jogja, di sela-sela presentasi serius.

“Kenapa memilih bikin sekolah?” tanya Arga, kala itu. “Dengan latar belakang keluarga sepertimu, kamu bisa saja jadi direktur bank atau komisaris BUMN.”

Raras tersenyum, menatap secangkir teh panas di depannya.
“Aku capek melihat anak-anak dipaksa jadi ranking satu, tapi tidak pernah diajari berdamai dengan dirinya sendiri,” jawabnya. “Aku ingin membantu mereka belajar tanpa kehilangan jiwa. Pendidikan, buatku, harus menyembuhkan, bukan melukai.”

Kalimat itu menghantam Arga tanpa suara. Ia jatuh cinta, bukan hanya pada matanya yang ramah, tetapi pada keberanian perempuan itu untuk memilih jalan yang tak populer.

Hubungan mereka tumbuh pelan-pelan. Arga sering bolak-balik Jakarta–Yogyakarta; di sela-sela presentasi dan meeting, ia menyusupkan waktu menengok kelas-kelas kecil di sekolah Raras yang penuh mural warna-warni dan bunyi tawa anak. Raras pun sesekali ke Jakarta, menyempatkan menunggu Arga di lobby kantor sambil membawa bekal makan siang yang ia masak sendiri.

Mereka bertunangan setelah tiga tahun. Keluarga besar sepakat, nama mereka indah jika digabung: Raden Arga Kusuma dan Raras Kusumawicitra—perpaduan Menak Malang dan Menak Jawa, generasi baru yang terdidik dan mapan.

Semua tampak sempurna. Setidaknya dari luar.

.

Yang tidak terlihat adalah kalender Arga yang makin hari makin sesak. Target perusahaan meningkat, klien baru datang silih berganti. Promosi pun menjelang, tapi dengan syarat tak tertulis: siap bekerja lebih panjang, lebih keras, lebih cepat.

“Ini cuma sementara, Ras,” kata Arga suatu malam ketika menolak video call. “Begitu proyek ini selesai, aku janji kita liburan panjang.”

Raras mengangguk, mencoba mengerti. Tapi “sementara” itu terus diperpanjang. Tanggal tunangan berganti, tanggal pemotretan prewedding diundur, jadwal pertemuan keluarga di-cancel.

Puncaknya terjadi pada hari peresmian gedung baru sekolah Raras. Ia sudah meminta Arga datang tiga bulan sebelumnya, bahkan membantu memesan tiket pesawat. Di depan murid, orang tua, dan tamu undangan, Raras berdiri memberi sambutan. Di kursi yang seharusnya diisi Arga, hanya ada buket bunga besar dengan kartu: Maaf, Ras. Ada rapat mendadak dengan klien Singapura. Proud of you. – Arga.

Malamnya, mereka bertengkar via telepon. Tapi pertengkaran itu tidak diwarnai teriakan; justru penuh kalimat pelan yang menikam.

“Aku capek bersaing dengan laptopmu, Ga,” kata Raras, suaranya bergetar.
“Aku juga berjuang buat kita,” sahut Arga. “Ini semua untuk masa depan.”
“Kalau masa depan berarti aku terus sendirian di masa sekarang, buat apa?”
“Kenapa kamu tidak bisa mengerti kalau aku sedang di titik penting karierku?”
“Kariermu penting, aku mengerti. Tapi tolong tanya sekali saja: bagaimana kabar hatiku?”

Telepon berakhir dengan keheningan yang panjang. Beberapa minggu setelahnya, Raras meminta pertemuan di sebuah hotel kecil di Solo.

Di meja yang dingin dengan taplak putih, Raras meletakkan cincin tunangan mereka.

“Ga, aku tidak marah,” katanya pelan. “Aku hanya tidak sanggup hidup dengan seseorang yang selalu pergi meski fisiknya di sini. Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan membuat kita habis pelan-pelan.”

Arga menatap cincin itu seperti menatap masa depan yang retak.

“Aku bisa berubah,” ucapnya, hampir memohon.
“Kalau kamu berubah karena takut kehilanganku, nanti kamu akan membenciku,” jawab Raras. “Berubahlah kalau kamu benar-benar ingin. Untuk dirimu sendiri dulu.”

Ada jeda panjang.

