Dermaga yang Tak Lagi Menoleh
“Hidup tidak dimulai dari yang hilang, melainkan dari keberanian menatap yang akan datang.”
.
Pagi di Hotel Astana terbentuk dari tiga benda: jam dinding yang selalu setengah detik lebih lambat dari jam tangan tamu, wangi kopi sachet yang ngotot menyaru espresso, dan tapak sepatu yang dihafal karpet. Dari semua benda itu, yang paling sabar adalah Sakera. Ia menjaga lobi seperti orang menjaga ingatan—tidak terlalu erat agar tidak lelah, tidak terlalu longgar agar tak tercecer.
Sakera tiga puluh dua, tinggi biasa, kulit yang pernah akrab dengan matahari pelabuhan. Seragam abu-abu membuatnya tampak seperti bagian dari tembok: ada, penting, tetapi jarang ditatap. Orang menatap resepsionis hanya ketika butuh kunci kamar atau butuh komplain; selebihnya, lobi adalah tempat orang melintas. “Begitu juga hidup,” pikir Sakera, “yang melintas itu ramai, yang tinggal cuma sedikit.”
Ia tiba pukul enam empat puluh lima setiap hari, memeriksa buku piket, menata brosur wisata—yang lebih sering diambil anak kecil untuk dijadikan kipas ketimbang rujukan. Di meja pojok lobi, secangkir kopi hitam mendingin perlahan seperti suara yang tidak diucapkan. Ia jarang terlambat. Bukan karena disiplin, melainkan tidak ada tempat lain di kota ini yang perlu didatanginya sepagi itu.
Kita perlu tahu satu hal tentang Sakera: dua tahun terakhir hidupnya tidak berjalan, hanya berputar. Ibunya, perempuan tangguh yang mengajari cara membaca dari kertas bungkus nasi, mendahului pada sebuah subuh, setelah berbulan-bulan merawat suaminya yang stroke. Setahun kemudian, sang ayah menyusul dengan tenang—kata dokter, “komplikasi”, kata tetangga, “kangen”. Rumah menjadi barang kaca: indah, rapuh, membuat orang melangkah pelan. Sakera memilih bekerja lebih sering daripada pulang lebih cepat. “Biar capek,” katanya, “capek itu suara paling sunyi, tapi bisa menidurkan.”
Arimbi, rekan kerjanya yang rambutnya selalu digelung seperti badut sirkus yang segan menua, kadang menaruh dua roti sobek di laci meja Sakera. “Kalau kamu tidak punya siapa-siapa yang cerewetinmu, biar aku,” ujarnya. Arimbi percaya semua orang perlu disuapi—kalau bukan nasi, kata-kata. “Urip iku urup,” ia sering mengutip sambil memelototkan mata, “hidup itu menyala. Kamu mau menyala apa terus jadi senter mati?”
Sakera tertawa pendek, tawa yang dipotong oleh kesadaran. “Senter mati juga berguna, Mbak. Bisa jadi kaca untuk bercermin.”
“Cermin untuk lihat apa?” Arimbi membalas cepat. “Rambutmu? Atau bayangan masa lalu yang ngotot pengin numpang duduk di pundak?”
Tidak setiap hari Arimbi sebijak itu. Sering juga ia cerewet soal diskon lipstik atau gosip artis. Tetapi yang membekas pada Sakera—dan mungkin pada kita semua yang pernah diingatkan dengan cara lucu—adalah keberanian Arimbi mengusik diam orang. Diam yang terlalu lama bisa berubah menjadi rumah. Dan Sakera, tanpa direncanakan, telah lama tinggal di rumah itu.
.
Sore yang mengubah ritme datang bersama perempuan yang langkahnya seperti orang baru turun dari gunung: mantap, tidak tergesa, yang penting tidak mundur. Pintu kaca otomatis mengalah pada keberaniannya. Ransel besar, topi kain miring, sepatu penuh jejak merah tanah basah. Di kartu identitasnya tertulis “Kenongo”, nama yang seperti aroma daun di musim hujan. Ia mengangkat kepala sebentar, memindai lobi dengan mata yang tidak menilai tetapi mencatat.
“Ada kamar menghadap barat?” suaranya datar, jelas, seperti orang yang biasa berbicara pada peta.
Sakera mengangguk. “Tersisa yang menghadap pelabuhan, Bu.”
“Bagus.” Ia tersenyum. “Aku suka dermaga. Tempat orang datang dan pergi. Di situ, orang bersiap berpisah dan bersiap bertemu. Rasanya adil.”
