Di Mana Air Mata Jatuh
“Tidak ada yang benar-benar kuat. Kita hanya pandai menyembunyikan luka, sampai waktu dan tempat memutuskan kapan air mata itu jatuh.”
.
Kota ini bernapas memakai mesin. Pagi ditiupkan oleh suara kompresor kios cuci motor, siang diaduk oleh kipas pendingin gedung jangkung, dan malam diberi ritme oleh knalpot yang tak kunjung reda. Di balik bunyi-bunyi itu, ada empat manusia yang berupaya menjadi biasa-biasa saja, meski hidup diam-diam mengganggu mereka seperti nyamuk yang tak terlihat.
.
Abdurrahman
Abdurrahman memutar kunci mobilnya seperti orang menyalakan doa. Brak—mesin menyala, pendingin udara berdengung, dan layar ponsel di dashboard menampilkan notifikasi: Insentif akan turun jika menyelesaikan 12 perjalanan sampai pukul 23.59. Ia membuka jendela sebentar, membiarkan aroma soto dari warung tepi jalan masuk, lalu menutupnya lagi. “Bismillah,” gumamnya.
Usianya empat puluh dua, bekas kuli pelabuhan yang berubah menjadi sopir taksi online sejak pandemi menjungkirbalikkan segala hal. Di dompetnya ada foto anak lelaki berambut ikal—Jakfar—yang tinggal bersama ibunya di Pamekasan. Perceraian itu tidak gaduh, tetapi meninggalkan retak yang panjang. Ia bekerja mengumpulkan retak-retak itu, berharap suatu hari bisa menyambungnya menjadi jembatan pulang.
Pagi itu, langit Jakarta seperti kertas yang dilapisi asap. Abdurrahman menjemput penumpang pertama di tepi Kali Ciliwung yang dikerumuni bangau. Seorang perempuan berpakaian olahraga membuka pintu dan duduk tanpa menatapnya. “Kemang Village, Pak.”
“Siap, Bu.”
Perjalanan dimulai. Di radio, penyiar membacakan berita harga beras yang naik. Perempuan itu membuka kotak makanan, menyuapinya pelan sambil menahan dengus. Dari spion, Abdurrahman melihat matanya berkaca. “Macetnya, ya Allah,” katanya, entah pada jalanan atau pada hidupnya sendiri.
Abdurrahman mengangguk. Ada jenis kesedihan yang berbau sama di mana-mana: seperti nasi yang hampir hangus, seperti kopi yang terlalu lama dihangatkan. Orang bisa merasakannya dari nafas orang lain.
Ia mengantar penumpang kedua ke RSUD Pasar Rebo—seorang lelaki yang lututnya dibalut perban. “Kecelakaan kecil,” ujar lelaki itu, “tadi ngerem mendadak karena kucing.” Abdurrahman menahan senyum. Kucing tentu tidak salah; jalananlah yang selalu tergesa.
Di perjalanan ketiga, notifikasi lain datang: Jakfar: Abah, aku ranking tiga. Foto raport menyusul, diambil miring-miring. Abdurrahman menepikan mobil, menatap foto itu lama-lama, lalu menutup mata. Dalam gelap, ia melihat Jakfar kecil berlari di gang, sandal jepitnya menampar air hujan, mulutnya berteriak, “Bah!” Ia mengusap pipi. Tak ada air mata. Belum.
.
Rara
Di apartemen mungil lantai sembilan Kalibata City, Rara menggulung kabel charger seperti menggulung sisa hari. Ia memilih baju kerja, kemeja biru muda yang selalu membuatnya tampak lebih siap daripada perasaannya. Di kaca, wajahnya terlihat tegar, rahang mengetat, bibir diberi sedikit warna. Ia menyemprot parfum tipis. Di layar ponsel, ada nama yang belum dibalas: Wong Agung.
Empat tahun berpacaran dengan Wong Agung, manajer proyek yang telah mengajarinya membedakan pelan-pelan antara ambisi dan kebahagiaan. Belakangan, obrolan mereka mirip rapat: jadwal, target, rencana. Rara kadang-kadang ingin kembali menjadi dua anak yang saling berbagi gorengan di halte bus—mudah, jujur, remeh-temeh yang manis. Namun semakin tinggi mereka memanjat karier, semakin sempit ruang untuk bicara hal-hal kecil.
