Di Antara Tangan yang Mengulurkan dan Melepas.

“Tidak semua orang harus dibantu, bukan karena kita egois, tapi karena ada yang memang perlu belajar bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.
Kita pun perlu belajar peduli hanya kepada mereka yang benar-benar pantas untuk diperdulikan.”

.

Pagi yang seharusnya biasa itu datang dengan sunyi yang terlalu rapi. Langit Jakarta tersapu biru tipis, seperti kemeja linen yang baru disetrika. Amir menyalakan mobil listriknya dengan satu sentuh, lalu menutup pagar rumah minimalisnya di Kemang. Di kursi depan, tas kerja kulit berisi proposal merger untuk klien fintech; di kursi belakang, dua kardus donasi—buku SMA dan kursus coding untuk anak-anak rusun. Amir terbiasa membelah hari seperti itu: separuh untuk pasar, separuh untuk nurani.

Di layar ponsel, pesan dari Jaya muncul lima kali berturut-turut.

“Mir, gue butuh 150 juta. Mendesak.”
“Seriusan, cuma short di cash flow. Client telat bayar.”
“Lu sahabat gue sejak SMA. Tolonglah.”
“Gue janji balikin 3 minggu.”
“Please.”

Jaya—nama yang bagi Amir dulu berarti riuh di lapangan basket sekolah, pentas band cadas di aula, dan tawa yang tak pernah takut rugi. Kini Jaya berarti agen properti mewah yang menautkan hunian eksklusif dengan bursa rumor investor. Seseorang yang cepat sekali naik dan tak sabar untuk belok. Dua tahun lalu, Jaya pindah ke apartemen high-end di SCBD, berganti mobil setiap Lebaran, dan main golf saban Rabu. Sekali waktu Amir menasihatinya tentang menabung, Jaya menepuk pundak Amir sambil tertawa, “Bro, hidup cuma sekali. Kalau bukan kita yang menikmati, siapa lagi?”

Amir menunggu tiga lampu merah, menatap pesan itu lama, lalu mengetik pelan: “Gue telepon siang ini.”

Ia tak sempat menekan tombol panggil ketika nama lain muncul di notifikasinya: Retna.

“Bang, aku minta izin absen rapat siang. Ibuk di Surabaya dirawat lagi.”

Retna—anak magang yang bergabung setahun lalu dan dalam waktu tiga bulan menjadi manajer proyek karena ketekunan yang memalukan orang malas. Retna kuliah sambil kerja, mengirim hampir seluruh gajinya kepada ibunya yang berjualan sayur dan kini sakit ginjal. Amir menatap pesan itu, lalu membalas cepat, “Ambil cuti. Tiket pesawat nanti gue bantu.”

Ia menaruh ponsel, menarik napas panjang, dan menggerakkan mobil ke arah Senayan. Jakarta berderap seperti orkestra profesional: bising, teratur, mahal.

.

Di ruang rapat kaca yang sejuk, Amir mempresentasikan peta jalur akuisisi dengan slide yang berpindah setepat detik arloji Swiss. Di ujung meja, Darma—partner senior—mengangguk, menambahkan beberapa catatan, lalu menutup presentasi.

“Bagus,” ujar Darma, “Namun ingat, batas antara investasi dan amal sosial harus jelas. Kita bukan yayasan.”

Amir tersenyum samar. “Aku tumbuh di rumah yang percaya, rezeki harus berputar. Tapi aku paham bedanya neraca dan laci kas.”

Darma menatapnya satu detik lebih lama, lalu mengalihkan topik. “Ngomong-ngomong, Jaya telpon aku kemarin. Cari kamu nggak?”

Amir mengangguk.

“Hati-hati,” kata Darma. “Dia sedang terbiasa hidup lebih cepat daripada akalnya.”

“Ya.” Amir menelan kalimat yang ingin keluar: Sejak kapan kita belajar menolak di pintu yang dulu pernah kita buka bersama?

.