Kalimat itu menggoyang sesuatu yang selama ini duduk di dada Sakera seperti batu sungai. Ia mengulurkan kunci, menghafal nomor kamar, menyebut aturan hotel, lalu menutup percakapan dengan sopan standar. Namun kata “adil” itu menempel seperti garam pada kulit sehabis berenang.
Arimbi, yang sedari tadi menata vas bunga plastik di lobi, menyikut lengan Sakera. “Tamu macam itu biasanya bawa kabar.”
“Kabar apa?”
“Kabar kalau kita bisa pergi.”
“Mau ke mana?” tanya Sakera.
“Ke halaman berikut,” jawab Arimbi sembari mencungkil sisa selotip di meja, seolah halaman hidup bisa dibalik segampang membalik kalender.
.
Kenongo menulis tiap senja di atap hotel—café kecil dengan meja besi dan payung kusam yang menolak angin. Dari sana pelabuhan tampak seperti permainan anak-anak: perahu beringsut, truk berjalan, buruh melambai. Kota memerah pelan, tak sabar menjadi malam. Kadang ia memejam, kadang menatap, kadang menutup buku karena lampu kota tiba-tiba lebih pandai bercerita.
Kita tidak perlu tahu semua masa lalu Kenongo. Ia bukan datang sebagai masa lalu, ia datang sebagai kemungkinan: orang yang berani memulai lagi. Tapi satu dua hal tercium dari gesturnya. Ia terbiasa hidup dari ransel: satu baju hangat, dua kaus, buku catatan, botol minum, peta lipat. Bila bicara, ia tidak berputar. Ia menyukai tempat yang mengajarinya berganti: gunung yang mengubah napas, laut yang mengubah langkah.
Malam ketiga, Sakera membawakannya teh wajik—suguhan promosi yang diabaikan tamu lain karena lebih memilih minuman berbahasa asing. Kenongo menyuap satu potong, mengerutkan kening, lalu tertawa. “Ini makanan yang jujur,” katanya. “Manisnya tidak minta maaf.”
“Seperti hidup?” Sahut Sakera asal.
“Seperti keputusan,” Kenongo membetulkan. “Hidup boleh rumit. Keputusan sebaiknya jelas. Kamu dari dulu bekerja di sini?”
“Lama,” kata Sakera. Kata “lama” bisa berarti apa saja: lama betah, lama terlambat, lama tertahan. Di Sakera, “lama” berarti diam-diam bertahan.
“Tidak ingin pergi?” tanya Kenongo.
“Pergi ke mana?”
Kenongo menunjuk garis cahaya di ujung pelabuhan. “Ke arah sana. Ke tempat yang kamu belum beri nama.”
Sakera menatap garis itu lama, seperti anak menatap pensil yang baru diasah. “Kalau orangtuaku masih ada…” ujarnya, lalu berhenti. Kalimat yang menyebut orang yang sudah tiada sering menemukan jalan buntu. Kenongo tidak memaksa.
“Hidup itu seperti ini,” katanya sambil melayangkan telapak tangan ke angin. “Barat akan menjadi malam, timur akan jadi pagi. Yang penting kita tidak menolak keduanya. Eling lan waspada. Ingat ke mana pulang, waspada ke mana melangkah.”
Sakera mengangguk, tidak karena mengerti seluruhnya, tetapi karena kalimat itu menyenangkan telinganya.
.
Malam itu, setelah shift tuntas, Sakera pulang tidak lewat jalan biasa. Kakinya—dan mungkin sesuatu yang lebih tua dari kaki—mengarahkan ke dermaga. Itu bukan tempat netral baginya. Ia menghindari sejak pemakaman ayah; terlalu banyak suara yang muncul dari kayu apabila diinjak malam hari. Tetapi ada malam tertentu yang membuat orang berani menafsir ulang tempat; malam ketika laut terlalu tenang untuk dicurigai.
Di ujung dermaga, air memantulkan lampu gudang, menjadi mozaik yang bergerak. Sakera berdiri, menengok kanan kiri, memastikan tidak ada yang mengenalinya. Lalu menangis. Bukan menangis yang meratap, bukan juga yang dramatis; air mata yang muncul seperti embun di kaca, pelan, konsisten, sabar. Ia tidak menyebut nama, tidak meminta apa-apa. Ia hanya membiarkan tubuh mengeluarkan sisa yang selama ini disimpan.
