Di Antara Dua Dunia

“Kadang yang perlu di-upgrade bukan kariermu,
melainkan cara berpikirmu tentang manusia di dalamnya.”

.

Pada senja yang terperangkap di antara kaca-kaca tinggi Sudirman, Retna menatap deretan tangga darurat di luar jendela lantai dua puluh satu. Besi-besi abu-abu itu memanjang turun ke bawah, seperti garis waktu yang tak pernah memberinya cukup ruang untuk berhenti.

Di belakang punggungnya, ruang rapat sudah hampir penuh. Layar LED di ujung ruangan menampilkan satu slide sederhana: dua kolom dengan judul besar OLD THINKING dan NEW THINKING.

Di bawahnya, kata-kata berbaris rapi:

Employees are biggest risk – berhadapan dengan Employees are biggest asset.
Fear of failure – berhadapan dengan Fail often and fast.
Enrich shareholders – berhadapan dengan Enrich lives.

Retna menarik napas pelan. Slide itu milik konsultan muda yang baru saja direkrut perusahaan: Jayeng.

.

Jayeng masuk beberapa detik kemudian, tanpa jas, hanya kemeja putih yang digulung sampai siku. Di tangan kirinya, kopi susu dari warung specialty di lobi. Di belakangnya menyusul dua anak muda lain, Madi dan Jingga, anggota timnya yang berambut cepak dan berponi pendek dengan laptop tipis di tangan.

“Maaf, sempat kejebak macet di lift,” Jayeng terkekeh. “Ada dua generasi yang berdebat di sana: yang satu panik karena sinyal hilang, yang satunya panik karena ketinggalan rapat.”

Beberapa orang tertawa hambar. Umar, direktur operasional yang duduk di sudut ruangan, hanya mengangkat alis. Lelaki berkemeja biru tua itu sudah tiga puluh tahun bekerja di grup usaha keluarga tempat Retna bernaung: Grup Madya Kencana—konglomerasi properti, pendidikan, dan F&B yang namanya bertebaran di kota-kota besar.

Retna duduk di tengah, di kursi HR Director. Usianya empat puluh dua, rambut bob pendek tersisir rapi, blus krem dipadu celana panjang hitam. Dari luar, hidupnya sudah memenuhi semua checklist kelas menengah atas Jakarta: cluster di BSD, mobil hybrid, anak sulung belajar di kampus negeri unggulan, anak bungsu les coding, suami—Maya—mengelola coffee roastery kecil yang sedang naik daun.

Di dalam, ada ruang kosong yang sejak beberapa tahun terakhir tak bisa ditutup dengan gaji, fasilitas, atau liburan keluarga ke Eropa.

.

“Baik, teman-teman,” suara Jayeng jernih. “Hari ini saya diminta Retna untuk bicara soal transformasi budaya kerja. Saya tahu kata ‘transformasi’ ini sering bikin alergi. Tenang, saya bukan mau jual software atau aplikasi produktivitas baru. Saya cuma mau mengajak kita ngobrol soal cara berpikir.”

Ia menekan remote. Slide berganti; foto sebuah tangga beton dengan bayangan garis-garis tegas mengisi layar.

“Ini tangga di salah satu gedung kantor lama saya,” kata Jayeng. “Setiap naik ke atas, saya merasa seperti naik ke dunia orang lain. Di bawah, saya punya hidup: pacar, band kecil, mimpi bikin bisnis sendiri. Di atas, saya jadi karyawan yang dihitung dari jam dan laporan.”

Madi dan Jingga sudah siap di belakang, mengatur suara dan catatan. Retna memperhatikan gerak mereka: lincah, cekatan, tapi santai. Beda dengan staf HR yang biasa ia lihat duduk dengan mata lelah di balik layar Excel.