“Anggap saja,” Raras menambahkan, “tahun ini adalah tahun kita sama-sama memilih damai. Kamu damai dengan ambisimu, aku damai dengan kesepianku. Kalau satu hari nanti jalan kita bertemu lagi, biarkan itu jadi urusan Tuhan.”

Air mata menumpuk di ujung mata Arga, tapi ia menahannya. Di keluarganya, laki-laki tidak boleh menangis. Ia hanya mengangguk, memaksa senyum yang patah.

Malam itu, ia pulang ke Jakarta dengan dada yang berat. Di pesawat, lampu-lampu kota di bawah terlihat seperti gugusan luka yang berkelip.

.

Beberapa minggu setelah putus, Arga berjalan tanpa tujuan di kawasan Kemang. Ia berhenti di depan sebuah kedai kopi yang baru direnovasi: Wedana & Co. Dinding bata ekspos, jendela besar, dan poster-poster musisi jazz. Di dalamnya, ia menemukan sosok yang tak asing.

“Jayengrana?”

Lelaki berkemeja flanel itu menoleh lalu tertawa kecil. “Raden Arga Kusuma. Anakku yang dulu selalu juara kelas sekarang jadi konsultan ibukota.”

Jayengrana adalah sepupu jauh sekaligus sahabat masa kecil Arga di Malang. Berbeda dengan Arga yang lurus mengikuti jalur keluarga, Jayengrana dulu terkenal sebagai si pemberontak—kuliah desain, kerja di agensi, lalu tiba-tiba pamit pulang kampung, belajar kopi, dan kembali ke Jakarta dengan kedai sendiri.

Keduanya duduk di sudut kedai. Aroma kopi Sumatra memenuhi udara. Jayengrana meracik pour-over pelan, lalu menyodorkannya pada Arga.

“Minum. Ini kopi dari lereng Kawi. Tanah yang sama dengan tempat kita main layang-layang dulu.”

Arga tersenyum tipis. Satu seruput, dan memori masa kecil berloncatan.

“Gimana hidupmu, Ga?” tanya Jayengrana.

Arga menjawab panjang. Tentang firma, tentang klien, tentang tekanan. Ia bercerita juga tentang Raras—tanpa dramatisasi, tanpa ingin dikasihani. Hanya fakta yang keluar bersama napas berat.

“Jadi,” simpul Jayengrana, “kamu berhasil sesuai standar keluarga. Tapi kamu kehilangan standar bahagia versimu sendiri.”

Arga terdiam.

“Dengar, Ga,” kata Jayengrana lagi. “Aku meninggalkan gaji besar dan kantor ber-AC bukan karena aku benci uang. Tapi karena aku muak hidup tanpa jiwa. Kakek kita dulu sering bilang, ‘menang tanpa ngasorake’. Kadang, untuk menang atas hidup, kita harus berhenti mengalahkan diri sendiri.”

“Lalu bagaimana dengan tanggung jawab pada keluarga?” tanya Arga.
“Tanggung jawab itu penting. Tapi ingat, kamu bukan hanya penerus bisnis—kamu juga manusia. Keluarga yang benar tidak menukar anaknya dengan laporan laba rugi.

Kalimat itu menamparnya pelan, seperti hujan sore yang dingin tapi menyegarkan.

Sejak hari itu, Wedana & Co. menjadi tempat Arga pulang setiap kali kantor terasa terlalu sesak. Ia belajar bahwa sunyi tidak selalu menakutkan; kadang, sunyi justru tempat hati mencari suara aslinya.

Jayengrana mengajarinya membuat kopi, bukan sekadar teori brewing, tapi filosofi di balik setiap seduhan.

“Kopi yang terlalu pahit bisa dilunakkan dengan waktu,” kata Jayengrana. “Hidup juga begitu. Kamu tidak perlu memaksakan semuanya selesai hari ini.”

.

Bulan-bulan berlalu. Firma tempat Arga bekerja mendapat proyek besar dari konsorsium pendidikan dan properti. Mereka ingin membangun jaringan kampus bisnis di tiga kota besar, termasuk Malang. Posisi Arga naik menjadi salah satu partner muda. Hartanya bertambah, investasinya di properti dan start-up F&B tumbuh manis. Secara finansial, ia melesat masuk kelas menengah atas mapan—apartemen mewah, mobil Eropa, saham, hingga rencana villa kecil di Batu.