Pukul delapan lewat tiga, Rara memesan taksi online. Ia turun ke lobi, melewati agen pengiriman barang, ibu-ibu yang menenteng tas belanja, dan pasangan yang sedang berdebat soal tarif ojek. Jakarta meneteskan cairannya sendiri: keringat, bensin, kecap.
Di perjalanan, Rara membuka percakapan terakhir dari Wong Agung: “Maaf, aku harus ke Surabaya dua minggu. Tender besar. Nanti kita bahas rencana itu setelah aku kembali.” Rencana itu berarti menikah. Rara tak punya keinginan glamor; ia hanya ingin pulang ke rumah yang ada suaranya.
Mobil berhenti di lampu merah. “Mbak kerja di Kuningan?” tanya sopir.
“Ya, Pak.”
“Semoga harinya lancar.”
Rara menoleh. Mata sopir itu teduh dan lelah sekaligus, seperti pohon yang berdiri terlalu lama di jalan besar. “Amin, Pak,” jawabnya, lalu menengok ke jendela. Di trotoar, seorang kakek penjual balon menyipit menatap matahari. Rara membayangkan: jika balon-balon itu adalah rencana, apakah cukup kuat untuk membuat mereka mengapung?
.
Umar
Sementara itu, Umar menyiapkan sepatu hitamnya yang sudah digosok malam sebelumnya. Ia satpam mal di kawasan Manggarai, pindah dari Sumenep tiga tahun lalu. Di dapur sewaannya yang langsing seperti amplop, istrinya, Maya, menyiapkan nasi dengan irisan tempe dan sambal tomat. Putrinya, Nur Zulaikha, menempelkan stiker bintang di helm ayahnya.
“Kamu harus pulang malam ini?” tanya Maya.
“Lembur sampai satu,” jawab Umar, “ada midnight sale.”
Maya mengangguk. “Nur demamnya sudah turun. Tapi obatnya tinggal dua.”
Umar mencium kening anaknya. Hidung kecil itu panas sedikit. Ia memasukkan selembar uang lima puluh ribu ke saku Maya. “Buat cadangan.”
“Tabunganmu nanti habis, Umar.”
“Rezeki bisa dicari. Demam anak harus segera turun.”
Ia keluar rumah. Jalanan sempit yang ditanami pot bekas cat mengantarnya ke jalan besar. Di warung kopi, televisi memutar sinetron pagi. Umar menyalakan motor butut yang suaranya seperti kucing tua. Ia melaju, memotong antrian bus, menyelinap di antara dua mobil mewah. Di helmnya, ia menyimpan satu-satunya ruang untuk meneteskan air mata jika diperlukan.
.
Siti
Di Rawamangun, Siti menyelesaikan catatan anatomi. Matanya berair bukan karena kantuk, melainkan karena berita dari ibu: sawah terakhir sudah dijual. “Untuk semester ini, Nduk,” kata ibu lewat telepon, “nanti kalau kamu sudah jadi dokter, sawah kita diganti dengan kebun buku.” Ibu tertawa setengah menangis. Siti diam.
Ia menatap poster kecil di dinding: The body keeps the score. Tubuh mengingat semuanya, juga utang budi. Siti menatap kedua telapak tangan—kecil dan kurus—seolah mencari garis takdir. Ia ingin bisa menyembuhkan orang; ironisnya, ia tidak tahu cara mengobati perih di dalam dada sendiri.
Sore itu ia naik TransJakarta ke kampus, berdiri di dekat jendela. Seorang bapak-bapak tertidur sambil memeluk tas belanja, seorang anak SMA bermain gim tanpa suara, seorang ibu mengelus perut hamilnya seraya menatap awan. Siti membayangkan dirinya sebagai bagian dari potongan film panjang yang tak pernah ia sutradarai.
Di halte, ia turun, melangkah pelan, menghafal anatomi tulang tangan sambil menenangkan napas. Caput ulnae… os scaphoideum… Kata-kata Latin itu seperti mantra untuk melupakan sementara.
.
Pertemuan Pertama: Jalan Layang
Malam memanjangkan bayangan. Selepas lembur, Rara memesan perjalanan pulang. Yang menerima: Abdurrahman. “Kalibata City, ya, Mbak?” katanya ramah.