“Dulu,” lanjut Jayeng, “perusahaan tempat saya kerja punya satu keyakinan: employees are biggest risk. Maka semua sistem dibangun untuk mengontrol, mengawasi, mengunci. Dari jam sidik jari di pintu, CCTV di pantry, sampai template kalimat email yang harus dipakai.”

Ia tersenyum tipis.

“Padahal,” ia menunjuk sisi kanan slide, “di zaman sekarang, perusahaan-perusahaan yang tumbuh justru memegang keyakinan kebalikannya: employees are biggest asset. Mereka bukan barang yang mesti diawasi, tapi orang yang perlu dipercaya.”

Umar mengangkat tangan. “Mas Jayeng, saya menghargai semangatnya. Tapi perusahaan ini punya ribuan karyawan di berbagai kota. Kalau semua dikasih fleksibilitas, siapa yang jamin disiplin jalan? Kita tidak bisa ikut-ikutan gaya startup yang belum tentu bertahan sampai lima tahun.”

Jayeng mengangguk, tidak defensif. “Betul, Pak Umar. Makanya hari ini bukan soal menyalin gaya startup, tapi tentang memilih mana yang masih relevan dan mana yang perlu ditinggalkan. Old thinking tidak selalu salah; tapi kalau semua dipertahankan, kita yang akan tertinggal.”

Beberapa kepala mengangguk pelan. Retna memperhatikan ekspresi koleganya satu per satu: ada yang sinis, ada yang tertarik, ada yang bingung. Ia tahu, pertemuan ini bukan sekadar workshop. Ini medan perang kecil antara dua cara pandang.

Medan perang yang, entah bagaimana, menempatkan dirinya di tengah.

.

Beberapa tahun lalu, sebelum pandemi, Retna hampir kehilangan nyawanya sendiri.

Malam itu, ia pingsan di depan laptop di apartemen dinas lamanya di Kuningan. Di layar, draft surat PHK ratusan karyawan hotel yang sepi pengunjung. Ia yang menyalin satu per satu nama, menghapus, mengubah, membubuhkan frasa “kami mengucapkan terima kasih atas kontribusi Anda”.

Rumah sakit mengatakan ia kelelahan. Dokter kandungan mengatakan satu lagi: ia kehilangan calon anak kedua yang baru sebulan lebih tumbuh di rahimnya.

Sejak saat itu, setiap ia menandatangani surat pemutusan kerja, ia selalu mendengar gema samar di kepalanya: detak jantung kecil yang tak pernah sempat mereka dengar.

“Ret, kalau bukan kamu yang mengurus, akan ada orang lain yang lebih dingin,” Maya pernah mencoba menghiburnya. “Setidaknya kamu masih memikirkan mereka sebagai manusia.”

Tapi kalimat itu tidak cukup menghangatkan setiap kali ada karyawan yang memandangnya dengan mata berkaca-kaca di ruang meeting kecil. “Kalau boleh jujur, Bu… saya mau tetap kerja. Anak saya tiga.”

Mata-mata seperti itulah yang membuat Retna mengontak Jayeng tiga bulan lalu, setelah membaca tulisannya tentang “New Thinking” di LinkedIn.

“Mungkin sudah saatnya kita berhenti mengelola fear of failure dan mulai belajar gagal cepat,” tulis Jayeng di salah satu artikelnya. “Karena di balik setiap kegagalan, ada manusia yang sedang belajar, bukan sekadar angka di laporan.”

Kalimat itu menghantam Retna seperti angin kencang yang menyingkap tirai jendela.

.

“Bu Retna,” suara Madi memecah lamunannya. “Nanti setelah sesi ini, boleh kami minta sedikit waktu Ibu? Kami mau bahas pilot project buat divisi HR.”

“Boleh, Mas,” jawab Retna, berusaha tersenyum. “Kita lihat dulu, habis rapat ini Pak Umar masih punya energi atau tidak.”

Madi tertawa kecil, lalu kembali memperhatikan presentasi.

