Di Bawah Permukaan Waktu

“Yang tumbuh paling dalam adalah yang tak pamer daun—ia menunggu angin, lalu berdiri teguh.”

“Hidup bukan hanya tentang apa yang terlihat di permukaan. Kadang yang paling berarti, justru yang sedang tumbuh diam-diam di dasar hati.”

.

Pagi yang Terlalu Cerah untuk Sebuah Perpisahan

Pagi itu, mentari muncul terlalu cerah untuk seseorang yang hendak ditinggalkan. Pasar Karangjati belum sepenuhnya ramai. Di antara deretan penjual pecel dan tumpukan keranjang bambu, seorang pemuda duduk termenung, mengenakan jaket lusuh dan membawa koper kain yang warnanya sudah pudar.

Namanya Rangga, anak seorang tukang cukur dari Kampung Sumberjati. Ia berdiri di peron stasiun kecil itu sambil mengerling ke arah jalan masuk. Ia menunggu. Atau berharap.

Sementara itu, di kejauhan, seorang perempuan muda berlari kecil melewati lapak penjual jajan pasar. Rambutnya terikat simpul malas, wajahnya cemas, dan langkahnya sedikit terseret karena sandal jepit yang hampir putus.

Namanya Laras, gadis yang menolak definisi cinta seperti kisah sinetron. Ia percaya bahwa perasaan tumbuh diam-diam, seperti benih di tanah basah.

“Kamu yakin mau pergi hari ini?” tanya Laras, begitu napasnya menyatu kembali dengan irama jantungnya.

Rangga hanya mengangguk. “Aku dapat panggilan mendadak dari Surabaya. Proyek besar. Bisa jadi pembuka jalan.”

Laras memalingkan wajah ke langit yang terlalu biru. Hatinya mendung. Di genggaman, ia menyodorkan sebungkus lontong bungkus daun pisang.

“Buat sarapan di kereta. Jangan lupa minum,” katanya pendek.

Rangga tersenyum lemah. Ia menatap mata Laras, lalu memeluk sebentar, setengah takut, setengah rindu yang belum sempat jadi. “Kamu titip salam sama Bapak. Bilang aku bakal pulang waktu proyek ini rapih.”

Kereta datang, menelan jeda dan tatap yang belum selesai. Laras menunggu sampai gerbong terakhir hilang. Dalam kepalanya, tiap besi yang beradu di rel bagai menit yang memijak hatinya pelan-pelan.

Di ujung peron, papan iklan memantulkan sinar matahari: gambar apartemen tinggi, kolam renang biru, janji hidup praktis. “Hidup nyaman di pusat kota.” Laras menatapnya, lalu tertawa kecil, getir. Sebab nyaman tak selalu berada di tempat yang tinggi—sering kali justru diam di lantai tanah, di dapur yang hangat, di tangan yang menjerang air untuk teh.

.

Kebebasan yang Terlalu Cepat Datang

Surabaya memberikan segalanya untuk Rangga dengan tempo tak wajar. Seminggu pertama, ia menandatangani kontrak dengan konsorsium properti—proyek revitalisasi gedung tua di Kya-Kya menjadi ruang seni dan kuliner. Dua minggu berikutnya, ia dapat apartemen sewa di pinggir pusat kota, dekat jalur trem modern yang baru diujicoba, dan undangan menjadi pembicara tamu di kelas desain interior sebuah universitas swasta.

“Beruntung banget, Ga,” ujar teman sekamarnya, pemuda kulit langsat yang memperkenalkan diri singkat, “Madi.” Nama panjangnya, kata orang, Umar Madi. Di kampus dulu ia sering disapa Madi saja. “Kayak semua pintu langsung kebuka.”

Rangga tahu, bukan pintu yang terbuka. Itu Laras yang mendorongnya dari belakang. Diam-diam. Dengan doa. Dengan restu tanpa suara. Ia ingat bagaimana Laras mengumpulkan portofolio karyanya malam-malam, menata urutan foto, memperbaiki ejaan di kolom keterangan. “Biar rapi, Ga. Biar mereka lihat kamu bersungguh-sungguh.”