Namun di tengah semua itu, ia mulai melakukan satu hal kecil yang bagi keluarganya terdengar aneh: ia mengurangi jam kerja sendiri.

Ia menolak beberapa meeting malam hari, mulai masuk terapi secara diam-diam, dan menerapkan waktu “tanpa layar” setiap malam. Ia juga membuka rekening khusus untuk proyek beasiswa kecil-kecilan, terinspirasi dari Raras yang dulu selalu menyisihkan dana untuk murid kurang mampu.

“Ini fase baru,” gumamnya pada diri sendiri. “Fase di mana aku belajar memilih, bukan hanya mengikuti.”

.

Suatu malam, firma mengadakan gala dinner di hotel bintang lima di kawasan SCBD. Ruangan itu penuh orang-orang bersetelan rapi, parfum mahal, dan tawa yang sedikit terlalu keras. Di panggung, MC mengumumkan penghargaan bagi partner berprestasi. Nama Arga disebut, tepuk tangan mengalun, kamera-kamera mengarah kepadanya.

Ia naik ke panggung, menerima plakat kaca dengan namanya terukir, dan berfoto. Semua tampak sempurna; tapi ketika ia menurunkan pandangan dari cahaya lampu ke ujung ruangan, ia merasa sesuatu masih kosong.

Setelah acara formal usai, Arga melipir ke balkon ballroom. Dari sana, ia bisa melihat kota yang dipenuhi gedung vertikal. Angin malam membawa sedikit sisa hujan.

“Keluar juga?” sebuah suara menyapanya.

Arga menoleh. Seorang perempuan berdiri di sana dengan gaun hitam sederhana, rambut dikuncir rendah. Di kartu namanya tertulis: Ken Rengganis – COO, JanmaEdu Tech.

“Aku selalu keluar ketika merasa ruangan terlalu penuh tapi perasaanku terlalu sepi,” kata perempuan itu, tersenyum. “Kamu?”

“Kurang lebih begitu,” jawab Arga. “Kadang aku merasa hidupku penuh orang, tapi aku sendiri entah di mana.”

Ken tertawa kecil. “Definisi klasik burnout kelas menengah atas ibu kota.”

Percakapan mereka mengalir. Ken bercerita bahwa ia dulu dosen di kampus negeri, lalu pindah ke start-up edutech yang menyediakan platform pembelajaran jarak jauh. Ia mengurus tim, investor, dan strategi ekspansi. Kesibukannya tidak kalah gila dari Arga, tetapi caranya memandang hidup berbeda.

“Aku pernah hampir kehilangan diriku sendiri,” aku Ken. “Dua tahun lalu, aku kerja tujuh hari seminggu. Sampai suatu hari aku bangun di UGD karena pingsan di kantor. Dokter bilang fisikku baik-baik saja. Masalahnya di kepala dan hati.”

“Apa yang kamu lakukan setelah itu?” tanya Arga.

“Aku berhenti sebulan penuh. Pergi sendirian ke desa di Banyuwangi, tinggal di homestay, bantu anak-anak setempat belajar online. Di sana aku belajar satu hal: kerja memang penting, tapi jiwa kita lebih penting lagi.

Arga diam. Kata-kata Ken seperti cermin yang menampakkan wajah lelahnya sendiri.

“Love should heal, not wear you thin,” ujar Ken pelan. “Bukan hanya cinta pada orang lain, tapi juga cinta pada diri sendiri.”

Malam itu, Arga pulang dengan pikiran berkecamuk. Pertemuan singkat di balkon itu menjadi semacam titik balik kedua setelah perpisahannya dengan Raras.

.

Beberapa minggu kemudian, Arga mengambil keputusan yang membuat ayahnya mengernyit: ia meminta pengurangan portofolio proyek. Bukan mundur dari firma, tetapi memilih menangani lebih sedikit klien dengan fokus pada sektor yang ia yakini: pendidikan, pariwisata berkelanjutan, dan usaha kecil.

“Kamu kan sudah mau jadi partner penuh,” protes ayahnya lewat telepon. “Ini kesempatan langka, Nak.”

“Aku tetap partner, Yah. Hanya saja aku tidak mau semua waktuku dihabiskan mengejar angka tanpa arah. Aku mau proyek yang memberi dampak, bukan hanya margin.”

Ada hening di seberang. Lalu suara Panji Anom terdengar lebih pelan dari biasanya.