Arimbi pernah bilang, “Orang yang tidak pernah menangis biasanya menunggu alasan terhormat untuk menangis.” Malam itu, alasan terhormat itu bernama laut. “Sangkan paraning dumadi,” terlintas di kepala Sakera; orang lahir dari suatu arah dan kelak menuju arah lain. Mungkin arah itulah yang selama ini ia cari.
.
Kenongo check-out pagi-pagi. Turun dengan ransel lebih ringan, wajah lebih enteng. Di meja lobi ia menulis sesuatu di kertas memo hotel—kertas yang biasanya dipakai untuk catatan “garansi deposit” atau “harap menunggu”—lalu menyerahkan kunci sambil tersenyum.
“Terima kasih, Mas.”
“Terima kasih, Bu.”
Ia pergi. Sederhana. Tidak ada musik mengantar, tidak ada pelukan dramatis, hanya pintu kaca yang menutup otomatis. Tetapi jejaknya tinggal, seperti wangi yang tidak dicari tetapi disadari mengisi ruangan.
Sakera baru membaca kertas itu saat lobi sepi.
Kalau kamu belum bisa melupakan masa lalu, setidaknya jangan biarkan ia menghentikan langkahmu. Halaman baru tidak menunggu kita siap, ia menunggu kita membuka. —K.
Kertas itu tidak bicara keras. Tapi kakiku, kata Sakera dalam hati, seperti diberi komando yang bisa dimengerti tubuh. Siang itu juga ia membuka email beasiswa hospitality yang dulu ia simpan di folder bernama “Nanti”. Ia mengubah satu hal: bukan lagi “Nanti”. Ia ganti menjadi “Sekarang”.
Arimbi menemukan Sakera mengetik di komputer kantor dengan mata menyala. “Wah, kamu nulis surat cinta?” godanya.
“Saya nulis surat ke masa depan,” jawab Sakera. Arimbi takjub mendengar kalimatnya sendiri keluaran dari mulut orang lain.
.
Ada yang mengatakan perubahan besar dimulai dari sepatu baru. Sakera tidak membeli sepatu baru—gajinya belum cukup—tetapi ia membeli kaus kaki yang tidak berlubang. Ia memotong kuku, merapikan rambut, membeli buku catatan bergaris. Hal kecil, tetapi memberiannya rasa baru pada tubuh. Ia mulai kursus daring, tidak mahal, yang penting rutin. Ia kembali ke pusat bahasa yang dulu ia tinggalkan di bab tiga. “Alon-alon waton kelakon,” dosennya menimpin; pelan asal jadi. Kata-kata lama menemukan rumah baru di kepala.
Satu sore, manager hotel memanggilnya. “Kami butuh Supervisor Front Office. Mau coba?” kalimat itu diucapkan dengan raut hati-hati, seolah takut merusak sesuatu yang baru tumbuh.
Sakera menelan ludah. “Saya mau mencoba, Pak.”
Arimbi memeluknya di pantry. “Ini masih halaman awal,” katanya, “jangan cepat-cepat tutup.”
.
Hari ketika email dari panitia beasiswa masuk, Sakera sedang memelototi daftar inventaris minibar. Ia membaca baris demi baris seperti orang menghafal ayat. Congratulations, you are accepted… Kalimat yang dibuat pabrik menjadi terasa seperti tangan yang mengetuk bahunya dari belakang. Tangannya gemetar. Biasa tubuh memberi reaksi jujur ketika kepala masih ragu.
Malam itu dermaga kembali menyambutnya. Sakera berdiri tidak di ujung kayu, tetapi dua langkah sebelum ujung. Ia belajar menjaga jarak dari yang ekstrem. “Urip iku urup,” gumamnya, “kalau hidup itu menyala, mungkin tugasku memastikan sumbu tidak padam.” Ia menyentuh saku, memastikan kertas memo Kenongo masih di dompet. Ada yang lebih tua dari lampu di pelabuhan, yakni keyakinan bahwa orang boleh berangkat tanpa merasa berkhianat.
.
Kepergian, seperti pesta kecil, membutuhkan persiapan. Arimbi mengumpulkan sisa amplop angpao bekas dan kertas kado yang mencolok. “Buat bekalmu,” katanya sambil memasukkan uang ala kadarnya. “Jangan kembalikan. Kalau kamu suatu hari jadi orang sukses, bayarlah dengan cara membelikan orang lain kaus kaki.”
Manager menulis referensi dengan bahasa yang terlalu formal, tetapi di akhir menambahkan catatan tangan: Sakera menjaga kepercayaan. Orang seperti itu jarang.