Keberuntungan, itu betul, datang cepat. Tapi seperti kebanyakan hal yang datang cepat, ia membawa serta semacam kesunyian yang sulit dijelaskan. Tengah minggu, saat rapat dengan pemilik bangunan dibatalkan mendadak karena urusan pajak, Rangga duduk sendiri di kafe pojok Jalan Darmo. Orang-orang berlalu-lalang dengan baju kantor, memesan cappuccino, membuka laptop. Lalu lintas bergeming; lampu merah dan hijau berganti tanpa drama. Namun di dalam kepala Rangga, semuanya seperti jeda.

Gawai di tangannya bergetar. Pesan masuk dari “Nila — Konsorsium”. Perempuan itu, Nila—pendek dari Retna Nila—manajer proyek yang lihai, mengundangnya gabung tim kecil menyusun presentasi pitching untuk investor. “Kita akan bawa konsep baru. Surabaya butuh ruang publik yang punya hati,” tulisnya. “Jam tujuh malam di co-working, Ga?”

Malam itu, Rangga mengenakan kemeja putih yang disetrika sekenanya. Di ruangan berlantai semen binaan, lampu-lampu gantung berbaris seperti bintang. Nila menyapa tanpa basa-basi. “Ini Jayeng, head creative yang bakal bantu kita nanti.” Jayeng—dari Jayengrana—mengangguk, menatap Rangga tajam tapi hangat. “Dan ini Maya, analis pasar. Juga Madi, yang kamu sudah kenal.”

Nama-nama itu membuat Rangga tersenyum kecil, entah mengapa ada getar folklor Jawa tiba-tiba berdiri di balik layar presentasi: Jayeng, Maya, Nila, Madi—seakan-akan dongeng tua datang ke kota, menukar keris dengan pointer laser, menukar alun-alun dengan ruang rapat ber-AC.

“Cita-cita kita sederhana,” kata Nila, mensinkronkan slide. “Menyelamatkan bangunan tua dari nasib jadi sekadar facade. Kita ingin kehidupan. Musik akustik, kios kecil kurasi, dinding mural yang bisa dicuci, lampu kuning yang hangat, drainase yang bener.”

Rangga menyimak. Di kepala, ia menggambar ulang ruang yang ingin bernapas, tangga besi bertekstur, bata ekspose tak cuma jadi gaya, melainkan pengingat akan tangan-tangan yang menyusun. “Kalau ingin jadi milik warga, kita harus membuat warga bisa memilikinya,” timpal Maya. “Harga kuliner harus ramah, ruang publik harus aman.”

“Dan tegas soal integritas,” tambah Jayeng. “Tak ada uang basah. Tak ada titipan vendor asal ‘saudara’. Kita rapihin dari awal.”

Di malam itulah, di kota yang panas dengan angin besar lewat jendela kaca, Rangga merasa seperti menyentuh sesuatu yang lama ia cari. Bahwa desain bukan ornamen; ia cara manusia memeluk sesamanya.

.

Laras, dan Surat yang Tak Pernah Dikirimkan

Sementara Rangga belajar menyusun kota dari semen, Laras di Sumberjati belajar menyusun hari dari sunyi. Ia bekerja sebagai pustakawan di perpustakaan kecamatan—ruang sederhana yang meminjamkan buku dongeng untuk anak-anak TK hingga biografi orang-orang besar yang sampulnya mulai pecah.

Setiap malam, Laras menulis satu surat. Ia menyalin hidupnya ke atas kertas sobekan dari buku catatan dapur. Di sudut kamar, kotak kayu kecil di bawah tempat tidur jadi lemari rahasia.

“Rangga,” tulisnya pada malam ketiga, “hari ini aku melihat sepasang tekukur bertengger di antena tetangga. Mereka diam cukup lama, lalu pergi bareng. Aku jadi ingat kita. Tapi mungkin sekarang kamu sedang duduk di tempat yang lebih indah, bersama keberuntunganmu.”