“Ya, Pak. Terima kasih.”
Di lampu merah dekat Mampang, motor Umar berhenti di sisi kanan mobil Abdurrahman. Helmnya dihiasi stiker bintang, yang memantul terkena lampu-lampu. Umar menatap lurus, tangan kirinya sedikit bergetar. Ia baru saja mendapat kabar dari Maya bahwa Nur muntah. Obat di warung dekat kontrakan habis. Klinik 24 jam bisa, tapi biayanya… Ia menggigit bibir.
Abdurrahman melirik lewat kaca spion. Ia mengenali raut seperti itu: raut orang yang sedang menghitung sesuatu yang tak imbang. Rara di kursi belakang memegang ponsel, mengetik: “Agung, kamu sudah makan? Aku ingin bicara sebentar… kapan saja bisa.” Pesan itu dibiarkan menggantung tanpa terkirim. Ia takut pada jawaban.
Lampu hijau menyala. Motor Umar melesat duluan. Abdurrahman mengikuti. Di radio, lagu lawas “Hujan di Bulan Juni” mengalun. “Mbak mau ganti lagu?” tanya Abdurrahman.
“Tidak usah, Pak. Biar saja.”
“Lagu ini kesukaan saya waktu muda,” kata Abdurrahman setengah tertawa. “Waktu masih percaya bahwa hujan bisa menumbuhkan apa saja, termasuk yang tidak mungkin.”
Rara spontan tersenyum kecil. “Sekarang?”
“Sekarang saya percaya hujan membuat kaca depan basah. Harus sering-sering menyalakan wiper.”
Rara tertawa pelan, suara yang terdengar seperti payung dibuka.
.
Retak-Serpih: Malam Membuka Luka
Malam makin padat. Jalanan seperti usus kota yang mencerna semua yang dilalui. Di Cikini, Abdurrahman menepi sebentar karena pesan dari kampung: “Bah, ranking Jakfar dibacakan minggu depan. Kalau bisa telepon video ya.”
Ia membaca pesan itu tiga kali, lalu menatap lampu-lampu. Rara memperhatikan lewat spion; ada kilat kecil yang cepat padam di mata sopirnya. “Anak Bapak?” tanya Rara.
Abdurrahman mengangguk. “Kelas tiga SD.”
“Wah, hebat sekali.”
“Saya jarang pulang,” ucapnya lirih, “semoga ia tidak lupa suara saya.”
Rara menelan ludah. “Orang lebih mudah mengingat suara daripada kata-kata, Pak.”
Abdurrahman menoleh sejenak, matanya tersenyum. “Mbak pintar juga.”
Di pihak lain, Umar menyalakan motor lagi setelah menerima transfer lima puluh ribu dari seorang teman pos ronda. “Untuk beli obat dulu,” pesan temannya. Umar berterima kasih dengan emoji tangan menangkup. Di lampu merah berikutnya, ia berhenti dan menunduk, membiarkan dua tetes air mata jatuh pada jaketnya. Tak ada yang melihat; bahkan ia sendiri seperti enggan mengakui.
.
Siti dan Hantu-Hantu Sunyi
Di kamar kosnya, Siti mematikan lampu. Suara kipas angin berputar seperti jam pasir. Ia memejamkan mata, namun gambar sawah terakhir—yang dulu tempatnya mengusir capung—mengikuti sampai ke mimpi. Ia melihat ayahnya menggulung tikar, ibunya menyeka peluh, dan dirinya kecil mengejar belalang.
“Selesai sekolah, kamu boleh menangis,” kata suara ibu di kepalanya.
Siti terbangun. “Boleh menangis sekarang?” tanyanya pada kegelapan. Tidak ada jawaban. Ia menutupi wajah dengan selimut, bahunya bergetar. Ada air mata yang mengetuk pelipis, jatuh di bantal, mengering menjadi peta kecil. Jika ada yang menemukannya esok hari, orang itu akan bisa membaca rute menuju hatinya.
.
Persinggungan Kedua: Gerimis
Gerimis turun, halus seperti debu basah. Abdurrahman menurunkan kecepatan. Rara memeluk tas kerjanya, mengirim pesan yang tadi ditahan: “Aku ingin bicara.” Dikirim. Dua tanda centang biru muncul, lalu lenyap. Hening.