Di rumah, Sakera mengunci pintu kamar, memandangi foto orangtuanya di dinding. “Aku pergi dulu,” katanya. “Bukan pergi dari kalian. Pergi dari diriku yang dulu.” Ia menurunkan foto, membersihkan debu, menempelkannya lagi lebih lurus setengah derajat. Hal kecil, tetapi hati mengerti.
.
Bandara kota tidak besar. Ruang tunggu adalah campuran anak kecil yang berlari, bapak-bapak dengan telepon genggam yang tahu sekali dirinya penting, dan ibu-ibu yang memberi bekal doa tanpa suara. Arimbi mengantar sampai pagar; ia tidak suka perpisahan, karena perpisahan mengajarinya mengeja singkat kata “nanti”.
“Jaga dirimu,” katanya. “Kalau rindu, telepon. Kalau tidak rindu, tetap telepon.”
Sakera tertawa. “Aku akan belajar rindu pada hal yang betul.”
“Dan jangan lupa beli kaus kaki.”
“Baik, Mbak.”
Pesawat tidak menunggu kisah siapa pun selesai. Itulah enaknya waktu: ia terus bergerak, memaksa kita memutuskan. Sakera menenteng tas kecil, menatap sekali ke luar jendela bandara. Kota tampak lebih kecil, persis seperti hati bila berani jujur—yang besar bukan kotanya, yang besar keengganan kita meninggalkannya.
Di kursi pesawat, Sakera membuka buku catatan bergaris. Ia menulis kalimat pertama yang tidak disangka menjadi doanya bertahun-tahun kemudian: Hidup yang di depan lebih penting daripada yang di belakang, karena di depan ada tanggung jawabku, di belakang hanya jawaban atas pertanyaan “kenapa dulu begitu?” Ia menutup buku, menatap awan. Di luar sana, deretan kapas mengajarinya satu hal: yang lembut juga bisa mengangkut.
.
Yogyakarta menyambutnya dengan hujan yang sopan—turun pelan, berhenti pelan, membiarkan orang menebak. Sakera menumpang bus kota, turun di halte dekat wisma pelatihan. Kamar barunya ukuran dua kali tikar; ada meja, ada ranjang, ada cermin. “Cukup,” katanya. “Rumah adalah batas yang kita setujui bersama tubuh.” Ia menelpon Arimbi untuk pertama kali.
“Aku sampai,” lapornya.
“Bagus. Kau belum jadi orang besar, tapi suaramu sudah lebih lega.”
“Hari pertama selalu begitu,” kata Sakera. “Seperti baju baru yang belum kena keringat.”
Pelatihan mengajarinya banyak hal yang sebenarnya ia tahu, tetapi baru sekarang tubuhnya mau mempraktikkan. Cara menyapa tamu tanpa terdengar hafalan, cara membaca ekspresi sebelum orang bersuara, cara memetakan ruang lobi agar menjadi cerita—bukan hanya perabot. Ia belajar juga tentang digital, tentang data, tentang kepekaan merangkai pengalaman. Ia menyimak rekan dari daerah lain bercerita, saling berkeluh dan menertawakan diri.
Ada malam tertentu ketika ia rindu dermaga. Ia membuka dompet, membaca lagi memo Kenongo—tulisan yang miring tetapi tegas. Ia mengirim pesan singkat ke nomor yang ditinggalkan di bawah inisial.
Terima kasih atas memo yang membukakan pintu, K. Aku sedang melewati halaman baru.
Balasan datang singkat.
Selamat. Jangan cepat-cepat menilai bab. Jalani dulu halamannya.
.
Di ujung pelatihan, ada simulasi menerima tamu yang komplain. Sakera bertugas menjadi “dirinya sendiri”—resepsionis yang mesti menampung marah sekaligus menjaga martabat. Seorang instruktur memainkan tamu yang menuntut, mulutnya cepat, telunjuknya runcing.
“Coba kau jelaskan,” pintanya.
Sakera mendengarkan, tidak memotong. Ketika kesempatan tiba, ia tidak defensif. “Maafkan pengalaman yang tidak menyenangkan, Pak. Boleh saya perbaiki mulai sekarang?” Ia menawarkan solusi satu per satu, tanpa kerumitan teknis yang biasanya digilai brosur. Selesai sesi, instruktur menepuk bahunya. “Kau tidak sedang menjual kamar,” katanya, “kau sedang menjual ketenangan. Itu lebih mahal.”
Di malam kelulusan, teman-temannya berfoto, berpelukan. Sakera tersenyum, mengirim satu foto ke Arimbi. “Siap pulang?” balasnya.