Sepulang rapat, Amir menepikan mobil di halaman klinik kecil di Tebet. Di sana, Adaninggar—dokter muda yang pernah menjadi teman diskusinya tentang kesehatan mental buruh—sedang membuka program pemeriksaan murah bagi asisten rumah tangga di kawasan itu. Amir menyumbang dua kursi roda dan beberapa alat cek gula darah sejak bulan lalu. “Roda kecil untuk kata ‘sehat’,” candanya waktu itu.

Adaninggar menyambutnya dengan senyum yang bekerja lebih keras daripada bibirnya. “Terima kasih untuk alatnya, Mir. Ternyata permintaan membludak. Banyak yang baru tahu tensi mereka tinggi.”

Amir menatap barisan orang yang menunggu di bawah kanopi: perempuan-perempuan dengan seragam abu, beberapa membawa bayinya. Ia merasakan sesuatu yang lama di dadanya: rasa ingin memeluk dunia sambil menepuk keningnya yang panas.

“Gimana kalau kita buka kelas literasi finansial juga?” tanya Amir. “Biar mereka bisa ngatur gaji tanpa terjerat pinjol.”

Adaninggar tertawa kecil. “Itu kamu banget.”

“Bisa kita kolaborasi dengan Retna,” lanjut Amir. “Dia jago bikin kurikulum sederhana.”

“Retna yang ibunya sakit?” tanya Adaninggar, suaranya melembut.

Amir mengangguk. “Aku belikan tiket pulang. Dia malu, tapi aku bilang: ‘Terima saja. Ada hal yang harus kita bantu tanpa diminta.’”

Adaninggar diam sejenak, lalu menatap Amir lurus. “Dan ada hal yang harus kamu biarkan orang belajar sendiri.”

Kalimat itu seperti menyalakan saklar. Amir tahu maksudnya.

“Jaya,” desahnya.

Adaninggar mengangguk.

“Dia meminjam lagi?”

Amir tak menjawab. Ia menatap antrean yang bergerak pelan, menghirup aroma disinfektan dan kopi tubruk di ruang tunggu, lalu menunduk. Ada garis tipis antara keadilan dan kelembutan. Menginjak garis itu, kita bisa terpeleset ke dua jurang: merasa Tuhan, atau menjadi korban.

.

Malam turun seperti tirai teater. Amir mematikan musik di mobil ketika memasuki parkiran apartemen Jaya yang berkilat. Lobby dipenuhi lampu gantung yang melingkar seperti kue ulang tahun terlalu besar. Amir mengirim pesan: “Gue di bawah.” Dua menit kemudian, Jaya turun dengan kemeja linen putih, rambut diikat seadanya, senyum kecewa yang dibuat-buat.

“Bro.” Ia memeluk Amir. “Maaf banget.”

Mereka duduk di kafe lobby. Pelayan datang menawari sparkling water, Jaya memesan espresso ganda, Amir hanya minta air putih.

“Gimana?” tanya Amir.

Jaya menghela napas, menatap ke luar seolah di luar ada jawabannya. “Gini, Mir. Dua transaksi vila Canggu pending karena notaris telat berkas. Satu klien Singapura belum transfer fee. Gue short tiga minggu. Sialnya, serentak.”

“Aku paham telatnya aliran, Jay,” kata Amir pelan. “Tapi ini ketiga kalinya kamu minta.”

“Dua yang dulu gue balikin kan?” Jaya menyeringai, berusaha hangat. “Lu kan tahu integritas gue.”

Amir menatap tangan Jaya: kuku terawat, jam mahal. Ia ingat ketika mereka masih satu kos di Jogja: Jaya menabung tiga bulan untuk membeli sepatu basket, lalu merawatnya seperti bayi. Kini, Jaya memamerkan empat pasang sneaker di Instagram dalam sekali unggah.

“Berapa banyak uang yang kamu punya likuid malam ini?” tanya Amir. “Jujur.”

Jaya terdiam. “Dua puluh.”

“Kenapa kamu nggak jual jam ini?”

Jaya refleks menutup pergelangan tangannya, tertawa hambar. “Ah, Mir, masa segitunya?”

“Segitunya.”

Jaya memicingkan mata. “Lu berubah ya.”

“Tidak,” jawab Amir, “Aku belajar.”