“Pak,” kata Rara, “Bapak pernah kehilangan sesuatu yang penting?”
“Sering,” jawab Abdurrahman, “Tapi lebih sering pura-pura tidak kehilangan.”
“Kenapa?”
“Supaya bisa bekerja.”
Rara mengangguk, menatap luar jendela. Di bawah jembatan, seorang gelandangan menutup badannya dengan karung. Rara teringat ibunya yang tinggal di Jember, suka mengirim pesan suara berisi doa pendek. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri, Ra,” begitu selalu katanya. Rara menyalakan pesan itu diam-diam, membiarkan doa ibunya mengaburkan suara wiper.
Umar melintasi mereka lagi. Di jok, ia menyelipkan obat sirup rasa stroberi untuk Nur. Dia memikirkan cara pulang cepat, tetapi shift-nya belum selesai. Ia menatap langit: ada kabut lampu membentuk halo. “Tolong jagakan rumahku,” gumamnya pada sesuatu yang tidak terlihat.
.
Titik Tumpah
Sebuah kejadian kecil—sepele, nyaris konyol—sering kali menjadi titik tumpah bagi air mata yang ditahan terlalu lama. Bagi Abdurrahman, itu adalah saat seorang penumpang remaja naik sambil membawa sepotong kue ulang tahun, lilinnya masih menyala. Ia naik bersama kekasihnya, saling berbisik tentang kejutan untuk ibunda. “Semoga beliau panjang umur,” ucap Abdurrahman saat mereka turun. Remaja itu mengangguk, lalu menghilang ke lorong apartemen.
Abdurrahman menatap sisa lilin yang menetes di tisu. Ia teringat ibunya yang meninggal lima tahun lalu, seminggu setelah ia gagal pulang karena tak ada ongkos. Tiba-tiba, dunia seperti dijeda: wiper berhenti, klakson mengecil, dan ia menunduk pada kemudi. Tidak keras, hanya desis yang tertahan—namun cukup untuk menggetarkan dada. Air mata jatuh lalu menghilang, menyatu dengan aroma kabin mobil dan suara hujan.
Bagi Rara, titik tumpah itu adalah notifikasi balasan: “Maaf, kita tunda bicara. Aku belum siap.” Ia menatap kalimat pendek itu, lalu mengetik cepat: “Aku sudah menunggumu terlalu lama.” Dikirim, dihapus, dikirim lagi. Air matanya merembes, menyusuri pipi, jatuh di punggung tangan. Ia mendongak ke langit-langit mobil, menahan suara. Di kepalanya, kota memekik.
Bagi Umar, titiknya adalah telepon video yang akhirnya ia lakukan dari basement mal. Nur tersenyum dengan bibir pecah-pecah. “Ayah, obatnya manis,” katanya. Maya di belakang melambaikan tangan. Kamera goyah, sinyal nyaris putus. “Ayah kerja dulu, ya,” kata Umar, “Bintang kecil di helm ayah itu dari kamu. Supaya ayah tidak takut gelap.” Setelah panggilan terputus, Umar bersandar pada tiang beton, menatap sepatunya. “Jangan jatuh sekarang,” katanya pada air matanya sendiri.
Bagi Siti, tumpahnya hanya karena sebuah kalimat di buku psikiatri: “Crying is a normal physiological reaction to emotional stress.” Ia membaca keras-keras, seperti menghafal definisi. “Menangis adalah reaksi fisiologis normal terhadap stres emosional.” Kalimat itu merupakan izin tertulis; ia menangis, lama, sampai tenggorokannya perih. Lalu, entah bagaimana, setelah itu ia tidur.
.
Malam yang Memperkenalkan
Sekitar pukul sebelas, Rara meminta Abdurrahman berhenti di minimarket dekat kontrakannya. “Pak, boleh saya bayar tunai?” tanya Rara.
“Boleh.”
Rara turun, kembali dengan dua botol teh hangat kaleng. Ia mengulurkan satu. “Untuk Bapak.”
“Wah, terima kasih, Mbak.”
“Bapak lahir di mana?” tanya Rara setelah duduk.
“Madura.”