Malammu yang lain menuturkan sore hujan. “Aku meminjamkan payung pada ibu-ibu yang baru selesai belanja. Payungku pulang dalam keadaan lebih basah dari biasanya, tapi rezeki rasanya tak ikut hanyut.”

Dan kadang, surat-suratnya menyimpan takut kecil. “Bapak akhir-akhir ini batuk,” tulisnya. “Tapi keras kepala seperti biasa, bilang cuma masuk angin. Kau tenang saja. Aku jaga.”

Tak ada satu pun surat itu dikirim. Laras menahannya di dasar waktu, seperti benih yang menunggu musim.

.

Kota dan Lonceng-Jam yang Tak Terdengar

Di Surabaya, waktu berlari dengan jam digital. Pitching berlangsung, presentasi berjalan. Nila memimpin seperti dirigen. Jayeng tajam pada detail. Maya membawa data demografis; Madi menutup celah logistik.

Minggu ketiga, mereka menang. Investasi masuk. “Kamu lead desain interior, Ga,” kata Nila saat makan siang di warung rawon dekat kantor. “Kita butuh bahasa yang hangat tapi jernih.”

Rangga mengangguk, mengunyah perlahan. Pahit kluwek menyapu lidah, seperti pesan tua tentang sabar. Ia tersenyum, lalu menoleh pada layar ponsel. Tak ada kabar dari Laras hari itu. Ia menulis pesan singkat: “Kamu udah makan?” Terkirim. Centang dua, tapi abu-abu. Laras barangkali sedang sibuk, atau listrik padam, atau sinyal di pasar sedang malas.

Malam itu, di apartemen murah yang memandang atap-atap kota, Rangga membuka sketchbook lamanya. Tangan yang biasa memegang mouse mulai mengulang garis: pot bunga di sudut teras Laras, tikar pandan tempat mereka duduk sore-sore, tawa Bapak yang menyerupai suara pintu kayu lama. Kemudian ia menggambar wajah Laras—selalu dari samping, karena ia takut menatap mata itu terlalu lama dan disapu kerinduan seperti ombak.

“Laras bukan hanya seseorang,” gumamnya. “Laras itu tempat.” Ia menutup buku, lalu mematikan lampu. Di jendela, lampu jalan berkedip, sebuah sinyal yang tak jelas artinya. Ia merasa bahu kota merunduk sebentar, seperti menenangkan.

.

Adaninggar di Lobi Hotel

Pertemuan dengan klien utama dilakukan di lobi hotel bintang lima di pusat kota. Lobi itu dingin, lantainya marmer, dan musik piano instrumental menutup percakapan orang-orang penting. Nila memperkenalkan seorang perempuan yang hadir belakangan: Adaninggar.

“Adanin aja,” katanya ramah. Rambutnya pendek dan kacamata tipis mempertegas garis wajah. “Aku dari pihak keluarga pemilik gedung. Tugasnya mengingatkan sekaligus merepotkan.”

Rangga tertawa, spontan menyukai kejujuran itu. “Kalau merepotkan demi kemaslahatan publik, kami siap.”

Adanin tersenyum kecil. “Mudah-mudahan kita sepakat di barang-barang yang harus dipertahankan. Kaca patri di selatan itu, misalnya.”

“Yang berpola bunga sepatu?” sahut Rangga. “Itu harus jadi pusat cerita.”

Adanin mengangguk. “Kita jarang sepakat secepat ini.” Lalu ia menatap dinding jam besar di lobi, jam yang jarumnya seakan bergerak lebih pelan dari dunia. “Tapi saya percaya hal-hal baik itu biasanya sederhana.”

Jam dinding, lampu gantung, marmer mengilap—semua menjadi latar bagi kalimat-kalimat beranjak dewasa. Ada percakapan soal bujet dan timeline, ada canda soal kopi yang kelewat pahit, ada diam yang tak kikuk ketika tatap butuh jeda.