Jaya mengehembus napas kesal. “Lu merasa lebih suci karena bikin kelas literasi dan ngerawat panti?”

“Bukan itu.” Amir mengatur nada. “Aku merasa cukup bodoh kalau terus menambal kebocoran yang kamu buat sendiri.”

Jaya menunduk seraya mengetuk-ngetuk meja. “Lu tahu nggak, gue bantu keluarga lu waktu bokap operasi jantung. Lu nggak minta, gue transfer diam-diam ke nyokap, ingat?”

Amir menegakkan punggung. Ia ingat. Ia berutang terima kasih yang tak pernah habis kepada Jaya. Tapi ia juga ingat, belasan kali ia menutup hutang Jaya kepada teman-teman lama, tukang roti langganan, bahkan sopir online yang tak disengaja dibentak. Hutang yang berlubang di tempat-tempat yang sama.

“Aku ingat,” ucap Amir. “Dan aku akan selalu ingat. Tapi aku juga ingat kalau bantuanmu dulu datang dari hasil kerja kerasmu. Bukan dari menunda tanggung jawab.”

“Jadi… lu nolak?” Jaya berbisik.

“Ya.”

Keheningan menurun seperti embun. Jaya menatap lantai marmer, lalu menahan tawa pendek yang pahit. “Oke, lupa gue. Dunia sekarang, semua orang punya batas.”

“Batas itu menyelamatkan kita berdua,” kata Amir. “Kamu akan belajar, aku tidak merasa Tuhan.”

Jaya berdiri. “Gue pergi dulu. Ada klien di Senopati.” Ia menepuk bahu Amir dengan keras; gestur lama yang kini terasa dingin. “Makasi udah ngingetin.”

Amir ingin memeluknya, ingin berkata, Kalau kamu jatuh, aku tetap ada. Tapi ia belajar menahan diri. Ada pelajaran yang harus dibeli Jaya dengan uangnya sendiri.

.

Keesokan paginya, Amir terbang ke Surabaya. Retna menjemput di bandara dengan mata sembab dan senyum yang berusaha berdiri. Mereka menuju rumah sakit di daerah Darmo. Di sana, ibu Retna, seorang perempuan kecil dengan kain jarik yang masih disetrika rapi, berbaring sambil memegang tasbih.

“Mas Amir?” tanyanya, mencoba duduk.

“Jangan bangun, Buk,” ujar Amir. “Saya titip Retna ke panjenengan setelah panjenengan sehat.”

Perempuan itu tertawa kecil. “Anak ini keras kepala. Dulu saya bilang jangan sekolah jauh, dia ngotot ke Jakarta. Katanya, rezeki harus dijemput.”

Amir menatap Retna. Ia melihat dirinya bertahun-tahun lalu: muda, cemas, berani—dan selalu berutang pada banyak orang baik.

Selepas menengok, Amir menemui klien di hotel dekat Tunjungan. Kota itu berkilau sore hari seperti perhiasan yang baru dilap di toko emas. Di ruang lounge, ia bertemu Darma yang sedang singgah bertemu investor. “Bagaimana Jaya?” tanya Darma.

“Menolak,” jawab Amir jujur.

“Bagus.” Darma menyesap kopinya. “Kamu tahu, dulu aku hampir dipecat karena terus menyelamatkan saudara yang gambling. Sampai seseorang bilang: ‘Kebaikan yang salah alamat adalah kejahatan yang menyamar rapi.’ Sejak itu aku menyusun batas.”

Amir tersenyum. “Tapi batas membuat kita merasa kurang manusia.”

“Tidak,” sanggah Darma. “Batas menegaskan kita manusia. Karena hanya manusia yang bisa bilang ‘cukup’ tanpa membenci.”

Kalimat itu menempel seperti stiker di kaca mobil.

.

Enam minggu berlalu. Kehidupan kembali menjaga iramanya, seperti musisi jazz yang tak pernah kehabisan improvisasi. Program literasi finansial di klinik Adaninggar mulai rutin digelar setiap Sabtu. Retna memimpin kelas sambil sesekali mengajar membuat anggaran bulanan di aplikasi gratis. Amir membuka kelas kecil untuk anak-anak SMA yang ingin belajar dasar coding dan desain presentasi. Kafe di sebelah klinik memberi diskon minuman bagi peserta. Deretan hal kecil yang menggerakkan pagar-pagar besar.