“Nama Bapak mengingatkan saya pada kisah Menak yang pernah diceritakan orang tua saya—tokoh-tokoh dengan nama indah, hidup berat, tapi hatinya luas.”
Abdurrahman tertawa kecil. “Saya tidak seluas itu, Mbak. Tapi saya senang masih bisa tertawa.”
“Di kantor,” Rara menatap kaleng teh, “kami diajari ‘resilience’—ketahanan. Saya kadang heran, bagaimana caranya orang-orang bertahan.”
“Dengan saling menunggu,” jawab Abdurrahman, spontan, bahkan membuatnya sendiri kaget. “Menunggu orang yang kita sayangi pulang, menunggu hujan reda, menunggu lampu hijau. Orang bertahan karena mereka punya sesuatu untuk ditunggu.”
Rara mendekap tasnya. Ia sebenarnya ingin bertanya: “Bagaimana jika yang ditunggu tidak pernah datang?” Namun ia urungkan. Kaleng teh hangat di tangannya lebih aman daripada jawaban.
.
Insiden Kecil yang Menghubungkan
Ketika mobil melaju lagi, sebuah motor tiba-tiba memotong jalur dari kiri. Abdurrahman mengerem. Rara memegang dashboard. Motor itu sempoyongan, tetapi tidak jatuh. Helmnya bersinar karena stiker bintang—Umar. Ia menoleh, memberikan isyarat maaf, lalu menepi di bawah lampu jalan.
“Kenapa dia menepi?” tanya Rara.
“Mungkin rantainya.”
Abdurrahman ikutan menepi. Rara ragu, tetapi mengangguk ketika Abdurrahman membuka sabuk pengaman. Mereka mendekati Umar yang sedang memeriksa rantai. Ternyata sekrup kecil terlepas. “Ada obeng kecil, Pak?” tanya Abdurrahman.
Umar tersenyum gugup. “Ada, tapi kependekan.”
“Ini.” Abdurrahman menawarkan obeng multi-fungsi dari laci mobil. Umar memperbaiki sebentar. Gerimis masih turun, mengilap di jaket mereka. Rara memayungi dari samping. Setelah selesai, Umar membungkuk. “Terima kasih, Pak, Mbak. Saya… saya harus cepat ke pos. Anak saya sakit, jadi pikiran kacau.”
Rara terpaku. “Semoga lekas sembuh, Pak.”
Umar mengangguk. “Amin.”
Mereka kembali ke kendaraan masing-masing. Namun sebelum pintu mobil tertutup, Umar mengetuk jendela. “Maaf, boleh saya titip doa? Anak saya Nur Zulaikha. Sakit demam.”
Abdurrahman menatap Rara. Rara mengangguk. “Kami doakan,” katanya. Umar mengangkat helmnya sedikit, memperlihatkan mata yang basah.
Setiba di apartemen, Rara menambahkan satu kalimat dalam catatan ponselnya—kebiasaan lama yang jarang ia lakukan lagi: “Malam ini, sebuah obeng kecil menghubungkan tiga orang asing. Kadang yang menyambungkan kita bukan hal besar, melainkan sekrup 8 mm yang hampir jatuh.”
.
Besok yang Datang Seperti Biasanya
Pagi membawa jam-jam wajar. Rara bangun, menyiapkan kopi, dan—di sela suara tetangga mengeringkan handuk—menulis pesan pada Wong Agung: “Jika rencana itu membuatmu berat, lepaskan. Aku ingin yang pulang bukan karena target, tapi karena lega.” Ia tidak mengirimnya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk menunggu kepulangan Wong Agung, satu kali ini, untuk bicara di meja yang sama dengan mata saling menatap. Jika tidak, ia akan belajar merelakan.
Abdurrahman menjemput penumpang dari Sudirman ke Sunter. Di tengah perjalanan, ia menerima pesan suara dari Jakfar: “Bah, minggu depan aku ulangan lagi. Doain, ya.” Suara itu jernih, seperti air dari sumur dalam. Abdurrahman berhenti di rest area kecil, membeli kartu data, lalu menelepon video. Wajah Jakfar memenuhi layar, gigi depannya ompong satu. “Kapan Abah ke sini?” tanyanya.
“Sebentar lagi,” kata Abdurrahman. “Abah cari rezeki dulu.”