“Kakekmu dulu punya mimpi membuka sekolah tani untuk anak-anak desa,” katanya. “Tapi zaman dulu tidak mudah. Kalau kamu sungguh ingin jalur pendidikan, mungkin ini waktunya keluarga kita membayar utang pada mimpi yang dulu tertunda.”

Arga tertegun. Di balik disiplin keras, ternyata masih ada ruang lembut di hati ayahnya.

“Lakukan saja dengan sungguh-sungguh,” tambah Panji. “Dan jangan lupa, menang bukan soal seberapa tinggi kamu berdiri, tapi seberapa banyak orang yang bisa kamu angkat bersama.

Kali ini, Arga yang mengangguk sambil menahan haru.

.

Perubahan hidupnya membawa perubahan cara ia memandang hubungan. Ia dan Ken makin sering bertemu—awalnya untuk diskusi proyek; firma Arga membantu JanmaEdu menyusun strategi ekspansi ke kota-kota satelit. Namun perlahan, obrolan mereka menjelajah hal-hal di luar pekerjaan: buku, film, musik, masa kecil, hingga luka-luka yang tidak pernah sempat mereka urai.

Suatu malam di Wedana & Co., di bawah lampu kuning temaram, Ken menatap mural kopi di dinding dan berkata:

“Kamu tahu, Ga, kadang yang membuat kita sakit bukan orangnya, tapi pola yang kita biarkan terus berulang. Pola menyenangkan semua orang, misalnya. Pola takut mengecewakan keluarga. Atau pola memilih hubungan yang terlihat sempurna, tapi mengabaikan isi hati.”

Arga mengaduk lattenya pelan.

“Aku pernah berjanji pada diriku sendiri,” lanjut Ken, “bahwa kalau aku memasuki hubungan baru, aku ingin masuk dengan hati yang sudah dipeluk, bukan hati yang meminta diselamatkan.”

“Masuk dengan hati yang sudah dipeluk,” Arga mengulang kalimat itu, menyimpannya.

Sejak itu, ia berhenti buru-buru menamai kedekatan mereka. Ia belajar berjalan pelan—membiarkan proses menyembuhkan luka sebelum membuka pintu baru.

.

Di sela kesibukan, Arga merencanakan perjalanan singkat ke Malang. Ia ingin menengok rumah tua peninggalan kakeknya yang kini dijadikan homestay butik. Di sana, ia bertemu dengan Pakde Panji Sembrani, sepupu ayahnya yang kini mengelola homestay itu.

“Ndoro Arga kok sendirian?” tanya Pakde sambil menyuguhkan teh jahe di beranda yang menghadap kebun kopi. “Biasanya kalau pulang ditanya kapan bawa calon mantu.”

Arga tertawa hambar. “Calonnya sudah memilih jalan sendiri, Pakde.”

Pakde Sembrani mengangguk, bukan dengan rasa ingin tahu, tapi dengan pengertian.

“Dalam hidup, kita kadang diberi dua pilihan sulit,” ucapnya. “Mempertahankan yang membuat hati kita sempit, atau melepaskan untuk memberi ruang bagi napas sendiri.”

“Kalau melepaskan berarti kehilangan orang yang baik, bagaimana, Pakde?”
“Orang baik tidak selalu harus tinggal dalam hidup kita, Nak. Kadang mereka datang hanya untuk mengajarkan pelajaran penting, lalu melanjutkan perjalanan. Yang harus tinggal adalah kebaikan yang mereka tinggalkan.

Arga menunduk. Hujan tipis mulai turun di kebun, menimpa daun-daun kopi.

Malam itu, di kamar dengan dinding kayu yang hangat, Arga membuka jurnalnya. Ia menulis:

“Tidak setiap ikatan dibangun untuk selamanya. Beberapa putus untuk membebaskan kita dari masa lalu, agar kita berani melangkah ke masa depan dengan ringan.”

Ia menutup buku itu dengan hati yang sedikit lebih damai.

.

Sekembalinya ke Jakarta, hidup Arga memang tidak tiba-tiba menjadi sempurna. Kadang ia masih terbangun dengan rasa kosong, kadang ia masih tergoda bekerja berlebihan, kadang bayang-bayang Raras datang dalam mimpi. Namun ada perbedaan: ia kini menyadari apa yang ia rasakan, bukan menyapunya di bawah karpet kesibukan.