Sakera menatap layar agak lama. “Siap pulang ke kota, siap juga pergi dari diriku yang lama,” balasnya akhirnya.
.
Kembali ke kota, lobi Hotel Astana terasa lebih rendah lampunya. Bukan karena petugas listrik malas, tetapi karena mata Sakera sudah belajar bentuk cahaya lain. Ia menaruh sertifikat di laci, tidak dipajang—bukan karena malu, melainkan tidak ingin membuat dinding sibuk. Arimbi memandangnya dari ujung meja, senyum yang memerlukan dua piring gorengan untuk mewakili.
“Kau berubah,” katanya.
“Kaos kakiku juga,” jawab Sakera.
“Dan kau lebih bisa bercanda.”
“Sebagian karena pelatihan, sebagian karena hidup memang suka membuat bahan tertawaan.”
Sakera menata ulang lobi—tidak besar-besar, tetapi terasa: mengganti kursi yang selama ini mengundang pegal, memindah brosur ke rak yang rendah agar anak kecil bisa meraih tanpa minta tolong, menambah papan kecil bertuliskan Sugeng rawuh yang dibuat oleh tukang kayu tetangga kampung. Tamu memperhatikan, manajer mengangguk, Arimbi mabuk pujian. “Ini baru urip iku urup,” katanya, “hidup menyala sampai menyulut.”
Suatu sore, seorang perempuan masuk. Bukan Kenongo. Tetapi langkahnya juga mantap, bahasa tubuhnya serupa orang tidak buru-buru. Sakera menyapanya, menanyakan kebutuhan, menawarkan kamar dengan jendela yang memandang pelabuhan. Perempuan itu mengangguk, membayar, lalu bertanya, “Apa di kota ini ada tempat yang bagus untuk duduk sendirian?”
Sakera tersenyum. “Ada. Dermaga. Tempat orang datang dan pergi. Di situ, orang belajar menunggu tanpa menyesal.”
Perempuan itu menatapnya sebentar. “Kamu sering ke sana?”
“Saya dulu menghindar,” jawab Sakera jujur, “lalu suatu malam saya datang, dan tahu kalau tempat yang kita takuti sering kali hanya mengembalikan suara yang kita bawa.”
Perempuan itu mengucapkan terima kasih, mengambil kunci. Setelah pergi, Arimbi mendekat. “Kau sekarang pandai sekali merangkum,” katanya.
“Bukan rangkuman,” kata Sakera. “Itu memo.”
Arimbi tertawa, lalu membisiki, “Memo dari siapa?”
“Dari seorang pejalan yang percaya dermaga adalah tempat paling adil di dunia.”
.
Kita menutup kisah ini tidak dengan pesta atau lonceng kemenangan. Hidup jarang memberi efek suara seperti film. Tetapi ada momen-momen kecil yang, bila dikumpulkan, bisa menyamakan rasa: pagi ketika Sakera masuk kerja tanpa lagi merasa dikejar; siang ketika ia menolak memarahi staf karena mengerti marah adalah bahasa yang murah; sore ketika ia duduk sebentar di bangku luar lobi, memandangi orang lewat dan tahu bahwa setiap orang sedang membawa pulang sesuatu dari harinya—meski hanya kelelahan yang jujur.
Malam tertentu ia tetap ke dermaga. Bukan untuk menangis, bukan juga untuk menantang angin. Hanya untuk berdiri dua langkah sebelum ujung kayu, seperti orang yang mengerti batas. Ia memandang garis cahaya di horison yang dulu ditunjuk Kenongo. “Terima kasih,” bisiknya pada udara yang mungkin mengirim kepada siapa pun yang perlu. “Aku sudah membuka halaman berikut. Babnya tidak sempurna, tetapi tulisannya milikku.”
Dan jika kau suatu hari melewati lobi Hotel Astana dan melihat resepsionis yang menyapa dengan suara setengah pelan—seolah takut mengganggu tetapi tidak ingin tidak terdengar—mungkin itu Sakera. Ia tengah menjaga lampu yang hidup dari dalam. Di saku kemejanya masih ada kertas memo, aus karena sering disentuh. Ia tidak lagi menunggu alasan terhormat untuk menangis. Ia sudah punya alasan yang lebih penting untuk tersenyum.
“Jangan menoleh terlalu lama. Yang kau tatap akan tumbuh. Yang kau tinggalkan, biarlah menjadi akar.”
.
.
.
Jember, 24 Agustus 2025
.
.
#CerpenFilmis #CerpenUrban #KisahInspiratif #DermagaHarapan #CerpenKompasMinggu #ArswendoStyle