Jaya hilang kabar. Sesekali Amir melihat unggahan Jaya mempromosikan penthouse baru, makan malam di restoran Jepang yang hanya punya sepuluh kursi, senyuman setengah lelah di bawah lampu neon. Malam-malam tertentu, Amir nyaris mengirim pesan, lalu menghapusnya. Di kelas literasi, ia bicara tentang membedakan bantuan darurat dan subsidi gaya hidup. Ia menulis di papan: kasih sayang bukan ATM. Orang-orang mengangguk. Ia sendiri menelan ludah.

Sampai telepon itu datang pada suatu dini hari.

Suara Retna bergetar. “Bang, Jaya masuk berita.”

Amir bangkit dari ranjang, menyalakan lampu. “Kenapa?”

“Penipuan. Bukan benar-benar penipuan,” Retna tergagap, “Lebih tepatnya… putus transaksi. Kliennya marah karena uang tanda jadi dipakai dulu buat tutup kewajiban yang lain. Polisi katanya baru penyelidikan.”

Amir merasakan ruang menyempit. Ia membuka laman berita: foto Jaya diambil dari belakang, blur, diapit dua pengacara yang juga blur. Judulnya menyebalkan: Agen Properti Viral Terjerat Masalah Dana Titipan.

Amir duduk. Saat itu juga, pesan masuk dari nomor lama yang jarang dipakai.

“Gue butuh teman. Lu ada?”

Amir menutup mata. Batas yang ia buat tiba-tiba seperti garis pasir yang tertiup angin. Tapi ia belajar satu hal: menolong bukan berarti mengambil alih konsekuensi. Ia menarik napas dan membalas: “Gue ada. Kita ketemu. Tapi gue nggak bisa kasih uang.”

“Gue juga nggak minta uang,” balas Jaya. “Gue capek.”

.

Mereka bertemu di warung soto dekat stadion di pagi buta. Jaya datang dengan hoodie hitam, mata bengkak, aroma parfum mahal yang kalah oleh bau kaldu dan jeruk nipis. Ia duduk seperti orang yang kehabisan kata.

“Gue kelewat percaya diri,” kataya lirih. “Gue pikir cash flow itu bisa dikelola dengan megang uang calon klien, asal transaksi kejadian. Ternyata itu tetap salah, walau kejadian. Dan satu transaksi gagal. Domino.”

Amir menatapnya, membiarkan udara membawa pengakuan itu ke dalam tulang.

“Gue ingat lu nolak gue waktu itu,” Jaya melanjutkan. “Di malam yang sama gue jual jam, tiga tas, dua sepatu. Cukup buat nafas. Tapi gue telat merapikan semuanya.”

“Kenapa lu nggak cerita?”

“Karena gue malu,” katanya. “Dan… karena gue takut lu benar.”

Ada sesuatu yang pecah tanpa suara di dada Amir. Ia ingin memeluk Jaya, tapi ia memilih menaruh tangan di meja—jeda yang baru dipahaminya maknanya.

“Apa rencana lu?” tanya Amir.

Jaya mengangkat bahu. “Gue masih punya lisensi. Gue bisa mulai dari unit menengah. Balikin uang yang missing pelan-pelan. Gue juga minta maaf ke semua orang. Gue tau ini klise, tapi gue janji berubah.”

Amir menatap mangkuk sotonya: kuah keruh, irisan daging, perasan jeruk. Menghangatkan cara yang tak mewah. “Lu nggak sendiri,” katanya. “Tapi tanggung jawab lu ya tetap tanggung jawab lu. Kalau lu butuh teman buat menemani ketemu orang, gue datang. Kalau lu butuh jaringan untuk cari kerja sampingan sementara, gue cari. Tapi, uang… lu harus cari sendiri.”

Jaya mengangguk. “Gue mengerti. Dulu, kita kerap nolong gue karena kasihan. Sekarang lu nolong gue karena lu pengen gue bener.”