Malamnya, Nila menulis di grup: “Besok site visit. Jangan telat. Pakai sepatu yang bisa kena debu.” Emotikon debu berterbangan. Maya membalas dengan foto sepatu yang betul-betul berdebu. Madi menambahkan stiker wajah panik. Jayeng mengunci percakapan dengan: “Tugas kita bukan cuma menata ruang, tapi menata cara orang saling memandang.”

Rangga menatap kalimat itu lama. Ia ingat Laras, yang menata cara memandang dunia tanpa riuh. Surat-surat yang tak pernah terkirim.

.

Yang Retak dan Yang Kita Pilih Selamatkan

Site visit membawa rombongan ke dalam bangunan tua yang sudah lama menahan batuk. Lantai dua, rangka atap karatan, beberapa anak tangga bengkok. Namun matahari masuk dari jendela besar, membelah debu jadi glitter. Seorang pekerja, Wong—orang-orang memanggilnya begitu saja—mengangkat topi proyek.

“Kalau boleh, kaca patri di sisi selatan jangan dilepas, Mas,” katanya. “Nenek saya dulu jualan rujak di sini. Katanya, kalau sore, cahaya lewat situ bikin gerabah di kios sebelah jadi kelihatan kayak emas.”

Rangga dan Adanin saling pandang. “Kaca itu jadi pusat cerita,” ulang Rangga. “Kita rancang pencahayaannya.”

Dalam hati, ia menambahkan: “Sebab tiap kota perlu alasan untuk pulang. Dan tak ada alasan pulang yang lebih jujur daripada cahaya yang mengelus masa kecil.”

Dua bulan pertama berjalan seperti rencana yang disunat halus oleh kenyataan. Vendor terpilih lewat kurasi transparan. Mekanik lanskap kota berbicara dengan bentuk-bentuk baru yang tidak sok. Namun selalu ada yang retak: dua batu bata berbeda warna, talang yang bocor di hujan pertama, seseorang yang mencoba menitipkan “saudara” dalam daftar kerja. Pada titik-titik itu, Nila berdiri di tengah, suaranya lembut tapi tak goyah. “Kita berutang pada publik.”

Suatu sore, saat Rangga mengatur ulang garis sofa di area baca, ponselnya bergetar. Pesan dari tetangga Laras: “Mas, Bapak batuknya makin berat. Laras tidak mau ganggu Mas. Saya saja yang kabarkan.”

Rangga berdiri, merasakan ruangan bergeser. Ia mengetik balasan, menahan guncang di perut. “Saya pulang besok subuh.”

Nila mendekat, menatapnya menyeluruh. “Pergilah,” katanya pendek. “Keluarga selalu prioritas. Presentasi klien bisa menunggu.” Kalimat itu sederhana, tapi rasanya seperti disodori kursi saat lutut hendak lemas.

Rangga tak tidur malam itu. Di jendela, kota memendar bagai laut yang menunggu fajar. Ia berkemas: dua kemeja, satu jaket, sketchbook, sebungkus kopi bubuk yang belum sempat ia kirim. Pada pukul empat, ia sudah di taksi menuju stasiun, menembus jalan kota yang baru selesai disapu.

.

Jalan Pulang yang Mengajari Nafas

Kereta pagi tak pernah sepenuhnya kosong. Di bangku depan, seorang anak tertidur dengan seragam SD yang kebesaran. Seorang ibu memegang kantong plastik berisi sayur segar dari pasar.

Rangga menatap keluar, deretan sawah sesekali menyelinap di antara pabrik, gudang, dan papan reklame. Ia mengeluarkan sketchbook, membuka halaman kosong. Tangan bergerak sendiri: wajah Bapak yang keras kepala, tangan yang luwes memegang gunting rambut, punggung yang melengkung saat tertawa mendengar candaan receh warung kopi. Lalu ia menulis kalimat singkat di bawahnya: “Doa adalah pulang yang tidak pernah menuntut ongkos.”

Di Sumberjati, hujan turun seperti kabar baik yang malu-malu. Laras menyambut di teras rumah, matanya menyimpan semua kata yang tak perlu diucapkan. “Bapak di dalam,” katanya.