“Kalau Abah datang, aku mau ajak makan soto bebek.”
Abdurrahman tertawa. “Siap, Jaka.”
Umar pulang lewat gang setelah shift panjang. Di depan kontrakan, Maya menunggu sambil mengipasi Nur yang terlelap. “Demamnya turun,” kata Maya. Umar menaruh helm, duduk di lantai, lalu—entah kenapa—menangis. Bukan tangis yang ribut, melainkan seperti hujan rintik di kebun. Maya membiarkannya, tangannya mengelus punggung Umar. “Sudah,” katanya, “Sebagian dari kuat adalah tahu kapan harus menangis.”
Siti bangun, wajahnya berbekas bantal. Ia menyalakan ponsel: ada pesan dari dosen pengampu yang menawarkan beasiswa asisten riset. “Kamu nilai patologi bagus. Mau ikut?” Siti memandang jendela. Cahaya pagi menyelinap seperti kucing putih. Ia tersenyum, pertama kali dalam sepekan. “Saya mau, Bu. Terima kasih.”
.
Hari-hari Baru
Minggu berikutnya, Abdurrahman menabung lebih keras. Ia memangkas rokok menjadi dua batang sehari, mengantar penumpang sampai larut, memutar lagu-lagu yang tidak lagi ia pahami liriknya. Uang yang terkumpul ia kirim ke Pamekasan, sekaligus menyisihkan ongkos untuk pulang dua minggu lagi—meski hanya dua malam.
Rara memulai kebiasaan lama: berjalan kaki pulang jika tidak terlalu malam. Ia menyusuri trotoar Kuningan, menyeberang di zebra cross yang lampunya kadang-kadang tidak sinkron, berhenti membeli tahu gejrot di pojok. Ia belajar memandang wajah orang-orang tanpa menebak-nebak cerita mereka. Namun suatu malam, ia melihat Abdurrahman sedang memesan kopi sachet di warung. Mereka saling menyapa seperti kerabat jauh.
“Bagaimana anaknya, Pak?” tanya Rara.
“Sehat. Ranking tiga benar, Mbak. Saya akan pulang.”
Rara tersenyum. “Sampaikan selamat.”
“Bagaimana…” Abdurrahman ragu menyelesaikan kalimat, “bagaimana rencana itu?”
Rara menatap gelas plastiknya. “Masih rencana. Tapi saya belajar tidak lagi menyandarkan kebahagiaan pada jawaban orang lain.”
“Bagus,” ucap Abdurrahman. “Kadang, bahagia datang tanpa mengetuk.”
Umar, setelah Nur sembuh, meminta izin cuti sehari untuk mengurus SIM. Di kantor satpam, ia ditemui supervisor yang bilang, “Kinerjamu bagus, Umar. Ada peluang jadi koordinator shift.” Umar pulang sore itu dengan senyum yang ia sembunyikan—bukan karena malu, melainkan karena ingin membaginya terlebih dulu pada Maya.
Siti mulai menghabiskan sore di laboratorium, mengiris jaringan, mengamati sel-sel yang diam-diam merencanakan hidupnya sendiri. Di dalam mikroskop, ia melihat kota dalam skala lain: arteri sebagai jalan tol, vena sebagai jalur pulang, limfosit sebagai pos ronda. Ia menulis di buku kecil: “Di dalam tubuh, semua sibuk menjaga agar kita tetap ada. Mengapa di luar, kita suka membiarkan diri sendiri?”
.
Puncak: Panggung Kecil di Terminal
Suatu malam Jumat, keempatnya dipertemukan oleh kebetulan yang sangat Jakarta: pemadaman listrik di beberapa wilayah. Jalanan macet tidak karuan, lampu-lampu padam, dan halte bus menjadi pulau-pulau gelap. Abdurrahman terjebak di sekitar Terminal Manggarai. Rara terpaksa turun lebih awal. Umar baru saja menyelesaikan shift dan membantu mengatur arus manusia. Siti menunggu bus sambil membawa map transparan.