Jayeng sekarang memutar video pendek. Seorang barista muda di salah satu gerai kopi Grup Madya Kencana bercerita tentang mimpinya membuat konten edukasi kopi di TikTok. Di bawahnya muncul teks: “Dulu saya takut kalau manajer tahu saya bikin konten. Ternyata waktu saya jujur, malah diajak bikin kelas kopi internal.”

“Ini contoh kecil,” kata Jayeng. “Ketika perusahaan berhenti melihat karyawan sebagai risiko bocornya rahasia dan mulai melihat mereka sebagai promotor brand. Bukan lagi work for the weekend, tapi do something you love yang masih sejalan dengan visi perusahaan.”

Umar bersandar di kursinya. “Tapi bagaimana dengan standar? Kita tidak mau ada double standard.”

“Justru di new thinking,” sahut Jingga, “yang dihapus itu double standard, bukan one standard-nya. Aturan tetap ada, tapi dibuat transparan dan disepakati bersama. Bukan sekadar turun dari atas.”

Retna tahu, diskusi ini akan panjang. Namun di balik argumen-argumen itu, ia merasakan sesuatu yang lama hilang: harapan.

.

Usai rapat, sebagian peserta buru-buru keluar, mengejar rapat lain atau jam pulang kantor. Umar masih duduk, menatap layar laptop, sementara Retna, Jayeng, Madi, dan Jingga berkumpul di ujung ruangan.

“Kita mau mulai dari mana?” tanya Retna.

Jayeng membuka tablet. “Dari yang paling sakit dulu, Bu.”

Madi menunjukkan grafik: tingkat turnover karyawan level supervisor ke bawah meningkat 15% dalam dua tahun terakhir. Sebagian besar resign di tahun kedua kerja, usia rata-rata 26 tahun.

“Ini generasi yang tidak takut pindah,” ujar Jingga. “Buat mereka, tawaran gaji lebih tinggi bukan satu-satunya alasan. Mereka cari makna, cari fleksibilitas, cari ruang didengar.”

Retna menghela napas. Data-data itu bukan hal baru, tapi selalu dipandang sebagai “konsekuensi zaman”. Ia sudah berkali-kali mendengar komentar seperti: ‘Gen-Z itu baperan’, ‘Anak sekarang maunya instan’.

Jayeng menatap Retna lekat-lekat. “Bu, boleh saya tanya sesuatu yang agak pribadi?”

“Silakan.”

“Kalau Ibu mengingat masa awal karier Ibu dulu, apa yang paling Ibu cari?”

Retna terdiam. Ingatannya melayang ke Malang, ke rumah orangtuanya yang berdinding tembok tua bercat hijau muda. Bapaknya, seorang guru SMA yang idealis; ibunya, pedagang kue basah yang selalu bangun jam tiga pagi.

“Aku dulu cuma pengin keluar dari kubus kecil itu,” kata Retna, lebih kepada dirinya sendiri. “Pengin membuktikan sama Bapak bahwa perempuan juga bisa jadi apa saja. Aku cari pengakuan. Cari kesempatan.”

“Dan Ibu mendapatkannya,” Jayeng tersenyum. “Generasi sekarang pun sama, Bu. Mereka juga cari pengakuan dan kesempatan. Bedanya, mereka lahir di dunia yang lebih bising, lebih cepat, dan lebih terbuka. Kalimat-kalimat di gambar tadi—old thinking dan new thinking—itu hanya cara kita memberi nama pada kegelisahan yang sebenarnya sama.”

Retna memandang slide yang masih terpampang. Rigid working schedule versus flexible working schedule. At your desk versus mobile.

“Jadi,” ia menatap Jayeng, “pilot project apa yang paling realistis buat kita mulai?”

Jayeng memindahkan slide ke proposal. “Kita mulai dari satu unit bisnis dulu: Madya EduTech. Divisi yang mengelola sekolah-sekolah dan platform kursus online kita.”