Bapak terbatuk pelan. “Walah, tukang gambar,” sapanya. “Kowe nggolet opo neng kutha?”

Rangga mencium tangan, duduk. “Nggoleki awak dewe, Pak,” jawabnya, mencoba berseloroh. “Ketemu separo, sisane ketinggalan di sini.”

Bapak tertawa, lalu batuk lagi. Laras bergegas mengambil gelas berisi air hangat. “Pelan-pelan saja, Pak.”

Malamnya, setelah Bapak tidur, Laras dan Rangga duduk di beranda. Hujan sudah jadi rintik. Di kejauhan, lonceng mushola berdetak. “Aku enggak kirim surat-suratku,” kata Laras tiba-tiba. “Takut mengganggu. Tapi tiap malam, aku menulis.”

“Boleh aku membaca satu?” tanya Rangga, suaranya seperti orang hendak mengucap maaf.

Laras menggeleng. “Belum. Nanti, saat kamu perlu alasan untuk tinggal lama-lama di sini.”

Rangga mengangguk. “Kalau kamu belum berubah pikiran… bolehkah aku kembali jadi rumahmu?” kalimat itu keluar begitu saja, seperti air yang akhirnya menemukan kemiringan.

Laras menunduk, tersenyum kecil. “Aku tidak pernah pergi dari rumah itu. Cuma menunggu kamu mengetuk pintunya kembali.”

.

Yang Kita Bangun, Yang Kita Pertahankan

Tiga hari, Bapak membaik. Obat dari puskesmas bekerja pelan, dan kepala keluarga yang keras kepala itu akhirnya mau disuruh tidur siang. “Tenagaku buat marah-marah nanti kalau warung sebelah ribut,” candanya.

Rangga kembali ke Surabaya dengan hati yang penuh. Di kantor, Nila menyambut dengan tumpukan gambar kerja dan satu kalimat: “Kita dikejar waktu, tapi bukan berarti dikejar nasib.”

Pekerjaan memadat. Tim mengatur ritme seperti orkes. Jayeng fokus di storytelling visual—sebuah pameran kecil tentang sejarah kampung sekitar gedung. Maya berkutat dengan arus pengunjung. Madi menertawakan dramanya sendiri saat menata sistem logistik. Adanin bolak-balik membawa kabar dari keluarga pemilik: beberapa hendak menyerah pada angka; beberapa menyodorkan kesetiaan pada kenangan.

Di sela riuh itu, ada godaan—seperti selalu. Seorang kontraktor menawarkan tambahan “bantuan” dengan bahasa berliku; vendor interior menyodorkan diskon yang terasa terlalu murah untuk jujur. “Kita menolak dengan lengkap,” ujar Nila. “Kita bukan anak-anak yang tergoda permen.”

Adanin menatap Rangga lama pada suatu siang. “Banyak proyek jadi tinggi karena mulai dari rangka yang bengkok. Kamu tahu kita digoda hal yang mudah,” katanya.

Rangga mengangguk. “Yang mudah itu bisa mahal biayanya di belakang.” Ia teringat Laras menambal sandal jepit putus dengan kawat kecil. “Yang kuat itu seringnya sederhana.”

Malam-malam berikutnya, Rangga sering pulang paling akhir. Ia duduk di tengah ruangan yang sudah mulai berwujud: lampu-lampu kecil menyala, kursi-kursi kayu menunggu diduduki. Satu malam, ia sengaja mematikan semua lampu, hanya membiarkan cahaya masuk dari kaca patri sisi selatan. Ruangan berubah jadi kolam cahaya. Debu di udara menari rendah.

Ia memotret, lalu mengirim foto itu pada Laras. “Nanti kalau kamu datang, aku tunjukkan tempat ini dari sudut paling sunyi.”

Centang dua berubah biru. Balasan datang: “Aku menunggu.”

.