“Karena gue pengen kita berdua bener,” kata Amir.

Mereka makan dalam hening yang baik. Setelahnya, Jaya berdiri, menyalami Amir lama-lama. “Makasi,” ucapnya. “Gue nggak pantas, tapi gue butuh.”

“Kita semua pernah nggak pantas,” jawab Amir. “Tapi setiap orang pantas untuk kesempatan kedua—kalau dia memintanya sambil bekerja.”

.

Kabar tentang Jaya mereda sejalan dengan komitmennya menyusun ulang hidup. Ia pindah dari apartemen mahal ke kost bersih di Kuningan. Ia menjual dua lagi koleksi barang mewah. Ia membayar cicilan kepada klien yang uangnya sempat dia pakai, menandatangani surat pernyataan yang disusun pengacara. Ia memulai dari iklan rumah tapak di pinggiran Depok, mengantar calon pembeli sendiri pada hari Sabtu yang biasanya ia pakai bermain golf.

Amir melihat semua itu tidak dari jarak yang terlalu dekat, tetapi cukup untuk tahu. Mereka bertemu dua minggu sekali, kadang untuk mendengar Jaya mengeluh tentang pembeli yang menawar keterlaluan, kadang hanya untuk menertawakan masa muda. Adaninggar sesekali ikut bercakap; ia bicara tentang mekanisme jatuh-bangun yang sehat, tentang bagaimana rasa malu bisa menjadi vitamin kalau dikunyah pelan.

Di klinik, kelas literasi finansial makin ramai. Retna menambahkan modul “bantuan yang benar”: cara mencari beasiswa, cara menegosiasi utang, cara menyusun dana darurat. Amir menambahkan satu sesi khusus: “Batas yang Menyelamatkan.” Ia bercerita tanpa menyebut nama, tentang sahabat yang belajar berenang setelah berhenti dipapah. Orang-orang menatapnya, beberapa mengangguk, seorang ibu menghapus air mata dengan ujung jilbabnya.

Suatu Sabtu, setelah kelas selesai dan gerimis menebal, seorang remaja lelaki menghampiri Amir. “Kak, aku mau daftar kelas coding. Tapi aku juga harus kerja sore di warteg. Aku takut nggak fokus.”

Amir berpikir, lalu bertanya, “Kamu punya target, nggak?”

Remaja itu tersenyum malu. “Aku pengen bikin aplikasi catatan belanja untuk ibuku. Biar dia nggak bingung kalau belanja ke pasar.”

Amir mengangguk. “Target yang benar membuat kita tahu kapan meminta dan kapan mengupayakan. Ikut kelas malam, deh. Aku pindahkan jamnya.”

Remaja itu menunduk, wajahnya terang: hadiah kecil dari keputusan yang rasional.

.

Setahun berlalu seperti film yang disunting rapi: setiap adegan terhubung oleh musik pelan yang menolak dramatisasi berlebihan. Jaya menyelesaikan semua kewajibannya, satu per satu, dengan kejujuran yang tidak ia bayangkan dulu. Ia tidak lagi viral karena foto belakangnya; ia viral karena video pendek yang mengajarkan cara membaca sertifikat IMB. “Pelan-pelan asal benar,” tulisnya di caption. “Karena cepat yang salah adalah jalan ke jurang.”

Amir menonton video itu dengan bangga yang tidak ingin diumbar. Ia mengirimkan pesan: “Lu bukan cuma belajar bertahan. Lu belajar tumbuh.”

“Sakit ya,” balas Jaya. “Tapi sekarang gue tahu: nyeri yang benar adalah guru yang setia.”

Malam itu, Amir melangkah ke balkon apartemennya yang sederhana. Angin membawa aroma hujan dan bunyi jauh kereta. Ia teringat pada banyak wajah: ibunya yang dulu memintanya minum susu lebih banyak; guru SMP yang menutup mata ketika ia datang terlambat; Darma yang mengajarinya batas; Adaninggar yang memberinya peta; Retna yang mengajarinya, dengan caranya sendiri, arti pulang.