Retna mengangguk pelan. Madya EduTech memang sedang dirundung masalah: murid berkurang, guru-guru muda keluar, konten digital tertinggal dari kompetitor.

“Kita ajak mereka jadi laboratorium new thinking,” lanjut Jayeng. “Fleksibilitas jam kerja untuk tim konten, sistem OKR yang jelas, forum bebas ngomong sebulan sekali tanpa atasan langsung, dan program fail fast lab: ruang aman untuk mencoba ide baru dengan anggaran kecil, tapi feedback cepat.”

Retna menatap data di layar. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa bukan hanya sedang memadamkan api, melainkan menyalakan lampu.

.

Pilot project itu, tentu saja, tidak berjalan mulus.

Di minggu pertama, ada guru senior yang menggerutu karena merasa kehilangan wibawa ketika murid bisa memberi feedback langsung lewat aplikasi. Di minggu kedua, tim konten digital membuat video edukasi yang dianggap terlalu “slengean” oleh sebagian orang tua murid.

“Bu Retna tahu nggak,” kata seorang orangtua dalam forum, “anak saya bilang belajar di aplikasi Madya EduTech sekarang kayak nonton YouTube saja. Takutnya pelajaran jadi nggak serius.”

Retna menahan napas, lalu menjawab dengan hati-hati, “Saya mengerti kekhawatiran Bapak. Tapi boleh saya tanya, kalau anak Bapak betah belajar di aplikasi kami dan nilainya tetap baik—atau bahkan lebih baik—apakah itu sesuatu yang buruk?”

Lelaki di hadapannya terdiam. Di belakangnya, Madi dan Jingga mencatat setiap pertanyaan dan jawaban.

Setiap minggu, mereka mengadakan retrospective meeting seperti tim teknologi: apa yang berjalan, apa yang tidak, apa yang akan diperbaiki. Retna perlahan belajar membiarkan stafnya mengakui kegagalan tanpa langsung dihukum.

Ada guru muda yang mengaku lupa menyiapkan materi live class dan hanya mengandalkan improvisasi. Di sistem lama, kelalaian seperti itu akan berujung surat peringatan. Di sistem baru, ia diminta menuliskan “pelajaran terbesar hari ini” dan membagikannya ke rekan guru lain.

“Pelajaran terbesar saya,” tulis guru itu, “adalah bahwa murid lebih pemaaf daripada sistem kita. Mereka tidak marah; mereka hanya butuh kejujuran.”

Retna membaca kalimat itu berulang-ulang di layar internal platform. Ada sesuatu yang melunak di dalam dadanya.

.

Namun perubahan tidak hanya menyentuh kantor.

Di rumah, Maya juga sedang bergulat dengan dualitas old dan new thinking di bisnisnya sendiri. Coffee roastery yang ia bangun lima tahun lalu mulai kebanjiran pesanan dari kedai-kedai baru milik para profesional muda yang bosan jadi karyawan.

“Lihat nih,” Maya menunjukkan layar ponselnya suatu malam. “Anak umur dua puluh tiga bikin coffee shop kecil di Malang. Konsepnya coworking space plus kelas online. Dia DM nanya apakah kita mau jadi mitra roasting eksklusif.”

Retna tersenyum. “Jadi, generasi yang sering dibilang ‘instan’ itu malah lebih berani buka usaha?”

Maya mengangkat bahu. “Mereka mungkin tidak betah di dalam kubus besar seperti kita dulu. Tapi mereka mengerti sesuatu yang kita lupa: waktu hidup tidak bisa diulang.”

Kalimat itu menusuk Retna. Ia teringat kembali malam di rumah sakit, lampu putih, suara mesin monitor yang monoton. Waktu hidup yang tidak bisa mengembalikan janin kecil di rahimnya.

“Mas,” katanya lirih, “kalau dulu aku nggak terlalu memaksakan lembur, mungkin semuanya beda.”