Di bawah langit tanpa lampu, ada bintang-bintang yang lebih mudah terlihat. Rara duduk di bangku beton, menutup mata. Siti di sampingnya, mengelap keringat dengan tisu. Umar berdiri di depan, meniup peluit pelan, mengarahkan orang tanpa lampu senter. Abdurrahman memarkir mobilnya di pinggir, keluar, dan menawarkan air mineral dari bagasi. “Silakan, gratis,” katanya. Orang-orang mengambil dengan canggung. Kegelapan membuat manusia kembali sederhana.
“Pak Abdur?” Rara mengenali.
“Lho, Mbak Rara.”
Siti menoleh. “Kenal?”
“Penumpang saya,” kata Abdurrahman. “Ini… maaf, adik mahasiswa?”
Siti mengangguk, tersenyum lelah.
Umar menghampiri. “Pak, boleh pinjam senter dari mobil? Ada ibu-ibu hampir jatuh.”
Abdurrahman membuka bagasi. “Ambil dua.”
“Terima kasih.”
Mereka bekerja bersama tanpa komando: Umar mengarahkan orang, Abdurrahman menyoroti jalan, Rara membagikan air, Siti memeriksa anak kecil yang terkilir karena tersandung. Dalam kegelapan, mereka menjadi sebuah tim dadakan, seakan-akan sudah saling kenal lama.
Seusai arus manusia mereda, mereka duduk di pinggir terminal. Langit tampak lebih rendah. Rara berkata, “Kalau listrik padam begini, kota seperti mengaku kelelahannya.”
Umar tertawa pendek. “Kita semua lelah, Mbak. Hanya saja, lelah orang kota harus tetap terlihat sibuk.”
Siti menambahkan, “Di buku, dibilang menangis itu baik untuk regulasi emosi. Tapi di kelas, tidak ada yang mengajarkannya.”
Abdurrahman menatap ketiganya. “Saya sering menangis di balik setir,” ujarnya, lebih seperti pengakuan kepada diri sendiri.
“Di kamar,” kata Siti.
“Di helm,” kata Umar.
Rara menarik napas. “Di meja makan.”
Mereka tertawa—tawa yang hangat, tidak berlebihan. Mungkin karena masing-masing melihat cermin pada mata yang lain. Sesaat, kota bukan lagi mesin, melainkan ruang tamu.
.
Surat-Surat yang Tidak Dikirim
Setelah malam terminal itu, mereka tidak membuat grup WhatsApp atau janji bertemu lagi. Kota mempunyai cara memisahkan orang dengan halus: lampu menyala lagi, lalu semua kembali sibuk. Namun sesuatu tertinggal.
Rara menulis surat pada Wong Agung, panjang dan jujur, tentang keinginannya memiliki “rumah yang ada suaranya.” Ia menyimpannya di folder Drafts. Jika Wong Agung pulang dan siap duduk, ia akan membacakan. Jika tidak, surat itu akan ia kirimkan kepada dirinya sendiri, sebagai bukti bahwa ia pernah berani.
Abdurrahman menuliskan daftar hal kecil yang ingin ia lakukan ketika pulang: menjemput Jakfar di sekolah, membeli soto bebek, menyiram bunga melati di pusara ibu. Ia menyimpan uang receh yang menyelip di bawah karpet mobil, memungutnya satu-satu seperti memungut percaya diri.
Umar mengganti stiker bintang di helm dengan yang baru. “Supaya lebih terang,” kata Nur. Maya memotret mereka bertiga, mengirim ke Umar dengan caption: “Kita sudah cukup.” Malam itu Umar mengeja doa yang selama ini ia sebut hanya ketika panik. Kini, doa itu ia ucapkan pelan-pelan, seperti menidurkan anak.
Siti menempelkan kartu akses laboratorium di belakang ponsel. Ia menulis catatan: “Jika suatu hari aku menjadi dokter, izinkan aku berkata pada pasien: Menangislah kalau perlu. Tidak apa-apa. Lalu kita cari bersama cara untuk tertawa.”
.
Pulang yang Sesungguhnya
Dua minggu kemudian, Abdurrahman benar-benar pulang. Ia turun dari bus di terminal Pamekasan menjelang petang. Udara asin laut menyelinap di sela-sela baju. Jakfar sudah menunggu, berlari dengan sandal miring. “Bah!” teriaknya.