Ia rajin datang ke sesi konseling, belajar memberi batas antara kerja dan hidup pribadi, dan perlahan-lahan memperbaiki hubungan dengan keluarganya. Ia juga membuka program mentoring kecil-kecilan untuk mahasiswa dan UMKM yang ingin belajar manajemen bisnis tanpa biaya mahal. Di sana, ia menemukan kepuasan jenis baru: melihat orang lain tumbuh, bukan hanya melihat angka omzet naik.

Suatu hari, Raras mengirim pesan singkat dari Ubud: foto anak-anak bermain di halaman sekolah barunya, dengan caption, “Terima kasih ya, Ga. Dulu strategi bisnismu membantu memulai semua ini. Semoga kamu juga menemukan tempat di mana hatimu bisa pulang.”

Arga membalas dengan gambar sore kota Jakarta yang keemasan. “Aku sedang belajar. Pelan-pelan.” Tidak ada janji kembali, tidak ada kalimat dramatis. Hanya dua orang dewasa yang saling mendoakan dari jauh.

.

Menjelang akhir tahun, JanmaEdu dan homestay keluarga di Malang berencana membuat program “Peaceful Learning Retreat” bagi profesional muda yang lelah dengan hiruk-pikuk kota. Arga bertugas menyusun konsep bisnisnya, Ken mengisi materi soal kesehatan mental dan karier, sementara Jayengrana menyediakan sesi coffee meditation di pagi hari.

“Lucu ya,” kata Ken saat mereka berdiri di rooftop sebuah hotel, memandang Jakarta di malam terakhir tahun itu. “Kita semua hidup dari dunia bisnis, tapi sekarang justru mengajarkan orang berhenti sebentar dari kejar-kejaran itu.”

“Barangkali memang begitu putaran hidup,” jawab Arga. “Kita perlu melewati kebisingan sebelum benar-benar mengerti nilai hening.”

“Kamu menyesal?”
“Menyesal kehilangan beberapa orang, iya,” Arga jujur. “Tapi aku tidak menyesal belajar melepaskan. Tanpa itu, mungkin aku tidak akan sampai di titik ini.”

Ken memandang langit yang mulai dihiasi kembang api dari kejauhan.

“Kamu tahu, Ga,” katanya pelan, “menurutku kedamaian itu bukan berarti hidup tanpa masalah. Kedamaian adalah ketika hatimu tetap tenang meski masalah datang bergantian, karena kamu percaya pada dirimu sendiri dan pada Tuhan.”

Arga menarik napas panjang, merasakan kalimat itu merembes masuk ke relung hatinya.

“Kalau begitu,” katanya, “tahun ini adalah tahun aku belajar percaya.”

.

Menjelang tengah malam, Arga kembali ke apartemennya. Ia membuka jurnal yang hampir penuh. Di halaman terakhir, ia mulai menulis catatan penutup tahun.

“Tahun ini aku kehilangan beberapa orang di sepanjang jalan,
tapi aku berhasil menjaga kedamaianku di penghujung hari.
Tidak setiap ikatan diciptakan untuk bertahan;
sebagian melepaskan kita dari masa lalu agar langkah menjadi ringan.”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan:

“Tahun ini mengajariku seni pelan memilih tenang demi menjaga hati.
Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan membuat kita habis perlahan.
Kedamaian adalah rumah tempat cinta sejati berani dilahirkan.”

Di baris terakhir ia menulis:

“Kini memasuki tahun yang akan datang,
aku memeluk tenang seperti sesuatu yang sangat berharga—
bukan sebagai pelarian, tapi sebagai cara baru menjalani hidup.”

Arga menutup jurnal itu dan tersenyum. Hujan telah reda. Dari jendela, langit Jakarta tampak lebih bersih, meski tetap bising oleh bunyi kembang api dan klakson. Namun kali ini, di dadanya tidak lagi ada perang.

Hanya ada satu keputusan yang terus diulang:

Ia memilih damai.
Hari ini. Besok. Dan seterusnya.

.

.

.

Malang, 12 Desember 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #SastraKompas #TahunAkuMemilihDamai
#UrbanMiddleClass #HealingJourney #MenakJawa #MenakMalangan
#MentalHealthAwareness #JeffreyWibisonoStyle #PeaceOverDrama

Leave a Reply