Maya memeluk bahunya. “Ret, berhentilah menghukum dirimu dengan masa lalu. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah memastikan orang lain tidak perlu mengulang luka yang sama.”

.

Suatu pagi, kabar buruk datang tak diundang.

Salsa, analis keuangan brilian yang sering Retna banggakan sebagai contoh “anak muda potensial”, mengirimkan email pengunduran diri. Alasan resminya: ingin mengejar kesempatan studi di luar negeri. Alasan sebenarnya, yang ia ceritakan di obrolan pribadi dengan Retna, lebih rumit.

“Aku lelah, Bu,” kata Salsa di kafe dekat kantor. “Aku suka pekerjaannya, tapi tidak dengan budayanya. Aku merasa setiap ide dipotong sebelum sempat tumbuh. Setiap kali aku mengusulkan pendekatan baru, jawaban yang kudapat adalah: ‘Kita selalu melakukan ini seperti ini.’”

Retna terdiam, merasakan campuran bersalah dan marah—kepada sistem, kepada dirinya sendiri.

“Kalau perusahaan ini berani berubah sedikit saja,” lanjut Salsa, “mungkin aku akan bertahan. Bukan soal gaji, Bu. Aku cuma ingin merasa suaraku ada gunanya.”

Di rumah malam itu, Retna memandangi foto Salsa di LinkedIn, mengumumkan rencana studinya. Komentar ucapan selamat mengalir; sebagian adalah rekan kerja yang diam-diam juga lelah.

Retna membuka laptop. Tangannya bergetar ringan saat menulis email ke dewan direksi.

Subjek: Usulan Transformasi Budaya Kerja Grup Madya Kencana.

Ia tahu, email itu bisa dianggap melampaui batas. Tapi sesuatu di dalam dirinya—mungkin suara janin yang tak pernah lahir, mungkin wajah-wajah mereka yang ia PHK dulu—memaksanya untuk menulis.

“Bapak/Ibu Direksi yang saya hormati,” tulisnya, “selama beberapa bulan terakhir kami menjalankan pilot project New Thinking di Madya EduTech. Hasilnya belum sempurna, namun menunjukkan bahwa ketika karyawan diberi ruang untuk dipercaya, mereka justru memberi lebih banyak dari sekadar jam kerja…”

Ia melampirkan data, testimoni, video. Ia menceritakan kasus Salsa, tanpa menyebut nama, sebagai ilustrasi hilangnya talenta karena budaya yang tertinggal.

Di akhir email, ia menambahkan satu kalimat yang paling membuatnya gemetar:

“Sebagai pimpinan HR, saya siap mempertaruhkan posisi saya untuk mendukung perubahan ini.”

Maya yang duduk di sebelahnya menatap terkejut. “Kamu yakin, Ret?”

Retna menekan tombol Send.

“Untuk pertama kalinya,” katanya pelan, “aku lebih takut hidup di sistem yang memadamkan manusia, daripada kehilangan jabatanku.”

.

Dua minggu tanpa jawaban terasa seperti dua tahun.

Umar memanggilnya dua kali, menegurnya karena “membuka dapur kotor perusahaan ke level direksi tanpa koordinasi”. Beberapa rekan satu level menjauh, seakan takut tertular kontroversi.

Di sela-sela itu, Retna tetap menjalankan pekerjaan sehari-hari: menandatangani dokumen, memimpin evaluasi, memediasi konflik. Namun dalam benaknya, bayangan dua kolom di slide Jayeng kembali muncul: old versus new thinking. Ia bertanya pada dirinya sendiri, setiap malam sebelum tidur, di kolom mana ia sedang berdiri.

Jawaban yang jujur sering kali menyakitkan: kedua-duanya.

Suatu sore, saat ia bersiap pulang, notifikasi email masuk. Dari: Dewan Direksi Grup Madya Kencana. Subjeknya: Undangan Presentasi Transformasi Budaya Kerja.

Tangan Retna dingin saat membuka.