Abdurrahman mengangkat putranya tinggi-tinggi. Di rumah sederhana, bekas foto pernikahan masih tergantung; mantan istrinya, Syarifah, menyiapkan teh manis. Mereka duduk bertiga. Tidak ada permusuhan; yang ada hanya dua orang dewasa yang mengerti bahwa beberapa hal tidak bisa dipaksa, meski bisa disyukuri. Malam itu mereka makan soto bebek di warung yang ramai. Abdurrahman menatap Jakfar mengunyah, menahan air mata. Ia membiarkannya jatuh sedikit—sekadar untuk memberitahu diri sendiri bahwa bahagia pun bisa membuat orang menangis.
Rara, pada malam yang sama, bertemu Wong Agung di kafe dekat Setiabudi. “Aku takut,” kata Agung akhirnya, “takut menikah berubah jadi target baru.” Rara mengangguk. “Kalau begitu, kita belajar pelan-pelan. Tidak harus sekarang. Tapi aku ingin kamu jujur, bahkan jika kejujuran itu menyakitkan.” Mereka pulang tanpa keputusan. Namun di lift gedung, Rara merasa lebih ringan, seperti seseorang yang selesai menuliskan alamat pada paket yang hendak dikirim.
Umar di pos satpam menerima kabar resmi menjadi koordinator shift. “Tambahan gaji tidak banyak,” kata supervisornya, “tapi jadwalmu lebih pasti.” Umar tersenyum. Ia menatap layar ponsel: Maya mengirim foto Nur memakai bandana bintang. “Untuk merayakan demam yang pergi,” tulis Maya. Umar menahan air mata tepat ketika pengunjung mal lewat. Ia belajar menyimpan dan melepaskan di tempat yang tepat.
Siti di laboratorium menemukan bahwa jaringan yang ia iris hari itu mengandung sel-sel yang berjuang meski peluangnya kecil. “Lihat,” katanya pada dosen, “mereka membuat kolateral.” Dosen mengangguk. “Tubuh selalu mencari jalan.” Siti mengirim pesan ke ibu: “Aku dapat beasiswa asisten. Tidak usah terlalu khawatir.” Balasan datang: “Ibu tetap khawatir, tapi sekarang dicampur bangga.” Siti tertawa. Di kamar kos, ia meneteskan air mata kecil—bukan karena larut dalam duka, melainkan karena akhirnya percaya dirinya sedang menuju sesuatu.
.
Kota yang Menangis Sendiri
Kota ini tetap bernapas dengan mesin. Namun sekali waktu, saat dini hari lengang, terdengar seperti ia ikut menangis—air dari langit mengeja cerita di atap seng, di daun pisang, di jalanan berlubang. Orang-orang bangun, mengucek mata, dan melanjutkan hidup.
Abdurrahman kembali ke Jakarta, menempelkan foto baru bersama Jakfar di sun visor mobil. Rara menyimpan draf suratnya, mungkin suatu hari menjadi cerita. Umar mengelap kaca pos satpam, menjadikan pantulan lampu-lampu sebagai bintang buatan. Siti menutup jurnalnya, menulis satu kalimat terakhir: “Tidak ada yang benar-benar kuat. Kita hanya belajar memilih tempat untuk jatuh.”
Ketika mereka berpapasan lagi suatu hari—mungkin di lampu merah, mungkin di halte, mungkin di rak minuman minimarket—mereka akan saling tersenyum singkat. Tidak perlu mengenalkan nama. Mereka sudah saling tahu: ada semesta kecil di dalam dada yang pernah pecah dan disatukan kembali.
Dan di malam-malam tertentu, ketika sendok mengetuk piring, ketika setir terasa dingin, ketika helm menahan napas, ketika mata terpejam di ranjang sempit—air mata jatuh tanpa gembar-gembor. Tidak apa-apa. Karena pada akhirnya, seperti kata Rara ketika menutup tirai jendela:
“Menangis tidak membuat kita lemah. Menahan sendirilah yang sering kali membuat kita lupa—bahwa manusia, sedari awal, diciptakan dengan sepasang mata agar salah satunya boleh basah.”
“Tidak ada yang benar-benar kuat, kita hanya tidak tahu kapan dan di mana air mata akan jatuh.”
.
.
.
Jember, 27 September 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #AirMataKota #KisahUrban #CerpenIndonesia #JeffreyWibisonoV