Ia menulis sesuatu di catatan ponsel, yang kelak ia letakkan di awal modul pengantar kelas literasi. Bukan hanya untuk murid, bukan hanya untuk Jaya, tapi untuk dirinya yang selalu rawan lupa:

“Kita tidak bisa menyelamatkan semua orang.
Kita bisa menyelamatkan diri dari kesombongan dengan cara menolong orang yang mau belajar.
Selebihnya, biarlah hidup mengajar dengan bahasanya.”

.

Suatu siang di kemacetan lentur di sekitar Senayan, Amir menghentikan mobil karena melihat seorang pengemudi ojek daring mengangkat motor yang terpeleset ringan di aspal basah. Tanpa pikir panjang, ia turun, membantu menegakkan motor, menanyakan luka, memberikan plester dari kotak P3K. Cepat dan jelas. Bukan transaksi panjang, bukan drama yang perlu diceritakan ke media sosial. Hanya tindakan kecil yang selesai di tempatnya.

Saat ia kembali ke mobil, ponselnya bergetar—telepon dari nomor yang tak tersimpan. Suara di seberang memperkenalkan diri sebagai ibu dari seorang peserta kelas yang kini diterima kerja di perusahaan logistik. “Saya tidak tahu harus menghubungi siapa, Mas. Anak saya bilang, Pak Amir—eh, Mas Amir—yang mengubah hidupnya. Saya cuma mau bilang terima kasih.”

Amir menatap kaca depan yang masih basah, melihat bayangannya, melihat jalan yang belum ia tempuh. “Sama-sama, Bu,” katanya. “Semoga anak ibu lebih baik dari kami semua.”

Ia menutup telepon, mengingat pesan yang menandai awal perjalanannya setahun silam: Tidak semua orang harus dibantu… Ia tersenyum kecil. Memang tidak. Tapi beberapa orang, jika kita menolongnya dengan cara yang benar, akan menolong dunia untuk menjadi sedikit lebih waras.

Di sudut kota, Jaya menutup pintu kantor kecilnya yang baru: ruang 3×5 meter, cat putih, meja kayu yang ia amplas sendiri, dan tulisan kecil di dinding: Bekerja pelan, jujur, dan berulang—di sanalah kelimpahan. Ia menekan panggilan video. Wajah Amir muncul, diikuti wajah Retna dan Adaninggar yang sedang merapikan alat cek tensi.

“Bro,” sapa Jaya. “Gue mau pamer: lulus setahun tanpa utang macem-macem. Dan gue mau ngajak lu semua bikin program literasi properti buat warga rusun.”

Amir tertawa. Retna mengacungkan jempol. Adaninggar menepuk meja. Mereka bertiga memandang satu sama lain lewat layar bersegi empat: jembatan rapuh yang cukup untuk hal-hal baik.

“Setuju,” kata Amir. “Asal satu syarat.”

“Apa?”

“Semua materi harus menjelaskan batas.”

Jaya terkekeh. “Lu ternyata guru yang menyebalkan.”

“Dan murid yang menyebalkanlah yang paling berterima kasih kelak.”

Mereka pun tertawa. Di luar jendela, Jakarta melanjutkan harinya: klakson yang tak bosan, pagar rumah yang dibuka-tutup, awan yang berpindah seperti pikiran yang akhirnya tenang. Batas tidak lagi tampak seperti tembok. Ia berubah menjadi pagar taman—membingkai pertumbuhan, menjaga agar bunga tidak diinjak orang yang hanya lewat.

Di senja yang menutup cerita ini, Amir kembali menulis kalimat di buku catatannya, kali ini dengan tangan yang lebih mantap:

“Kebaikan adalah seni memilih: siapa yang perlu ditolong, bagaimana caranya, dan kapan harus melepaskan. Kita menolong bukan untuk menjadi Tuhan, tetapi untuk tetap menjadi manusia.”

Dan manusia itu, pada akhirnya, belajar berdiri—bersama-sama, dengan jeda yang cukup di antara dua tangan: satu untuk mengulurkan, satu untuk melepas.

.

.

.

Malang, 8 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #FiksiUrban #LiterasiFinansial #EtikaMenolong #KehidupanKota #PertumbuhanDiri #Persahabatan

Leave a Reply