Kami mengundang Ibu Retna bersama tim untuk memaparkan hasil pilot project dan usulan transformasi di hadapan dewan direksi pada hari Senin, pukul 09.00…

Ada satu kalimat tambahan di bawah:

Kami ingin mendengar bagaimana “new thinking” dapat berjalan berdampingan dengan nilai-nilai yang selama ini kita pegang.

Retna menutup mata. Air hangat menggenang di pelupuknya. Kali ini, bukan karena lelah.

.

Hari presentasi, langit Jakarta diguyur hujan deras. Gedung tinggi tempat ruang direksi berada seolah memakai tirai air, memantulkan lampu-lampu kendaraan di bawah.

Retna, Jayeng, Madi, dan Jingga berdiri di depan ruangan besar yang dindingnya berlapis kayu dan kaca. Di dalam, para anggota dewan—wajah-wajah yang selama ini hanya mereka lihat di majalah bisnis—sudah duduk rapi.

Presentasi dimulai.

Jayeng memaparkan data, grafik, dan contoh konkret perubahan di Madya EduTech: peningkatan retensi guru muda, kenaikan engagement siswa di platform, penurunan keluhan orangtua setelah mereka dilibatkan dalam forum online.

Madi menambahkan cerita tentang fail fast lab: bagaimana ide membuat kelas hybrid musik dan matematika gagal total, tetapi dari sana lahir format baru “Music for Memory” yang justru populer.

Jingga menunjukkan testimoni video karyawan yang mengatakan, “Saya merasa bukan hanya digaji, tetapi dipercayai.”

Setelah itu, giliran Retna.

Ia tidak menatap slide, melainkan menatap satu per satu anggota dewan.

“Bapak, Ibu,” suaranya tenang tapi bergetar di ujung, “saya ingin bercerita sebagai manusia sebelum sebagai direktur HR.”

Ia menceritakan malam di rumah sakit. Pingsan di depan laptop, draft PHK, kehilangan calon anak. Ia menceritakan rasa bersalah yang menempel bertahun-tahun, dan bagaimana setiap keputusan atas nama “efisiensi” selalu meninggalkan bekas luka baru di dalam dirinya.

“Waktu itu,” katanya, “saya adalah bagian dari old thinking: melihat karyawan sebagai angka yang harus disesuaikan agar grafik profit tetap naik. Saya tidak sempat bertanya apakah cara kita memanusiakan mereka sudah benar.”

Ruang itu hening. Seseorang di baris belakang menurunkan kacamata, menyeka mata.

“Pilot project ini,” lanjut Retna, “bukan sekadar program HR. Ini adalah permintaan maaf pribadi saya kepada setiap karyawan yang pernah saya lepas tanpa sempat saya temani di masa transisinya. Dan cara saya memastikan generasi setelah mereka tidak perlu dilukai dengan cara yang sama.”

Ia lalu menjelaskan bahwa transformasi yang mereka usulkan tidak serta-merta membuang semua nilai lama. Disiplin tetap penting, target tetap ada. Namun di atas itu semua, ada satu orientasi baru: enrich lives, bukan hanya enrich shareholders.

“Kalau perusahaan ini bisa untung sambil membuat hidup orang-orang di dalamnya lebih bermakna,” katanya menutup, “bukankah itu warisan terbaik yang bisa Bapak Ibu tinggalkan?”

Sunyi. Hanya suara hujan menepuk kaca.

Lalu, dari ujung meja, seorang lelaki sepuh yang rambutnya memutih—pendiri grup itu sendiri—bersuara.

“Retna,” katanya pelan namun jelas, “waktu perusahaan ini berdiri, kami hanya punya satu toko bangunan di Malang. Kami kerja dari subuh sampai malam, dan satu-satunya ‘HR’ kami adalah nasi pecel yang kami bagi di belakang toko.”

Beberapa orang tersenyum kecil.