Adzan dan Musik Jalanan

Hari uji coba dibuka untuk publik. Orang-orang datang dari berbagai penjuru kota. Seorang pemusik jalanan memainkan gitar sambil duduk di tangga. Anak-anak berlarian mengejar bayangan sendiri. Aroma sate dan kopi bertukar di udara tanpa tabrakan.

Di pojok ruang baca, seorang nenek menepuk bahu Rangga. “Anakku dulu jualan rujak di sini,” katanya. “Cahayanya masih sama.”

Rangga menahan sesuatu di tenggorokannya. “Semoga rasanya juga sama,” selorohnya.

Menjelang senja, adzan dari surau kecil terdengar. Musik pelan merendahkan volume. Orang-orang bergeser, ada yang menunaikan doa, ada yang duduk menunggu, ada yang memilih menatap langit kosong berubah merah. Kota merapatkan napasnya sendiri.

Di menit itu, Nila berdiri di samping Rangga. “Aku ingin bilang terima kasih,” katanya. “Kamu membuat ruang ini merasa punya hati.”

“Semua oranglah,” jawab Rangga. “Dan kamu, dan Jayeng, dan Maya, dan Madi, dan—”

“Dan Adanin,” potong Nila, tersenyum. “Jangan lupa orang yang merepotkan itu.”

Seolah dipanggil, Adanin muncul dengan langkah ringan. “Aku bawa seseorang,” katanya.

Laras berdiri di belakangnya, mengenakan gaun sederhana bermotif bunga kecil. Mata Laras menyapu ruangan, lalu berhenti pada kaca patri. “Kau benar,” ujarnya pada Rangga. “Ini sudut paling sunyi yang bisa menumbuhkan suara.”

Rangga menatap Laras seakan ia baru saja tiba di alamat palingnya di hidupnya. “Mau lihat ruang belakang? Ada dapur kecil. Kita uji teh jahenya,” katanya.

Laras mengangguk. Mereka berjalan melewati kerumunan, melewati tawa, melewati dialog kota, melewati musik, menuju pintu kayu yang tak pernah kehilangan bunyinya saat didorong.

.

Surat yang Akhirnya Dijemur Matahari

Di ruang dapur yang masih berbau kayu baru, Laras mengeluarkan sebuah kotak kayu dari tas. “Ini,” katanya pendek.

“Surat-surat yang tidak pernah kamu kirim?” tebak Rangga.

“Iya.” Laras meletakkannya di meja. “Aku tidak membacakan satu pun. Silakan kamu bawa pulang. Jemur di matahari di teras apartemenmu. Biar semua yang basah menjadi kering, tapi tak kehilangan bekas airnya.”

Rangga menyentuh kotak itu pelan, seperti menyentuh luka yang sudah membentuk jaringan baru. “Terima kasih,” ucapnya pelan.

“Jangan dibalas dengan janji,” jawab Laras. “Cukup dengan hari-hari.”

Di luar, kota melanjutkan heningnya yang ramai. Anak-anak tertawa. Seseorang memotret langit. Uap teh jahe mengirimkan kabar hangat ke langit-langit mulut.

.

Retakan Kecil yang Menjadi Peta

Beberapa minggu kemudian, gedung tua itu resmi dibuka. Media menulis, memuji kurasi kecil yang jujur, menautkan proses pemulihan drainase yang transparan, menyoroti kaca patri yang membuat senja seakan pulang setiap sore. Pedagang kecil tersenyum lega; sebuah kios rujak menempati pojok yang diarahkan langsung ke jalur cahaya, mengikuti cerita nenek di hari site visit.

Rangga dan tim pindah ke fase berikutnya: menjaga. Menjaga adalah kerja yang tak pernah selesai. Ia belajar dari Bapak dan Laras—bahwa menjaga sering kali tidak terlihat, seperti mengganti talang sebelum bocor, seperti menegur dengan humor saat musik terlalu keras, seperti menambah kursi lipat di jam ramai, seperti menyisihkan waktu untuk menatap satu sama lain tanpa gawai.

Suatu malam, pintu kaca retak tipis. Bukan salah siapa-siapa. Udara dingin bertemu tangan yang terlalu kencang. Rangga mendekat, menyentuh retakan itu.

“Jangan diganti dulu,” kata Jayeng. “Biar jadi peta. Orang akan bertanya, lalu kita bercerita bahwa ruang yang dicintai memiliki retakan yang diakui.”

Rangga memotret retak itu. Mengirimkannya pada Laras. “Aku sedang belajar menerima peta yang tak kunjung rampung.”

Balasan datang: “Kita tak berniat sampai—kita berniat berjalan.”

.

Di Bawah Permukaan Waktu

Malam-malam kota tidak selalu senyap. Tapi ada jam tertentu ketika lampu-lampu tinggi seperti menunduk, dan suara pendingin udara jadi semacam hujan buatan untuk pikiran. Pada jam itu, Rangga membuka kotak kayu pemberian Laras. Ia keluarkan satu per satu surat. Ia baca perlahan.

Di surat ke delapan, ia menemukan kalimat: “Aku mulai mengerti, Ga, bahwa rindu bukan menuntut hadir, melainkan melatih percaya.” Di surat ke dua belas: “Kau adalah foto yang tidak pernah sempurna—justru karena itu aku yakin kau hidup.” Di surat ke dua puluh lima: “Aku belajar dari tanaman di halaman: akar tumbuh ke bawah bukan karena takut ketinggian, tapi karena ingin kuat saat menatap langit.”

Rangga berhenti di kalimat terakhir itu, lalu menutup mata. Ia ingat hari-hari ketika ia memilih memanjat terlalu cepat, menukar akar dengan pemandangan. Ia menarik napas, menaruh semua surat kembali ke kotak. Lalu, seperti pesan Laras, ia taruh kotak di jendela, menjemurkannya pada matahari pagi.

Kertas-kertas itu mengering, tapi meninggalkan bekas ujung yang melengkung. Seperti hati yang pernah basah lalu berani kembali jadi rumah.

Pagi berikutnya, Rangga mengirim pesan: “Mau sarapan di Kya-Kya? Aku ingin memperkenalkanmu pada seseorang yang keras kepala: petugas kebersihan yang selalu tiba sebelum kita terjaga. Namanya Wong.”

Laras membalas: “Datang. Aku bawa lontong. Biar kota belajar rasa kampung.”

.

Epilog yang Bukan Penutup

Pada sebuah senja, Laras dan Rangga duduk di bawah kaca patri. Nila lewat, mengangkat gelas kopi. Jayeng mengangguk dari jauh. Maya mengunci buku logistik. Madi bergurau soal sepatu yang minta pensiun. Adanin menempelkan kertas kecil di dinding: “Tolong sahabatkan ruang ini. Bukan disembah, bukan disia-siakan.”

Cahaya merambat pelan. Di dasar hati orang-orang, sesuatu tumbuh tanpa musik. Pelan, pasti, mengakar.

“Di bawah permukaan waktu,” kata Laras, “ada hal-hal yang bekerja tanpa butuh panggung.”

Rangga menatapnya. “Seperti kita.” Ia memegang kotak kayu di pangkuannya. “Seperti surat-surat yang tidak pernah ingin jadi puisi, tapi akhirnya menjadi hidup.”

Laras tersenyum. “Seperti kota yang belajar bernapas.”

Angin lewat. Debu menari sebentar. Seseorang tertawa di kejauhan. Sinar sore jatuh di lantai semen, membentuk garis yang membuat ruang tampak lebih jujur.

Di bawah permukaan waktu, yang tumbuh diam-diam akhirnya menyapa terang.

“Jangan buru-buru memanen. Ada hal-hal yang butuh lama untuk jadi manis—sebab akar sedang sibuk menyiapkan bahagia.”

.

.

.

Jember 22 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKota #DiBawahPermukaanWaktu #CintaSunyi #KelasMenengah #RuangPublik #Surabaya #MenakMadura #Integritas #ArsitekturHati #NarasiFilmis

Leave a Reply