“Dulu kami juga mempraktikkan old thinking, yang sekarang Mas Jayeng tulis di slide itu. Kami takut salah langkah, takut bangkrut, takut dikhianati. Tapi seiring waktu, saya belajar bahwa ketakutan terbesar bukanlah kehilangan uang, melainkan kehilangan kepercayaan orang-orang yang bekerja bersama kita.”

Ia menatap langsung ke mata Retna.

“Kalau anak-anak muda kita sekarang menawarkan cara baru untuk menjaga kepercayaan itu,” katanya, “mungkin sudah waktunya kita mendengarkan.”

Umar yang duduk di sampingnya menghela napas panjang. “Saya tidak menolak perubahan, Pak,” ujarnya. “Saya hanya takut kita tidak siap.”

Pendiri itu tertawa kecil. “Tiga puluh tahun lalu, saya juga tidak siap punya perusahaan sebesar ini. Tapi lihat, kita sampai di sini juga karena beberapa kali nekat.”

Suasana ruangan mencair.

Keputusan resmi baru diberikan beberapa minggu kemudian: dewan menyetujui perluasan program new thinking ke dua unit bisnis lain, dengan evaluasi ketat setiap enam bulan. Mereka juga membentuk People & Culture Council yang anggotanya bukan hanya manajemen, tetapi juga perwakilan karyawan lintas generasi.

Retna ditunjuk menjadi ketua dewan itu.

.

Malam setelah pengumuman, Retna berdiri di balkon apartemen, memandang hujan yang turun lembut di atas lampu-lampu kota. Dari ponselnya, ia membaca pesan WhatsApp dari Salsa yang sudah berada di negara tujuan studinya.

Bu Retna, saya dengar dari teman-teman bahwa perusahaan mulai berubah. Saya senang sekali mendengarnya. Mungkin suatu hari nanti, kalau sudah waktunya, saya bisa kembali. Bukan sebagai karyawan yang takut, tapi sebagai manusia yang ingin ikut membangun.

Air mata Retna jatuh begitu saja.

Ia menoleh ke dalam. Maya sedang meracik kopi untuk kelas online-nya malam itu, ditemani kedua anak mereka yang sibuk dengan tugas kuliah dan proyek video.

Dunia mereka berubah. Pekerjaan, bisnis, dan edukasi bercampur menjadi satu aliran: fleksibel, mobile, namun—kalau mereka mau—tetap bisa bermakna.

Retna menarik napas panjang.

Di tangga beton gedung kantor, di layar-layar laptop yang penuh spreadsheet, di obrolan larut malam antara orangtua dan anak, antara manajer dan staf, antara pemilik dan karyawan—pertempuran antara old thinking dan new thinking akan terus berlangsung.

Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa berada di sisi yang tepat.

Di sisi yang memilih percaya pada manusia, bukan pada ketakutan.

Dan di suatu tempat di dalam sunyi, ia seperti mendengar detak jantung kecil yang dulu hilang—kini bergema sebagai janji: bahwa setiap luka bisa menjadi pintu bagi cara berpikir yang baru.

.

.

.

Malang, 25 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #OldThinkingNewThinking #BudayaKerjaBaru #KelasMenengahAtas #KotaBesar #HRTransformation #LeadershipHumanis #KarierDanKeluarga #LiterasiKerja #NamakuBrandku

.

Quotes Tambahan yang Relate dengan Cerita

“Perusahaan boleh mengejar keuntungan,
tapi jika harus mengorbankan kemanusiaan,
yang bangkrut pertama kali adalah nurani.”

“Budaya kerja yang sehat bukan sekadar soal jam masuk dan jam pulang,
tetapi tentang apakah pulang kita masih merasa utuh sebagai manusia.”

“Generasi baru bukan ancaman;
mereka adalah cermin yang memaksa kita bertanya:
mana nilai yang layak dipertahankan, mana ketakutan yang harus dilepaskan.”

Leave a Reply